Anda di halaman 1dari 18

SOSIOLOGI ANTROPOLOGI ARSITEKTUR KAMPUNG ADAT AMMATOA KAJANG TANA TOA KAB.

BULUKUMBA SULAWESI SELATAN

Oleh: Hamka, ST. 136060500111002

Program Pasca Sarjana Arsitektur Lingkungan Binaan Universitas Brawijaya, Malang 2013/2014

ABSTRAK Sosio-antropologi dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan tempat tinggalnya, membentuk pola permukiman dan juga tata ruang huniannya. Seperti yang terjadi pada kebanyakan komunitas masyarakat etnis yang ada di Indonesia dan salah satunya adalah suku adat ammatoa Kajang di Bulukumba. Masyarakat suku ini, dalam kehidupannya masih sangat memegang kuat tradisi dan pola hidup yang senantiasa harmonis dengan alam, dan memiliki sistem sosial dan juga budaya yang unik serta berbeda dari yang lainnya. Mulai dari kepercayaan, tradisi, adat, sistem sosial, hingga kehuniannya sangat dipengaruhi oleh alam, bahkan dikawasan ini masyarakat tidak menggunakan teknologi yang ada sekarang, seperti listrik dan barang-barang elektronik. Semua rumah warga dibangun dengan bentuk yang sama, konsep ini menunjukkan kesederhanaan dan sebagai simbol keseragaman. Dalam keseharian tidak pernah menggunakan alas kaki dan selalu menggunakan pakaian yang berwarna hitam. Meski terlihat sangat primitif, namun mereka juga mengenal teknologi yang meski masih sangat sederhana. Selain itu, masyarakat suku Kajang dalam kesehariaanya senantiasa berpegang teguh terhadap apa yang didapatkan dari alam tempat mereka hidup. Dengan konsep tersebut mengharuskan pengunjung yang datang harus mengikuti aturan-aturan adat yang berlaku, seakan menghidupkan pepatah yang mengatakan dimana kaki berpijak disitu langit dijunjung. 1. PENDAHULUAN Suku Kajang merupakan salah satu suku yang tinggal di pedalaman secara turun temurun, tepatnya di Kecamatan Kajang, Kab. Bulukumba. Daerah itu dianggap sebagai tanah warisan leluhur yang harus dijaga dan mereka menyebutny Tana Toa atau Kampung Tua. Masyarakatnya lebih dikenal dengan nama masyarakat Ammatoa Kajang. Ammatoa adalah sebutan bagi peimimpin adat mereka yang diperoleh secara turun temurun. Amma artinya Bapak, sedangkan Toa berarti yang diTuakan (Heryati, 2013). Masyarakat ammatoa Kajang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Rilalang Embayya (Tanah Kamase-masea) lebih dikenal dengan nama Kajang Dalam yang dikenal sebagai Kawasan Adat Ammatoa dan Ipantarang Embayya (Tanah Kausayya) atau lebih dikenal dengan nama Kajang Luar (Aminah dalam Heryati, 2013). . Meskipun terbagi menjadi dua kelompok, tidak ada perbedaan diantara keduanya. Sejak dulu hingga sekarang, mereka selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur. Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat Suku Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur. Bagi masyarakat Kajang, modernitas juga dianggap sebagai pengaruh yang dapat menyimpang dari aturan adat dan ajaran leluhur sehingga mereka tidak mudah untuk menerima. Kehidupan masyarakat Kajang sangat dipengruhi oleh kepercayaan yang dianut yaitu patuntung yang bersumber dari pasang rikajang yaitu berupa pesan, petuah, amanah yang sifatnya sakral dan hukumnya wajib untuk dilaksanakan. Dalam Pasang itu juga

terdapat amanah untuk selalu hidup sederhana, selaras dan menjaga alam, khususnya hutan, karena dari alam tersebutlah mereka mendapatkan sumber kehidupan. Kesederhanaan Suku Kajang juga terlihat dari bentuk rumahnya, semua rumah warga dibangun dengan bentuk dan dari bahan yang sama . Bangunan rumahnya terbuat dari kayu, sementara atapnya terbuat dari ijuk. Konsep ini menunjukkan kesederhanaan sebagai simbol keseragaman. Mereka percaya, jika ada keseragaman tidak akan ada rasa iri diantara masyarakat Suku Kajang. Dalam membuat sebuah rumah, masyarakat Kajang harus mematuhi beberapa aturan adat yang berlaku. Salah satunya, mereka hanya boleh membangun rumah dari kayu. Rumah tidak boleh dari batu bata ataupun tanah. Bagi mereka, hanya orang matilah yang diapit tanah, sementara rumah untuk tempat orang hidup. Jika rumah dari batu bata ataupun tanah, meskipun penghuni rumah itu masih hidup, mereka akan dianggap mati oleh seluruh masyarakat Kajang. Bagi masyarakat Kajang, ajaran para leluhur memiliki arti penting. Begitu pentingnya, mereka selalu menjalankan berbagai aktifitas kehidupan berdasarkan tradisi leluhur. Aturan adat dari Sang Leluhur juga selalu mengikat setiap kegiatan mereka. 2. PEMBAHASAN 2.1. Struktur Adat Ammatoa Kajang Sistem struktur adat suku Ammatoa Kajang pada komunitas adat Kajang di Tana Toa (tanah tua) dipimpin oleh seorang disebut Ammatoa yang berarti bapak tertua atau pemimpin tertua dan masyarakat suku Kajang sangat patuh terhadap Ammatoa. Ammatoa memegang tampuk kepemimpinan di Tana Toa sepanjang hidupnya terhitung sejak dinobatkan sebagai Ammatoa. Sebabnya proses pemilihan Ammatoa tidak gampang, sesuatu yang tabu di Tana Toa bila seseorang bercita-cita jadi Ammatoa. Pasalnya, Ammatoa bukan dipilih oleh rakyat, tetapi seseorang yang diyakini mendapat berkah dari Tu RieA rana sang pencipta. Di dalam penuturan Pasang berupa pesan atau pedoman hidup disebutkan bahwa seorang Ammatoa adalah manusia pilihan, manusia utama. Seorang pemangku jabatan atau status Ammatoa mempunyai keistimewaan dan kelebihan dan bahkan dianggap suci. Itulah sebabnya menurut Pasang nama aslinya pantang disebutkan, sehingga ia dipanggil menurut statusnya yaitu Ammatoa. Di dalam pasang diungkapkan bahwa Ammatoa adalah manusia pertama yang muncul di dunia ini. Ammatoa menjalankan jabatannya ia didampingi oleh angrongta (ibu) yang menangani masalah tertentu. Ammatoa juga dibantu oleh Karaeng Tallu, dan adalimaya. Karaeng tallu bertugas membantu dalam bidang pemerintahan (ada tanaya). Adapun AdaLimaya adalah pembantu Ammatoa yang khusus bertugas mengurusi masalah adat (dewan adat). Struktur organisasi kekuasaan adat Tana Ammatoa Kajang dapat dilihat pada skema diagram berikut.

Gambar 1. Struktur Adat Ammatoa Kajang (Sumber: Hamudy, 2008)

Karaeng Tallua merupakan tri tunggal dalam bidang pemerintahan dan dikenal dengan tallu karaeng mingka sereji. Ini berarti bahwa apabila ada upacara adat dan salah satu orang di antaranya telah hadir dalam upacara adat tersebut, maka karaeng tallu sudah dianggap hadir. Dalam menjalankan peran dan fungsi sebagai pemimpin komunitas, Ammatoa dibantu oleh majelis adat untuk mengurusi berbagai bidang. Petugas (harian) yang membantu Amma Toa disebut kolehai dengan tugas masing-masing sebagai berikut: Galla Pantama (timborona tanaya) bertugas sebagai hakim Galla Lombo bertugas dalam bidang pertanian Galla Malleleng bertugas dalam bidang perikanan Galla Puto bertugas sebagai juru bicara/Ammatoa Gala Anjuru bertugas mengatur tamu yang akan menghadap Amma Toa Galla Bantalang bertugas melindungi hutan di Bantalang

Galla Sapa bertugas melindungi hutan di Sapayya dan menyiapkan bangunan untuk upacara adat. Galla Sangkala bertugas melindungi hutan di Sangkala Galla Ganta bertugas melindungi hutan di Ganta (hutan Bongo) Tu Toa Sangkala bertugas pada bidang pertanahan di daerah sangkala Tu Toa Ganta bertugas bertugas pada bidang pertanahan ( di daerah Ganta). Anrong bertugas mengatur perlengkapan upacara anganro. Lompo Karaeng bertugas mengatur urutan paccidongang Lompo Ada bertugas mengatur urutan hidangan menurut kedudukan adat Para pejabat di atas dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada Amma Toa, berdasarkan adat (manajemen tradisional) yang diatur oleh Amma Toa. Adapun urusan yang berkaitan dengan pemerintahan (formal) diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah, secara formal mulai dari tingkat Kepala Desa, Camat dan seterusnya. Komunitas Amma Toa tergolong sangat patuh/loyal kepada pemerintah. Hal tersebut memang diamanatkan dalam Pasang: Igitte tau caddia ammuluki riadahang, suruki riajoka, naki minahang rihajo-hajona pamarentata naiya pamarentata iyamintu arong ammata. Artinya: Kita masyarakat perlu tunduk takluk di bawah petunjuk pemerintah. Sebab pemerintah adalah orang tua kita. Sebagai orang yang dituakan, ini berarti bahwa Ammatoa adalah pengayom dan suri tauladan bagi semua warga/ komunitasnya. Ia menjadi pelindung (Sanro) jika terjadi bambang lantama ujung latoro. Artinya apabila negeri di landa wabah penyakit dan bahaya peperangan Amma menjadi pelindung dan tumpuan utama komunitasnya. Amma nilangngere, nituruki, siagang nipalalangngi. Artinya Amma didengar nasehatnya, ditiru perbuatannya, dan dijadikan panutan. Sebagai penghubung manusia dan Tu Rie Arana (Yang Berkehendak) timbal balik. 2.2. Kepercayaan Suku Adat Ammatoa Kajang Masyarakat Ammatoa Kajang seluruhnya beragama Islam, akan tetapi dalam kehidupan beragama mereka masih memegang teguh ajaran-ajaran leluhur. Ajaran kepercayaan leluhur yang dimaksud adalah Patuntung , kata Patuntung dalam dialek Konjo, berasal dari kata Tuntung yang mendapat awalan Pa sama dengan awalan Pe dalam bahasa Indonesia yang berarti Penuntut atau Pelajar. Jadi Patuntung maksudnya seorang yang sedang mempelajari Panggisengang (ilmu pengetahuan) yang bersumber dari Pasang ri Kajang yang mengandung pesan-pesan, petuah-petuah, pedoman atau petunjuk yang ditaati, dan dituruti serta diamalkan demi kebahagian akhirat (Heryati, 2013).

Patuntung bagi masyarakat Kajang adalah suatu sistem kepercayaan dan menganggap sebagi sumber kebenaran. Patuntung berarti sujud, artinya bahwa masyarakat kajang harus patuh terhadap ajaran yang dari Turiek Akrakna (sang pencipta) melalui Ammatoa yang pertama. Kepercayaan ini juga sangat melarang keras masuknya modernisasi karena mereka menganggap bahwa tidak menghormati leluhurnya. Intinya, masyarakat kajang mengakui sebagai masyarakat yang menganut agama islam tetapi mereka juga masih tetap mewariska budaya leluhurnya dengan tetap menjalankan aturan-aturan adat atau pesan yang telah disampaikan oleh Turiek akrakna melalui Ammatoa pertama (Tajuddin, 2013. SUKU ADAT AMMATOA KAJANG KAB. BULUKUMBA SULAWESI SELATAN dalam http://fatjrint.blogspot.com/2013/05/suku-adat-ammatoa-kajang-kab-bulukumba.html (17 oktober 2013). Ajaran utama agama Patuntung adalah jika manusia ingin mendapatakan sumber kebenaran maka manusia harus menyandarkan diri pada tiga pilar utama a. Menghormati Turiek Akrakna (Tuhan) b. Tanah yang diberikan Turiek Akrakna (tana toa atau lingkungan secara umum) c. Dan nenek moyang (To Manurung atau Ammatoa) Turiek Akrakna menurunkan perintahnya kepada masyarakat Kajang melalui passang (pesan atau wahyu) yang diberikan kepada manusia pertama yang diturunkan ke dunia, To Manurung atau yang kemudian disebut Ammatoa. Agar pasang tersampaikan dengan baik maka Turiek Akrakna memerintahkan Ammatoa untuk menjaga dan menyebarkannya. Ammatoa juga berfungsi sebagai mediator antara Turiek Akrakna dengan manusia. Makanya, adat suku Kajang sering juga disebut adat Ammatoa. 2.3. Sumber Pedoman: Pasang Rikajang Pasang merupakan pesan-pesan yang berisi pengetahuan hidup yang harus ditaati. Jika tidak ditaati maka akan terjadi hal-hal buruk. Secara harfiah, Pasang berarti Pesan. Akan tetapi dalam pengertian komunitas Ammatoa, Pasang mengandung makna yang lebih dari sekedar pesan. Ia lebih merupakan sebuah amanat yang sifatnya sakral. Terbukti bahwa Pasang merupakan sesuatu yang wajib hukumya untuk dituruti, dipatuhi dan dilaksanakan, yang bila tidak dilaksanakan, akan berakibat munculnya hal-hal yang tidak diinginkan seperti rusaknya keseimbangan sistem sosial dan ekologis, (Kajang: Babara) antara lain berwujud penyakit tertentu (Kajang: Natabai Passau) pada yang bersangkutan maupun terhadap keseluruhan warga . Pasang ini merupakan sumber pedoman yang berisi pesan-pesan yang mengatur segala-sendi kehidupan seperti ketuhanan, kemasyarakatan, pemerintahan hingga pesan untuk menjaga alam. Berikut ini merupakan beberapa materi Pasang, sebagai berikut: 1. Pasang Sehubungan dengan Religi Ketuhanan

a. Anne Linoa pammari mariangji ahera pammantangang satuli-tuli. Artinya Dunia ini hanya terminal sementara, akhiratlah tempat yang abadi

b. Tu Rie Arana ammantangi ri pangngarakanna artinya Tu Rie Arana (Tuhan) berbuat sesuai kehendaknya. c. Abboyaku Suruga narie nuerang mange riahera, napunna naraka nuhoja, naraka to nuerang mange konjo. Artinya Carilah surga (semasa tinggal di dunia), sebab kalau neraka yang engkau cari neraka juga yang kau bawa ke akhirat. Butir Pasang tersebut di atas mengandung ajaran tentang religi/ Ketuhanan, yang bermakna harus melakukan perintahnya dan menghindari larangan Nya. Manusia juga harus berusaha mencari nilai kebajikan demi kehidupan di hari kemudian. Sekalipun komunitas Amma Toa tidak melaksanakan syariat Islam, tetapi sikap pengamalan Pasang ini adalah perbuatan luhur sesuai ajaran Patuntung. 2. Pasang sehubungan dengan kehidupan dan kemasyarakatan .

a. Ako naha-nahai lanupunnai numaeng taua napattiki songo artinya Jangan berniat memiliki sesuatu yang berasal dari tetesan keringat orang lain. Ini merupakan nasehat agar jangan mengambil hak orang lain. b. Ako appadai tummue parring artinya jangan seperti orang membelah bambu.

Ini bermakna anjuran untuk berlaku adil. c. Ako kalangnge-langngere, ako kaitte-itte, ako katappa-tappa, rikarambu lalang riasu timuang. Artinya jangan sebarang mendengar, jangan sembarang melihat, jangan sembarang percaya kepada anjing yang melolong. Pesan ini mengandung makna jangan mudah terpengaruh oleh pendengaran dan penglihatan. Harus ada filter untuk menyaring pengaruh / budaya yang belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa. 3. Pasang sehubungan dengan pemerintahan

a. Bola-bola palettekang, baju-baju pasampeang, petta kalennu kamaseang kolantunu, naiya kalabiranga alele cera mintoi. Artinya Rumah-rumah dapat dipindahkan, bajubaju dapat ditanggalkan, jaga dirimu kasihani lututmu, yang dikatakan kekuasaan mengalir bagai darah Pasang ini memberikan peringatan kepada pemimpin, bahwa kekuasaan itu tidak selamanya dimiliki. Kekuasaan itu akan berpindah seperti darah yang mengalir dalam tubuh. Ini merupakan anjuran kepada pemegang kekuasaan agar selalu melaksanakan amanah. b. Lambusunuji nukaraeng, gattannuji nu ada, sabaranuji nu guru, pisonanuji nu sanro. Artinya, karena jujur engkau menjadi pemerintah, karena tegas engkau menjadi adat, karena sabar engkau menjadi guru, karena pasrah engkau menjadi dukun.

Pasang ini bermakna bahwa seseorang yang memegang jabatan harus memiliki sifat, yaitu jujur, tegas, sabar, dan pasrah. 4. Pasang sehubungan dengan pelestarian alam (hutan)

Sehubungan dengan pengelolaan/ pelestarian lingkungan (hutan), ada beberapa butir Pasang yang merupakan ajaran pokok dalam melestarikan lingkungan. a. Nipanjari inne linoa lollong bonena, lani pakkegunai risikonjo tummantanga ribahonna linoa.Mingka urangi toi ampallarroi linoa rikau tala rie lana pangngurangiang. Artinya dijadikan bumi ini beserta isinya untuk dimanfaatkan oleh manusia. Tetapi perlu diingat apabila bumi marah kepada engkau, tidak ada yang dapat mencegahnya Pasang ini mengandung makna bahwa manusia dilarang mengeksploitasi alam secara berlebihan, sebab dapat menimbulkan bencana bagi manusia. Apabila alam murka, tidak dapat dicegah atau dihindari. b. Jagai Linoa lollong bonena, kammayatompa langika siagang rupa taua, siagang boronga. Pasang ini berarti peliharalah bumi beserta isinya, begitupun langit, manusia maupun hutan. c. Punna nitabangi kayua ri boronga, angnqurangngi bosi, appatanrei timbusua, anjo boronga angkontai bosia, akana kayua appakalompo timbusu, raung kayua angngonta bosi. Artinya: kalau pohon kayu di hutan ditebang, akan mengurangi hujan, meniadakan mata air. Hutan itulah yang mengontak hujan, akarnya membesarkan mata air, daunnya yang menarik hujan. d. Punna erokko annabang sipoko kayu ri boronga, alamunko rolo ruang pokoanggenna timbo. Artinya, kalau ingin menebang satu batang pohon kayu di dalam hutan harus menanam dulu dua pohon sampai tumbuh dengan baik. Menurut persepsi orang Kajang, ada keterkaitan antara hubungan alam jagad raya (alang lompowa) dengan manusia (alang caddiyya) dalam menjamin kelangsungan sistem sirkulasi hidrologi. Dalam Pasang disebutkan, bahwa punna lanumpanraki anjo boronga nupanraki kalennu sanggena tuhusennu artinya menghancurkan hutan berarti menghancurkan diri sendiri, termasuk generasi yang akan datang. Sebaliknya, boronga parallu nijarreki nitallassi naanre. ancuru tolinowa anjo pasanna toriolowa artinya hutan harus dilestarikan, agar kehidupan ini tidak binasa sesuai pesan luluhur kita. Salah satu pasal dalam Pasang ini mengandung suatu bentuk pesan mulia, bahwa melestarikan hutan berarti menyelamatkan dunia beserta isinya, kedua bentuk akibat di atas sangat ditentukan oleh keseimbangan alam (environmental equilibrium), (Gising, 2012).

Keseimbangan tersebut dapat berlangsung apabila mata rantai sirkulasi hidrologi tetap terjamin. Sembilan pasal Pasang ri Kajang berikut mengisyaratkan perlunya keseimbangan sistem sirkulasi hidrologi (Gising, 2012), dan bunyinya sebagai berikut:

Gambar 2 : Siklus hidrologi: tanah, laut, atmosfer, salju, air permukaan (Sumber: proyeksipil.blogspot.com).

1. Punna hambangi linoa, Annapasaki buttaya subangiya. Bila cuaca panas, maka itulah yang disebut bumi sedang bernafas. 2. Sangkammatonggi rupa tauyya manna pokok kaju annapasatongngi. Seperti halnya dengan manusia, pohon pun juga bernapas. 3. Punna bangimi lanungmi antu nikkua langi. Bila malam hari tiba turunlah embun. 4. Punna lanaimaki alloa assajangmintu langia anjari olong. Jika matahari mulai meninggi, embun tersebut menguap menjadi awan. 5. Tugasana olonga yamintu langngalle ere inung ritamparanga. Tugas awan adalah mengambil air minum di lautan. 6. Antumi olonga anjari bosi. Awan itulah yang selanjunya berproses menjadi hujan. 7. Anjo akak kajua anampungi timbusu. Akar kayu itu menampung air.

8. Nikua tumbusu yamintu ere buttayya. Yang dimaksud dengan mata-air yaitu air tanah. 9. Narie kaloro battu ri boronga, narie tumbusu battu ri kajua battu ri kalelenga. Ada sungai mengalir dari hutan dan adanya mata-air dari pepohonan dan belukar. Pasal-pasal di atas memperlihatkan bagaimana proses terjadinya sirkulasi hidrolis menurut pemahaman masyarakat suku adat Ammatoa kajang yang dituangkan dalam Pasang. Sebuah bentuk kearifan lokal masyarakat yang sudah memiliki pengetahuan tradisonal yang mampu berfungsi untuk mengatur segala sendi kehidupan yang ada didalam komunitas mereka. 2.4. Prinsip Kesederhanaan Hidup Kamase-masea adalah cara khusus komunitas Ammatoa di dalam mempertahankan kelangsungan hidup kelompoknya dan di dalam melestarikan nilai-nilai yang mereka jadikan pedoman hidup (Akib, 2003). Bagi masyarakat ammatoa khususnya yang bermukim di dalam kawasan adat, konsep hidup kamase-masea adalah bentuk kehidupan yang ideal dan cukup. Meraka ikhlas dan pasrah hidup secara sederhana sebagai hidup yang telah ditakdirkan oleh yang Maha Kuasa, dan senantiasa bermohon agar hidup seperti ini dilakukan oleh keturunan mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, konsep kesederhanaan nampak dalam wujud pakaian adat dan sehari-hari yang berwarna hitam. Mereka hanya memilih satu warna yaitu hitam sebagai pelambang kesederhanaan dan kejujuran dan harus dipatuhi karena merupakan sebuah pesan dari nenek moyangnya atau pesan dari Turiek Akrakna. Bagi suku adat Ammatoa, bukan warna hitam saja yang dijadikan sakral tetapi juga warna putih karena mereka percaya dan menganggap bahwa di dunia ini hanya ada gelap terang yang berarti hitam dan terang yang berarti putih. Warna hitam digunakan juga karena dapat menselaraskan dan barmakna sederhana. Sedangkan putih hanya bisa digunakan oleh masyarakat yang dianggap berilmu tinggi. Namun, tetaplah warna hitam dijadikan sebagai warna sakral karena dapat bermakna persamaan derajat tanpa membeda-bedakan.

Gambar 3. Pakaian Adat Masyarakat Suku Kajang (Sumber: dunia-kampus-sanggar-seni-panrita.blogspot.com)

Dalam keseharian tidak pernah menggunakan alas kaki dan selalu menggunakan pakaian yang berwarna hitam, bahkan dikawasan ini masyarakat tidak menggunakan teknologi yang ada sekarang, seperti listrik dan barang-barang elektronik serta prabot-prabot dalam rumah tangga. Mengenai kesederhanaan ini juga tercantum pada Pasang yang berbunyi Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, adakkako nu kamase-mase, ameako nu kamase-mase (berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana) Filosofi masyarakat kampung adat suku Kajang. Angnganre na rie, care-care na rie, Pammalli juku na rie, tan koko na galung rie, Balla situju-tuju. Artinya: hidup yang cukup itu adalah bila makanan ada, pakaian ada, pembeli lauk ada, sawah dan ladang ada dan rumah yang sederhana saja. Masyarakat adat Kajang hidup dari bertani dan memelihara hewan ternak. Kesederhanaan Suku Kajang juga terlihat dari bentuk rumahnya, semua rumah warga dibangun dengan bentuk dan dari bahan yang sama . Bangunan rumahnya terbuat dari kayu, sementara atapnya terbuat dari ijuk. Konsep ini menunjukkan kesederhanaan sebagai simbol keseragaman. Mereka percaya, jika ada keseragaman tidak akan ada rasa iri diantara masyarakat Suku Kajang.

Gambar 4. Rumah Masyarakat Suku Kajang (Sumber: sosbud.kompasiana.com)

2.5. Interaksi Sosial Budaya Suku Adat Ammatoa Kajang Masyarakat adat Kajang dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, menganut pada Pasang (pesan) yang wajib di laksanakan sehingga akan mempunyai sanksi yang tegas terhadap penyimpangan yang terjadi. Menurut masyarakat adat Kajang, Pasang adalah norma atau nilai yang harus dijunjung tinggi. Pelanggaran terhadap norma atau nilai itu, akan mengakibatkan dijatuhkannya sanksi kepada pelakunya. Mata pencaharian masyarakat adat Ammatoa, pada umumnya petani, peternak, sebagian kecil pedagang, pertukangan dan pegawai. Lokasi sawah dan ladang mereka cukup jauh dari tempat tinggalnya sekitar 1-7 km. Petani umumnya mengerjakan sendiri sawah ladang mereka. Kaum perempuan pekerjaannya menenun kain (sarung dan selendang)

dengan bahan tenunnya berasal dari tanaman Tarum yang mereka tanam sendiri. Alat tenun dan alat setrika dibuat dengan teknologi yang sangat sederhana. Hasil tenun ini dapat dipasarkan langsung kepada pembeli yang datang terutama turis asing. Mata pencaharian lainnya dari sektor pertanian adalah menanam komoditas jangka panjang seperti kayu jati dan tanaman musiman. Jadi masyarakat melakukan interaksi salah-satunya tergantung dari mata pencahariannya. Bahasa yang digunakan oleh orang Kajang sehari-hari adalah Konjo, bahasa Konjo merupakan rumpun bahasa Makassar yang berkembang tersendiri dalam suatu komunitas masyarakat. Dalam hal pernikahan, masyarakat adat Tana Toa terikat oleh adat yang mengharuskan menikah dengan sesama orang dalam kawasan adat. Jika tidak maka mereka harus hidup di luar kawasan adat, pengecualian bagi pasangan yang bersedia mengikuti segala aturan dan adat-istiadat yang berlaku di dalam kawasan adat. Dalam kehidupan Masyarakat Kajang, kaum wanita diwajibkan bisa membuat kain dan memasak. Sedangkan kaum pria diwajibkan untuk bekerja di ladang dan membuat perlengkapan rumah dari kayu. Keahlian membuat perlengkapan dari kayu ini juga merupakan kewajiban bagi kaum pria untuk berumah tangga. Setiap usai panen mereka selalu menggelar upacara adat yang bertujuan sebagai ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta. Upacara adat yang disebut Rumatang ini dipimpin langsung oleh Ammatowa. Terdapat jenis tarian adat yang bernama Pubatte Passapu atau Sabung ayam Tarian tersebut mengalir begitu saja, tanpa latihan apalagi gladi resik Pabbatte Passapu menceritakan sabung ayam yang diperagakan dengan passapu (ikat kepala).

Gambar 5. Pembuatan Kain Tenun (Sumber: thephinisicenter.blogspot.com)

Gambar 6. Upacara Adat (Sumber: shamawar.wordpress.com)

Gambar 7. Tarian Adat (Sumber: http://arhamkis.blogspot.com/)

Gambar 8.Kegiatan menuju ke ladang (Sumber: shamawar.wordpress.com)

2.6. Konsep Orientasi Rumah Suku Kajang Dalam kawasan adat Tana Toa terdapat suatu kawasan inti yang berada di sekitar rumah Ammatoa dan para pemangku adat. Kawasan inti ini terlihat dari letak atau pola pemukiman yang menghadap ke arah Barat atau arah kiblat, yang masih menyesuaikan dengan adat dan tradisi mereka. Setiap bentuk rumah Suku Kajang selalu sama, mereka menganggap, persamaan itu sebagai simbol kebersamaan. Secara fisik tidak jauh beda dengan rumah adat masyarakat bugis makassar struktur yang tinggi dan masih mempergunakan kekayaan hutan disekitar untuk membuatnya.

Gambar 9. Konsep Orientasi Rumah Kajang (Sumber: Heryati, 2013)

Konsep orientasi rumah tradisional yang dalam bahasa Kajang disebut Panjolang semua menghadap ke Barat. Dikarenakan arah barat, mengarah pada suatu tempat yang terletak di sebelah barat yakni Parasangang iraya (perkampungan sebelah barat) yang terletak dalam hutan adat Tupalo, dimana dalam sejarah leluhur manusia Kajang disebutkan bahwa tempat itu merupakan tempat pertama kali leluhur mereka menginjakkan kaki di bumi ini, atau dengan kata lain bahwa sebelah barat itulah awal mula keberadaan/kehidupan manusia di bumi. Dan pada akhir hidupnya, leluhur tersebut memilih tempat untuk kembali di Parasangang ilau (perkampungan di sebelah timur) yang terletak di dalam hutan Karanjang. Kedua tempat ini merupakan pusat orientasi kegiatan/ritual termasuk orientasi arah rumah.

2.7. Rumah Suku Kajang Rumah suku Kajang merupakan rumah traditional tipe rumah panggung, merupakan ciri rumah suku Bugis-Makassar. Di Tana Toa, semua rumah warga dibangun dengan bentuk yang sama. Konsep ini menunjukkan kesederhanaan dan sebagai simbol keseragaman. Seperti pada umumnya rumah panggung tradisional, pola rumah suku Kajang juga dibagi secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal, rumah adat Kajang dapat dibagi 3 bagian, yaitu:

Para

Kale Balla Siring


Gambar10. Organisasi Ruang Vertikal (Sumber: Heryati, 2013)

Secara vertikal terbagi dalam 3 bagian, bagian atas disebut Para (3); merupakan tempat yang dianggap suci biasanya dipakai untuk menyimpan bahan makanan, bagian tengah disebut Kale Balla (2); sebagai tempat manusia menetap atau bertempat tinggal, bagian bawah disebut Siring (1); sebagai tempat menenun kain atau sarung hitam (topeh leleng) merupakan pakaian khas masyarakat Ammatoa. Konsep ini sekaligus merupakan interpretasi dari wujud fisik manusia yang terdiri dari kepala, badan, dan kaki. Tidak seperti rumah suku rumpun Bugis-Makassar yang lainnya, keturunan Ammatoa tidak melihat strata sosial dari bentuk dan model rumah. Pada timpa laja (atap bagian depan) hanya dibuat 2 susun, sedangkan yang memiliki susunan timpa laja yang lebih dari 2 merupakan rumah yang berada diluar kampung adat Ammatoa Tana Toa Kajang.

Gambar11. (a) Timpa Laja 2 susun, (b) Timpa laja lebih dari 2 susun (Sumber: Heryati, 2013)

Secara horisontal pembagian ruang sebagai berikut:

Latta Riboko

Latta Tangnga

Latta Riolo

Gambar12. Organisasi Runag Horizontal (Sumber: Heryati, 2013)

Gambar13. Pallu/Dapur (Sumber: Heryati, 2013)

Secara horisontal, rumah adat Kajang juga terdiri atas 3 bagian, yaitu: 1. Ruang depan (latta riolo) yang digunakan sebagai dapur dan ruang tamu. 2. Ruang tengah (latta tangaga) digunakan untuk ruang makan, ruang tamu adat, dan juga ruang tidur untuk anggota keluarga. 3. Ruang belakang (Tala) menjadi bilik kepala keluarga dan dibatasi oleh dinding papan atau bambu. Lantai bilik ini lebih tinggi sekitar 30 cm (3 latta = genggam pemilik rumah) dari lantai ruang tengah dan dapur. Dari tampak bangunan sangat sederhana, tanpa ornamen dan tidak dicat. Ini merupakan cermin hidup masyarakat Ammatoa yang selalu hidup sederhana dan selalu berorientasi pada lingkungan sebagaimana yang tercantum dalam aturan pasang. Dinding terbuat dari papan yang di ketam dan di pasang melintang. Jendelajendela kecil diletakkan sedikit lebih tinggi dari lantai. Pintu keluar hanya ada satu buah, yaitu yang diletakkan pada bagian tengah muka bangunan.
Tiangtiangnya (benteng) ditanam ke dalam tanah, kayu ini biasanya disebut Nanasayya dan istimewanya bila ada yang lapuk bisa langsung diganti tanpa perlu membongkar rumah. Tinggi tiang ke lantai kurang lebih 2 meter, sehingga di bagian bawah rumah dimungkinkan melakukan kegiatan, seperti : menenun, menumbuk padi atau jagung, tempat ternak, dan sebagainya. Pada tiang tengah, benteng tangngaya biasanya digantungkan tanduk kerbau yang pernah dipotong untuk upacara,

misalnya : upacara perkawinan.

Bagian lain adalah tiang pusat (pocci balla) yang merupakan analogi dari pusar pada tubuh manusia dimana nutrisi ditransfer ke embrio dan tempat yang ditujukan untuk perlindungan. Oleh karena itu Pocci Balla ini dianggap sebagai pusat yang membentuk keseimbangan, selain itu secara mistik mempunyai nilai religius, dianggap keramat (suci). Pada tiang ini mendapat perhatian yang paling penting diikuti dengan syarat-syarat termasuk bahan/jenis kayu dan tata cara mendirikannya. Dilihat dari letaknya tiang (benteng) dibedakan atas: a). Benteng Tangnga /Benteng Pocci balla, merupakan tiang pusat yang terletak pada baris kedua dari depan dan kolom kedua dari kiri rumah (A). b). Benteng Pokok Balla, merupakan tiang yang terletak pada sudut kiri rumah (B).

Gambar14. Susunan Pola Tiang (Benteng) (Sumber: Heryati, 2013)

Gambar15. Tiang yang ditanam (Sumber: Heryati, 2013)

Gambar16. Tanduk kerbau pada tiang tengah (Pocci Balla) (Sumber: Heryati, 2013)

Gambar17. Sistem Konstruksi (Sumber: Heryati, 2013)

Letak rumah tradisional di luar kawasan adat sekalipun masih dipengaruhi sistim kekerabatan dimana anggota keluarga yang sudah berkeluarga dan merasa mampu untuk mandiri cenderung menetap disekitar rumah keluarga inti, aturan-aturan yang mengikat mengenai tata letak seperti mempertimbangkan hubungan kekerabatan antara orang tua dan anak atau antara saudara (kakak dan adik)/antara yang muda dan tua tidak lagi menjadi hal yang harus dipertimbangkan. Hal ini diakibatkan karena kondisi alam/lingkungan mereka tinggal dan tergantung dari letak/tersedianya lahan kosong yang mereka miliki.

3. KESIMPULAN Sosio-Antropologi di kampung adat Ammatoa Tana Toa Kajang terwujud pada sikap kebersamaan masyarakat terhadap kepatuhan pada aturan-aturan/ nilai-nilai tradisi dalam Pasang yang dianut komunitas Ammatoa kajang tercermin pada tiap sendi-sendi kehidupan seperti hubungan ke sang pencipta Turiek Akrakna, antara sesama, sistem kemasyarakatan, sistem pemerintahan, pasang mengenai alam (hutan) dan juga pola permukiman dan rumah tinggal masyrakatnya. Mulai dari pola pemukiman, orientasi bangunan yang semua menghadap ke Barat sampai pada pola tata ruang, bentuk, dan struktur kontruksi rumah memperlihatkan keseragaman (homogeneity). Dari segi tampak bangunan sangat sederhana, tanpa ornamen dan tidak dicat. Ini merupakan cermin hidup masyarakat Ammatoa yang selalu hidup sederhana dan selalu berorientasi pada lingkungan sebagaimana yang tercantum dalam aturan/pasang mereka. Kekhasan ini digambarkan dalam istilah butta kamase-mase (negeri prihatin) dan wilayah di luarnya mereka menyebutnya butta kausayya (negeri luar). Sebuah nilai kearifan lokal yang tertuang dalam Pasang yang digunakan sebagai pedoman hidup masyarakat adat Ammatoa Kajang. Pasang tersebutlah yang menjadi sumber yang mempengaruhi serta membentuk sosial budaya dikawasan ini. Pasang yang berpesan untuk hidup sederhana dan terus dilakukan oleh masyarakat di tempat ini tertuang dalam Pasang itu sendiri yang berbunyi, Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamasemase, adakkako nu kamase-mase, ameako nu kamase-mase (berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana) Filosofi masyarakat kampung adat suku Kajang. Suku Kajang di kampung adat Ammatoa Tana Toa Kajang suku yang masih memegang teguh adat dan tradisinya hingga saat ini. Meskipun sekarang sudah banyak suku pedalaman yang meninggalkan adat dan tradisinya. Suku kajang juga merupakan suku yang sangat tidak bisa menerima perubahan meskipun hanya sedikit. Mereka menganggap perubahan itu melanggar hukum adat yang di buat oleh nenek moyang mereka. Suku unik, alami, sederhana, alam yang masih asri, hutan yang masih terjaga, dan lain-lain, menjadikan kajang saat ini menjadi salah satu favorit wisata budaya. Dengan perkembangan tersebut, dan pada kenyataan kondisi sekarang, masyarakat suku ini sudah mulai menerima perubahan dan pemikiran-pemikiran dari luar, meskipun harus melalui seleksi yang sangat ketat.

REFERENSI/DAFTAR PUSTAKA Aminah, Sitti. 1989. Nilai-nilai Luhur Budaya Spritual Masyarakat Ammatoa Kajang. Departemen P & K Sulawesi Selatan. Akib, Yusuf, 2003. Potret Manusia Kajang, Pustaka Refleksi: Makassar. Adriani et al, 2011. (Arsitektur Vernakular) Studi Bentuk Rumah Adat Suku Kajang, http://wirda-utsukushi.blogspot.com/2011/02/arsitektur-vernakular-studi-bentuk.html (diakses pada tanggal 14 oktober 2013) Gising, 2012. SIMBOLISME DALAM TRADISI LISAN PASANG RI KAJANG: TINJAUAN SEMIOTIK. Universitas Hananuddin. BAHASA DAN SENI, Tahun 40, Nomor 2, Agustus 2012. Heryati, 2013. Menguak Nilai-nilai Tradisi Pada Rumah Tinggal Masyarakat AmmatoaTanatoa Kajang di Sulawesi Selatan Hijjang, 2005. Pasang dan Kepemimpinan Ammatoa:Memahami Kembali Sistem Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Kajang Sulawesi Selatan. Universitas Hasanuddin. ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005 Hamudy, 2008. Perselingkuhan Politik Ammatoa:Kajian Antropologi Politik Di Kajang, Bulukumba. Departemen Dalam Negeri. UNISIA, Vol. XXXI No. 70 Desember 2008:392416 Mahbud, 2008. HURUPU ' SULAPA EPPA', ETIKA LINGKUNGAN DAN KEARIFAN LOKAL. Pusat Studi Pedesaan UNHAS. Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 1 Mei 2008, 001-110. Mengenal Budaya Bulukumba Bagian 2 Kajang, akbar.blogspot.com/2012/02/mengenal-budaya-bulukumba-bagians-2.html tanggal 15 oktober 2013) http://anshari (diakses pada

Noorwahdah et al, 2012. Makalah: Pola Interaksi Masyarakat Kajang. Sekolah Islam Athirah Boarding School Bone, http://karlinaende.blogspot.com/2012/05/makalah-pola-interaksimasyarakat.html ( kamis 17 oktober 2013) Syafri et al, 2011. Mengenal Suku Kajang. SMA Negeri 21 Makassar 2011/2012 Suku Kajang. http://dhiyaalfiyyahansar.blogspot.com/2013/04/suku-kajang.html (diakses pada tanggal 13 oktober 2013) Tajuddin, 2013. SUKU ADAT AMMATOA KAJANG KAB. BULUKUMBA SULAWESI SELATAN, http://fatjrint.blogspot.com/2013/05/suku-adat-ammatoa-kajang-kabbulukumba.html (diakses 17 oktober 2013).

Anda mungkin juga menyukai