LASTINOORFADIL
A
ARIASAKTIHANDOKO
CINDYJULI
ANTY
LULUKULIY
AH
JOIS
MANT ANDURU
SYAFRUDDI
N“ SHAVE”
ALE
XANDE
RME RI
NG
UNTUNGWIDY
ANTO
AGUNGWIRAWAN
ARI
YADWICAHYA
ARI
ESUBEKT
I
ANGEL
ICAAMANDAS
O
TIMBRWA
NURFAADHILAH
FAHMIPULO
JKMAACEH
AMANS UL
SEL
PDAMANT ANOB A
TAK
JOI
SMANTANDUR U
T
ONDOKMARENA
KATA PENGANTAR
S
ampai dengan awal Agustus 2019, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) telah
mendaftar 833 peta wilayah adat dengan luas mencapai 10,56 juta hektar. Peta-
peta wilayah adat dan informasi sosial menunjukkan keberadaan dan hubungan
masyarakat adat dengan ruang hidupnya. Sebuah gambaran ruang hidup dan
perjalanan kesejarahan masyarakat adat yang diekspresikan melalui perlindungan,
pengelolaan dan pemanfaatan tanah, air, hutan, laut, pesisir dan sumber-sumber
alam lainnya. Hubungan dinamis masyarakat adat dengan ruang hidupnya berasas
pada pengaturan sosial dan kelembagaan yang memiliki peran kunci dalam menata
hubungan sosial dan juga spasialnya (ruang hidup).
Dalam proses registrasi dan verifikasi wilayah adat, BRWA melakukan kajian dan
dokumentasi beberapa aspek penting yang menunjukkan keberadaan masyarakat
adat dan wilayah adatnya, di antaranya sejarah, demografi dan geografi, sistem tenurial
dan pengelolaan wilayah adat, kelembagaan dan hukum adat, serta keanekaragaman
hayati. Data tabular, spasial dan narasi inilah yang ditulis kembali dan disajikan menjadi
buku “9 POTRET WILAYAH ADAT”.
Buku ini merupakan Seri Pertama narasi profil wilayah adat yang disajikan berdasarkan
dokumen hasil verifikasi BRWA. Sembilan profil wilayah adat dalam buku ini meliputi
wilayah adat Ammatoa Kajang (Kabupaten Bulukumba), Ngata Ona (Kabupaten
Sigi), Huta Sihaporas (Kabupaten Simalungun), Wewengkon Pasir Eurih (Kabupaten
Lebak), Ngata Lindu (Kabupaten Sigi), Mukim Kunyit (Kabupaten Pidie), Ngata
Marena (Kabupaten Enrekang), Kenegerian Gajah Bertalut (Kabupaten Kampar),
Gelarang Colol (Kabupaten Manggarai Timur). Beberapa wilayah adat tersebut sudah
mendapat pengakuan dari pemerintah daerah dan juga pengakuan hutan adat oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebagian yang lain masih dalam
proses rekognisi atas wilayah adat dan hutan adatnya.
Semoga buku ini dapat menambah rujukan untuk mengenal lebih dekat keberadaan
masyarakat adat dan ruang hidupnya.
KASMITA WIDODO
Kepala BRWA
WILAYAH ADAT
AMMATOA KAJANG
“Anjariya tau pare sanua hajikna, mingka labbipaya porena punna jiriki
tau hajik”. Artinya menjadi orang penting sangat baik, tapi lebih penting
kalau kita menjadi orang baik.
leluhur yang disebut tana toa atau Masyarakat adat Ammatoa Kajang
kampung tua. mempercayai bahwa Ammatoa
pertama menunggangi sejenis
Berdasarkan sejarah yang dituturkan burung rajawali, yang di dalam
dari generasi ke generasi, penyebutan bahasa setempat disebut koajang
nama Ammatoa Kajang berasal dari atau akkoajang. Burung itulah yang
dua kata yaitu: ammatoa dan kajang. pertama kali membawanya tiba di
Ammatoa adalah sebutan untuk tombolo dan menetap di sana. Dari
pemimpin adat yang diwariskan secara istrinya yang disebut dengan Ando
turun temurun. Amma artinya bapak, atau Anrongta, Ammatoa pertama
sedangkan toa berarti yang dituakan. memiliki lima anak, empat perempuan
Nama kajang memiliki kaitan erat dan satu laki-laki. Masing-masing
dengan burung koajang, akkoajang, bernama Dalanjo ri Balagana,
dan assajang. Dangempa ri Tuli, Damangung Salam
ri Balambina, Dakodo ri Sobbu dan
Banyak versi mitologi asal-usul Tamutung ri Sobbu.
masyarakat adat Ammatoa Kajang,
yang dikisahkan oleh Ammatoa,
pengurus adat, dan tokoh masyarakat.
Salah satunya adalah tentang
kemunculan manusia pertama di
Kajang yang kemudian menjadi
Ammatoa pertama, yaitu pemimpin
(adat) pertama. Namanya adalah To
Manurung ri Kajang sebagai
Tau Mariolo.
Mereka mempunyai anak yang disebut Selain itu, cerita kemunculan Ammatoa
Tau Kentarang atau orang yang juga diungkapkan dalam kisah Putri
bercahaya ibarat bulan purnama. Dari Batara Daeng ri Langi yang muncul
Tau Kentarang inilah lahir Ammatoa, dari seruas pettung (jenis bambu). Putri
diantaranya ialah Bohe Ta’bo, Puto’ tersebut kemudian menikah dengan
WILAYAH ADAT
NGATA ONA
M
asyarakat adat Ona bermukim pembangkit listrik tenaga air (mikro
di pegunungan Kamalisi, hidro) dan generator skala kecil yang
Desa Lewara, Kecamatan hanya mampu menerangi desa kurang
Marawola Barat, Kabupaten Sigi, dari 12 jam.
Provinsi Sulawesi Tengah. Meskipun
telah menjadi desa sejak 1970-an, akses Penduduk Lewara berjumlah 851 jiwa,
transportasi menuju Lewara masih dengan 242 kepala keluarga dimana
sulit. Jalannya berbatu dan terjal. Jalan laki-laki ada 413 orang dan perempuan
setapak berlubang-lubang. 438 jiwa. Desa ini memiliki lima
dusun dengan tujuh rukun tetangga
Butuh waktu dua setengah jam tiba di (Marawola dalam Angka, 2017). Fasilitas
Lewara dari kota terdekat. Itupun harus umum tersebar di desa ini seperti
menggunakan sepeda motor (ojek tempat ibadah, pendidikan, olah raga
lokal) yang sudah dimodifikasi. Untuk dan lainnya.
penerangan, warga bergantung pada
M
asyarakat Ngata Ona adalah yang diturunkan oleh sang pencipta
komunitas adat tertua di dan tobaraka yaitu orang sakti dan
pegunungan Kamalisi yang memiliki pengetahuan yang tinggi.
berasal dari rumpun suku Kaili Da’a.
Sebelumnya disebut Gunung Kamasili Dengan hadirnya tomanuru dan
atau Ulujadi. Ketika zaman penjajahan, tobaraka, sistem dan aturan adat
Belanda menyebutnya Gunung mulai berkembang yang kemudian
Gawalise. Mata pencaharian nenek dimantapkan oleh para Ntina, yaitu
moyang orang Ona adalah pemburu sebutan bagi tetua-tetua (totua) yang
dan petani ladang padi koyo dan pulut memimpin komunitas adat. Para tetua
di sekitar pegunungan tersebut. tadi dalam menjalankan sistem adat
dan aturannya berpusat pada rumah
Mereka percaya awal mula manusia adat yang disebut bantaya.
berasal dari puncak Gunung Ulujadi,
karena itu ulujadi berarti orang Sebelum tinggal di Lewara, komunitas
pertama yang diciptakan. Sementara adat Ngata Ona bermukim di kampung
arti ulunggatoka pinandu-ongunja tua bernama Bantaya Ntina Ona atau
poamaya, tananilemo nggari tanah tempat tinggal pemimpin adat. Kini
pinandu dalam bahasa Ona yaitu kawasan tersebut menjadi kebun atau
diciptakan dari tanah, adalah tanah ladang di tanah Lumbu, Tamoli, Ngge’a
yang digenggam dibentuk dan dan Vavutolo.
dijadikan manusia pertama.
Pemberian nama lokasi-lokasi
Masyarakat adat Ngata Ona percaya ini tujuannya untuk melindungi
bahwa Pinandu itu nama manusia keberadaan komunitas adat Ngata Ona.
pertama yang diciptakan dari tanah. Terlebih lagi wilayah adat yang lahannya
Kemudian dari tulang rusuk Pinandu subur merupakan tanah kehidupan
diciptakan perempuan pertama sehingga harus terus dijaga dengan
yang disebut Usukei, yang berarti selalu menjalankan nilai-nilai kearifan
tulang rusuk kiri. Sehingga pada lokalnya. Demikianlah baik relasi antar
perkembangannya, masyarakat manusia dengan manusia, manusia dan
Ngata Ona mempercayai bahwa alam, diatur dan dipimpin oleh Ntina
sistem dan aturan adat diciptakan yang tak bisa dilepaskan dari tanah
oleh orang-orang yang mereka sebut Lumbu, Tamoli, Ngge’a dan Vavutolo.
sebagai tomanuru atau orang suci
mot
ovo
s
ambul
ugana
mant
alu
oma
mot
ovo
s
ambul
ugana
04 Kelembagaan Adat
Ngata Ona
M
asyarakat adat Ngata Ona BAGAN STRUKTUR PEMANGKU
memiliki dua jenis pemangku ADAT NGATA ONA
adat utama yaitu Ntina dan
Galara. Pertama, Ntina (setingkat ketua
rukun warga/RW) yakni orang yang
ditunjuk sebagai pimpinan tertinggi
di komunitas adat suku Da’a. Ntina
berfungsi untuk menyelesaikan perkara
yang tidak selesai di tingkat rukun
tetangga (RT).
K
elembagaan adat di Ngata Ona Aturan Adat Terkait
memiliki beberapa aturan yang Sumber Daya Alam
berasal dari warisan nilai dan
norma adat yang hingga kini tetap Selain aturan yang berkaitan dengan
dipelihara. Sebelum agama datang pranata sosial, Lembaga Adat Ngata
ke Ngata Ona, masyarakat telah lebih Ona juga mengatur bagaimana
dahulu mengenal prinsip adat dari 10 penggunaan lahan di dalam wilayah
norma kehidupan manusia yaitu: adat. Dimana prinsip dalam masyarakat
• Tidak boleh mencuri adat Ngata Ona, tanah adat yang telah
• Tidak boleh berdusta diwariskan dan diberikan oleh leluhur
• Tidak boleh berzinah untuk todea (masyarakat) adalah untuk
• Tidak boleh mempermalukan dikelola, dijaga dengan baik serta tidak
perempuan boleh dijual. Hal itu tercermin dalam
• Tidak boleh membunuh ujaran:
• Tidak boleh mengolok-olok atau
menghina orang lain
• Tidak boleh berbohong
• Tidak boleh menyalahgunakan
wewenang
• Tidak boleh mendahului orang tua
• Tidak boleh ingkar janji, dan
• Tidak boleh mengambil hasil kebun/
tanaman orang lain tanpa izin.
S
alah satu faktor utama peralihan
tanaman orang Ona dari padi
ladang ke tanaman keras kopi,
cengkeh, kemiri, jagung dan lain-
lain adalah karena alasan waktu dan
proses produksi. Untuk menaman padi
ladang membutuhkan waktu panjang
yaitu sekitar 7 bulan baru bisa panen.
Sedangkan dari tanaman keras tahunan
lebih cepat yakni sekitar 4 bulan sekali.
WILAYAH ADAT
HUTA SIHAPORAS
WILAYAH ADAT
• Huta Lumban Ambarita Sihaporas
membentang seluas 1948,40
hektare (ha)
M
asyarakat adat Sihaporas hewan pengganggu lainnya. Menjaga
merupakan keturunan dari padi yang ada di ladang Galunggung
Martua Boni Raja Ambarita, Nabolak yang terletak di Parhobanan
generasi kesembilan Raja Batak. Lumban Pea Ambarita.
Berdasarkan legenda, Raja Batak
berasal dari langit yang kemudian Peristiwa tragis terjadi. Naera Boru
diturunkan ke Bumi, di Pusuk Buhit, Ambarita yang kelaparan pergi
Pulau Samosir. meninggalkan ladang. Sementara
Martua Boni Raja Ambarita mencari
Raja Batak memiliki dua anak yaitu kayu hau junjungan, yaitu kayu
Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. langka untuk borotan (tambatan)
Guru Tatea Bulan memiliki anak, salah pada mangalahat horbo (ritual
satunya seorang pria dengan nama mengorbankan kerbau di lapangan).
Silau Raja. Dari pernikahannya, Silau Ketika Naera kembali ternyata padinya
Raja mendapatkan keturunan, yaitu habis dimakan kawanan burung pipit
Ambarita Lumban Pea. Ambarita Pea dan kera.
ini merupakan bapak dari Martua Boni
Raja Ambarita, leluhur masyarakat Sang Ayah, Juangni Huta, naik pitam. Ia
Lamtoras Sihaporas. membuat lubang dan memerintahkan
Naera masuk ke dalamnya. Kemudian
Saat Martua Boni Raja Ambarita berusia ditimbun dengan tanah hingga
remaja, berlangsung pesta besar tujuh setinggi dagu Naera Boru Ambarita.
hari tujuh malam di Huta Lumban Pea Ini hukuman kejam yang diberikan
Ambarita. Pesta ini diadakan Bapak Juangni Huta kepada anaknya, yaitu
Udanya (adik sepupu dari ayah), yaitu mengubur hidup-hidup dalam kondisi
keturunan Ompu Juangni Huta. berdiri.
Sementara yang lain menikmati pesta, “Begini cara mamuro ya, harus bersiaga
Martua Boni Raja Ambarita ditugaskan di tempat. Tidak pergi kemana-
menemani adik sepupunya yang mana. Jadi, bertahanlah kau di sini!,”
bernama Naera Boru Ambarita (anak kata Ayahnya, meninggalkan Naera
dari Juangni Huta) untuk “mamuro” sendirian.
atau menjaga padi yang menguning
dari serangan hama burung pipit dan
Copyright: Fardillasti-BRWA
Pada suatu ketika, sang tetua adat mendapatkan wangsit bahwa batu
ini akan ditemukan di hutan. Beberapa tahun lalu, masyarakat Sihaporas
menemukan dua batu besar yang saling bersebelahan di tengah hutan
adatnya. Batu ini kemudian menjadi salah satu bukti sejarah sekaligus
menjadi batas wilayah adat Sihaporas sampai sekarang.
(Copyright: BRWA)
52 9 POTRET WILAYAH ADAT
03 Hak Atas Tanah dan Pengelolaan
Wilayah Adat Huta Sihaporas
(Copyright: BRWA)
54 9 POTRET WILAYAH ADAT
Pada tahun 1913 Belanda meminjam tanah Sihaporas untuk ditanami
pinus. Tiga puluh tahun kemudian, tanah tersebut dikembalikan ke
Indonesia karena Belanda kalah perang dan kembali ke negerinya.
Tanah Sihaporas kemudian dikuasai oleh negara dan pada masa Orde
Baru diberikan izin seluas-luasnya untuk investor.
K
elembagaan adat Sihaporas disebut sebagai huta sihaporas. Dalam struktur
kelembagaan adat Batak Toba, marga pertama yang membuka kampung
akan disebut sebagai Marga Sipukka Huta atau Marga Pembuka. Keturunan
dari marga inilah yang akan menjadi Raja Huta yang memiliki hak atas wilayah
adat. Raja Huta berperan mengatur pengelolaan sumber daya alam dan pengambil
keputusan yang terkait kehidupan di kampung. Selain Raja Huta juga terdapat Hula-
hula, Dongan Tubu, Boru dan Raja Jolo atau Pangulu.
Keterangan:
• Hula-Hula bertugas
memberikan
pertimbangan atau
nasehat pada saat
musyawarah, acara adat
atau peradilan adat.
M
asyarakat Sihaporas sangat Masyarakat adat Sihaporas masih
sadar bahwa tanah leluhur mempertahankan nilai leluhur dan
harus dijaga dan tidak boleh aturan adat. Dalam sebuah ritual adat,
diperjual belikan kepada siapapun, ini ada aturan keras untuk tidak memakan
merupakan bentuk penghormatan daging, baik daging babi ternak
bagi leluhur. Dalam tatanan masyarakat maupun babi hutan selama sepekan
Batak Toba, tanah atau wilayah juga menjelang maupun setelah ritual adat.
menjadi identitas marga.
Dilarang keras bekerja di ladang
maupun pergi ke hutan selama tiga
hari sebelum pelaksanaan ritual adat
manganjap. Jika musim panen tiba,
harus dilakukan acara ritual adat
sebagai bentuk ucapan syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
6. Manjuluk
Sirih adalah salah satu sesaji untuk Persiapan jamuan makan dalam ritual
dipersembahkan kepada leluhur adat (Copyright PD AMAN Tanobatak)
(Copyright PD AMAN Tanobatak)
B
agi masyarakat Sihaporas, Pohon ini memiliki nilai ekonomi
hutan merupakan sumber tinggi dan juga sangat berperan dalam
kehidupan. Hutan menyediakan menjaga kelangsungan mata air.
berbagai kebutuhan dalam Karena fungsinya yang fundamental,
menopang kehidupannya. Tak hanya Tombak Raja seharusnya tidak boleh
secara ekonomi semata, tetapi juga dirusak untuk kepentingan pemodal.
terkait dengan adat istiadat dan
spiritualitasnya. Beberapa kayu dari hutan digunakan
untuk kebutuhan bahan bangunan
Dahulu di Tombak Raja banyak seperti kayu pinus, meranti, ingul dan
dijumpai pohon kemenyan atau lebih rotan. Sementara kebutuhan sandang
sering disebut dengan haminjon. yang didapatkan dari hutan adalah
kapas, bayon pandan, dan raso (jenis buah bulat yang sangat kecil berwarna
tanaman rawa). Di sekitar hutan merah. Buah inilah yang menjadi
ada juga masyarakat berkebun dan bumbu masakan. Rasanya seperti
berladang padi, jagung, ubi, cengkeh, campuran lada dan cengkeh.
kopi dan petai.
WILAYAH ADAT
WEWENGKON PASIR EURIH
K
asepuhan sendiri berasal dari
kata “sepuh” yang artinya
“yang dituakan”. Secara historis,
salah satu Kasepuhan di wilayah
Lebak, yakni Kasepuhan Pasir Eurih,
meyakini asal mula mereka dari Bogor.
Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih
mengartikan Bogor sebagai “Bongol”
atau “Canir” yang artinya pusat atau
asal muasal.
S
ama halnya dengan Komunitas penduduk masyakat Kasepuhan Pasir
Kasepuhan lain yang menyebar Eurih tinggal di dalam areal produksi
di Banten dan Jawa Barat. yang mereka sebut sebagai garapan
Kasepuhan Pasir Eurih juga membagi artinya zona yang diperuntukan untuk
wilayah adat mereka kedalam beberapa tempat tinggal dan melakukan aktivitas
zonasi. Zonasi tersebut diperuntukan pertanian; dan area atau zona hutan
untuk mengakomodasi kebutuhan yang terletak di Gunung Bongkok.
dan kepentingan hidup masyarakat
“Zaman dulu kalau kata kokolot ada Garuda yang tinggal di gunung ini (Gunung
Bongkok) si Garudanya ngelemparin batu ke itu Gunung Rompang tapi gak
ancur ancur gunungnya sampe si Garudanya jadi bongkok jadi weh keliatan
rorompang (tidak beraturan), kalau mau lihat itu ada di sindaglayung sama di
cirompang namanya batu kepeul bekas garuda dulu.. kalau nama Pasir Eurih
mah katanya karena dulu ada keluarga yang cari tempat tinggal, sampai anaknya
naik seseugukan (tersedu-sedu) karena dia nangis seseugukan kaya gitu di Pasir
artinya teh Atas jadi weh di sebut Pasir Eurih.” Abah Uding, (Doc ICCAs, 2017).
Dari persoalan inilah, Masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih saat ini mengajukan
Penetapan Hutan Adat. Kini Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih sedang
menunggu negara mengembalikan Hutan Adat kepada mereka.
S
ebagai sebuah area yang dilindungi oleh Masyarakat. Di kawasan hutan
tutupan di Gunung Bongkok masih bisa ditemukan berbagai macam spesies
flora seperti pohon rasamala, puspa tamanan obat dsb. Begitupula dengan
spesies fauna seperti monyet, oak maupun burung-burung.
Pohon Rasamala
(Copyright: Nur Fadhila)
Cawisan Pasir Eurih atau kawasan itu harus seperti pohon aren. Sebab
garapan adalah menyadap aren, Gula di Kasepuhan sendiri, masyarakat
Aren menjadi salah satu komoditi menggunakan pohon aren untuk
terbaik yang dimiliki oleh Kasepuhan berbagai macam kebutuhan, seperti
Pasir Eurih, mereka biasanya menjual daunnya yang dibuat ateup atau atap
gula aren di sekitar Kecamatan Sobang untuk menutupi bagian atas rumah,
ataupun dijual ke pasar- pasar di sekitar airnya digunakan sebagai nira dan gula
Banten dan Bogor. aren, batang pohonnya yang muda
dapat dimasak dan dijadikan sayuran
Selain sebagai kudapan, pohon dan batang pohon tuanya yang bisa
aren sendiri memiliki nilai manfaat dipakai untuk membuat sesuatu seperti
tersendiri bagi masyarakat Kasepuhan, kayu bakar, kerajinan, dsb.
bahkan ada pribahasa “hirup mah
kudu kos tangkal kawung” hidup
WILAYAH ADAT
NGATA LINDU
mot
ovo
s
ambul
ugana
9 POTRET WILAYAH ADAT 91
“Ada pemahaman lokal To Lindu soal hutan, yaitu LINOKU TUVUKU yang
artinya adalah, hutan itu tempat tinggal dan kehidupanku, ini juga menjadi
prinsip dasar kami dalam mengelola sumber daya alam yang ada.”
Dari beberapa penuturan totua ngata 3. Keturunan dari Ngata Anca dan
(orang tua) yang mengetahui sejarah Paku membentuk satu kampung
silsilah keturunan, menyatakan bahwa: dengan nama Ngata Anca saat ini
adalah: Pegia, Betanabi, Tentenabi,
1. Beberapa marga keturunan dari
longku, Natoua, Tojuna, dan Todapa.
Wongkodono dan Langko yang
turun temurun berkembang hingga
Pada tahun 1908, Pemerintahan
sekarang ini adalah: Tikulando,
Kolonial Belanda membentuk tiga
Lapabija, Toraoe, Lakese, Tambaga,
pemukiman baru secara permanen
Sekowani, Ndolo, Ronjonabi, Tarese,
dari tujuh pemukiman (pitu ngata)
Mpijala, dan Kaende.
tersebut. Mereka menggabungkan
2. Keturunan dari Luo, Palili, Olu penduduknya pada tiga desa
membentuk satu kampung saat permanen yaitu Langko, Tomado
ini yaitu Ngata Tomado adalah (genta) dan Anca (kalendu) sebagai
dengan marga: Rataleko, Terampe, cara untuk melokalisir penduduk
Sempaoge, Magero, Mposede, dan saat itu sehingga memudahkan
Santika. pemerintahannya berjalan, dengan
M
asyarakat adat To Lindu totua ngkolu (kampung tua), dan
masih menjaga kearifan beberapa wilayah yang dikeramatkan
lokal yang diwariskan oleh dan dikelola sesuai peruntukan
nenek moyang mereka. Termasuk berdasarkan pengetahuan lokal.
dalam hal tata kelola wilayah adat dan Demikian juga ketika mengelola
berhubungan dengan alam maupun kawasan yang disebut pangale (hutan
antar sesama (sosial). Misalnya prosesi dengan fungsinya), pobondea (tempat
adat pemberian givu (sanksi adat) berkebun), posoua (pemukiman),
apabila terjadi pelanggaran aturan. polambara (pengembalaan), polida
Aturan lain tentang sikap menghormati (persawahan) dan sompoa (wilayah
dan menghargai para leluhur. kelola di danau).
“
satu cagar budaya di dataran Lindu.
Selain itu masih menjadi tempat warga Ada pemahaman lokal To
melakukan upacara/ritual adat besar Lindu soal hutan, yaitu LINOKU
yang melibatkan seluruh rumpun TUVUKU yang artinya adalah,
keluarga yang mendiami ngata di hutan itu tempat tinggal dan
dataran Lindu. kehidupanku, ini juga menjadi
prinsip dasar kami dalam mengelola
sumber daya alam yang ada.”
S
istim pemerintahan adat di sampai di kecamatan, walaupun fungsi
wilayah to Lindu telah ada sejak dan pranata adatnya tetap mengikuti
lama dan dijalankan secara turun sistem dan aturan adat yang telah
temurun. Lembaga adat Ngata Lindu berjalan sejak dulu.
adalah lembaga sosial yang mengatur
rangkaian tata cara melakukan Lembaga adat ini temasuk
hubungan antar manusia dan manusia juga menjalankan kapotia libu
dengan alam sekitar, serta ketika (kesepakatan adat) dan Totua Ngata
menjalani kehidupan dengan tujuan yang menetapkan sanksi-sanksi atas
mendapatkan keteraturan hidup. berbagai pelanggaran yang dilakukan
oleh siapa saja di wilayah adat, baik
Kelembagaan adat yang ada di masyarakat asli maupun pendatang
masyarakat adat To Lindu pada tanpa memandang bulu. Bahkan telah
masa lampau masih menggunakan beberapa kali memberikan sanksi adat
sebutan totua ngata yang pada saat kepada pejabat pemerintahan yang
itu lingkup pemerintahannya berada salah dalam melakukan interaksi sosial
di tujuh wilayah yang menjadi tempat di wilayah adat To Lindu.
pemukiman dan dipimpin oleh Lakese
sebagai Kapala Ngata. Pemerintahan
adat saat itu yaitu Jogugu sebagai
ketua, Kapita sebagai hakim/dewan
pertimbangan hukum, Pabisara
sebagai pembela/pembicara, dan
Galara sebagai orang yang menggelar
perkara/penuntut.
S
ecara umum ekosistem wilayah mangga, jambu, durian, nanas, kelapa,
adat Toa Lindu saat ini adalah jeruk, pia (bawang), kula (jahe),
berupa rano (danau), wana timpowane (daun serai), gonato (daun
(hutan), salu (sungai), lida (lahan basah), ganemo), marisa jawa (lada), kanino
dan bonde (lahan kering). Namun (kayu manis), cabai dan berbagai jenis
ketujuh wilayah pemukiman mereka tanaman palawija.
sejak dulu telah dikelilingi oleh hutan
dengan berbagai macam keragaman Untuk bahan obat-obatan, mereka
hayatinya. menanam jenis rumput mayana: wiyoa,
tambajara, lamba ntomate, laoene
Secara keseluruhan corak produksi (obat penyakit dalam/luka, usus buntu,
warga To Lindu adalah petani karena paru-paru, mimisan, diabetes, dan
tanahnya datar dan subur. Namun ada maag). Sedangkan untuk kecantikan
juga yang menjadi nelayan pada musim mereka menanam pelo (kemiri), kayu
tertentu, dengan memanfaatkan danau manis, palio (kayu harum), dan gaharu.
yang merupakan habitat bermacam-
macam ikan air tawar seperti mujei
(ikan mujair), masapi (belut), sumi-sumi
(ikan mas), lele (ikan lele), uru (gabus),
kosa, pojanggo, tawes, gurami.
per
muk
ima
nMHA
di
manas
atug
ampongbi
asa
nya
K
ekama
sapeper
ang
andeng
anBel
anda
,
peng
elol
aans
umberda
yaa
lamda
n
me
n g
gal
akk
anpena
nama
nla
day
ang
des
a,
ma
siht
ers
eba
rdi
14g
ampongber
tani
K
u ny
et
me
yak
ini
bahwas
eap
14
S
ete
lahma
sapeper
ang
andeng
an
laha
nbaru
unt
ukper
kebuna
n.Ha
sil
tanama
nbu a
h
i
ndus
tri
muk
im
g
ampong
.
I
sl
am
Chi
kjug
ada
patdi
sebut
k
endur
i
di
koor
dini
rol
ehk
epa
lades
a,
7.
271ha.
Wa
d uk
(
tanahwa
kaf
)
WI
LAY
AHADAT
T
ONDOKMARE
NA
(Copyright: BRWA)
126 9 POTRET WILAYAH ADAT
9 POTRET WILAYAH ADAT 127
T
ondokMar
ena
T
ondokMar
ena
T
ondokMar
ena
T
ondokMar
ena
T
ondokMar
ena
maka pemangku adat, yakni Sorong, Pemangku Adat menyampaikan akan
Ada’ dan To Mentaun menentukan diadakan acara maka seluruh warga
kapan waktu tepat untuk menanam. harus ikut serta. Tujuannya memohon
kepada Tuhan untuk menyembuhkan
Dalam perencanaan menanam terlebih penyakit ataupun membuang kesialan
dulu diawali dengan mangramme alias tolak bala.
(merendam benih dalam air) sesuai
petunjuk To Mentaun yang menetukan Ada pantangan dalam melakukan ritual
waktu sesuai dengan pengetahuannya adat. Yaitu tidak boleh ada beras hitam, tak
tentang cuaca dan perbintangan. Setelah boleh berpakaian hitam dan tidak boleh
waktunya ditetapkan dan diumumkan, dilakukan kalau ada orang meninggal di
perendamannya sebanyak tiga kali. kampong. Acara ritual dilakukan sebelum
jam 12 siang atau dalam bahasa Marena
Mangpallin yaitu allo tuka (saat Matahari naik) dan
tidak boleh dilakukan kalau allo solo (saat
Dilakukan ketika padi mulai tumbuh, Matahari turun).
kegiatan dimaksudkan untuk
memohon kepada Allah Swt agar Aturan Adat yang Berkaitan
tanaman tidak terserang hama. Tidak Pranata Sosial
ada pembuatan la’pa atau potong
ayam, hanya membuat tepung padi Hukum atau aturan yang menjadi
yang dicampur dengan santan dan panduan masyarakat dalam
telur untuk dimakan bersama. berinteraksi sosial muncul berdasarkan
atas pengalaman, bukan diadopsi dari
Mangrundun Banne luar. Misalnya warga Marena dilarang
mengayunkan pedang ke arah tubuh
Semua petani harus turun pada acara sendiri (mang ba’ta sapah) karena
ini. Upacara dilakukan di kepala sawah dapat melukai diri.
atau permulaan sawah yang pertama
kali dialiri air. Biasanya disertai acara Sebelumnya, kebiasaan tersebut
mangkarerang, la’pa’ juga dan sering dilakukan. Tetapi, karena ada
memotong ayam. yang sudah terluka maka kemudian
menjadi aturan adat. Inilah yang oleh
Dalam hal Lolo Tau dikenal acara masyarakat adat Marena disebut bukti
mangnganta’/mantanan bubun. Ketika dulu baru aturan dibuat dan harus
P
otensi keanekaragaman hayati ditumbuk atau diparut lalu dioleskan
yang terdapat di wilayah adat pada bagian yang sakit. Papaya
Marena cukup beragam. Baik digunakan sebagai obat cacing. Yaitu
yang diambil untuk memenuhi getah papaya dicampur gula merah
kebutuhan sehari-har, maupun lalu diminum.
pendapatan ekonomi rumah tangga.
Untuk bahan bangunan, di hutan
Antara lain jagung, ubi jalar, wortel, Marena terdapat berbagai jenis kayu,
kentang, kacang merah, kecang yaitu suren, belalang, bitti, jati, dan
tanah, koll, bawang prei, daun seledri, kelapa. Ada juga bambu pattung, kajao.
sawi, cabe, pisang, tomat, dan lainnya.
Sumber rempah-rempah dan bumbu
juga banyak ditanam warga seperti
bawang, jahe, lengkuas, cabe, kunyit,
serai merica dan lain sebagainya.
WILAYAH ADAT
KENEGERIAN
GAJAH BERTALUT
K
enegerian Gajah Bertalut
terletak di Desa Gajah Bertalut,
Kecamatan Kampar Kiri Hulu,
Kabupaten Kampar, Propinsi Riau. Luas
wilayah adat Kenegerian ini 4.414 Ha
yang di dalamnya bermukim sekitar
487 jiwa atau 135 Kepala Keluarga (KK)
yang terdiri dari 245 perempuan dan
242 laki-laki.
A
sal muasal nama Gajah Bertalut
diambil dari cerita seekor gajah
dan ular besar di suatu lughan
(parit) Di sebelah barat kenegerian
Gajah Bertalut ada sebatang pohong
beringin yang rindang. Pohon beringin
tersebut didiami oleh seekor ular
yang sangat besar. Kemudian ada
masyarakat yang menanam kelapa
di Kenegerian Terusan (salah satu
kenegerian/kampung di hulu sungai
Subayang). Orang tersebut menantang
gajah untuk datang ke pohon kelapa
uar besar dari atas pohon beringin.
yang ditanamnya. Dengan sombong ia
Maka terjadilah perkelahian yang
berkata, “Apabila pohon kelapa yang
sengit antara gajah dan ular. Gajah
ditanam ini tumbuh sampai setinggi
menghentak ke bawah dan ular
kepala gajah, maka wahai gajah,
menarik ke atas, sampai gajah berkutat
datanglah untuk menghampiri pohon
ke seberang lughan (parit), dan ular
kelapaku ini kalau kalian mampu”.
bersekuat ke pohon beringin, hingga
Ia berkeyakinan kalau gajah tidak akan
gajah sampai ke dekat pohon beringin.
mampu untuk datang, karena lokasi
Begitu seterusnya hingga tidak ada
menanam jauh di perbukitan dan susah
yang mengalah dan matilah ketiganya.
dijangkau oleh gajah, sementara daerah
Pohon beringin mati, ular mati, dan
Subayang bukan habitat gajah.
gajah pun mati. Gajah tidak sampai
ke negeri Terusan. Jadi nama Gajah
Setelah pohon kelapa yang ditanam
Bertalut memiliki arti gajah bergelut
tumbuh besar dan setinggi gajah,
atau berkelahi. (Profil Masyarakat Adat
datanglah gajah dari hilir. Sesampai
Kekhalifahan Batu Sanggan Kampar-
di lughan (parit) di dekat Kepala Koto
Riau, 2017).
(kampung) Gajah Bertalut, gajah
yang hendak menghampiri pohon
kelapa tersebut dihadang oleh seekor
D
alam Aturan adat yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah dan Sumber
Daya Alam (SDA), wilayah adat merupakan milik persukuan, yang dapat
dikelola oleh masyarakat namun tidak boleh diperjual belikan.
K
enegerian Gajah Bertalut adalah sebagai berikut:
dikepalai oleh Datuk Pucuk
Sumber: Profil Masyarakat Adat
yang berasal dari suku Melayu
Kekhalifahan Batu Sanggan Kampar-
yang menguasai adat di kenegerian
Riau, 2017).
tersebut. Di bawah Datuk Pucuk adalah
Datuk Parapatia yang berasal dari suku Fungsi dan peran Ninik Mamak dalam
Caniago di kenegerian Gajah Bertalut. Kenegerian Gajah Bertalut, yaitu:
Bandaro Mangkuto dan Mandaro 1. Datuk Pucuk Godang Kanagoghi
Mudo merupakan bawahan dari Datuk (datuk besar dalam suatu negeri
Pucuk dan Datuk Prapatia yang berasal tersebut), fungsinya yaitu kombuik
dari Suku Domo Ulak dan Suku Domo bonia kandang pisoko, berarti
Mudiak, dan di dalamnya terdapat menampung pengaduan dari
dubalang-dubalang yang enugaskan Datuk Prapatia, seperti kusut yang
para mamak kampung dan malin di tidak bisa selesai (kotor) yang
suatu kenegerian (Profil Masyarakat tak bisa jernih oleh mereka beri
Adat Kekhalifahan Batu Sanggan tiga, maka datuk pucuk lah yang
Kampar-Riau, 2017). menyelesaikan masalah tersebut.
J
auh sebelum agama Islam masuk,
adat istiadat dan kebudayaan
masyarakat adat Gajah Bertalut
yang termasuk Kekhalifahan Batu
Sanggan sudah ada dan berkembang.
Islam masuk di tahun 1900an dan
diterima baik oleh masyarakat adat
Gajah Bertalut karena dinilai sejalan
dengan aturan adat yang ada, baik dari
segi kelestarian alam dan pranata sosial.
Semenjak itu, islam memberikan corak
tersendiri bagi kebudayaan dan adat
istiadat di Gajah Bertalut. Salah satu
yang terlihat adalah adanya Udunan
(yasinan), yaitu aturan sakral yang
berlaku dalam praktek Lubuk Larangan.
Kelompok Pemuda dan Pemerintah
Salah satu kearifan pengelolaan SDA Desa. Terkait dengan aturan Udunan
masyarakat adat di Kekalifafan Batu (yasinan) yang berlaku dalam praktek
Sanggan, termasuk di dalamnya Lubuk Larangan adalah pembacaan
Kenegerian Gajah Bertalut adalah yasin untuk mengetahui pelanggaran
adanya Lubuk Larangan. Yang di Lubuk Larangan yang dilakukan
dimaksud Lubuk Larangan adalah masyarakat. Jika ada pelanggaran,
bagian aliran air sungai di mana maka si pelanggar akan terkena
ikannya tidak boleh ditangkap dalam sanksi seperti sakit, gila atau bahkan
jangka waktu tertentu, atau hanya meninggal dunia.
boleh diambil berdasarkan kata
sepakat masyarakat adat. Penangkapan Aturan adat yang terkait dengan
ikan yang dilakukan pun dibatasi, pranata sosial, disebutkan bahwa tidak
kemudian ditutup kembali. Ikan diperbolehkan adanya perkawinan
yang dikumpulkan biasanya akan di dalam satu suku. Jika ada yang
dilelang yang diikuti oleh masyarakat melanggar aturan dan keputusan
kenegerian sekitar bahkan orang luar. hukum adat, maka yang bersangkutan
Saat ini hasil lelang ikan tangkapan akan dibuang dan dikucilkan dari
dari Lubuk Larangan menjadi uang kampung, yang mereka sebut dengan:
kas bagi Kelembagaan Adat, Mesjid, dilotakkan dibukik indak ba angina di
lugha nan indak ba ayiu yang artinya di perempuan adalah sentral kekuatan
letakkan di bukit yang tidak ada angin, ekonomi dan sumber kekuasaan
di jurang yang tidak ada air. politik masyarakat saat itu; dalam
memutuskan suatu perkara dan masa
Dalam menjalankan norma adatnya, depan anak-kemenakan, baik internal
Masyarakat Gajah Bertalut menjalankan maupun eksternal, maka Bundo
mengatur bahwa silsilah keturunan, Kanduang (perempuan) dan Mamak
kesatuan suku dan pemimpin suku Suku (penghulu, dubalang dan orang
didasarkan pada garis keturunan tua laki-laki) memiliki posisi setara
ibu. Ini mengukuhkan perempuan dan berwenang dalam musyawarah
sebagai pemegang hak ekonomi yang di rumah gadang. Ini juga menjadi
diwariskan secara turun temurun struktur organisasi persukuan mula-
kepada anak perempuan, sedangkan mula yang menempatkan perempuan
hal yang ketiga mengukuhkan laki- dalam urusan publik sesuai norma
laki sebagai pemimpin politik yang adat yang dijalaninya. (Perempuan dan
diwariskan turun temurun kepada Maket 3D, WRI, 2018)
kemenakan laki-laki. Dengan kata lain,
W
ilayah Adat Kenegerian
Gajah Bertalut berada di
hulu Sungai Subayang yang
membelah kawasan suaka margasatwa
Bukit Rimbang Baling. Kawasan ini
masih telah menjadi suaka spesies
satwa penting di Indonesia, antara lain
beruang madu (helarctos malayanus)
dan tapir (tapirus indicus), juga babi
berjenggot atau Nangui (sus barbatus)
dan tentu saja harimau Sumatra
(panthera tigris sumatrae).
WILAYAH ADAT
GELARANG COLOL
G
elarang Colol secara
administratif terletak di
Kecamatan Poco Ranaka Timur,
Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Satuan wilayah
dari masyarakat adat Colol disebut
dengan Gelarang yang terdiri dari
beberapa Gendang yaitu Gendang
Colol, Gendang Welu, Gendang Biting,
dan Gendang Tangkul.
M
asyarakat adat Colol saat ini utara Gunung Golo Lalong, Panga
merupakan orang-orang Waling datang dari sebelah selatan
dari 14 panga (suku/klen) Gunung Golo Lalong, Panga Ngkiong
yang berasal dari banyak tempat yang dan Panga Urung berasal dari sebelah
kemudian dalam perkembangannya utara Gunung Poco Nembu, sedangkan
hidup bersama di sebelah utara Panga-panga yang lain datang dari
Gunung Golo Lalong dan Gunung Poco daerah Manggarai lainnya.
Nembu. Mereka saling berinteraksi
dan hidup berdampingan berdasarkan Pemilihan “colol” sebagai nama
aturan adat istiadat setempat. masyarakat adat yang berlokasi di utara
Gunung Golo Lalong berhubungan
Dalam bercocok tanam padi dengan dengan dinamika perkembangan
cara gilir-balik di dalam lingko/ Panga Colol dan ketigabelas panga
lading, dilakukan melalui sistem tata lainnya dengan masyarakat adat
pembagian khas berbentuk jaring maupun kerajaan lain di sekitarnya.
laba-laba. Keempatbelas panga itu
adalah Ongga, Colol, Maro, Paleng Dituturkan bahwa sejarah awal mula
Cibal, Raci, Pupung, Nggari, Ngkiong, Panga Colol, berasal dari wilayah Gowa.
Waling, Urung, Cabo, Ngaung Wae, Dibawa oleh leluhur mereka bernama
Taga, dan Weli. Ranggarok pada sekitar tahun 1600-
an. Ranggarok menetap di sebelah
Panga-panga tadi memiliki asal- barat Gendang Racang yang saat
usul yang beragam, di antara panga itu diberi nama Golo Meka (tamu).
yang dipercaya berasal dari luar pulau Ranggarok kemudian menikah dengan
Flores adalah Panga Paleng Cibal dari putri Racang bernama Pote Dondeng.
Minangkabau, Sumatera Barat serta Ranggarok dan Pote Dondeng
dua Panga yang dipercaya berasal dari kemudian memiliki anak bernama
Sulawesi Selatan yaitu Panga Colol dari Mondo dan tinggal di Golo Mondo
Gowa dan Panga Maro dari Maros. (Lingko Lowo saat ini). Mondo memiliki
tiga keturunan yaitu: Tepa Ameneras,
Adapun Panga Ongga dipercaya Tambur Amelaju, dan Dai Amebangkis.
sebagai orang-orang pertama yang
tinggal di gua yang disebut Liang Dai Amebangkis kemudian juga
Karung di Roga Rungkus sebelah melahirkan tiga anak yaitu: Timur yang
“Saat ini kami bersumpah kepada tuan-tuan, ketika kami atau keturunan
kami datang lagi ke Pumpung untuk berperang, maka darah kami mengalir
bagaikan air dan kepala kami bertumpuk bagaikan tumpukan batu.”
Kisah tentang kemunculan Watu Tokol di Gendang Welu (Desa Wejang Mali saat
ini), diyakini berasal dari sebuah kampung purbakala bernama Bealeda. Konon
saat hujan lebat, warga kampung itu kesulitan untuk mendatangi rumah yang
memiliki api. Terpaksa warga rumah yang apinya masih hidup mengikatkan
batangan kayu berapi di ekor anjing. Anjing yang merasa kepanasan itu akhirnya
panik dan menari-nari di halaman rumah.
Pada zaman kolonial, terjadi interaksi Pada sekitar tahun 1920-an Belanda
antara masyarakat adat Colol dengan mencanangkan wilayah Colol sebagai
bangsa asing. Pada tahun 1927 Pater pusat pengembangan kopi. Sejak saat
Yansen, SVD dari Jerman membangun itu kopi menjadi tanaman mayoritas,
gereja pertama di Lengko Ajang (di mengalahkan padi, jagung, ubi jalar,
Kelurahan Golo Wangkung, Kecamatan kentang, singkong, keladi, dan lain-
Sambi Rampas saat ini) dan membawa lain. Belanda pernah mengadakan
ajaran Katolik yang diterima masyarakat sayembara kopi terbaik Pada tahun
adat Colol. Ajaran Katolik berkembang 1937, sayembara itu dimenangkan oleh
berdampingan dengan nilai-nilai dan Bernadus Ojong dari Colol. Ia dihadiahi
tradisi warisan leluhur mereka. Kemudian sebilah parang dan bendera Belanda
datanglah bangsa Belanda yang dengan gambar daun kopi arabika dan
membawa tanaman baru seperti kopi tulisan “Pertandingan Keboen Kopi
untuk ditanam masyarakat. Manggarai” di tengahnya.
M
asyarakat adat Colol memiliki
gagasan tentang hubungan
antar-ruang hidup mereka
dalam ujaran “Gendang One Lingko
Peang” yang berarti kampung
di dalam dan ladang di luar. Nilai
dari ujaran tersebut menunjukkan
masyarakat Colol terikat dengan
wilayah adat yaitu kampung atau
“gendang” sebagai tempat mereka
bernaung dan ladang atau “lingko”
sebagai tempat mencari penghidupan.
Selain ujaran itu, mereka juga
memiliki sebuah sistem nilai tentang
pembentukan ruang hidup yang
berlandas pada lima unsur, yaitu:
U
ntuk menaungi kesatuan dari panga yang berada di masing-masing
seluruh masyarakat adat Colol gendang (desa) atau yang disebut
diperlukan orang-orang yang sebagai “Tua Panga”. Adapun Tua
dapat memimpin keempatbelas panga. Panga sebagai pemimpin suatu Panga
Selain itu, masyarakat sebagai subjek juga membawahi beberapa kepala tiap
hukum tentu terikat pada seperangkat keluarga besar dari panganya yang juga
nilai, norma, dan aturan (hukum) adat disebut sebagai “Tua Kilo”.
atau yang dibaca dalam bahasa lokal
sebagai “adak” yang dibangun melalui Tua Golo dan Tua Teno di tiap-tiap
kesadaran bersama dan dimapankan gendang ditentukan sejak awal oleh
secara turun temurun. panga Colol dan diwariskan kepada
keturunan panga terpilih. Adapun
Oleh karenanya, tatanan kehidupan untuk Tua Golo dan Tua Teno di
bermasyarakat yang terikat pada Gendang Colol dan Gendang Welu
seperangkat produk hukum adat berasal dari panga Colol. Untuk
itu dipelihara oleh beberapa orang Gendang Biting Tua Golo dipilih dari
yang dianggap dapat memimpin dan panga Colol sedangkan Tua Tenonya
menjalankan peran serta fungsi terkait. berasal dari panga Pupung. Untuk
Dalam konteks masyarakat adat Colol, Gendang Tangkul Tua Golo diturunkan
beberapa orang itu disebut sebagai dari panga Colol sedangkan Tua
“Tua Mukang Lalong Kampong/Adak“ Tenonya diturunkan dari panga Taga.
atau yang diartikan secara harfiah Periode jabatan Tua Golo dan Tua Teno
sebagai “Para Tetua Kampung/Adat”. adalah sampai yang besangkutan tidak
mampu lagi mengemban peran itu
Adapun pemangku-pemangku adat ataupun karena sebab lain.
yang terdapat dalam masyarakat
adat Colol yaitu “Tua Golo” dan “Tua Tiap-tiap Tua Golo dan Tua Teno
Teno”. Jika Tua Golo berarti Ketua bertugas untuk masyarakat di tiap-tiap
Pemangku Adat yang berperan sebagai gendangnya. Untuk menyelesaikan
pemimpin masyarakat, Tua Teno adalah permasalahan antar-gendang dan/
pemangku adat yang mengurusi atau pengambilan keputusan yang
perihal tanah adat (lingko), upeti adat berkaitan dengan kepentingan
(wono) dan ritual adat. Tua Golo dan seluruh masyarakat/wilayah adat Colol,
Tua Teno bekerja berdampingan dan dikembalikan ke Tua Golo dan Tua
dibantu oleh ketua-ketua dari setiap Teno yang berada di Gendang Colol.
Sebelum ritual puncak hang woja Asap rokok ataupun dupa dipercaya
dilangsungkan di rumah gendang, dapat menghadirkan roh, botol tuak
pusat lingko, dan halaman kampung digunakan sebagai tanda orang yang
terlebih dahulu akan diadakan dapat berbicara dalam ritual itu,
prosesi ritual barong wae. Ritual ini sedangkan sirih pinang dan kapur
dilaksanakan dengan mengundang roh untuk dikunyah oleh mereka yang hadir
penjaga mata air untuk hadir dalam di dalam ritual. Ujaran “tepok tuak!”
acara hang woja. Lalu dilanjutkan sore seringkali terdengar saat seseorang
atau malamnya acara torok ela hang ingin berbicara dengan isyarat
woja dengan bahan persembahan babi mengangkat botol yang kemudian
di rumah gendang. Setiap rangkaian berbicara dengan tetap memegang
ritual dilaksanakan dengan rapalan- botol. Prosesi torok ela hang woja
rapalan doa maupun ujaran dalam dimulai dengan pemanggilan roh-roh
bahasa lokal yang diucapkan melalui leluhur. Lalu dialog antara pemimpin
beberapa irama yang diikuti suara alat ritual dengan para tua panga untuk
musik gendang. Setiap ritual itu juga kemudian memberikan upeti/wono
harus dilengkapi dengan beberapa hal secara bergiliran, dan merapalkan doa
syukur panen dan pengharapan atas Setelah itu, daging babi itu dimasak
panen yang baik di masa depan. dan dimakan bersama-sama dalam
rumah gendang. Acara kemudian
Pada saat perapalan doa itu, sesaji dilanjutkan dengan menari sanda
berupa babi disembelih dan diambil hingga malam hari dengan memutari
hatinya untuk kemudian dilihat oleh tiang rumah gendang oleh seluruh para
para pemangku adat. Masyarakat adat hadirin. Rapalan doa maupun nyanyian
Colol sering menggunakan hati binatang diiringi dengan alat musik gendang
untuk melihat pertanda tentang banyak dan kenong diiringi dengan hentakan-
hal, seperti maksud kedatangan tamu hentakan dengan pola tertentu
maupun pertanda kejadian di masa menjadi penutup agenda ritual torok
depan. Dalam hal ini, hati babi itu diamati ela hang woja.
apakah baik atau tidak untuk menjadi
penanda tentang hasil panen di musim Keesokan harinya ada ritual karong
tanam selanjutnya. woja wole yaitu penjemputan hasil
Tarian Caci
Sumber: Google
Pengamanan Proses jual-beli lahan adat Colol Transaksi jual-beli dianggap batas jika tanpa
Tanah dilakukan dengan sepengetahuan sepengetahuan Tua Golo dan Tua Teno.
dari Tua Golo dan Tua Teno
Pelindungan Larangan ambil kayu dan tanaman Sekali ketahuan akan ditegur dan jika
dan lain di wilayah hutan adat (Pong) diulangi selama 3 x maka didenda adat
Pemanfaatan “Ela wase lima” berupa tuak dan 1 ekor ayam sampai 1 ekor
SDA babi besar
Larangan ambil kayu dan tanaman Jika ketahuan tidak izin, maka akan
lain di Puar untuk dijual. Hasil hutan ditindaklanjuti oleh Tua Panganya.
dari Puar hanya untuk kebutuhan
papan atau rumahtangga dan
harus seizin Tua Teno dengan
membawa Ayam dan Tuak.
Pranata Tidak boleh tanaman di suatu uma Jika tebukti merugikan, maka pihak
Tenurial Antar- (kebun) menyebabkan kerugian di pemilik tanaman/uma melakukan Waeng
Warga uma yang lain. Wake Lebo Saung dengan menyerahkan 1
ekor ayam sebagai permintaan maaf dan
membicarakan ganti-rugi. Jika pihak yang
dirugikan tidak puas, maka dapat dibawa ke
pemangku adat.
Sumber: Formulir BRWA F021 yang diolah kembali oleh Aria Sakti Handoko
K
opi menjadi komoditi utama sendiri. Rata-rata lahan garapan
sejak zaman penjajahan Belanda. atau lingko dari orang-orang Colol
Bangsa asing itu dipercaya itu berjarak jauh dari tempat tinggal.
sebagai yang mengenalkan tanaman Namun, mereka tetap setiap hari
kopi di wilayah Gelarang Colol. Sejak berjalan ke kebunnya hingga berjam-
saat itu, kopi dan minum kopi menjadi jam untuk membudidayakan tanaman
bagian yang tak terpisahkan dari budaya baik untuk dijual maupun untuk
masyarakat adat Colol. Bahkan, sejak kebutuhan pangan.
siklus kehidupan pertama, bayi-bayi
Colol yang baru lahir pun disesapkan Untuk memenuhi karbohidrat,
kopi pahit ke dalam mulutnya. Begitu mereka menanam woja (padi), daeng
pula dengan ibunya, juga diminumkan (singkong), latung (jagung), teko
kopi pasca melahirkan. Mereka percaya (keladi), tete (ubi jalar), kentang, dan
kopi pahit dapat memberikan kekuatan lainnya. Adapun hasil bumi yang
baru kepada ibu dan bayinya pasca diusahakan sebagai sumber protein
menjalani proses kelahiran yang antara lain koja (kacang tanah), wua
menguras tenaga. Oleh karena itu, tuang (brendi bon), dan kedele untuk
secara turun-temurun orang-orang colol jenis protein nabati. Adapaun protein
telah membuat catatan atas rasa kopi yang berasal dari hewan antara lain
pahit di dalam DNA keturunan mereka. babi, ayam, kambing, kuda, kerbau, sapi,
anjing, ikan, belut, udang, kepiting air
Selain kopi, adapula hasil bumi lain tawar, katak, tikus, dll. Untuk sayuran,
yang menjadi komoditasnya seperti ibu-ibu di wilayah Gelarang Colol juga
cengkeh, bawang merah, bawang putih, menguasahakan beragam jenis sayuran
vanili, coklat, lacimek, mangga, kemiri, seperti buncis, tago (kacang panjang),
kayu, kentang, dan lain-lain. labu, daun singkong, saung sawe
(bayam), selada, kangkung, daun ara,
Selain ragam hasil bumi yang dijual, daun markis, daun pepaya, kol, pecai
warga juga memanfaatkan lahan (semacam lol), saung munang, milos,
garapannya untuk memenuhi kenti, saung radang (daun kastela), dan
kebutuhan pangan sehari-hari. lain-lain.
Kekayaan atas tanah yang subur
dan ketangguhan mereka dalam Adapun kebutuhan vitamin dan
mengusahakan tanah itu, membuat mineral dari jenis buah-buahan dapat
mereka berdaulat atas gizi mereka diserap dari padut (pepaya), muku
CINDY JULIANTY
TIM PENYUSUN BUKU
Cindy Julianty , lahir di Bogor pada 3 Juli 1995, menamatkan
sekolah hukum di Universitas Pancasila pada tahun 2017.
Semasa kuliah, saya aktif mengorganisir organisasi yang
memiliki focus untuk melakukan kegiatan kompetisi dan
riset di bidang hukum, karenanya beberapa kali menjadi
asisten peneiliti dosen di kampus. Saat ini, saya bekerja di Working Group ICCAs
Indonesia (WGII) sebagai Project Officer, melalui kerja-kerja di WGII, saya juga
sedang mendalami isu social- environmental justice berkaitan dengan masyarakat
adat, wilayah konservasi kelola masyarakat, reforma agraria dan perhutanan sosial
(RAPS), dan isu perempuan.
Saya memiliki hobi yang beragam dimulai dari menulis, membaca sampai dengan
bermain musik. Melalui buku ini saya berharap, agar setiap pembaca dapat melihat
gambaran kekayaan masyarakat adat melalui system tenurial, dan kearifan lokalnya.
Semoga buku ini dapat memberikan cakrawala baru dan sekaligus menjadi rujukan
untuk mengadvokasi kebijakan yang pro masyarakat adat.
LULUK ULIYAH
TIM PENYUSUN BUKU
Luluk Uliyah, lahir di Lumajang pada 16 Mei 1976, menamatkan
studi magister di Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi
Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta pada akhir 2017. Mulai
berkiprah di isu lingkungan sejak masih mahasiswa S1 tahun
1994 dengan menjadi anggota pecinta alam MAPENSA di
Fakultas Pertanian Universitas Jember dan mengikuti pendidikan Kader Konservasi
MBSC di Taman Nasional Meru Betiri pada tahun 1997. Pengalaman di Jaringan
Advokasi Tambang (JATAM), SatuDunia dan Epistema Institute telah menempa
menjadi pengkampanye publik untuk isu lingkungan hidup, dan sering menjadi
pembicara untuk pengelolaan pengetahuan, media advokasi, kehumasan dan
sosial media. Saat ini bekerja sebagai Senior Media Communication di Madani
Berkelanjutan.
Dengan buku ini harapannya dapat mebambahkan referensi, pengetahuan dan
gambaran tentang masyarakat adat, kearifan lokal, kelembagaan serta tata kelola
wilayah adat.
SYAFRUDDIN “SHAVE”
TIM PENYUSUN BUKU
SYAFRUDDIN “SHAVE” anak kedua dari enam bersaudara,
lahir di Siwa pada tanggal 11 februari 1978, aktif berorganisasi
sejak menempuh pendidikan di Sekolah Tehnik Menengah
(STM) di Kota Sengkang Kabupaten Wajo, Mengenal dunia
NGO sejak tahun 1999 di salah satu NGO di Kota Makassar,
yaitu Yayasan Tumbuh Mandiri Indonesia (YTMI) dan aktif sampai tahun 2009,
pasca di YTMI, bergabung dengan Institusi Penelitian dan Pengembangan
Masyarakat (IPPM), salah satu NGO yang bergerak di pemberdayaan masyarakat
khususnya Pesisir laut dan Danau, tahun 2012 bergabung di Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan dan focus pada Pemetaan Partisipatif,
selain menjadi staf di AMAN Sulsel, juga menjadi anggota Individu Jaringan Kerja
Pemetaan Partsipatif (JKPP),
Buku ini bisa memberi gambaran tentang kekayaan masyarakat adat dan bisa
menjadi salah satu referensi dalam melakukan advokasi yang berkaitan dengan
Masyarakat Adat
JOISMAN TANDURU
TIM PENYUSUN BUKU
Nama : Joisman Tanduru
Tempat, tanggal lahir : Palu, 22 Juni 1978
Kegemaran : Musik dan Olah Raga
Lembaga : - Kepala Wilayah BRWA Sulawesi Tengah
- Direktur Yayasan Pendidikan Rakyat
Joisman Tanduru, atau yang biasa akrab dikenal sebagai “Bang Oyi” adalah pria
kelahiran Palu, 22 Juni 1978 yang gemar bermusik dan berolahraga. Saat ini menjabat
sebagai Kepala Kantor BRWA Wilayah Sulawesi Tengah dan juga Direktur Yayasan
Pendidikan Rakyat. Selain itu, juga memiliki kesibukan sebagai Anggota Gugus
Tugas Reforma Agraria, Kab. Sigi serta Koordinator POKJA-Reforma Agraria dan
Anggota POKJA Perhutanan Sosial di Provinsi Sulawesi Tengah.
ALEXANDER MERING
EDITOR
Jurnalis cum blogger. Mering bekerja di Kemitraan
(Partnership for Governance Reform) di Jakarta. Hoby menulis
sajak, catatan perjalanan, mendesign web dan apps, dan
mengajarkan Jurnalisme kampong dan literasi media kepada
anak-anak muda di berbagai pelosok nusantara.
UNTUNG WIDYANTO
EDITOR
Nama: Untung Widyanto
Tempat/Tgl Lahir: Jakarta, 27 April 1964
Alamat: Perumahan Depok Maharaja Blok O4/ 17, Rangkepan
Jaya, Pancoran Mas, Depok 16435
Telepon (WA) :0878-7856-0144
Email: untungwidyanto@yahoo.com | uwidyanto@gmail.com
Pria kelahiran Jakarta, 27 April 1964 yang juga lulusan Magister Sosiologi, Universitas
Indonesia. Bekerja sebagai Wartawan Tempo (majalah, koran, dan tempo.co) setelah
pengalaman Panjang di Majalah Tajuk, Majalah Tiras, dan Majalah Editor untuk posisi
yang sama. Sebagai seorang jurnalis, isu-isu tentang perubahan iklim, lingkungan
hidup, keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan merupakan
peminatannya. Beberapa pencapaian dari pengalaman panjangnya di bidang
jurnalisme antara lain penerima fellowship Climate Change Media Partnership dari
Earth Journalism Network di Prancis 2015 dan Peliputan UN Summit on Sustainable
Development Goals di New York, Amerika Serikat di tahun yang sama. Pria yang juga
memiliki aktivitas sebagai peneliti, konsultan ini juga memiliki kesibukan di Gerakan
Pramuka sebagai Andalan Nasional Kwartir Nasional bidang Hubungan Masyarakat
setelah mengikuti banyak pengalaman di dunia kepramukaan Indonesia.