DISUSUN OLEH:
1. BRAMJA BRAHMANA SEMBIRING
(NIM:2205052050)
2. TOMY BASTANTA
TARIGAN(NIM:2205052064)
3. BAGUS
RAMADHAN(NIM:2205052046)
BAB I
PEMBAHASAN
Menurut Kol.Sempa Sitepu dalam buku “Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh
Suku Karo Indonesia” menuliskan bahwasannya Suku Karo bukan berasal dari si
Raja Batak ini juga berdasarkan dari cerita turun temurun dan di dengar oleh beliau
dari kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838. Menurutnya leluhur etnis Karo
berasal dari India Selatan yang berbatasan dengan Myanmar. Secara ringkas
Sempa Sitepu meringkaskan bahwa pada awalnya seorang maharaja yang sangat
kaya, sakti dan berwibawa memiliki seorang panglima yang disegani oleh semua
orang dan nama panglima tersebut adalah Karo keturunan India. Suatu hari
maharaja ingin pergi untuk mencari tempat baru dan mendirikan kerajaan yang
baru dia mengajak pasukannya dan putrinya yang bernama Miansari. Maharaja
kemudian membagi pasukannya menjadi beberapa kelompok dan Miansari
memilih untuk bergabung dengan panglima perang. Mereka mulai berlayar dan
tibalah di sebuh pulau yang bernama Pulau Pinang mereka tinggal untuk beberapa
bulan. Suatu hari maharaja memandang ke arah selatan dan memandang sebuah
pulau yang lebih bagus lagi lalu ia berniat untuk menyeberang ke pulau tersebut.
Dalam perjalanan mereka menyebrang ke pulau tersebut, mereka terkena angin
ribut dan ombak yang sangat besar hingga mereka terpisah-pisah. Miansari dan
panglima beserta rombongannya terdampar di sebuah pulau dan maharaja juga
tidak mengetahui keberadaan mereka. Mereka berangkat dan membawa dua orang
dayang dan tiga orang pengawal. Mereka berjalan mengikuti aliran sungai dan
mencari tempat untuk bersembunyi dengan aman. Mereka berdiam di suatu pulau
dan terjadilah peristiwa yang penting yaitu panglima dan Miansari menikah
disaksiakan oleh pengawal dan prajurit mereka. Lalu mereka mulai meanjutkan
perjalanan untuk mencari tempat yang lebih aman yaitu Perca(Sumatra) dan tempat
itu sekarang bernama Belawan. Dari tempat itu mereka melanjutkan perjalanan dan
tibalah di suatu tempat yang sekarang disebut Durin Tani, disana terdapat sebuah
gua yakni Gua Umang.
Gua(rumah) Umang yang banyak ditemukan di wilayah -wilayah
Karo diyakini tempat tinggal manusia Purba.
Mereka lalu pergi lagi untuk mencari tempat yang lebih aman lagi, setelah
beberapa hari lamanya mereka berjalan di tengah hutan belantara dan mereka
melewati beberapa tempat yang bernama Buluhawar,Bukum, dan tibalah mereka di
suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben berdekatan
dengan Bandar Baru mereka tinggal di situ beberapa bulan lamanya. Namun
karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih indah dari pada tempat
itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan menelusuri hutan. Akhirnya
mereka tiba di kaki gunung Barus.Dan melanjutkan perjalanan ke gunung Barus
tersebut. Mereka sangat senang melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk.
Mereka sangat senang dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu.
Tetapi Si Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia
melihat bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di
negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain. Keesokan
harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon "jabi-jabi" (sejenis pohon
beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang sebuah sungai,
untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali dengan selamat. Maka mereka juga
menyeberang sungai itu. Mereka menamai sungai itu Lau Biang, dan pada saat ini
sungai ini masih ada. Beberapa hari kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan
tanah yang terdapat di tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada
di negeri mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat
mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah yang
sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah pendiri
kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi Karo (Taneh
Karo).
BAB II
ISI
Dari perkawinan si Karo dengan Miansari lahir tujuh orang anak. Anak sulung
hingga anak keenam semuanya perempuan, yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik,
Pagit, Jile dan akhirnya lahirlah anak ketujuh adalah seorang anak laki-laki yang
diberikan nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga (penting) sebagai
penerus. Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari ayah
(pathrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari kata
diberu yang berarti perempuan. Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang
bernama Cimata. Tarlon merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini
Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang
namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:
a. Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo) telah
tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama leluhurnya
tidak hilang.
1.Ginting
1) Merga Perangin-angin
Merga Perangin-angin terbagi atas 18 sub merga, yakni :
1. Perangin-angin Benjerang ada di Batu karang.
2. Perangin-angin Bangun ada di Batu Karang. Alkisah Peranginangin
Bangun berasal dari Pematang Siantar, datang ke Bangun Mulia. Disana
mereka telah menemui Peranginangin Mano. Di Bangun Mulia terjadi
suatu peristiwa yang dihubungkan dengan Guru Pak-pak Pertandang Pitu
Sedalanen. Di mana dikatakan Guru Pak-pak menyihir (sakat) kampung
Bangun Mulia sehingga rumah-rumah saling berantuk (ersepah), kutu
anjing (kutu biang) mejadi sebesar anak babi. Mungkin pada waktu itu
terjadi gempa bumi di kampung itu. Akibatnya penduduk Bangun Mulia
pindah. Dari Bangun Mulia mereka pindah ke Tanah Lima Senina, yaitu
Batu Karang, Jandi Meriah, Selandi, Tapak, Kuda dan Penampen.
Bangun Penampen ini kemudian mendirikan kampung di Tanjung. Di
Batu Karang, merga ini telah menemukan merga Menjerang dan sampai
sekarang silaan di Batu Karang bernama Sigenderang.
3. Perangin-angin Keliat ada di Mardingding. Menurut budayawan Karo,
Paulus Keliat, merga Keliat merupakan pecahan dari rumah Mbelin di
Batu Karang. Merga ini pernah memangku kerajaan di Barus Jahe,
sehingga sering juga disebut Keliat Sibayak Barus Jahe.
4. Perangin-angin Kacinambun ada di Kacinambun. Menurut cerita,
Peranginangin Kacinambun datang dari Sikodon-kodon ke Kacinambun.
5. Perangin-angin Laksa ada di Juhar.
6. Perangin-angin Mano ada di Pergendangen. Peranginangin Mano
tadinya berdiam di Bangun Mulia. Namun, Peranginangin Mano
sekarang berdiam di Gunung, anak laki-laki mereka dipanggil Ngundong.
7. Perangin-angin Namohaji ada di Kuta Buluh.
8. Perangin-angin Pencawan ada di Perbesi. Nama Pencawan berasal dari
Tawan, ini berkaitan dengan adanya perang urung dan kebiasaan
menawan orang pada waktu itu. Mereka pada waktu itu sering melakukan
penawanan-penawanan dan akhirnya disebut Pincawan.
9. Perangin-angin Perbesi ada di Seberaya.
10. Perangin-angin Penggarun ada di Susuk.
11. Perangin-angin Pinem ada di Sarintonu (Sidikalang).
12. Perangin-angin Sukatendel ada di Sukatendel.
13. Perangin-angin Sebayang ada di Perbesi, Kuala, Gunung dan
Kutagerat.
14. Perangin-angin Sinurat ada di Kerenda. Menurut cerita yang
dikemukakan oleh budayawan Karo bermarga Sinurat seperti Karang dan
Dautta, merga ini berasal dari Peranginangin Kuta Buloh. Ibunya beru
Sinulingga, dari Lingga bercerai dengan ayahnya lalu kawin dengan
merga Pincawan. Sinurat dibawa ke Perbesi menjadi juru tulis merga
Pincawan (Sinurat). Kemudian merga Pincawan khawatir merga Sinurat
akan menjadi Raja di Perbesi, lalu mengusirnya. Pergi dari Perbesi, ia
mendirikan kampung dekat Limang dan diberi nama sesuai perladangan
mereka di Kuta Buloh, yakni Kerenda.
15. Perangin-angin Singarimbun ada di Mardingding, Kutambaru dan
Temburun. Peranginangin Singarimbun menurut cerita budayawati Karo,
Seh Ate br Brahmana, berasal dari Simaribun di Simalungun. Ia pindah
dari sana berhubung berkelahi dengan saudaranya. Singarimbun kalah
adu ilmu dengan saudaranya tersebut lalu sampailah ia di Tanjung
Rimbun (Tanjong Pulo) sekarang. Disana ia menjadi gembala dan
kemudian menyebar ke Temburun, Mardingding, dan Tiga Nderket.
16. Perangin-angin Tanjung ada di Penampen dan Berastepu.
17. Perangin-angin Ulunjandi ada di Juhar.
18. Perangin-angin Uwir ada di Singgamanik.
3. Merga Sembiring
Merga Sembiring mempunyai 18 sub Merga dan terbagi lagi menjadi si
man biang ras simantangken biang, yakni:
I. Sembiring si man Biang (tidak boleh kawin-mengawini dengan lain-
lain sub merga Sembiring)
1. Sembiring Kembaren ada di Samperaya dan Urung Liang Melas.
2. Sembiring Kaloko ada di Pergendangen.
3. Sembiring Sinulaki ada di Silalahi.
4. Sembiring Sinupayung ada di Jumaraya dan Negeri.
4. Merga Tarigan
Marga Tarigan terbagi menjadi 13 sub Merga, yakni:
1. Tarigan Bondong ada di Lingga.
2. Tarigan Jampang ada di Pergendangen
3. Tarigan Gersang ada di Nagasaribu dan Berastepu.
4. Tarigan Gerneng ada di Cingkes.
5. Tarigan Gana-gana ada di Batukarang.
6. Tarigan Pekan ( cabang Tarigan Tambak) ada di Sukanalu.
7. Tarigan Purba ada di Purba.
8. Tarigan Sibero ada di Juhar, Kutaraja, Keriahen, Munte,
Tanjung Beringin, Selakkar dan Lingga.
9. Tarigan Silangit ada di Gunung Meriah.
10. Tarigan Tua ada di Pergendangen.
11. Tarigan Tambak ada di Pembayaken dan Sukanalu
12. Tarigan Tegur ada di Suka
13. Tarigan Tambun ada di Rangkut Besi, Binangara dan Sinaman
5. Merga Karo-Karo
Merga Karo-Karo terbagi atas 18 sub Merga, yaitu :
1. Karo-karo Barus ada di Barus Jahe
Merga Karo-Karo Barus menurut cerita berasal dari Baros
(Tapanuli Tengah). Nenek moyangnya Simbelang Pinggel (atau
Simbelang cuping) atau si telinga lebar. Nenek moyang merga
Karo-Karo Barus mengungsi ke Karo karena diusir kawan
sekampung akibat kawin sumbang (incest). Di Karo ia tinggal di
Aji Nembah dan diangkat saudara oleh merga Purba karena
mengawini impal merga Purba yang disebut Piring-piringen kalak
Purba. Itulah sebabnya mereka sering pula disebut Suka Piring.
2. Karo-karo Bukit ada di Bukit dan buluh nawar.
3. Karo-karo Jung ada di Kuta Nangka, Kalang, Perbesi dan Batu
karang.
4. karo-karo Gurusinga ada di Gurusinga dan Rajaberneh.
5. Karo-karo Kacaribu ada di Kuta Gerat dan Kerapat.
6. Karo-karo Ketaren ada di Raya, Ketaren, Sibolangit dan
Pertampilen.
7. Karo-karo Kaban ada di Kaban dan sumbul.
8. Karo-karo Kemit ada di Kutamale.
9. Karo-karo Purba ada di Kabanjahe, Berastagi dan Laucih.
Merga Karo-Karo Purba menurut cerita berasal dari Simalungun.
Dia disebutkan beristri dua orang, seorang puteri umang dan
seorang ular. Dari isteri umang lahirlah merga-merga :Purba,
Ketaren, Sinukaban, Karo Sekali. Sedangkan dari isteri ular
lahirlah merga-merga: Sinuraya, Sinuhaji, Jong, Kemit dan Bukit.
10. Karo-karo Surbakti ada di Surbakti dan Gajah. Submarga
Surbakti membagi diri menjadi Surbakti dan Gajah. Submarga ini
juga kemudian sebagian menjadi marga Torong. Ada yang
meyakini leluhur marga ini awalnya adalah marga Gajah di tanah
Pakpak, dan hal itulah yang melatarbelakangi keturunannya yang
pindah ke tanah Karo mendirikan kampung bernama Gajah.
11. Karo-karo Sinukaban ada di Pernantin, Kabantua, Bt. Merih,
Buluh Naman dan Lau Lingga.
12. Karo-karo Sinulingga ada di Lingga dan Gunung Merlawan.
Merga ini berasal dari Lingga Raja di Pakpak.
13. Karo-karo Sinubulan ada di Bulanjulu dan bulan jahe.
14. Karo-karo Sinuhaji ada di Aji Siempat.
15. Karo-karo Sekali ada di Seberaya.
16. Karo-karo Sinuraya ada di Bunuraya, Singgamanik dan
Kandibata. Submarga Sinuraya berasal dari Angkat di Suak
Keppas, tanah Pakpak. Submarga ini bersaudara dengan Sinuhaji,
keduanya lahir kembar. Submarga ini mendirikan kampung
Bunuraya dan Singgamanik. Sinuraya Bunuraya sebagian pindah
ke Mulawari dan Sigenderang, sedangkan Sinuraya Singgamanik
sebagian pindah ke Kandibata dan Jeraya.
17. Karo-karo Samura ada di Samura. Samura adalah marga
turunan dari Karo-karo Ujung
18. Karo-karo Sitepu ada di Naman dan Sukanalu. Marga Sitepu
menurut legenda berasal dari Sihotang (Toba), yang kemudian
pindah ke Ogungogung. Marga ini pindah terus ke Beras Tepu,
Naman, Beganding, dan Sukanalu. Ada juga sebagian submarga
Sitepu yang menyebar ke daerah Langkat, seperti Kuta Tepu.
Sinulingga merupakan salah satu sub merga dari suku Karo yaitu Merga
Karo-karo. Merga Sinulingga berasal dari Lingga Raja di daerah Pakpak. Ditanah
Pakpak dulu ada seorang raja yg terkenal di kampung Linggaraja atau sekarang
dinamakan Sumbul Pegagan Dairi. Menurut sejarahnya maka Sibayak tersebut
menjadi raja di linggaraja karena memiliki kesaktian dan ahli berperang yang telah
mengalahkan musuh yaitu Marga Munthe sbg pemilik tanah didaerah
tersebut.Sifatnya yg suka mengembara maka dia pun minta pergi kepada marga
Munthe tersebut,akan tetapi karena selama diana dia telah membantu marga
Munthe maka dia dikawinkan dengan beru Munthe agar dia tidak jadi pergi dan ia
mempunyai beberapa anak. Bahkan ia pun kemudian diangkat oleh marga Munthe
menjadi raja mereka, dan lama kelamaan karena Lingga menjadi raja, maka orang-
orang menyebut kampung itu menjadi kampung LINGGA RAJA yang kemudian
menjadi terkenal dan disegani
Pada suatu hari raja sakit keras dan walaupun sudah beberapa orang dukun
mengobatinya namun tetap saja tak kunjung sembuh penyakitnya malahan semakin
hari semakin bertambah parah, sehingga telah menjadi perhatian kaum kerabat dan
rakyatnya yang membuat semuanya ikut kesusahan hati. Pada suatu hari
singgahlah di Linggaraja guru pakpak ercikenken tongkat malekat, erpustakaken
pustaka Najati(memakai tongkat malaikat dan membawa buku Kitab) yang
terkenal dapat mengobati segala macam penyakit. Kepadanya diminta pertolongan
untuk mengobati raja.Lalu dukun membuka pustaka dan membacanya dan melihat
nujumnya maka berkatalah ia kepada raja ,maka raja dapat sembuh apabila
diadakan perselihi dan bukan sembarang perselihi yaitu dengan membuang harta
yang paling disayangi raja bersama istrinya. Bergembiralah mereka karena
mendengar raja dapat sembuh, maka dikumpulkan dan ditunjukkan semua hartanya
yang disayanginya, tetapi semua yang diperlihatkan tidak satupun sesuai dengan
permintaan dukun. Dan ternyata yang dimaksud dukun adalah putranya namun
tentunya dukun tidak sampai hati mengutarakan syaratnya tersebut. Raja
memanggil anak-anaknya untuk bermusyawarah tentang hal tersebut dan mereka
tidak berkecil hati dan tidak menolak kalau salah satu dari mereka diantaranya
menjadi perselihi untuk kesembuhan dari ayah mereka. Dari semua anak raja maka
sibungsulah menurut dukun menjadi perselihi raja. Diadakanlah upacara dengan
diberi makan diatas ujung daun pisang yg sudah dibubuhi makanan buat perselihi
yaitu pisang,bunga-bunga,dan sebagainya. Sewaktu hendak pergi raja berkata:
pergilah engkau dengan selamat dan bawalah tanah segenggam dan air setabu ini
kemana tempat yang sesuai menurutmu hendaklah kau timbang dengan tanah air
yang kau bawa dan semoga engkau memperoleh keturunan seperti bintang dilangit
banyaknya .Berangkatlah si bungsu dan sepeninggal nya 3 hari kemudian Raja,
ayahnya sudah lebih baik lagi. Karena itu putri raja mengingatkan putra tertua
untuk menyusul adiknya dan supaya diminta pulang, karena mereka sangat
khawatir dengan keselamatan sibungsu. Putra tertua mengambil kudanya dan
menungganginya untuk memacu ke arah adiknya pergi, dan akhirnya mereka
bertemu dan disampaikan putra tertua agar adiknya mau ikut dengannya kembali
ke Linggaraja dan mengabarkan jika ayah mereka sudah sembuh. Akan tetapi
sibungsu menolaknya. Putra tertua menawarkan agar mereka bersama-sama
mengembara namun juga ditolak oleh sibungsu dan memberi alasan jika dia lebih
suka mengembara sendiri karena yang terpenting baginya adalah raja bisa sembuh.
Akhirnya keduanya tak mau kembali dan mencari jalan masing-masing. Tempat
mereka bertemu itu sekarang menjadi sebuah desa bernama Tapak Kuda.
1. Tari Ndurung
Zaman dahulu kala, di dataran tinggi Karo tinggalah seorang raja dengan istrinya
beserta putri mereka yang sangat cantik. Pada suatu hari, putri raja sakit. Maka ratu
menanyakan putrinya apa yang diinginkannya supaya dia cepat sembuh, kemudian
putri raja tersebut mengatakan bahwa dia menginginkan seekor ikan dari
perkebunan padi dan buah palma. Setelah itu raja memerintahkan rakyat supaya
mencari apa yang diinginkan putrinya. Tarian ini menggambarkan bagaimana
masyarakat Karo melakukan kegiatan mereka sehari-hari seperti bekerja di
perkebunan padi, di lapangan dan mengambil buah palma dari hutan.
2. Tari Ndikkar
Ndikkar adalah bentuk pertahanan diri tradisional Karo atau Pencak Silat yang
tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan kebudayaan masyarakat Karo.
Ndikkar memiliki ciri-ciri : gerakan yang sangat lambat dan lembut tetapi di saat-
saat tertentu gerakan tarian ini akan terlihat keras dan cepat. Khususnya
masyarakat Karo, mereka mempelajari Pencak Silat hanya untuk pertahanan diri
sendiri, tetapi sekarang tarian Ndikkar sebagian besar telah menjadi tarian
kebudayaan.
3. Tari Baka
Zaman dahulu kala, masyarakat di dataran tinggi Karo masih mengandalkan orang
pintar atau paranormal. Hampir semua masalah yang ada disampaikan kepada
orang pintar atau paranormal. Khususnya untuk masalah penyakit, masyarakat
akan membawanya kepada orang pintar untuk disembuhkan. Dalam proses
penyembuhannya orang pintar atau paranormal menggunakan sebuah keranjang
dan mangkok khusus untuk tempat ramuan-ramuan obat. Oleh karena itu tarian ini
menggambarkan bagaimana orang pintar atau paranormal tersebut menyembuhkan
orang yang sakit.
4. Tari Tongkat
Beberapa tahun yang lalu masyarakat Karo masih mempercayai adanya kekuatan
gaib dan roh halus. Dalam beberapa kegiatan kebudayaan, manusia yang memiliki
ilmu gaib masih berperan penting untuk berhubungan dengan roh-roh halus. Tari
Tongkat ini menggambarkan bagaimana manusia yang memiliki ilmu gaib ini
mengusir roh-roh jahat yang masuk ke suatu tempat di pedesaan. Manusia tersebut
menggunakan sebuah tongkat khusus yang disebut tongkat malaikat dan tongkat
panaluan.
Baju adat Karo biasanya terbuat dari pintalan kapas yang disebut Uis Gara. Uis
gara memiliki arti kain merah yang biasanya ditenun dengan campuran warna
hitam atauun putih. Motif pada uis gara ini ditenun dari benang emas ataupun
perak. Hal tersebut dimaksudkan agar motif tetap terlihat pada kain gara. Untuk
pakaian sehari-hari, uis gara lah yang digunakan oleh masyarakat suku karo.
Kemewahan antara perpaduan warna baju dengan hiasan emas merupakan ciri khas
baju adat batak karo. Baik pria maupun wanita, mereka wajib menggunakan
perhiasaan emas diseluruh tubunya ketika memakai baju adat karo. Dan tak lupa
juga hiasan kepala bagi wanita dan pria seperti suku batak lainnya.
Secara umum musik Karo terdiri dari sarunei (alat musik tiup), kulcapi (alat musik
petik), gendang indung dan gendang anak yang berbentuk tabung kecil
memanjang, dan dua gong (gong besar dan gong kecil) Ensambel itu dipadu
dengan seorang penyanyi yang disebut perkolong-kolong, membawakan kisah-
kisah tentang apa saja, sesuai dengan tema acara adat.
1. Kulcapi
Kulcapi merupakan alat musik tradisional budaya Karo. Kulcapi hampir sama
dengan gitar akustik biasa. Yang membedakanya, Kulcapi hanya mempunyai 2
senar (1 dan 2).
Kulcapi tebuat dari bahan dasar kayu yang di ukir sedemikian rupa hingga
menghasilkan suara yang harmoni.
Alat musik Kulcapi berfungsi sebagai melodi yang selalu dihadirkan pada acara
hiburan rakyat daerah.
Dahulu kala senarnya terbuat dari akar pohon aren (enau) namun sekarang telah
diganti senar metal dan juga tunning peg-nya juga telah diganti menjadi tunning
peg gitar modern yang dahulunya menggunakan pohon bambu/kayu sehingga cara
menyetemnya harus dengan cara menarik dahulu sumbatan setem tersebut lalu
disetem. Langkup Kulcapi (bagian depan resonator Kulcapi) tidak terdapat lobang
resonator, justru lobang resonator (disebut babah) terdapat pada bagian belakang
Kulcapi.
2. Keteng-Keteng
Keteng-keteng adalah alat musik pukul tradisional Suku Karo dari Sumatera Utara
(Sumut) yang berbahan dasar dari bambu. Keteng-Keteng memiliki panjang sekitar
setengah meter dan memiliki senar yang terbuat dari kulit bambu itu sendiri. Alat
pemukul keteng-keteng juga terbuat dari potongan bambu dan terdiri dari dua
buah.
Cara memainkan alat ini sangat sederhana seperti layaknya memukul alat musik
drum. Dilihat dari segi fungsingnya, dulunya alat musik ini kerap dimainkan dalam
konteks ansambel gendang telu sendalanen sebagai media dalam upacara Erpangir
Ku Lau oleh masyarakat Karo.
Bekalangan, alat musik ini juga sering dimainkan dalam berbagai pertunjukan
dengan tujuan hanya sebagai hiburan belaka.
3. Sarune
Alat musik tradisional karo ini dimainkan dengan cara ditiup. Teknik bermain
Sarune batak Karo ini sama dengan teknik bermain Sarune Batak Toba. Hanya saja
penamaan yang berbeda. Pada masyarakat batak Karo bukan mengunakan istilah
“pulunama”.
Walaupun seperti itu, tetapi tetap saja memiliki arti yang sama. Alat musik ini
adalah sebagai pembawa melodi dalam ansambel gendang “lima sidalanen” atau
ansambel “gendang sarung.