Anda di halaman 1dari 7

Kebudayaan Indonesia

Suku Tengger Jawa Timur

Kategori: Suku | Ditulis oleh contributor

Tengger adalah sebuah kota atau desa yang berada di bawah kaki Gunung Bromo Jawa Timur. Pada
awalnya tahun 100 SM orang-orang Hindu Waisya yang beragama Brahma bertempat tinggal di pantai-
pantai yang sekarang dinamakan dengan kota Pasuruan dan Probolinggo. Setelah Islam mulai masuk
di Jawa pada tahun 1426 SM dan keberadaan mereka mulai terdesak maka mereka mencari daerah
yang sulit dijangkau oleh manusia (pendatang) yaitu di daerah pegunungan tengger, pada akhirnya
mereka membentuk kelompok yang di kenal sebagai tiang tengger (orang tengger).

Suku bangsa Tengger berdiam disekitar kawasan di pedalaman gunung Bromo yang terletak di
kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Berdasarkan persebaran bahasa dan pola kehidupan sosial
masyarakat, daerah persebaran suku Tengger adalah disekitar Probolinggo, Lumajang, (Ranupane
kecamatan Senduro), Malang (desa Ngadas kecamatan Poncokusumo), dan Pasuruan. Sementara
pusat kebudayaan aslinya adalah di sekitar pedalaman kaki gunung Bromo.

Pada awal abad ke-16 para pemuja Brahma di Tengger kedatangan orang Hindu Parsi ( Parsi berasal
dari kata Persia, yaitu “wilayah di sekitar laut Iran” ). Oleh karena itu beralihlah agama mereka dari
Brahma ke agama Parsi ( Hindu Parsi ). Semua petangan-petangan atau ngelmu-ngelmu yang dimiliki
orang Tengger ternyata masih berasal dari pemujaan terhadap matahari, bulan, bintang-bintang
sebagai pengendali dari keempat unsur utama : api, air, tanah, udara. Akan tetapi pada saat ini
petangan dan ngelmu yang mereka miliki juga dilakukan oleh penduduk Tengger yang beragama Islam,
karena nenek moyang mereka beragama Hindu Parsi.

Dalam hal ini orang Tengger Islam masih menganut kepercayaan ngelmu yang berkaitan dengan
penentuan “hari baik” dan “hari buruk” untuk tujuan umum maupun khusus. Juga kepercayaan pada
waktu-waktu yang baik dan buruk yng terdapat dalam satu hari serta kepercayaan akan kekuatan-
kekuatan bila melakukan suatu tindakan. Tindakan khusus misalnya akan dilakukan ketika
meninggalkan rumah, dan syarat syarat penolakan terhadap mara bahaya yang mungkin timbul
didalam perjalanan. Mereka masih dapat ditemukan di 24 lebih desa yang berada disana seperti Tosari,
Ngadiwana, Ngadirejo, Nongkojajar, Ngadisari dan sebagainya, paling utama yang masih berada di
wilayah Pasuruan dan Probolinggo dan secara antropologis mereka dapat di kelompokkan ke dalam
golongan Badui dan Bali.
Sejarah dan Perkembangan Suku Tengger

Wong Tengger atau orang-orang pegunungan merupakan sebuah kelompok khusus karena mereka
merupakan keturunan terakhir dari peradaban Majapahit pada akhir masa periodenya. Menurut mitos
atau legenda yang berkembang di masyarakat suku Tengger, mereka berasal dari keturunan Roro
Anteng yang merupakan putri dari Raja Brawijaya dengan Joko Seger putra seorang Brahmana. Nama
suku Tengger diambil dari akhiran nama kedua pasang suami istri itu yaitu, “Teng” dari Roro Anteng
dan “Ger” dari Joko Seger. Legenda tentang Roro Anteng dan Joko Seger yang berjanji pada Dewa
untuk menyerahkan putra bungsu mereka, Raden Kusuma merupakan awal mula terjadinya upacara
Kasodo di Tengger.

Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu
hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi
persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah
Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian melarikan diri ke
wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar
pedalaman Gunung Bromo ini kemudian mendirikan kampung yang namanya diambil dari akhiran
nama pemimpin mereka yaitu Roro Anteng dan Joko Seger.

Mayoritas masyarakat Tengger memeluk agama Hindu, namun agama Hindu yang dianut berbeda
dengan agama Hindu di Bali, yaitu Hindu Dharma. Hindu yang berkembang di masyarakat Tengger
adalah Hindu Mahayana. Selain agama Hindu, agama laiin yang dipeluk adalah agama Islam,
Protestan, Kristen, dll. Berdasarkan ajaran agama Hindu yang dianut, setiap tahun mereka melakukan
upacara Kasono.

KEADAAN GEOGRAFIS

ketinggian antara 1000m - 3675 m. Daerah Tengger teletak pada bagian dari empat kabupaten, yaitu :
Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Tipe permukaan tanahnya bergunung-gunung dengan
tebing-tebing yang curam. Kaldera Tengger adalah lautan pasir yang terluas, terletak pada ketinggian
2300 m, dengan panjang 5-10 km. Kawah Gunung Bromo, dengan ketinggian 2392 m, dan masih
aktif .Di sebelah selatan menjulang puncak Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 m.
MAKANAN KHAS

sambal Krangean bahannya terbuat dari bahan sambal terasi seperti biasanya,hanya saja di tambah
buah Krangean ( hanya tumbuh di Tengger) bentuknya kecil seperti buah merica dan baunya harum
seperti daun kemangi,wananya hijau masih segar (baru petik) dan hitam (klau sudah layu atau kering).

NAMA NAMA HARI SUKU TENGGER.

1. DHITE : MINGGU
2. SHOMA : SENIN
3. ANGGARA : SELASA
4. BUDHA : R A B U
5. RESPATI : KAMIS
6. SUKRA : JUMAT
7. TUMPEK : SABTU

NAMA NAMA BULAN SUKU TENGGER

1. KARTIKA : KASA
2. PUSA : KARO
3. MANGGASTRI : KATIGA
4. SITRA : KAPAT
5. MANGGAKALA : KALIMA
6. NAYA : KANEM
7. PALGUNO : KAPITU
8. WISAKA : KAWOLU
9. JITO : KASANGA
10. SERAWANA : KASEPOLOH
11. PANDRAWANA : DESTHA
12. ASUJI : KASADA

ADAPUN TAHUN YANG DIGUNAKAN ADALAH TAHUN SAKA ( CAKA ).


Bahasa Tengger

menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu ngoko, bahasa sehari-hari terhadap sesamanya, dan krama
untuk komunikasi terhadap orang yang lebih tua atau orang tua yang dihormati. Pada masyarakat
Tengger tidak terdapat adanya perbedaan kasta, dalam arti mereka berkedudukan sama.
Contoh: Aku ( Laki-laki) = Reang , Aku ( wanita ) = Isun , Kamu ( untuk seusia)= Sira , Kamu ( untuk
yang lebih tua) = Rika, Bapak/Ayah= Pak , Ibu = Mak , Kakek=Wek , Kakak= Kang , Mbak= Yuk

PUSAKA YANGDI MILIKI OLEH SUKU TENGGER

Jimat Klonthongan / Jodang Wasiat


Jimat Klonthong / Jodang wasiat jumlahnya ada dua, yang pertama disimpan oleh masyarakat Suku
Tengger Brang Wetan tepatnya di Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten
Probolinggo.bentuknya berupa kotak terbuat dari kayu.Sedang Jimat Klonthong / Jodang Wasiat yang
kedua disimpan di wilayah Brang Kulon yaitu di Desa Tosari Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan
dan bentuknya berbeda dengan yang ada di wilayah brang wetan yaitu berbentuk bumbung terbuat
dari kayu.
Kedua Jimat Klonthong / Jodang Wasiat tersebut merupakan benda warisan nenek moyang ( Joko
Seger dan Loro Anteng ) berisi gayung, sarak, sodar, tumbu, cepel, Ontokusumo sejenis pakaian nenek
moyang, dan sejumlah uang satak (uang logam kuno). Termasuk mantra-mantra yaitu mantra
Purwobumi dan mantra Mandala Giri.

PERALATAN UPACARA

Baju Adat Tengger Hitam, sehelai kain baju tanpa jahitan,Udeng dan kain Selempang berwarna kuning.
Hal ini sesuai dengan yang diperoleh sebagai warisan dari nenek moyang Suku Tengger.
Prasen, berasal dari kata rasi atau praci (Sansekerta) yang berarti zodiak. Prasen ini berupa mangkuk
bergambar binatang dan zodiak. Beberapa prasen yang dimiliki oleh para dukun berangka tahun Saka:
1249, 1251, 1253, 1261; dan pada dua prasen lainnya terdapat tanda tahun Saka 1275. Tanda tahun
ini menunjukkan masa berkuasanya pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi di Majapahit.
Tali sampet, terbuat dari kain batik, atau kain berwarna kuning yang dipakai oleh Dukun Tengger.
Genta, keropak dan prapen, sebagai pelengkap upacara.
LAIN LAIN

mengenal Kasta,namun biasanya cara memanggil nama orang yang sudah berkeluarga dan
mempunyai keturunan ,mereka memanggil nama yang bersangkutan dengan nama anak pertamanya.

Hindu Mahayana Agama Suku Tengger

Kategori: Kepercayaan | Ditulis oleh contributor

Tengger adalah sebuah kota atau desa yang berada di bawah kaki Gunung Bromo Jawa Timur. Pada
awalnya tahun 100 SM orang-orang Hindu Waisya yang beragama Brahma bertempat tinggal di pantai-
pantai yang sekarang dinamakan dengan kota Pasuruan dan Probolinggo. Setelah Islam mulai masuk
di Jawa pada tahun 1426 SM dan keberadaan mereka mulai terdesak maka mereka mencari daerah
yang sulit dijangkau oleh manusia (pendatang) yaitu di daerah pegunungan tengger, pada akhirnya
mereka membentuk kelompok yang di kenal sebagai tiang tengger (orang tengger).

Masyarakat Tengger memiliki kepercayaan yaitu Hindu Mahayana. Pada abad ke-16, para pemuja
Brahma di Tengger kedatangan pelarian dari orang Hindu Parsi (parsi berasal dari kata Persia, yaitu
“wilayah di sekitar negara Iran”). Akhirnya, orang-orang Tengger yang semula beragama Brahma
beralih ke agama Parsi, yaitu agama Hindu Parsi (Capt. R. P. Suyono:2009:23). Perpindahan agama
orang Tengger dari agama Brahma ke Hindu Parsi ternyata tidak serta merta menghilangkan seluruh
kepercayaan awal mereka. Orang Tengger masih tetap melakukan ajaran Buddha. Bahkan kebiasaan
ini pada akhirnya dianut juga oleh penganut Hindu Parsi (Capt. R. P. Suyono:2009:25).

Ada tiga prinsip ajaran Hindu masyarakat Tengger antara lain:

1. Pemujaan kepada Tuhan


2. Pemujaan kepada Leluhur

3. Pemujaan kepada alam semesta.

Masyarakat Tengger mempercayai Sang Hyang Agung, roh para leluhur, hukum karma, reinkarnasi,
dan moksa. Kepercayaan masyarakat Tengger terhadap roh diwujudkan sebagai danyang (makhluk
halus penunggu desa) yang di puja di sebuah punden. Punden biasanya terletak di bawah pohon besar
atau dibawah batu besar. Roh leluhur pendiri desa mendapatkan pemujaan yang lebih besar di
sanggar pemujaan. Setahun sekali masyarakat suku tengger mengadakan upacara pemujaan roh
leluhur di kawah Gunung Bromo yang disebut dengan upacara Kasada. Ajaran agama tersebut di
satukan dalam sebuah kitab suci yang ditulis di atas daun lontar yang dikenal dengal nama
Primbon. Sesaji dan mantra amat kental pengaruhnya dalam masyarakat suku Tengger. Masyarakat
Tengger percaya bahwa mantra-mantra yang mereka pergunakan adalah mantra-mantra putih bukan
mantra hitam yang sifatnya merugikan.

Dalam melaksanakan peribadatan, masyarakat Tengger melakukan ibadah di punden, danyang dan
poten. Poten adalah tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu. Keberadaan
poten ada pada sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Poten
terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi di pekarangan yang dibagi
menjadi tiga Mandala/zona yaitu:

1. Mandala Utama (Jeroan)

Tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan yang terdiri dari: padma serupa candi lengkap
dengan pepalihan. Fungsi utama padma adalah tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Padma tidak
beratap dan terdiri dari bagian kaki yang disebut tepas, badan/batur dan kepala dengan nama sari
lengkap dengan Bedawang, Nala, Garuda dan Angsa.
Bedawang Nala melukiskan kura-kura raksasa mendukung padmasana, dibelit oleh seekor atau dua
ekor Naga, Garuda dan Angsa posisi terbang di belakang badan padma. Masing-masing hewan
tersebut melambangkan keagungan bentuk dan fungsi padmasana. Bangunan Sekepat (tiang empat)
atau yang lebih besar letaknya di bagian sisi sehadapan dengan bangunan pemujaan/padmasana,
menghadap ke timur atau sesuai dengan orientasi bangunan pemujaan dan terbuka keempat sisinya.
Fungsinya untuk penyajian sarana upacara atau aktivitas serangkaian upacara. Bale Pawedan serta
tempat dukun sewaktu melakukan pemujaan.

Kori Agung Candi Bentar, bentuknya mirip dengan tugu kepalanya memakai gelung mahkota segi
empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar segi
empat atau sisi banyak dengan sisi-sisi sekitar depa alit, depa madya atau depa agung. Tinggi
bangunan dapat berkisar dari sebesar atau setinggi tugu sampai sekitar 100 meter memungkinkan pula
dibuat lebih tinggi dengan memperhatikan keindahan proporsi candi bentar. Untuk pintu masuk
pekarangan pura dari jaba pura menuju mandala sisi/nista atau jaba tengah/mandala utama bisa
berupa candi gelung atau kori agung dengan berbagai variasi hiasan. Untuk pintu masuk pekarangan
pura dari jaba tengah/Mandala Madya ke jeroan Mandala Madya sesuai keindahan proporsi bentuk
fungsi dan besarnya atap bertingkat-tingkat tiga sampai sebelas sesuai fungsinya. Untuk pintu masuk
yang letaknya pada tembok penyengker/pembatas pekarangan pura.

2. Mandala Madya (Jaba Tengah)

Tempat persiapan dan pengiring upacara terdiri dari: Kori Agung Candi Bentar, bentuknya serupa
dengan tugu, kepalanya memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat
mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar, segi empat atau segi banyak dengan sisi-sisi sekitar
satu depa alit, depa madya, depa agung.

Bale Kentongan, disebut bale kul-kul berada di sudut depan pekarangan pura, bentuknya susunan
tepas, batur, sari dan atap penutup ruangan kul-kul/kentongan. Fungsinya untuk tempat kul-kul yang
dibunyikan awal, akhir dan saat tertentu dari rangkaian upacara. Bale Bengong atau disebut
Pewarengan suci berada diantara jaba tengah/mandala madya, mandala nista/jaba sisi. Bale Bengong
memiliki bentuk bangunan empat persegi atau memanjang deretan tiang dua-dua atau banyak luas
bangunan untuk dapur. Fungsinya untuk mempersiapkan keperluan sajian upacara yang perlu
dipersiapkan di pura yang umumnya jauh dari desa tempat pemukiman.

3. Mandala Nista (Jaba Sisi)

Tempat peralihan dari luar ke dalam pura yang terdiri dari bangunan candi bentar/bangunan penunjang
lainnya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok penyengker batas pekarangan pintu masuk di depan
atau di jabaan tengah/sisi memakai candi bentar dan pintu masuk ke jeroan utama memakai Kori
Agung. Tembok penyengker candi bentar dan kori agung ada berbagai bentuk variasi dan kreasinya
sesuai dengan keindahan arsitekturnya. Bangunan pura pada umumnya menghadap ke barat,
memasuki pura menuju ke arah timur demikian pula pemujaan dan persembahyangan menghadap ke
arah timur ke arah terbitnya matahari. Komposisi masa-masa bangunan pura berjajar antara selatan
atau selatan-selatan di sisi timur menghadap ke barat dan sebagian di sisi utara menghadap selatan.

Nama : Nurlaelhy CR Dan Yuli Ambar ND

Kelas : XI TKJ 1

Mapel : IPS (Suku Tengger)

Anda mungkin juga menyukai