Anda di halaman 1dari 19

BUDAYA SUKU KARO

DISUSUN OLEH:
1. BRAMJA BRAHMANA SEMBIRING
(NIM:2205052050)
2. TOMY BASTANTA
TARIGAN(NIM:2205052064)
3. BAGUS
RAMADHAN(NIM:2205052046)

JURUSAN TEKNIK MESIN


PRODI TEKNIK KONVERSI ENERGI
POLITEKNIK NEGERI MEDAN

BAB I
PEMBAHASAN

Sejarah Suku Karo

Menurut Kol.Sempa Sitepu dalam buku “Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh
Suku Karo Indonesia” menuliskan bahwasannya Suku Karo bukan berasal dari si
Raja Batak ini juga berdasarkan dari cerita turun temurun dan di dengar oleh beliau
dari kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838. Menurutnya leluhur etnis Karo
berasal dari India Selatan yang berbatasan dengan Myanmar. Secara ringkas
Sempa Sitepu meringkaskan bahwa pada awalnya seorang maharaja yang sangat
kaya, sakti dan berwibawa memiliki seorang panglima yang disegani oleh semua
orang dan nama panglima tersebut adalah Karo keturunan India. Suatu hari
maharaja ingin pergi untuk mencari tempat baru dan mendirikan kerajaan yang
baru dia mengajak pasukannya dan putrinya yang bernama Miansari. Maharaja
kemudian membagi pasukannya menjadi beberapa kelompok dan Miansari
memilih untuk bergabung dengan panglima perang. Mereka mulai berlayar dan
tibalah di sebuh pulau yang bernama Pulau Pinang mereka tinggal untuk beberapa
bulan. Suatu hari maharaja memandang ke arah selatan dan memandang sebuah
pulau yang lebih bagus lagi lalu ia berniat untuk menyeberang ke pulau tersebut.
Dalam perjalanan mereka menyebrang ke pulau tersebut, mereka terkena angin
ribut dan ombak yang sangat besar hingga mereka terpisah-pisah. Miansari dan
panglima beserta rombongannya terdampar di sebuah pulau dan maharaja juga
tidak mengetahui keberadaan mereka. Mereka berangkat dan membawa dua orang
dayang dan tiga orang pengawal. Mereka berjalan mengikuti aliran sungai dan
mencari tempat untuk bersembunyi dengan aman. Mereka berdiam di suatu pulau
dan terjadilah peristiwa yang penting yaitu panglima dan Miansari menikah
disaksiakan oleh pengawal dan prajurit mereka. Lalu mereka mulai meanjutkan
perjalanan untuk mencari tempat yang lebih aman yaitu Perca(Sumatra) dan tempat
itu sekarang bernama Belawan. Dari tempat itu mereka melanjutkan perjalanan dan
tibalah di suatu tempat yang sekarang disebut Durin Tani, disana terdapat sebuah
gua yakni Gua Umang.
Gua(rumah) Umang yang banyak ditemukan di wilayah -wilayah
Karo diyakini tempat tinggal manusia Purba.

Mereka lalu pergi lagi untuk mencari tempat yang lebih aman lagi, setelah
beberapa hari lamanya mereka berjalan di tengah hutan belantara dan mereka
melewati beberapa tempat yang bernama Buluhawar,Bukum, dan tibalah mereka di
suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben berdekatan
dengan Bandar Baru mereka tinggal di situ beberapa bulan lamanya. Namun
karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih indah dari pada tempat
itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan menelusuri hutan. Akhirnya
mereka tiba di kaki gunung Barus.Dan melanjutkan perjalanan ke gunung Barus
tersebut. Mereka sangat senang melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk.
Mereka sangat senang dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu.
Tetapi Si Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia
melihat bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di
negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain. Keesokan
harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon "jabi-jabi" (sejenis pohon
beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang sebuah sungai,
untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali dengan selamat. Maka mereka juga
menyeberang sungai itu. Mereka menamai sungai itu Lau Biang, dan pada saat ini
sungai ini masih ada. Beberapa hari kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan
tanah yang terdapat di tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada
di negeri mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat
mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah yang
sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah pendiri
kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi Karo (Taneh
Karo).
BAB II

ISI

Dari perkawinan si Karo dengan Miansari lahir tujuh orang anak. Anak sulung
hingga anak keenam semuanya perempuan, yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik,
Pagit, Jile dan akhirnya lahirlah anak ketujuh adalah seorang anak laki-laki yang
diberikan nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga (penting) sebagai
penerus. Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari ayah
(pathrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari kata
diberu yang berarti perempuan. Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang
bernama Cimata. Tarlon merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini
Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang
namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:

a. Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo) telah
tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama leluhurnya
tidak hilang.

b. Ginting, anak kedua.

c. Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang


paling hitam diantara saudaranya.

d. Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir angin


berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).

e. Tarigan, anak bungsu.


Merga-merga dari Karo tersebut memiliki sub-sub merganya masing-masing
dan setiap sub-sub marga memiliki wilayah perrsebarannya serta sejarah
maupun legendanya masing-masing seperti :

1.Ginting

1. Ginting Ajartamabun ada di Rajamerahe


2. Ginting Babo ada di Gurubenua
3. Ginting Beras ada di Lau Petundal
4. Ginting Jadibata ada di Juhar
5. Ginting Jawak ada di Cingkes
6. Ginting Gurupatih ada di Buluhnaman, Sarimunte, Naga dan Lau
Kapur.
7. Ginting Garamata ( di Toba menjadi Simarmata) ada di Raja dan
Tongging
8. Ginting Munte ada di Kuta Bangun, Ajinembah, Kubu, Dokan,
Tongging, Munte, dan Raja Tengah.
Menurut cerita lisan Karo, Merga Ginting Munte berasal dari
Tongging, kemudian ke Becih dan Kuta Sanggar serta kemudian ke
Aji Nembah dan terakhir ke Munte. Sebagian dari merga Ginting
Munte telah pergi ke Toba (Nuemann 1972 : 1 kemudian sebagian
dari merga Munte dari Toba ini kembali lagi ke Karo.

9. Ginting Manik ada di Tongging dan Lingg. Ginting Manik menurut


cerita masih saudara dengan Ginting Munte. Merga ini berasal dari
Tongging terus ke Aji Nembah, ke Munte dan Kuta Bangun. Merga
Manik juga terdapat di Pak-pak dan Toba.
10.Ginting Pase (enggo masap /sudah Punah)
Ginting Pase menurut legenda sama dengan Ginting Munte.
Merga Pase juga ada di Pak-Pak, Toba dan Simalungun. Ginting Pase
dulunya mempunyai kerajaan di Pase dekat Sari Nembah sekarang.
11. Ginting Suka ada di Suka, Lingga Julu, Naman dan Berastepu
Menurut cerita lisan Ginting Suka berasal dari Kalasan (Pak-Pak),
kemudian berpindah ke Samosir, terus ke Tinjo dan kemudian ke
Guru Benua, di sana dikisahkan lahir Siwah Sada Ginting (Sembilan
Satu Ginting), yakni :
Ginting Babo, Ginting Sugihen, Ginting Guru Patih, Ginting Suka (ini
juga ada di Gayo/Alas), Ginting Beras, Ginting Bukit (juga ada di
Gayo/Alas), Ginting Garamata, Ginting Ajartambun dan Ginting
Jadidata.
12. Ginting Sugihen ada di Sugihen, Juhar dan Kuta Gugung.
13. Ginting Sinusinga ada di Singa
14. Ginting Saragih ada di Linggajulu.
Menurut J.H. Neumann (Nuemann 1972 : 10), Ginting Seragih
termasuk salah satu merga Ginting yang tua dan menyebar ke
Simalungun menjadi Saragih, di Toba menjadi Seragi.
15. Ginting Capah ada di Bukit dan Kalang.
16. Ginting Tumangger ada di Kidupen dan Kemkem.

1) Merga Perangin-angin
Merga Perangin-angin terbagi atas 18 sub merga, yakni :
1. Perangin-angin Benjerang ada di Batu karang.
2. Perangin-angin Bangun ada di Batu Karang. Alkisah Peranginangin
Bangun berasal dari Pematang Siantar, datang ke Bangun Mulia. Disana
mereka telah menemui Peranginangin Mano. Di Bangun Mulia terjadi
suatu peristiwa yang dihubungkan dengan Guru Pak-pak Pertandang Pitu
Sedalanen. Di mana dikatakan Guru Pak-pak menyihir (sakat) kampung
Bangun Mulia sehingga rumah-rumah saling berantuk (ersepah), kutu
anjing (kutu biang) mejadi sebesar anak babi. Mungkin pada waktu itu
terjadi gempa bumi di kampung itu. Akibatnya penduduk Bangun Mulia
pindah. Dari Bangun Mulia mereka pindah ke Tanah Lima Senina, yaitu
Batu Karang, Jandi Meriah, Selandi, Tapak, Kuda dan Penampen.
Bangun Penampen ini kemudian mendirikan kampung di Tanjung. Di
Batu Karang, merga ini telah menemukan merga Menjerang dan sampai
sekarang silaan di Batu Karang bernama Sigenderang. 
3. Perangin-angin Keliat ada di Mardingding. Menurut budayawan Karo,
Paulus Keliat, merga Keliat merupakan pecahan dari rumah Mbelin di
Batu Karang. Merga ini pernah memangku kerajaan di Barus Jahe,
sehingga sering juga disebut Keliat Sibayak Barus Jahe.
4. Perangin-angin Kacinambun ada di Kacinambun. Menurut cerita,
Peranginangin Kacinambun datang dari Sikodon-kodon ke Kacinambun.
5. Perangin-angin Laksa ada di Juhar.
6. Perangin-angin Mano ada di Pergendangen. Peranginangin Mano
tadinya berdiam di Bangun Mulia. Namun, Peranginangin Mano
sekarang berdiam di Gunung, anak laki-laki mereka dipanggil Ngundong.
7. Perangin-angin Namohaji ada di Kuta Buluh.
8. Perangin-angin Pencawan ada di Perbesi. Nama Pencawan berasal dari
Tawan, ini berkaitan dengan adanya perang urung dan kebiasaan
menawan orang pada waktu itu. Mereka pada waktu itu sering melakukan
penawanan-penawanan dan akhirnya disebut Pincawan.
9. Perangin-angin Perbesi ada di Seberaya.
10. Perangin-angin Penggarun ada di Susuk.
11. Perangin-angin Pinem ada di Sarintonu (Sidikalang).
12. Perangin-angin Sukatendel ada di Sukatendel.
13. Perangin-angin Sebayang ada di Perbesi, Kuala, Gunung dan
Kutagerat.
14. Perangin-angin Sinurat ada di Kerenda. Menurut cerita yang
dikemukakan oleh budayawan Karo bermarga Sinurat seperti Karang dan
Dautta, merga ini berasal dari Peranginangin Kuta Buloh. Ibunya beru
Sinulingga, dari Lingga bercerai dengan ayahnya lalu kawin dengan
merga Pincawan. Sinurat dibawa ke Perbesi menjadi juru tulis merga
Pincawan (Sinurat). Kemudian merga Pincawan khawatir merga Sinurat
akan menjadi Raja di Perbesi, lalu mengusirnya. Pergi dari Perbesi, ia
mendirikan kampung dekat Limang dan diberi nama sesuai perladangan
mereka di Kuta Buloh, yakni Kerenda.
15. Perangin-angin Singarimbun ada di Mardingding, Kutambaru dan
Temburun. Peranginangin Singarimbun menurut cerita budayawati Karo,
Seh Ate br Brahmana, berasal dari Simaribun di Simalungun. Ia pindah
dari sana berhubung berkelahi dengan saudaranya. Singarimbun kalah
adu ilmu dengan saudaranya tersebut lalu sampailah ia di Tanjung
Rimbun (Tanjong Pulo) sekarang. Disana ia menjadi gembala dan
kemudian menyebar ke Temburun, Mardingding, dan Tiga Nderket.
16. Perangin-angin Tanjung ada di Penampen dan Berastepu.
17. Perangin-angin Ulunjandi ada di Juhar.
18. Perangin-angin Uwir ada di Singgamanik.

3. Merga Sembiring
Merga Sembiring mempunyai 18 sub Merga dan terbagi lagi menjadi si
man biang ras simantangken biang, yakni:
I. Sembiring si man Biang (tidak boleh kawin-mengawini dengan lain-
lain sub merga Sembiring)
1. Sembiring Kembaren ada di Samperaya dan Urung Liang Melas.
2. Sembiring Kaloko ada di Pergendangen.
3. Sembiring Sinulaki ada di Silalahi.
4. Sembiring Sinupayung ada di Jumaraya dan Negeri.

II. Sembiring simantangken biang (ada dilakukan perkawinan antara sub


merga Sembiring)
1. Sembiring Brahmana ada di Kabanjahe, Perbesi dan Limang.
2. Sembiring Bunuhaji ada di Sukatepu, Kutatonggal, dan Beganding.
3. Sembiring Busuk ada di Kidupen dan Lau Perimbon.
4. Sembiring Depari ada di Seberaya, Perbesi dan Munte.
5. Sembiring Gurukinayan ada di Gurukinayan.
6. Sembiring Keling ada di Juhar dan Rajatengah.
7. Sembiring Meliala ada di Sarinembah, Munte, Raja Berneh, Kidupen,
Kabanjahe, Naman, Berastepu dan B. Nampe.
8. Sembiring Muham ada di Susuk dan Perbesi.
9. Sembiring Pandia ada di Seberaya, Payung dan Beganding.
10. Sembiring Pandebayang ada di Buluhnaman dan Gurusinga.
11. Sembiring Pelawi ada di Ajijahe, Perbaji, Kandibata dan Hamparan
Perak.
12. Sembiring Sinukapur ada di Pertumbuken, Sidikalang(?) dan
Sarintonu.
13. Sembiring Colia ada di Kubucolia dan Seberaya.
14. Sembiring Tekang ada di Kaban.
15.Sembiring Maha

4. Merga Tarigan
Marga Tarigan terbagi menjadi 13 sub Merga, yakni:
1. Tarigan Bondong ada di Lingga.
2. Tarigan Jampang ada di Pergendangen
3. Tarigan Gersang ada di Nagasaribu dan Berastepu.
4. Tarigan Gerneng ada di Cingkes.
5. Tarigan Gana-gana ada di Batukarang.
6. Tarigan Pekan ( cabang Tarigan Tambak) ada di Sukanalu.
7. Tarigan Purba ada di Purba.
8. Tarigan Sibero ada di Juhar, Kutaraja, Keriahen, Munte,
Tanjung Beringin, Selakkar dan Lingga.
9. Tarigan Silangit ada di Gunung Meriah.
10. Tarigan Tua ada di Pergendangen.
11. Tarigan Tambak ada di Pembayaken dan Sukanalu
12. Tarigan Tegur ada di Suka
13. Tarigan Tambun ada di Rangkut Besi, Binangara dan Sinaman

5. Merga Karo-Karo
Merga Karo-Karo terbagi atas 18 sub Merga, yaitu :
1. Karo-karo Barus ada di Barus Jahe
Merga Karo-Karo Barus menurut cerita berasal dari Baros
(Tapanuli Tengah). Nenek moyangnya Simbelang Pinggel (atau
Simbelang cuping) atau si telinga lebar. Nenek moyang merga
Karo-Karo Barus mengungsi ke Karo karena diusir kawan
sekampung akibat kawin sumbang (incest). Di Karo ia tinggal di
Aji Nembah dan diangkat saudara oleh merga Purba karena
mengawini impal merga Purba yang disebut Piring-piringen kalak
Purba. Itulah sebabnya mereka sering pula disebut Suka Piring.
2. Karo-karo Bukit ada di Bukit dan buluh nawar.
3. Karo-karo Jung ada di Kuta Nangka, Kalang, Perbesi dan Batu
karang.
4. karo-karo Gurusinga ada di Gurusinga dan Rajaberneh.
5. Karo-karo Kacaribu ada di Kuta Gerat dan Kerapat.
6. Karo-karo Ketaren ada di Raya, Ketaren, Sibolangit dan
Pertampilen.
7. Karo-karo Kaban ada di Kaban dan sumbul.
8. Karo-karo Kemit ada di Kutamale.
9. Karo-karo Purba ada di Kabanjahe, Berastagi dan Laucih.
Merga Karo-Karo Purba menurut cerita berasal dari Simalungun.
Dia disebutkan beristri dua orang, seorang puteri umang dan
seorang ular. Dari isteri umang lahirlah merga-merga :Purba,
Ketaren, Sinukaban, Karo Sekali. Sedangkan dari isteri ular
lahirlah merga-merga: Sinuraya, Sinuhaji, Jong, Kemit dan Bukit.
10. Karo-karo Surbakti ada di Surbakti dan Gajah. Submarga
Surbakti membagi diri menjadi Surbakti dan Gajah. Submarga ini
juga kemudian sebagian menjadi marga Torong. Ada yang
meyakini leluhur marga ini awalnya adalah marga Gajah di tanah
Pakpak, dan hal itulah yang melatarbelakangi keturunannya yang
pindah ke tanah Karo mendirikan kampung bernama Gajah.
11. Karo-karo Sinukaban ada di Pernantin, Kabantua, Bt. Merih,
Buluh Naman dan Lau Lingga.
12. Karo-karo Sinulingga ada di Lingga dan Gunung Merlawan.
Merga ini berasal dari Lingga Raja di Pakpak.
13. Karo-karo Sinubulan ada di Bulanjulu dan bulan jahe.
14. Karo-karo Sinuhaji ada di Aji Siempat.
15. Karo-karo Sekali ada di Seberaya.
16. Karo-karo Sinuraya ada di Bunuraya, Singgamanik dan
Kandibata. Submarga Sinuraya berasal dari Angkat di Suak
Keppas, tanah Pakpak. Submarga ini bersaudara dengan Sinuhaji,
keduanya lahir kembar. Submarga ini mendirikan kampung
Bunuraya dan Singgamanik. Sinuraya Bunuraya sebagian pindah
ke Mulawari dan Sigenderang, sedangkan Sinuraya Singgamanik
sebagian pindah ke Kandibata dan Jeraya.
17. Karo-karo Samura ada di Samura. Samura adalah marga
turunan dari  Karo-karo Ujung
18. Karo-karo Sitepu ada di Naman dan Sukanalu. Marga Sitepu
menurut legenda berasal dari Sihotang (Toba), yang kemudian
pindah ke Ogungogung. Marga ini pindah terus ke Beras Tepu,
Naman, Beganding, dan Sukanalu. Ada juga sebagian submarga
Sitepu yang menyebar ke daerah Langkat, seperti Kuta Tepu.

Sapo Karo di Kuta Raja (Banda Aceh)

Sejarah Merga Sinulingga

Sinulingga merupakan salah satu sub merga dari suku Karo yaitu Merga
Karo-karo. Merga Sinulingga berasal dari Lingga Raja di daerah Pakpak. Ditanah
Pakpak dulu ada seorang raja yg terkenal di kampung Linggaraja atau sekarang
dinamakan Sumbul Pegagan Dairi. Menurut sejarahnya maka Sibayak tersebut
menjadi raja di linggaraja karena memiliki kesaktian dan ahli berperang yang telah
mengalahkan musuh yaitu Marga Munthe sbg pemilik tanah didaerah
tersebut.Sifatnya yg suka mengembara maka dia pun minta pergi kepada marga
Munthe tersebut,akan tetapi karena selama diana dia telah membantu marga
Munthe maka dia dikawinkan dengan beru Munthe agar dia tidak jadi pergi dan ia
mempunyai beberapa anak. Bahkan ia pun kemudian diangkat oleh marga Munthe
menjadi raja mereka, dan lama kelamaan karena Lingga menjadi raja, maka orang-
orang menyebut kampung itu menjadi kampung LINGGA RAJA yang kemudian
menjadi terkenal dan disegani

Pada suatu hari raja sakit keras dan walaupun sudah beberapa orang dukun
mengobatinya namun tetap saja tak kunjung sembuh penyakitnya malahan semakin
hari semakin bertambah parah, sehingga telah menjadi perhatian kaum kerabat dan
rakyatnya yang membuat semuanya ikut kesusahan hati. Pada suatu hari
singgahlah di Linggaraja guru pakpak ercikenken tongkat malekat, erpustakaken
pustaka Najati(memakai tongkat malaikat dan membawa buku Kitab) yang
terkenal dapat mengobati segala macam penyakit. Kepadanya diminta pertolongan
untuk mengobati raja.Lalu dukun membuka pustaka dan membacanya dan melihat
nujumnya maka berkatalah ia kepada raja ,maka raja dapat sembuh apabila
diadakan perselihi dan bukan sembarang perselihi yaitu dengan membuang harta
yang paling disayangi raja bersama istrinya. Bergembiralah mereka karena
mendengar raja dapat sembuh, maka dikumpulkan dan ditunjukkan semua hartanya
yang disayanginya, tetapi semua yang diperlihatkan tidak satupun sesuai dengan
permintaan dukun. Dan ternyata yang dimaksud dukun adalah putranya namun
tentunya dukun tidak sampai hati mengutarakan syaratnya tersebut. Raja
memanggil anak-anaknya untuk bermusyawarah tentang hal tersebut dan mereka
tidak berkecil hati dan tidak menolak kalau salah satu dari mereka diantaranya
menjadi perselihi untuk kesembuhan dari ayah mereka. Dari semua anak raja maka
sibungsulah menurut dukun menjadi perselihi raja. Diadakanlah upacara dengan
diberi makan diatas ujung daun pisang yg sudah dibubuhi makanan buat perselihi
yaitu pisang,bunga-bunga,dan sebagainya. Sewaktu hendak pergi raja berkata:
pergilah engkau dengan selamat dan bawalah tanah segenggam dan air setabu ini
kemana tempat yang sesuai menurutmu hendaklah kau timbang dengan tanah air
yang kau bawa dan semoga engkau memperoleh keturunan seperti bintang dilangit
banyaknya .Berangkatlah si bungsu dan sepeninggal nya 3 hari kemudian Raja,
ayahnya sudah lebih baik lagi. Karena itu putri raja mengingatkan putra tertua
untuk menyusul adiknya dan supaya diminta pulang, karena mereka sangat
khawatir dengan keselamatan sibungsu. Putra tertua mengambil kudanya dan
menungganginya untuk memacu ke arah adiknya pergi, dan akhirnya mereka
bertemu dan disampaikan putra tertua agar adiknya mau ikut dengannya kembali
ke Linggaraja dan mengabarkan jika ayah mereka sudah sembuh. Akan tetapi
sibungsu menolaknya. Putra tertua menawarkan agar mereka bersama-sama
mengembara namun juga ditolak oleh sibungsu dan memberi alasan jika dia lebih
suka mengembara sendiri karena yang terpenting baginya adalah raja bisa sembuh.
Akhirnya keduanya tak mau kembali dan mencari jalan masing-masing. Tempat
mereka bertemu itu sekarang menjadi sebuah desa bernama Tapak Kuda.

Sibungsu meneruskan perjalanannya dan sampailah ia di hutan Kuta Suah


Lembah Uruk Gung Mbelin dekat kampung Lingga sekarang.Disini ia
mendapatkan 3 orang anak laki-laki, yaitu: Tembe, Cibu dan Sirubati dan seorang
anak perempuan yaitu Tambarmalem. Si Tembe tetap di Lingga,kemudian
memiliki keturunan membentuk rumah lalu keturunen Cibu membentuk kampung
Kaciribu kearah timur menjadi kampung sendiri dan kemudian jadi sebuah marga
yaitu Kacaribu. Sirubati membentuk kampung dan menjadi merga dinamai menjadi
Desa yang disebut Desa Surbakti.

Sedangkan Sinulingga sendiri adalah salah satu dari keturunan si Bungsu


yaitu Tembe yang telah membentuk desa di daerah Tanah Karo dan membuat
marganya menjadi Marga Sinulingga.

A. KEBUDAYAAN SUKU KARO

1. Rumah Adat Suku Karo


Rumah adat Suku Karo yang paling terkenal adalah rumah adat Si
Waluh Jabu. Namun di Suku Karo sendiri memiliki beberapa jenis
rumah adat seperti :

a) Gerga, adalah tempat tinggal sang Raja yang penuh dengan motif


ukiran penuh makna.
b) Belang Ayo, memiliki bentuk yang mirip dengan Gerga, sehingga
kadang Belang Ayo dianggap sama dengan Gerga.
c) Si Waluh Jabu, artinya "delapan rumah" atau makna sebenarnya
berarti delapan keluarga yang tinggal dalam satu rumah dan masih
ada ikatan kekerabatan. Rumah adat Si Waluh Jabu adalah nama
lain dari Gerga atau Belang Ayo. Rumah adat Si Waluh Jabu ini
yang paling banyak masih bisa ditemui di beberapa wilayah adat
Taneh Karo.
d) Sepulu Jabu, artinya dalam satu rumah terdiri dari 10 keluarga
dalam satu rumah dan masih ada ikatan kekerabatan. Berukuran
lebih besar dari Si Waluh Jabu.
e) Sepulu Dua Jabu, di dalamnya terdapat 12 keluarga dalam satu
rumah dan masih ada ikatan kekerabatan. Tidak memiliki kamar
seperti Rumah Adat Si Waluh Jabu dan Sepuluh Jabu.
f) Sepulu Enem Jabu, mungkin merupakan Rumah Adat tertinggi di
Indonesia. Di huni oleh 16 keluarga dalam satu kekerabatan.
Karena Sepuluenem Jabu ini adalah Rumah Adat Karo yang
terbesar, kemungkinan Sepuluenem Jabu ini bisa saja merupakan
suatu Istana Kerajaan orang Karo yang dihuni oleh para keluarga
Kerajaan di masa lalu.
g) Si Enem Jabu, rumah adat yang berukuran lebih kecil dari si
Waluh Jabu, dan dihuni oleh 6 keluarga dalam satu kekerabatan.
h) Si Empat Jabu, rumah adat yang berukuran paling kecil, dan dihuni
oleh 4 keluarga dalam satu kekerabatan.
i) Jambur, adalah suatu Balai Pertemuan Adat. Bangunan berbentuk
rumah adat Karo dengan atap ijuk, merupakan tempat pelaksanaan
acara-acara adat (adat perkawinan, adat dukacita) dan kegiatan-
kegiatan masyarakat lainnya. Jambur juga digunakan untuk tempat
anak muda tidur. Para pemuda bertanggung jawab atas keamanan
kampung mereka. Para pemuda tidak pantas tidur bersama
orangtuanya dalam satu kelambu yang disekat-sekat dan sempit.
Oleh karena itu para pemuda tidur di Jambur. Selain itu Jambur
juga menjadi sarana bagi pemuda desa lain menginap jika
kemalaman dalam perjalanan, atau pemuda yang datang
bertandang untuk melihat pujaan hatinya yang disebut naki-naki.
j) Griten (Geriten), bangunan adat tempat menyimpan tengkorak
keluarga yang telah meninggal. Terdiri dari 2 tingkat dan
berbentuk panggung, berdiri di atas tiang penyangga bangunan.
k) Sapo Page, artinya lumbung padi. Bentuk seperti rumah adat.
Berada di halaman depan rumah adat. Sama dengan Geriten, Sapo
Page terdiri dari dua tingkat dan berdiri di atas tiang. Lantai bawah
tidak berdinding. Ruang ini digunakan untuk tempat duduk-duduk,
beristirahat dan sebagai ruang tamu. Lantai bagian atas berfungsi
untuk menyimpan padi.

Gerga Sepulu Dua Jabu

Si Waluh Jabu Sapo Page


2.Tradisi Suku Karo
 Merdang Merdem = "Kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro
aron".

 Mahpah = "Kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".


 Mengket Rumah Mbaru - Pesta perayaan memasuki rumah (adat/ibadat)
baru.
 Mbesur-mbesuri - "Mengenyangkan" memberi makan untuk wanita yang
hamil 7 bulan, dengan harapan memenuhi keinginannya sebelum
melahirkan.
 Cawir Metua = Upacara adat/ritual kematian
 Ndilo Udan - Memanggil hujan.
 Rebu-rebu - Mirip dengan pesta "kerja tahun".
 Ngumbung - Hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).
 Erpangir Ku Lau - Penyucian diri (untuk membuang sial).
 Raleng Tendi - "Ngicik Tendi" , yaitu memanggil jiwa setelah seseorang
kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-
sangka.
 Motong Rambai - Pesta kecil keluarga - handai taulan untuk
memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapih.
 Ngaloken Cincin Upah Tendi - Upacara keluarga pemberian cincin
permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke
Permain).
 Manok Sangkepi
 Mbaba Belo Selambar (MBS) - rangkaian ritus Pernikahan adat Karo
 Ngaloken Rawit - Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau
belati atau clurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari
Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.

3.Tarian Suku Karo

1. Tari Ndurung
Zaman dahulu kala, di dataran tinggi Karo tinggalah seorang raja dengan istrinya
beserta putri mereka yang sangat cantik. Pada suatu hari, putri raja sakit. Maka ratu
menanyakan putrinya apa yang diinginkannya supaya dia cepat sembuh, kemudian
putri raja tersebut mengatakan bahwa dia menginginkan seekor ikan dari
perkebunan padi dan buah palma. Setelah itu raja memerintahkan rakyat supaya
mencari apa yang diinginkan putrinya. Tarian ini menggambarkan bagaimana
masyarakat Karo melakukan kegiatan mereka sehari-hari seperti bekerja di
perkebunan padi, di lapangan dan mengambil buah palma dari hutan.

2. Tari Ndikkar
Ndikkar adalah bentuk pertahanan diri tradisional Karo atau Pencak Silat yang
tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan kebudayaan masyarakat Karo.
Ndikkar memiliki ciri-ciri : gerakan yang sangat lambat dan lembut tetapi di saat-
saat tertentu gerakan tarian ini akan terlihat keras dan cepat. Khususnya
masyarakat Karo, mereka mempelajari Pencak Silat hanya untuk pertahanan diri
sendiri, tetapi sekarang tarian Ndikkar sebagian besar telah menjadi tarian
kebudayaan.

3. Tari Baka
Zaman dahulu kala, masyarakat di dataran tinggi Karo masih mengandalkan orang
pintar atau paranormal. Hampir semua masalah yang ada disampaikan kepada
orang pintar atau paranormal. Khususnya untuk masalah penyakit, masyarakat
akan membawanya kepada orang pintar untuk disembuhkan. Dalam proses
penyembuhannya orang pintar atau paranormal menggunakan sebuah keranjang
dan mangkok khusus untuk tempat ramuan-ramuan obat. Oleh karena itu tarian ini
menggambarkan bagaimana orang pintar atau paranormal tersebut menyembuhkan
orang yang sakit.

4. Tari Tongkat
Beberapa tahun yang lalu masyarakat Karo masih mempercayai adanya kekuatan
gaib dan roh halus. Dalam beberapa kegiatan kebudayaan, manusia yang memiliki
ilmu gaib masih berperan penting untuk berhubungan dengan roh-roh halus. Tari
Tongkat ini menggambarkan bagaimana manusia yang memiliki ilmu gaib ini
mengusir roh-roh jahat yang masuk ke suatu tempat di pedesaan. Manusia tersebut
menggunakan sebuah tongkat khusus yang disebut tongkat malaikat dan tongkat
panaluan.

4.Pakaian Adat Suku Karo

Baju adat Karo biasanya terbuat dari pintalan kapas yang disebut Uis Gara. Uis
gara memiliki arti kain merah yang biasanya ditenun dengan campuran warna
hitam atauun putih. Motif pada uis gara ini ditenun dari benang emas ataupun
perak. Hal tersebut dimaksudkan agar motif tetap terlihat pada kain gara. Untuk
pakaian sehari-hari, uis gara lah yang digunakan oleh masyarakat suku karo.

Kemewahan antara perpaduan warna baju dengan hiasan emas merupakan ciri khas
baju adat batak karo. Baik pria maupun wanita, mereka wajib menggunakan
perhiasaan emas diseluruh tubunya ketika memakai baju adat karo. Dan tak lupa
juga hiasan kepala bagi wanita dan pria seperti suku batak lainnya.

5.Alat Musik Suku Karo

Secara umum musik Karo terdiri dari sarunei (alat musik tiup), kulcapi (alat musik
petik), gendang indung dan gendang anak yang berbentuk tabung kecil
memanjang, dan dua gong (gong besar dan gong kecil) Ensambel itu dipadu
dengan seorang penyanyi yang disebut perkolong-kolong, membawakan kisah-
kisah tentang apa saja, sesuai dengan tema acara adat.
1. Kulcapi

Kulcapi merupakan alat musik tradisional budaya Karo. Kulcapi hampir sama
dengan gitar akustik biasa. Yang membedakanya, Kulcapi hanya mempunyai 2
senar (1 dan 2).
Kulcapi tebuat dari bahan dasar kayu yang di ukir sedemikian rupa hingga
menghasilkan suara yang harmoni.
Alat musik Kulcapi berfungsi sebagai melodi yang selalu dihadirkan pada acara
hiburan rakyat daerah.
Dahulu kala senarnya terbuat dari akar pohon aren (enau) namun sekarang telah
diganti senar metal dan juga tunning peg-nya juga telah diganti menjadi tunning
peg gitar modern yang dahulunya menggunakan pohon bambu/kayu sehingga cara
menyetemnya harus dengan cara menarik dahulu sumbatan setem tersebut lalu
disetem. Langkup Kulcapi (bagian depan resonator Kulcapi) tidak terdapat lobang
resonator, justru lobang resonator (disebut babah) terdapat pada bagian belakang
Kulcapi.
2. Keteng-Keteng

Keteng-keteng adalah alat musik pukul tradisional Suku Karo dari Sumatera Utara
(Sumut) yang berbahan dasar dari bambu. Keteng-Keteng memiliki panjang sekitar
setengah meter dan memiliki senar yang terbuat dari kulit bambu itu sendiri. Alat
pemukul keteng-keteng juga terbuat dari potongan bambu dan terdiri dari dua
buah.
Cara memainkan alat ini sangat sederhana seperti layaknya memukul alat musik
drum. Dilihat dari segi fungsingnya, dulunya alat musik ini kerap dimainkan dalam
konteks ansambel gendang telu sendalanen sebagai media dalam upacara Erpangir
Ku Lau oleh masyarakat Karo.
Bekalangan, alat musik ini juga sering dimainkan dalam berbagai pertunjukan
dengan tujuan hanya sebagai hiburan belaka.
3. Sarune

Alat musik tradisional karo ini dimainkan dengan cara ditiup. Teknik bermain
Sarune batak Karo ini sama dengan teknik bermain Sarune Batak Toba. Hanya saja
penamaan yang berbeda. Pada masyarakat batak Karo bukan mengunakan istilah
“pulunama”.
Walaupun seperti itu, tetapi tetap saja memiliki arti yang sama. Alat musik ini
adalah sebagai pembawa melodi dalam ansambel gendang “lima sidalanen” atau
ansambel “gendang sarung.

Anda mungkin juga menyukai