Anda di halaman 1dari 5

Oleh: Muhammad Alvin Adam

Interaksi Masyarakat Suku Tengger Dengan Alam Dalam Hari Raya Yadnya Kasada

Indonesia ini dikenal oleh khalayak umum sebagai daerah yang memiliki banyak kearifan
lokal seperti berupa kebudayaan-kebudayaan lokal yang masih hidup di era post modern ini.
Salah satunya yakni upacara Hari Raya Yadnya Kasada. kearifan lokal ini yang sampai sekarang
masih dilestarikan secara turun temurun.

Hari Yadnya Kasada ini berasal dari Jawa Timur, tepatnya di Gunung Bromo, yakni pada
Suku Tengger. Yadnya Kasada ini adalah Hari Raya bagi masyarakat Suku Tengger penganut
agama Hindu Dharma.

Suku Tengger atau lazim disebut Jawa Tengger atau juga disebut orang Tengger atau Wong
Brahma adalah Suku yang mendiami dataran tinggi sekitaran kawasan pegunungan Bromo
Tengger Semeru. Arti dari nama Tengger berarti berdiri tegak atau berdiam tanpa gerak, yang
melambangkan watak orang Tengger yang berbudi pekerti luhur, yang harus tercermin dalam
segala aspek. Tengger bermakna sebagai pegunungan, yang sesuai dengan daerah kediaman
Suku Tengger.

Mengenai pelaksanaan Hari Raya Yadnya Kasada ini selalu dibarengi dengan
sesembahan atau sesaji, dan itu di tujukan kepada Hyang Widhi Wasa, sebagai manifestasi dari
Batara Brahma (Dewa Api), dan juga ditujukan kepada alam semesta yang telah memberikan
kita segalanya.

Sejarah Hari Raya Yadnya Kasada ini sudah dilaksanakan mulai dari era Kerajaan
Majapahit sekitar abad ke-13. Hari Yadnya Kasada ini sangat erat kaitannya dengan legenda
nenek moyang Suku Tengger yakni Roro Anteng dan Joko Seger yang sebagai nenek moyang
dari masyarakat Suku Tengger.

Roro Anteng merupakan putri dari kerajaan Majapahit yakni anak dari Prabu Brawijaya,
sedangkan Joko Seger adalah anak dari seorang Brahmana asal Kediri. Akan tetapi meskipun
sebenarnya cerita Rara Anteng dan Joko Seger yang asli dibacakan tiap acara Hari Yadnya
Kasada oleh kepala Dukun Tengger tidak menyebutkan mengenai Raja Majapahit atau Putra
Brahmana.
Menceritakan Joko Seger dan Roro Anteng….. singkat cerita sikap keduanya yang ingkar
itu membuat Dewa Gunung marah, lalu terjadilah bencana yang sangat besar pada waktu itu
yakni Meletuslah Gunung Bromo, sehingga anak terakhir dari kedua pasangan itu diambil oleh
Dewa atau leluhur Bromo yakni yang bernama Raden Kusumo.

Bersamaan peristiwa Raden Kusuma terdengarlah suara gaib, “Saudara-saudaraku yang


kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Sang Hyang Widhi Wasa
menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Sang Hyang Widhi.
Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Sang
Hyang Widhi di kawah Gunung Bromo”.

Menurut cerita tutur masyarakat Suku Tengger Raden Kusumo lantas menjadi
penyelamat saudara-saudaranya yang lain. Sejak saat itulah, keturunan-keturunan dari Roro
Anteng dan Joko Seger selalu memberikan sesembahan berupa sesaji setiap bulan kasada hari
ke-14 menurut penanggalan tradisional masyarakat Suku Tengger yang sekarang dikenal dengan
Hari Raya Yadnya Kasada.

Sebagaimana kisah legenda yang melatarbekanginya, tujuan Hari Raya Yadnya Kasada
yakni memohon keselametan. Masyarakat Suku Tengger akan memberikan sesembahan kepada
Tuhan dan para dewa (leluhur mereka) itu sebagai bentuk penghormatan. Selain itu, masyarakat
Suku Tengger juga memohon agar hasil panen selalu melimpah, serta dijauhkan dari musibah
dan bahaya.

Pelaksanan Hari Raya Yadnya Kasada dilakukan beberapa tahap, seperti Puja Purwaka,
Manggala Upacara, Ngulat Umat, Tri Sandiya, Muspa, Pembagian Bija, Diksa Widhi, dan
setelah itu sesembahan sesaji di kawah Bromo.

Proses Hari Raya Yadnya Kasada ini dimulai pada Sadya Kala Puja dan berakhir pada
Surya Puja. Masyarakat Suku Tengger beramai-ramai menjuju Gunung Bromo untuk
mengantarkan sesaji berupa hasil ternak dan pertanian ke Pura Luhur Poteng Agung. Selama
pelaksanaan, Rama Dukun Pandita akan membacakan doa-doa yang isinya mendoakan
keselamatan seluruh alam semesta. Dan disinilah interaksi masyarakat Suku Tengger dengan
Alam semesta.
Bentuk penghormatan kepada Gunung Salah satunya tujuan dan orientasi Suku Tengger.
Memang sangat penting dan baik memberi posisi serta penghormatan terhadap Gunung. Dimana
Gunung dalam suatu kawasan atau wilayah, selalu di pandang sebagai pusat Buana
(Madyanikang Buwana), hulu bagi kawasan wilayah sekitar.
Di Gunung pula Tuhan sebagai Siwa Yang Maha Suci di Istanakan, lalu di Puja. Memang
tidak kaget bahwa tempat-tempat yang suci dan sakral lantas didirikan di Gunung-gunung, entah
itu di Puncak Gunung, Lambung Gunung, atau di Kaki Gunung. Karena tempat-tempat itulah
dinilai dan dipercayai sebagai kawasan yang suci dan sakral.
Kalaupun Lokasi atau tempat bukan di Gunung maka Pura atau rumah akan
diorientasikan ke arah Gunung, bentuk pemujaan pun mengerucut ke atas, seperti menyerupai
Gunung, seperti berupa Candi di Jawa, atau Bahkan berupa Lingga, Batu Berdiri. Dari
pemahaman inilah lantas Gunung disebut pula sebagai Lingga Acala, Lingga yang tidak bergerak
sekaligus Lingga yang tidak diciptakan manusia.
Dalam bahasa Jawa Kuno telah disebutkan bahwa, Acala memang juga diartikan sebagai
Gunung. Agama Hindu memang mengajarkan manusia untuk senantiasa berorientasi atau
menjadikan yang abadi, tidak bergerak, itu sebagai tujuan. Adapun juga selain pada Gunung,
agama Hindu mengagungkan Matahari sebagai Maha Sumber energi hidup yang abadi. Maka,
sangat tepat dan cocok bila Gunung Semeru di bangun Pura, sebagai tempat umat Hindu se-
Indonesia memuja Hyang Siwa Pasupati.
Dari Gunung yang ditumbuhi pohon-pohon yang sangat lebat, tanaman-tanaman yang
indah, bunga-bunga yang cantik, air mengalir untuk menyuburkan tanah, atau sebelumnya yakni
air dari pegunungan di tampung oleh danau lalu kemudian mengalir dengan gemercik ke sungai,
lalu kemudian di manfaatkan oleh manusia untuk kebutuhan hidupnya, air lantas di alirkan lagi
ke laut, kemudian menjadi mendung, kemudian menjadi hujan, kembali lagi diserap oleh gunung
dengan keanekaragaman pohon dan tumbuhannya, di tampung lagi oleh danau, melesak ke
tanah, menyembul menjadi mata air, mengalir terus dan terus mengalir, seterusnya begitu,
berputar dan terus berputas tanpa henti. Itulah mengapa Gunung dalam kosmologi agama Hindu
di tempatkan sebagai hulu, danau ditengah, dan hilirnya adalah laut. Ketiga itu selalu membentuk
alur siklus kesemestaan. Dari Gunung sebagai hulu (awalan) itulah kerahayuan mengalir bagi
segenap makhluk di alam semesta.
Perlu diketahui bersama bahwa untuk mengenai kepercayaan terhadap Gunung itu
bahkan sudah ada dari sebelum adanya agama-agama yakni di era Megalitikum atau zaman
Purba. Pada era Megalitikum atau zaman Purba kepercayaan seperti itu yakni terhadap Gunung
sudah diterapkan dan dilakukan oleh manusia-manusia Purba yang hidup pada zaman itu, dan itu
jauh sebelum adanya agama-agama atau kepercayaan terhadap Tuhan, baik berdasarkan atas
keyakinan dan kepercayaan maupun atas pemikiran yang rasional.
Berdasarkan keyakinan dan kepercayaan manusia-manusia Purba atau era Megalitikum
menunjukkan bahwa Gunung adalah tempat bersemayamnya roh para nenek moyang mereka.
Para arwah nenek moyang mereka di yakini bersemayam di Puncak Gunung. Oleh karena itu
Gunung dianggap sebagai tempat suci dan sakral yang selalu diharaskan, dan disucikan.
Ketika dilakukan pemujaan yang terus-menerus tanpa berhenti niscaya para pendukung
kepercayaan tersebut akan terhindar dari mara bahaya karena mereka telah dilindungi oleh para
roh nenek moyang yang sudah suci dan di sucikan di Puncak Gunung. Akan tetapi, ketika
mereka melupakan para roh nenek moyang mereka yang disucikan, maka tidak lama lagi mara
bahaya akan menimpa mereka.
Kita sebagai manusia yang masih diberikan kesadaran, dan akal yang sehat oleh alam
semesta. Jadi, sebagai manusia yang dekat dekat dengan alam, bahwa manusia adalah bagian dari
alam. Manusia tidak bisa melepaskan diri mereka dari alam, termasuk Gunung, hutan. Manusia
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kosmos, bahkan manusia hanya bagian kecil dari alam
(microcosmos), keseimbangan selalu patut dijaga antara macrocosmos dengan microcosmos,
karena keduanya ada timbal balik, dimana kita menjaga alam, maka alam pun akan menjaga kita,
atau malah sebaliknya yakni alam hancur karena ulah tangan-tangan kita sendiri, jadi jangan
salahkan ketika alam marah, murka pada kita semua.
Kita sebagai manusia harus merawat dan melestarikan warisan nenek moyang kita
dengan Tepo Seliro atau istilahnya Tat Twan Asi dalam agama Hindu, atau kalau dalam bahasa
Sansekerta. Adapun untuk istilah Tepo Seliro itu sendiri adalah “Tenggang rasa” atau bisa
dimaknai dengan toleransi, dengan adanya Tepo Seliro kehidupan masyarakat pun menjadi lebih
harmonis sehingga tidak ada perpecahan.

Sedangkan untuk istilah Tat Twam Asi sendiri itu adalah berasal dari bahasa Sansekerta
adalah kata-kata dari filsafat Hindu yang mengedepankan askpek sosial yang tanpa batas karena
diketahui bahwa “ia adalah kamu” saya adalah kamu dan segala makhluk yang adalah
memiliki Atman (jiwa, roh) yang bersumber dari Brahman (Tuhan). Kerukukan bisa di
implementasikan melalui Tri Hita Karana juga dalam bahasa Sansekerta yang artinya ajaran
untuk kerukunan, tidak hanya terhadap manusia, melainkan juga terhadap Sang Hyang Widhi
(Tuhan) bahkan seluruh ciptaan Tuhan termasuk alam semesta.

Sekian Terimakasih!

Anda mungkin juga menyukai