Anda di halaman 1dari 23

Makalah Hasil Penelitian

“ANDINGINGI” DI KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

Fatmawati P

A. Latar belakang
Kebudayaan merupakan suatu kekayaan yang sangat bernilai karena selain
merupakan ciri khas suatu daerah juga menjadi lambang dari keperibadian suatu bangsa
atau daerah. Karena kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah,
maka menjaga, memelihara, dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap
individu, dengan kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan
dilestarikan oleh setiap suku bangsa.

Salah satu komunitas adat yang ada di Kabupaten Bulukumba adalah komunitas
adat Kajang yang berdomisili di Kecamatan Kajang, tepatnya di kajang dalam (suku
kajang, mereka disebut “tau kajang”). Daerah kajang juga terkenal dengan hukum
adatnya yang sangat kental dan masih berlaku sampai sekarang. Mereka menjauhkan
diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan modernisasi, kegiatan ekonomi, dan
pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Suku kajang 100% memeluk agama Islam,
meskipun demikian mereka juga memperaktekkan sebuah kepercayaan adat yang
disebut dengan patuntung. Patuntung diartikan sebagai mencari sumber kebenaran.
Komunitas suku Kajang dipimpin langsung oleh seseorang yang disebut
Ammatoa. Ammatoa adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang pantas untuk
menjadi pemimpin. Kedudukan Ammatoa adalah seumur hidup, jadi nanti orang yang
sudah dilantik menjadi pemimpin adat itu meninggal dunia, baru dipilih lagi pemimpin
adat selanjutnya sesuai dengan beberapa kriteria tertentu. Artinya orang yang akan
mendapatkan gelar Ammatoa harus mendapat petunjuk langsung dari Turie a’Ra’Na
(Tuhan) untuk melakukan beberapa hal sebelum jadi pemimpin.
Bagi komunitas ke-Ammatoaan, alam memiliki dimensi lain berupa kekuatan-
kekuatan yang ada pada benda-benda seperti, pohon besar dan batu besar. Komunitas
ke-Ammatoaan beranggapan bahwa kekuatan-kekuatan itu digerakkan oleh dewa-dewa
atau sering disebut dengan penjaga alam semesta. Hal tersebut sangat dipercayai oleh

1
komunitas Ammatoaan sehingga membuat mereka sangat menghormati alam.
Melestarikan alam adalah hakikat semua orang, karena pada dasarnya alam berfungsi
sebagai tempat tinggal bagi mahluk hidup, seperti manusia, binatang dan tumbuhan.
Selain itu alam juga memberikan kehidupan bagi manusia, dan mahluk lainnya.
Kekayaan yang diberikan Tuhan melalui hasil alam yang begitu besar kini dirasakan
bersama, sehingga sepatutnya hal tersebut dapat dijaga dan dilestarikan.
Sehubungan dengan kehidupan alam, terdapat satu ritual yang tidak dimiliki oleh
kelompok masyarakat manapun yang berfungsi menjaga dan melestarikan alam. Ritual
itu disebut sebagai Andingingi. Andingingi merupakan ritual mendinginkan alam dan
isinya dengan cara membawa makanan dan membakar kemenyang ditempat yang
mereka yakini sebagai Pa’rasangang Iraja (tempat suci), tepatnya berada di
Pammotokang Bombonga Ri Pattirotiroang (tempat berdoa). Tempat tersebut
merupakan sebuah panggung yang memanjang dan dihiasi dengan Janur Areng (buah
areng). Masyarakat adat melakukan acara ritual ini sebagai bentuk penjagaan dan
penghargaan terhadap hutan, diantaranya Attunu Pasaung (membakar kemenyang).
Andingingi ini dipimpin langsung oleh pemimpin adat yaitu Ammatoa (kepala suku).
Andingingi ini sebagai bentuk permintaan keselamatan kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa terhadap seluruh makhluknya, baik manusia, tumbuhan, maupun hewan
agar tidak tertimpa dari mala-petaka. Secara khusus ritual ini dijadikan sebagai waktu
untuk berkumpul, bertegur sapa antar sesama sekaligus untuk memohon doa terhadap
sesuatu yang ada di muka bumi ini. Mereka berdoa agar alam dan isinya dilindungi
serta diberkahi oleh Sang Maha Pencipta.
Andingingi merupakan salah satu tradisi ritual yang masih eksis sampai saat ini,
khususnya komunitas yang bermukim dalam kawasan adat (Ilang Embaya).
Pelaksanakan Andingingi dilakukan sebagai wujud ketaatan mereka kepada
TuRie’A’ra’na. Walaupun dalam kenyataannya sehari-hari, mereka hidup sederhana
(kamase-masea), akan tetapi dalam pelaksanaan Andingingi dilakukan secara besar-
besaran.

2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka pokok yang dikaji dalam
penelitian ini adalah “Andingingi” di Kajang Kabupaten Bulukumba. Untuk
memudahkan penentuan dan klasifikasi data guna menjawab pertanyaan tersebut, maka
ditetapkan sejumlah pertanyaan sebagai rincian dari fokus masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana latar historis Andingingi di Komunitas Kajang ?
2. Bagaimana proses pelaksanaan Andingingi di Komunitas Kajang ?
3. Apa fungsi dan makna Andingingi di Komunitas Kajang ?
4. Bagaimana upaya pelestariannya ?

C. Metode Penelitian
Berdasarkan pokok-pokok ranah kebudayaan tersebut, Pencatatan Warisan
Budaya Tak Benda (WBTB) dianggap penting karena beberapa elemen warisan budaya
tak benda mulai terancam punah. Kepunahan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor,
baik faktor dari luar maupun dari dalam kebudayaan itu sendiri. Guna menghindari
kepunahan warisan budaya takbenda di wilayah Indonesia, pemerintah mulai tanggap
dan menetapkan perlindungan warisan budaya tak benda sejak tahun 2007 melalui
peraturan Presiden No. 78 tahun 2007 tentang pengesahan Convention for the
Safegurdin of the Intangible Cultural Heritage yakni konvensi untuk perlindungan
warisan budaya tak benda (Indriati, 2012:81)
Pencatatan WBTB merupakan kegiatan inventarisasi yang bertujuan untuk
mengidentifikasi permasalahan budaya tak benda (intangible) yang berkembang pada
suatu masyarakat. Hal-hal yang perlu dijawab dalam menggali data di lapangan sudah
ditentukan dengan format baku. Sehubungan dengan hal tersebut, metodologi yang
diterapkan dalam kajian ini adalah pendekatan kualitatif
Untuk memperoleh data sesuai dengan fokus penelitian, maka digunakan
beberapa tehnik pengumpulan data, seperti :
- Observasi
Adapun yang akan diobservasi pada saat penelitian berlangsung adalah data-data
yang tidak bisa diperoleh melalui wawancara.
- Wawancara

3
Wawancara dilakukan secara intensif terhadap para informan dengan
menggunakan pedoman wawancara. Data utama bersumber langsung dari subyek
penelitian, yaitu dari para informan yang datanya relevan dengan permasalahan
penelitian.
- Study Pustaka
Studi pustaka adalah dengan membaca literatur-literatur yang ada relevansinya
dengan fokus kajian yang akan diteliti, seperti hasil-hasil penelitian berupa laporan,
jurnal, artikel dan lain-lain.

D. PEMBAHASAN
1. Latar historis Andingingi di Komunitas Kajang
Kata Andingingi adalah istilah bahasa Konjo yang berarti mendinginkan.
Menurut Ammatoa bahwa Andingingi merupakan acara adat yang melibatkan seluruh
pemangku adat serta warga komunitas adat. Andingingi dilakasanakan sekali dalam
setahun, dimana pelaksanaanya terkadang pada awal tahun terkadang juga
dilaksanakan pada akhir tahun. Komunitas adat Kajang menganggap pelaksanaan
Andingingi merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dan tidak boleh tidak.
Andingingi adalah bentuk permohonan yang sudah menjadi kebiasaan pada
Komunitas Kajang yang wajib dilakukan karena kebiasaan turun temurun dari generasi
ke generasi berikutnya. Andingingi adalah ritual yang sangat sakral bagi Komunitas
Kajang, adapun keuntungan/manfaat dari Andingingi ini yaitu agar terhindar dari bala
bencana, diberi rezeki yang banyak, hasil panen melimpah, baik dari tanaman jagung,
coklat, padi, pisang, kopi, dan merica.
Mengenai sejarah dari Andingingi tidak seorangpun yang mengetahui secara
pasti, kapan Andingingi ini mulai dilaksanakan oleh Komunitas adat Kajang, tetapi
menurut salah seorang tokoh masyarakat adat, yaitu bapak Puto Lateng (65 tahun),
bahwa Andingingi sudah dilaksanakan pada saat saya masih kecil sampai sekarang
umur saya sudah mencapai 65 tahun, ritual ini masih juga dilaksanakan. Jadi
Andingingi itu mulai dilaksanakan sejak adanya yang dinamakan Tanah Toa dan
Ammatoa sebagai pemimpin di Kajang (wawancara pada tanggal 1 Maret 2021).

4
Menurut Agus dan Adriana Mustafa (2020:6-7) bahwa ritual Andingingi
dilaksanakan sejak adanya Ammatoa yang pertama, saat itu belum ada Agama Islam
karena Ammatoa yang pertama adalah manusia pertama. Ritual Andingingi ini
dilaksanakan sebagai bentuk permohonan agar kesalahan yang pernah dilakukan
sebelumnya dapat diampuni dan agar apa yang dicita-citakan tercapai, seperti dijauhkan
dari bala bencana, hasil panen melimpah. Secara turun temurun. Ritual Andingingi
tidak pernah ditinggalkan hingga saat ini, apabila ritual tersebut tidak dilaksanakan
sekali dalam setahun, maka akan ada bencana alam yang akan terjadi di sekitar
kawasan adat kajang. Kebiasaan-kebiasaan orang kajang ini tidak bisa ditinggalkan
ataupun merubahnya, karena mereka percaya bahwa kebiasaannya inilah yang akan
menjadikannya selamat dunia akhirat
Berbeda halnya apa yang dikemukakan oleh kepala Desa Tana Toa, yaitu
Bapak Salam, mengatakan bahwa latar belakang sehingga dilaksanakannya
Andingingi, karena pada saat itu muncul penyakit yang melanda masyarakat adat,,
dimana penyakit tersebut lebih dinekal dengan nama reppe’ ulu (sakit kepala) dan
bambam (panas). Dengan munculnya penyakit tersebut, maka Ammatoa sebagai
pemimpin adat mengadakan Andingingi di dalam hutan yang dikenal pandingingian
dengan maksud memohon kepada Tuhan agar masyarakat dijauhkan dari penyakit
tersebut.
2. Proses Pelaksanaan “Andingingi” di Komunitas Kajang
- Tahap Persiapan Andingingi
Mengingat bahwa pelaksanaan Andingingi ini sifatnya tahunan, dilaksanakan
satu kali dalam setahun maka persiapan dari pelaksanaan ritual ini harus betul-betul
mantap dan seluruh pemangku-pemangku adat harus terlibat di dalamnya. Bahkan
seluruh persiapan kebutuhan dalam ritual seperti makanan, jauh sebelumnya sudah
dipersiapkan termasuk hewan yang akan disembelih jika itu memang ada, untuk
dimakan secara beramai-ramai. Semua bahan-bahan yang akan dipergunakan dalam
acara ini sudah dipersiapkan oleh masyarakat adat, sehingga dengan demikian acara
dapat berlangsung dengan tertib dan lancar.
Andingingi yang dilakukan oleh Komunitas adat Kajang merupakan wujud
penyembahan mereka terhadap Turie’ A’ra’na. Pelaksanaan Andingingi dengan

5
harapan mendapatkan kesejahteraan di dunia dan pahala di akhirat. Sebagaimana
kepercayaan mereka terhadap hari kemudian ( allo ri boko) , bahwa imbalan perbuatan
manusia akan diperoleh pada hari kemudian. Mereka meyakini bahwa dengan
melaksanakan Andingingi segala macam persoalan yang dihadapi oleh masyarakat
adat, dapat terselesaikan dengan baik.
Sudah menjadi kebiasaan pada Komunitas adat Kajang, bahwa apabila akan
dilaksanakan Andingingi, Ammatoa sebagai pemimpin pada Komunitas adat Kajang
terlebih dahulu melihat kapan datangnya bulan purnama, karena bulan purnama akan
menjadi acuan untuk dilaksanakannya Andingingi. Apabila Ammatoa sudah melihat
bulan purnama, maka selanjutnya Ammatoa mengutus beberapa orang untuk
menyampaikan keseluruh masyarakat adat, bahwa Andingingi akan segera
dilaksanakan. Pada saat masyarakat adat sudah mengetahui rencana Andingingi akan
dilaksanakan, maka seluruh warga mempersiapkan segala sesuatunya untuk dibawa
pada saat acara, terutama bahan makanan, baik itu bahan makanan untuk sesajian
maupun bahan makanan untuk dimakan bersama pada saat Andingingi.
Berbeda halnya dengan laki-laki yang mendapat tugas khusus dari Ammatoa
didalam mempersiapkan Andingingi, dimana tugas utama dari kaum laki-laki adalah
membuat tempat-tempat yang dijadikan peserta ritual untuk bernaung. Tempat yang
dibuat didalam hutan itu sebagai tempat melaksanakan ritual disebut Barung-barung
(pondok/tenda) yang terbuat dari anyaman bambu dan atapnya terbuat dari daun
rumbiah yang jumlahnya sudah ditentukan oleh Ammatoa sebanyak 75 lembar daun
rumbiah, tidak boleh dikurangi dan tidak boleh juga ditambah kecuali ada pasang yang
menganjurkan untuk ditambah.
Malam sebelum pelaksanaan Andingingi, telah dilakukan ritual yang disebut
appalenteng ere’ yaitu sebagai ritual persiapan. Ritual ini dipimpin langsung oleh
Ammatoa dan beberapa orang, dan tidak ada bahan sesajian. Lokasinya sama dengan
lokasi pelaksanaan Andingingi, yaitu di dalam hutan (pandingingian), penerangan pun
hanya menggunakan bahan dari kemiri dicampur dengan kapas dan ditusuk dengan
kayu lalu kemudian dibakar. Ritual appalenteng ere’ ini dipimpin langsung oleh
Ammatoa yang melakukan pemberkatan (dengan membaca mantra-mantra terhadap air
tersebut), dimana air yang ada di dalam baskon yang kira-kira banyaaknya 17 liter.

6
Air yang dijadikan perlengkapan ritual itu adalah air suci yang diambil dari
sumur tua yang bernama Buhung Bonto pao dan Buhung Tombolo (sumur bonto pao
dan sumur tombolo). Adapun orang yang ditugaskan oleh Ammatoa untuk pergi
mengambil air tersebut adalah dua orang perempuan tua, yang sejak dahulu dipercaya
oleh Ammatoa untuk mengambil air suci yang dipakai pada ritual Andingingi untuk
memercikkan air dari 4 (empat) arah mata angin atau 4 (empat) sudut.
Ritual appalente ere’ yang dipimpin oleh Ammatoa biasanya tidak berlangsung
lama karena keesokan harinya akan memasuki acara puncak, yaitu Andingingi. Setelah
ritual appalente ere’ dinyatakan selesai, maka Ammatoa pada saat itu juga
meninggalkan tempat ritual dan selanjutnya Ammatoa memerintahkan beberapa orang
untuk tinggal di dalam hutan (pandingingian) guna menjaga air yang akan
dipergunakan keesokan harinya. Hal ini dilakukan supaya air yang sudah mendapat
mantra-mantra dari Ammatoa dapat terjaga dari hal-hal yang dapat mengotori dari
kesucian air tersebut.
Sejak adanya penyampian dari Ammatoa bahwa akan dilaksanakan Andingingi,i
maka seluruh masyarakat adat bersatu padu mempersiapkan segala sesuatunya untuk
dipakai pada saat ritual tersebut, seperti bahan makanan untuk dimakan bersama,
bahan makanan untuk sesajian, membuat dua barung-barung yaitu pondok/tenda yang
dibangun di sebelah kiri jalan. Satu barung-barung dipakai untuk para tamu dari luar,
sedangkan barung-barung satu lagi ditempati oleh warga suku Kajang asli, termasuk
pemimpin suku (Ammatoa). Selain dari barung-barung, juga disediakan tangkai buah
pinang dan dedaunan diikat menjadi satu, yang disebut pabbe’bese, dan yang terakhir
adalah bacca sejenis bedak cair yang terbuat dari beras biasa dicampur dengan kunyit.
- Waktu Penyelenggaraan Andingingi
Waktu penyelenggaraan Andingingi biasanya dilaksanakan setelah Ammatoa
melihat datangnya bulan purnama, lalu beberapa orang dipanggil oleh Ammatoa untuk
menyampaikan kepada seluruh masyarakat adat bahwa Andingingi akan segera
dilaksanakan. Biasanya tenggang waktu pelaksanaan Andingingi setelah Ammatoa
melihat datangnya bulan purmana sekitar 14 hari lamanya. Pada saat itu seluruh
masyarakat adat yang akan mengikuti Andingingi sudah mempersiapkan segala
sesuatunya untuk dibawa ke acara ritual nanti, terutama bahan makanan baik itu

7
makanan untuk sesajian maupun bahan makanan yang akan dimakan pada saat
Andingingi.
Adapun waktu yang digunakan dalam penyelenggaraan Andingingi di dalam
hutan cukup singkat, dimana tahap persiapan yang dilaksanakan pada malam hari yang
disebut dengan ritual Appalenteng ere’ hanya memakan waktu beberapa jam saja,
setelah itu acara inti untuk keesokan hari yang akan dilakukan ditempat yang sama
hanya memakan waktu sekitar 3 jam, karena ritual ini harus selesai sebelum memasuki
waktu dhuhur.
Walaupun dalam pelaksanaan Andingingi waktunya sangat singkat tetapi tidak
mengurangi minat masyarakat yang ada di dalam kawasan dalam, untuk mengikuti
ritual dengan hikmat. Bahkan masyarakat yang ada di kawasan luar pun juga ikut serta
meramaikan acara tersebut. Di dalam pelaksanaan Andingingi pihak-pihak yang
ditunjuk oleh Ammatoa sangatlah penting artinya, keterlibatan anggota masyarakat dan
pemangku-pemangku adat maupun orang yang sudah berniat untuk datang pada acara
Andingingi adalah salah satu syarat bahwa ritual tersebut dapat dilaksanakan sesuai
keputusan Ammatoa.
- Tempat Penyelenggaraan Andingingi
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa, tempat penyelenggaraan Andingingi
mengambil lokasi di dalam hutan atau yang lebih dikenal dengan nama pandingingian
tepatnya di Borong. Seluruh Aktivitas kegiatan Andingingi, mulai dari Appalente ere’
sampai pada puncak acara ritual tetap dilaksanakan di kawasan hutan, kecuali aktivitas
yang berhubungan dengan penyediaan atau pembuatan bahan makanan yang akan
disajikan sekaligus dimakan bersama pada upacara ritual, itu dikerjakan di luar hutan
atau di rumah masing-masing, termasuk jika ada penyembelihan hewan.
- Pihak-pihak yang terlibat dalam Andingingi
Di dalam pelaksanaan Andingingi, pihak-pihak yang ditunjuk oleh Ammatoa
sangatlah penting artinya, keterlibatan anggota masyarakat dan pemangku-pemangku
adat maupun orang yang sudah berniat untuk datang pada Andingingi adalah salah
satu syarat bahwa upacara tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan
keputusan dari Ammatoa.

8
Partisipasi warga dalam pelaksanaan Andingingi sangat besar, hal ini karena
ditunjang oleh 5 butir pasang mengenai prinsip ideal hubungan antara Ammatoa dengan
warganya, dan hubungan antar-warga. Kelima butir itu adalah sebagai berikut :
a. Abbulo Sipappak (menyatu bagaikan sebuah bambu). Bambu dijadikan hiasan dalam
menjaga persatuan antara pemimpin dan yang dipimpin dan diantara warga
masyarakat, karena yang disebut sebatang bambu ialah batang yang dipotong oleh
akar sehingga tegak kuat, mempunyai ruas, ranting dan daun, menyatu dengan batang
yang berdiri tegak. Bambu adalah lambang pemersatu antara pemimpin (Ammatoa
dengan pemangku adat) dengan warganya.
b. Aklemo sibatu (menyatu bagaikan sebuah jeruk). Jeruk dijadikan kiasan, karena jeruk
terdiri atas kulit luar yang tebal membungkus seluruh isinya. Isi jeruk adalah ulasan-
ulasan, yang tiap ulasan terdiri atas butiran-butiran jeruk yang berlapis-lapis dengan
beberapa biji didalamnya, tiap butiran berisi cairan jeruk yang manis bercampur
kecut, kadang-kadang ada butiran yang cairannya terasa pahit. Aklemo sibatu adalah
penggambaran Keammatoaan yang terdiri atas Ammatoa dan Pasang sebagai kulit
jeruk yang tebal membungkus keseluruhan isi jeruk yang merupakan keseluruhan
warga masyarakat yang bertingkah laku yang baik (rasa jeruk yang manis) dan ada
pula yang nakal (rasa jeruk yang pahit).
c. Tallang sipahua, manyuk siparampe (teggelam saling mengapungkan, hanyut saling
membawa ketepian). Hal ini menggambarkan bahwa setiap warga berusaha saling
membantu keluar dari kesulitan yang dihadapinya. Tolong menolong antara sesama,
gotong royong untuk kepentingan warga masyarakat keseluruhannya. Peranan Amma
toa sangat penting agar warga dapat menghayati dan menjalani hidup yang demikian.
d. Sallu ri ajoka, ammulu ri adahang, nanigaukan sikontu passurona pamarenta (tepat
mengikuti alur yang telah ditentukan pada waktu membajak) dan mengikuti seluruh
perintah dari pemerintah.
e. Nanigaukang sikontu passuroanna tumabbuttaya (melakukan segala kemauan dari
seluruh warga masyarakat dalam kehidupan warga masyarakat ke-Ammatoaan.
- Perlengkapan-perlengkapan Andingingi

9
Adapun perlengkapan-perlengkapan ritual yang disiapkan oleh masyarakat adat
setempat terutama yang ada di kawasan dalam, yang dipakai pada Andingingi adalah
sebagai berikut :
a. Nasi dari beras ketan putih (berasa punuk)
b. Nasi dari beras putih biasa (berasa sahe pute)
c. Nasi dari beras ketan warna hitam (berasa punuk lelleng)
d. Nasi dari beras ketan warna merah (berasa punuk eja)
e. Udang
f. Ikan
g. Ayam
h. Piring dari daun pinang (tide)
i. Mangko dari tempurung kelapa (sai)
j. Tempat air minum dari bambu
k. Tuak (Ballo)
l. Kelapa tua 1 biji yang sudah dikupas kulitnya
m. Pisang (loka) 1 sisir
Semua perlengkapan upacara yang akan digunakan dikumpulkan disuatu tempat,
dan pada saat acara Assalama atau makan bersama, ada beberapa orang yang ditugaskan
oleh Ammatoa untuk mencampurkan makanan tersebut kedalam satu piring kemudian
membagikannya kepada seluruh peserta Andingingi, kecuali kelapa dan pisang
- Jalannya Andingingi
Prosesi jalannya Andingingi diawali dengan memasukkan semua perlengkapan-
perlengkapan upacara yang dibawa oleh masyarakat dan kemudian dikumpulkan disuatu
pondok (barung-barung), dan ditempat itu Ammatoa menugaskan beberapa orang untuk
menjaga bahan perlengkapan ritual yang terdiri dari beberapa bahan makan dan bahan
sesajian, dimana bahan makanan yang terkumpul akan dimakan bersama, sedangkan
bahan sesajian akan dibawa ke suatu tempat setelah acara Andingingi selesai.
Setelah seluruh perlengkapan upacara sudah berada dalam hutan dan masyarakat
yang akan mengikuti ritual juga sudah mengambil tempat yang telah disediakan, maka
Andingingi dimulai dengan pembacaan doa dari perwakilan adat. Setelah pembacaan doa
selesai lalu dilanjutkan dengan acara memercikkan air suci (abbe’bese) kepada seluruh

10
peserta ritual dengan menggunakan tangkai buah pinang dan sejumlah dedaunan yang
diikat menjadi satu atau yang biasa disebut pabbe’bese. Pada saat memercikkan air,
semua orang yang ada ditempat itu berusaha untuk mendekati dan merapatkan badan agar
dapat terkena percikan air tersebut.
Menurut penuturan dari salah seorang tokoh masyarakat yang ada di Kajang,
bahwa air suci yang dipakai untuk memercikkan peserta Andingingi ini mempunyai
berkah tersendiri bagi masyarakat adat, karena air tersebut sudah mendapatkan mantra-
mantra dari Ammatoa, selain dari itu air suci ini juga akan mendinginkan seluruh
masyarakat yang mengikuti ritual ini, dan yang lebih penting dari hal tersebut adalah air
ini dapat mendinginkan bumi sebagai tempat untuk mencari kehidupan beserta
lingkungan alam yang ada didalamnya.
Rangkaian acara selanjutnya setelah memercikkan air suci kepada peserta ritual
adalah memberi bedak ke jidat dan ke leher kepada seluruh peserta upacara, dimana dua
orang yang ditugaskan oleh Ammatoa untuk bertugas menghadapi satu persatu orang
yang akan diberi bedak dingin pada jidat dan leher mereka, bedak ini lebih dikenal
dengan nama Bacca. Bacca ini semacam bedak yang terbuat dari beras biasa yang
ditumbuk lalu dicampur dengan kunyit dan air secukupnya. Konon kabarnya bedak ini
mempunyai berkah tersendiri apabila ditempelkan pada jidat dan leher seseorang, selain
mempunyai berkah, bedak ini juga menjadi tanda bagi seseorang bahwa dia sudah
mengikuti Andingingi.
Selanjutnya, setelah memberikan bacca kepada seluruh peserta ritual, dilanjutkan
dengan prosesi Allabbiang dedde’ dan konre-konre yaitu memberikan sesaji kepada
leluhur di empat penjuru mata angin dan di atas altar persembahan (bola-bola)”. Ritual
adat atau Andingingi sibatu lino ditutup dengan prosesi Assalama atau makan bersama.
Semua hindangan yang disuguhkan yang terdiri dari empat jenis nasi berupa nasi putih,
nasi ketan putih, nasi ketan hitam dan nasi ketan merah. Begitu pun lauk yang
disuguhkan juga diolah secara tradisional yang dominan menggunakan santan dalam
pengolahannya dan tanpa ada yang digoreng.
Kehidmatan acara ini bisa dilihat dari kondisi langit yang cerah dan suasana yang
tiba-tiba terasa damai dan menenangkan, karena biasanya setelah pelaksanaan Andingingi
dan rangkaian acara selanjutnya seperti attunu panroli (membakar linggis) dan tarian

11
pabbitte passapu disertai dengan hujan deras. Andingingi bagi masyarakat Kajang
semacam ritual ruwat bumi dan kehidupan dimana dalam ritual ini dipanjatkan doa-doa
agar dalam setahun kedepan senantiasa diberikan keselamatan dan kesehatan dari Turie’
A’ra’na atau Tuhan yang Maha Kuasa. Tujuan dari ritual ini adalah meminta kepada
Turie’ A’ra’na agar dimudahkan rezeki, dipanjangkan umur dan senantiasa diberikan
kedamaian dan dijauhkan dari mara bahaya.
Menurut petinggi adat Kajang, Puto Lateng (65 Tahun) dalam bahasa konjo
mengatakan “Angkuaia Andingingi parallu ni gaukan sekali si taun nasaba nipakalere
garring-garring tanni sangka-sangka, nakkulle masyarakat cinggara ngaseki abboja
katallassan siuran ammanjengi mange Rituri a’Rana” yang artinya : Andingingi ini
dilakukan satu kali satu tahun agar penyakit yang mengancam warga Kajang dapat
diantisipasi sehingga bisa mencari rezeki dan bertakwa kepada Allah SWT (Wawancara
tanggal 27 Februari 2021).
Kegembiraan tergambar pada wajah masyarakat adat pada saat acara makan
bersama berlangsung, dimana orang yang ditugaskan oleh Ammatoa untuk membagikan
makanan terlihat sibuk dan dilain pihak para peserta upacara bersabar menunggu giliran
untuk mendapatkan makanan. Pada acara makan bersama ini, piring yang digunakan para
peserta upacara terbuat dari daun lontar yang dianyam atau dikenal dengan nama Tide,
sedangkan mangko terbuat dari tempurung kelapa yang dibelah dua atau disebut (Sai) dan
tempat minum dari bambu
- Pantangan-pantangan
Seperti halnya pada upacara-upacara yang dilaksanakan di daerah lain, baik yang
dilaksanakan oleh masyarakat suku Bugis maupun yang dilaksanakan oleh masyarakat
suku Makassar, kesemuanya ini tidak terlepas dari pantangan-pantangan yang harus
dihindari dalam suatu pelaksanaan upacara. Khusus di dalam pelaksanaan Andingingi
pantangan-pantangan yang harus dijauhi apabila ingin mengikuti riual adalah tidak
boleh memakai baju yang berwarna-warni kecuali baju hitam, dan tidak boleh
menggunakan alas kaki pada saat akan memasuki lokasi upacara. Selain itu, ada
pantangan lain yang tidak boleh dilakukan, yaitu beras yang akan dimakan pada saat
ritual adalah beras yang ditanam pada musim kemarau (waktu timoro), bukan beras yang
ditanam pada musim penghujan.

12
Pantangan-pantangan yang telah disebutkan di atas adalah suatu ketentuan yang
berlaku sejak dahulu kala yang dikeluarkan atau disampaikan oleh seorang yang
dinamakan Ammatoa. Apabila pantangan-pantangan ini dilanggar, maka sipelanggar
akan mendapatkan sanksi sesuai apa yang telah ditetapkan oleh Ammatoa. Sebagai bukti
nyata bahwa pakaian hitam yang dikenakan oleh komunitas adat Kajang melambangkan
kesederhanaan didalam hidup mereka. Hal ini dapat dilihat dari tingkah laku mereka
sehari-hari yang memegang prinsip “tallasa kamase-mase
Berbicara mengenai masalah kesederhanaan, maka masyarakat Kajanglah menjadi
contoh dalam hal kesederhanaan hidup. Hidup dengan kesederhanaan tanpa memikirkan
hidup mewah membawa makna tersendiri ditengah kehidupan serba hedonis, masyarakat
adat Kajang justru kembali kealam dengan memelihara harmonisasi kehidupan diantara
makhluk. Selain harmonisasi antar makhluk, juga tak terlepas dari hubungan dengan sang
Maha Pencipta yang mereka sebut dengan “Turie’ A’ra’na (Yang Maha Berkehendak).
Prinsip tallasa kamase-kamase juga berarti tidak mempunyai keinginan yang
berlebih-lebihan dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk makan maupun dalam
kebutuhan berpakaian. Karena itu, tallasa kamase-mase diwujudkan dalam kehidupan
masyarakat Kajang antara lain tercermin pada cara berpakaian mereka yang hanya dua
warna yakni hitam dan putih. Baju, sarung, dan penutup kepala berwarna hitam dan
celana yang berwarna putih. Berpakaian dengan beragam warna menandakan kemewahan
yang dimaknai seseorang dalam hidupnya lebih dari cukup. Dua warna pakaian ini juga
tidak lepas dari makna spiritualisme dalam kehidupan masyarakat Kajang. Warna hitam
pada masyarakat Kajang dimaknai bahwa manusia berasal dari kegelapan, dan warna
putih dimaknai bahwa manusia terlahir ke dunia ini dengan cahaya yang terang
benderang.. Selain itu hitam adalah wujud kesamaan dalam segala hal, termasuk
kesamaan dalam kesederhanaan. Menurut Pasang, tidak ada warna hitam yang lebih baik
antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam untuk
pakaian menandakan adanya kesamaan derajat bagi setiap orang di depan Turie’ A’ra’na.
3. Fungsi dan makna “Andingingi” di Komunitas Kajang
Melestarikan alam adalah hakikat semua orang, karena pada dasarnya alam
berfungsi sebagai tempat tinggal bagi mahluk hidup seperti manusia, binatang dan
tumbuhan. Selain itu alam juga memberikan kehidupan bagi manusia, dan mahluk

13
lainnya. Kekayaan yang diberikan Tuhan melalui hasil alam yang begitu besar kini
dirasakan bersama, sehingga sepatutnya hal tersebut dapat dijaga dan dilestarikan.
Sehubungan dengan kehidupan alam, terdapat satu ritual yang tidak dimiliki oleh
kelompok masyarakat manapun yang berfungsi menjaga dan melestarikan alam. Ritual
itu disebut sebagai Andingingi. Masyarakat Ke-Ammatoaan sangat percaya atau
mempunyai konsepsi tentang alam jagat raya. Mereka percaya bahwa asal kejadian alam
dengan segala isinya diciptakan oleh Turie’A’ra’na yang pada waktu itu belum berisi
apapun dan hanya merupakan lautan luas, ada daratan yang berupa tempurung yang
disebut tombolo. Sejak adanya manusia di dunia ini, maka keberadaan Ammatoa juga
sudah ada.
Ammatoa disini bertugas sebagai penegak hukum sebagaimana dipesankan dalam
pasang ri Kajang. Masyarakat adat kajang menerapkan ketentuan-ketentuan adat dalam
kehidupan sehari-hari yang mengatur pola hidup, sinergitas alam dan manusia,
spiritualitas, transenden dan sebagainya. Ketentuan adat yang diberlakukan di wilayah
masyarakat adat Kajang diberlakukan kepada seluruh komponen masyarakat adat, tanpa
kecuali. Ketentuan ini berlandaskan pesan leluhur dalam pasang adalah hal mutlak dan
tidak dapat disepelekan bahkan diingkari oleh komunitas. Dijalankan secara turun
temurun. Ketentuan adat ini dipandang sebagai sesuatu yang baku (lebba) yang
diterapkan kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran akan mendapat sanksi
(Ramli Pallamai dan Andhika Mappasomba,2012:22).
Adapun tujuan dari pelaksanaan Andingingi yang dilaksanakan oleh
masyarakatat adat adalah meminta kepada Turie’ A’ra’na agar dimudahkan rezeki,
dipanjangkan umur dan senantiasa diberikan kedamaian dan dijauhkan dari mara
bahaya. Andingingi merupakan ritual mendinginkan alam dan isinya dengan cara
membawa makanan dan membakar kemenyang ditempat yang mereka yakini sebagai
Pa’rasangang Iraja (tempat suci), tepat berada di Pammotokang Bombonga Ri
Pattirotiroang (tempat berdoa). Andingingi ini sebagai bentuk permintaan keselematan
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa terhadap seluruh makhluknya, baik manusia,
tumbuhan, maupun hewan agar tidak tertimpa dari mala-petaka
Secara khusus ritual ini dijadikan sebagai waktu untuk berkumpul, bertegur sapa
antar sesama sekaligus untuk memohon doa terhadap sesuatu yang ada di muka bumi

14
ini. Mereka berdoa agar alam dan isinya dilindungi serta diberkahi oleh Sang Maha
Pencipta. Mereka kompak menggunakan pakaian serba hitam dan berbondong-bondong
ke gerbang Tana Toa untuk menyelenggarakan adat istiadat Andingingi. Dengan begitu,
kebersamaan dan saling menghargai antara komunitas ke-Ammatoaan Kajang dalam
dan Kajang luar akan semakin kuat. Kearifan lokal ini menjadi identitas komunitas ke-
Ammatoaan dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan. Hal ini menjadi bukti
bahwa mereka mempunyai kepercayaan tentang kosmologi yaitu sejarah tentang alam
semesta dan makrokosmos yaitu keajaiban alam.
Sedangkan makna sosial yang terlihat pada Andingingi adalah masyarakat bahu
membahu menyelenggarakan acara ini tanpa mengenal usia atau strata sosial. Semangat
kebersamaan dalam bermasyarakat ditunjukkan mulai dari persiapan dengan membuat
bahan makanan, penyembelihan hewan, pembuatan barung-barung (pondok) dilakukan
secara gotong-royong. Oleh karena itu, jelaslah bahwa acara ini merupakan momen
dalam rangka memupuk tali kekeluargaan dan persaudaraan.
Selain itu, adanya upaya untuk melibatkan generasi muda dalam pelaksanaan
Andingingi secara eksplisit menunjukkan adanya keinginan dari generasi tua untuk
mewariskan budaya ritual ini pada generasi penerusnya. Selain upaya pewarisan nilai
dan norma budaya pada generasi penerusnya, Andingingi ini juga memberi didikan
untuk hidup bergotong royong dalam membangun masyarakat adat. Proses internalisasi
nilai-nilai budaya dari generasi tua kepada generasi muda melanjutkan proses yang sama
pada periode berikutnya, merupakan usaha pendidikan yang paling berharga.
Penghargaan terhadap leluhur dengan ziarah di makam merupakan bentuk
solidaritas sosial bagi masyarakat. Untuk mereka yang masih hidup, mereka
berkewajiban menjaga, memelihara peninggalan yang telah tiada, dan membantu
saudaranya yang ditinggalkan. Media yang paling memungkinkan mereka berkumpul
dan saling membantu adalah ritual Andingingi. Jadi dengan diselenggarakannya
Andingingi, mereka terus menjalin tali persaudaraan.
Aspek-aspek yang terkandung didalam Andingingi diantaranya aspek pendidikan,
aspek harapan, aspek religius, dan aspek filosofis. Atas dasar itu pelaksanaan Andingingi
selain mengedepankan fungsi sosial, juga berfungsi sebagai hiburan. Maka simbol yang
terkandung di dalam pelaksanaan Andingingi dapat dilihat dari beberapa perangkat yang

15
digunakan dalam upacara sebagai lambang penyucian, kesuburan, keselamatan,
kemakmuran, dan kesejahteraan.
Berpijak dari konsep tentang simbol atau lambang, peran simbol dalam
penyelenggaraan upacara dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni simbol melalui
perangkat lunak dan simbol melalui perangkat keras. Simbol melalui perangkat lunak
dapat dilihat melalui pemimpin upacara (Ammatoa) beserta ketua-ketua adat, dan peserta
Andingingi, sedangkan simbol melalui perangkat keras, yaitu sarana yang digunakan
serta sesajen yang dipergunakan.

4. Upaya pelestarian “Andingingi” di Komunitas Kajang


Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa masyarakat Ammatoa di Kajang
sebagai masyarakat yang masih sangat kuat berpegang pada adat istiadat, dimana aturan
adat serta tata cara sangat ditaati dan dipatuhi sebagai suatu sistem nilai dan norma yang
mengatur tata hidup mereka. Kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap pasang ri
Kajang yang mereka pandang sebagai sumber yang menjiwai pertumbuhan adat istiadat.
Mereka menumbuhkan kesadaran dalam diri mereka bahwa melaksanakan aturan-aturan
dan tata cara adat itu adalah suatu kewajiban ritual.
Masyarakat Ammatoa dalam kehidupan sehari-harinya masih mempertahankan
pola hidup sederhana (kamase-mase), hal ini terlihat apabila mengadakan upacara-
upacara adat dimana tempat pelaksanaan acara ritual dilaksanakan di dalam hutan yang
disebut “Tombolo” tempat turunnya leluhur mereka yang pertama, dimana tempat inilah
yang dijadikan media untuk meminta keselamatan kepada kekuatan super natural yang
kemudian identik dengan “Turie Ara’na” (Yang Maha Kuasa).
Adapun upaya dari pelestarian dari Andingingi yang dilaksanakan setiap
tahunnya oleh komunitas adat Kajang terutama yang ada dikawasan Kajang dalam
adalah antara lain :
1. Setiap pelaksanaan Andingingi para orang tua mengikut sertakan anak-anak mereka
di dalam proses pelaksanaan ritual tersebut. Tentunya hal ini dianggap penting bagi
mereka, karena generasi mudalah yang akan melanjutkan dan mengembangkan
tradisi-tradisi dari pendahulu-pendahulu mereka.

16
2. Setiap pelaksanaan Andingingi keterlibatan dari pihak pemerintah dalam proses
pelaksanaannya sangat membantu masyarakat yang berada dikawasan adat, baik dari
segi bagaimana memperkenalkan budaya yang ada di daerahnya maupun dari segi
memperkaya khazanah budaya daerah sehingga masyarakat luar akan tertarik untuk
berkunjung ke daerah tersebut.
3. Keterbukaan dari komunitas adat Kajang khususnya pada saat Andingingi, yaitu
memberi kesempatan kepada masyarakat luas untuk menyaksikan dan memeriahkan
ritual tersebut yang sangat bermanfaat untuk keberlangsungan budaya.
Upaya lain dari usaha pelestarian Andingingi yang dilaksanakan oleh
komunitas ke-Ammatoaan ialah dengan menjadikan alam sebagai bagian yang
terpenting dalam kehidupan mereka, komunitas adat juga meyakini adanya
keterkaitan batin antara mereka dan lingkungannya. Keterkaitan batin yang dimaksud
adalah selalu ada kepedulian untuk menjaga dan melindungi, yaitu melindungi hutan,
binatang dan tanaman. Dalam kosmologi mereka diartikan sebagai bagian dari
manusia, dan karena itu harus dihormati, disayangi serta diperlakukan sebagaimana
layaknya makhluk hidup. Menurut Galla Puto Jumalang yang biasa juga dipanggil
dengan Amma Galla, bahwa pasang ri Kajang berbunyi “Abbulo Si pappa allemo
sibatu tallang si pahua manyu siparampe dan lingu sipakainga”, artinya “bukan
hanya menunjukkan adanya kesatuan antara manusia dengan sesama manusia, tetapi
juga menunjukkan ikatan yang satu antara manusia dengan makhluk yang lain
termasuk lingkungannya.”
Andingingi dalam komunitas ke- Ammatoaan ini perlu dilestarikan dan dijaga,
supaya kearifan lokal seperti ritual mendinginkan alam disuatu kelompok masyarakat
masih tetap terjaga. Disisi lain, ada nilai sosial yang termanifestasi dalam tradisi
tersebut, yaitu bagaimana tradisi ini mampu mempererat tali silaturrahim antara
komunitas ke- Ammatoaan dalam maupun yang luar, sehingga ritual seperti ini tetap
ada dan lestari pada masyarakat umum khususnya pada masyarakat adat ke-
Ammatoaan
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha
manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap
terhadap suatu objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian ini

17
disusun secara etimologi yaitu wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang
dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap, sebagai hasil
penilaian terhadap sesuatu objek atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah,
wisdom sering diartikan “kearifan atau kebijaksanaan”.
Upaya pelestarian suatu karya budaya daerah supaya dapat bertahan dan tetap
eksis di tengah masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, paling tidak
memerlukan beberapa hal :
1. Perlindungan
Perlindungan terhadap karya budaya tradisional Andingingi yang dilaksanakan
oleh masyarakat adat Kajang yang dilaksanakan sekali dalam setahun perlu mendapatkan
perlindungan agar budaya tradisional tersebut tidak punah dan tetap mendapatkan tempat
dimasyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
membuat peraturan perundang-undangan (PERDA) tentang perlindungan ekspresi
budaya tradisional yang memiliki karakteristik khusus yang terintegrasi dengan identitas
budaya masyarakat tertentu yang melestarikannya, perlindungan terhadap ekspresi
budaya tradisional dapat juga dilakukan dengan cara inventarisasi, dokumentasi,
pemeliharaan, pencegahan pelanggaran, dan pembinaan.
Sebagaimana diketahui bahwa budaya yang tidak terwujud merupakan warisan
budaya dari leluhur yang diturunkan dari generasi ke generasi, dimana sangat bernilai dan
memiliki daya guna yang tinggi. Perlindungan terhadap warisan budaya takbenda sudah
diatur dalam Convention For the Safeguarding of the Intangible Cultural Hertiage 2003
serta peraturan Mentri dan kebudayaan Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya
Tak Benda. Selain itu perlunya dibentuk sanksi dalam Convention for the Safe Guarding
of the Intangible Cultural Heritage 2003 bagi Negara yang tidak menjalankan
kewajiban pelestarian dan perlindungan budaya tidak berwujud di tingkat nasional.
2. Pengembangan
Pengembangan budaya adalah suatu proses meningkatkan atau mempertahankan
kebiasaan yang ada pada masyarakat. Pengembangan diartikan sebagai sebuah upaya
untuk menjadi maju menuju lebih baik. Mengacu pada pengetian yang lebih luas,
pengembangan juga dimaknai sebagai pembangunan secara bertahap. Pengembangan
kebudayaan berarti segala macam upaya untuk mengembangkan dan memajukan

18
berbagai aspek kebudayaan. Dalam ranah kebudayaan, pengembangan kebudayaan tidak
dapat dipisahkan dari pelestarian dan pemberdayaan.
Pengembangan kebudayaan kita menghadapi dua tantangan besar, yaitu tantangan
internal dan tantangan eksternal. Tantangan internal adalah tantangan dari dalam, yaitu
ketika kekuatan budaya lokal, kearifan lokal, nilai-nilai tradisional dianggap tidak lagi
relevan hingga mulai diabaikan oleh pelaku budaya. Tantangan eksternal adalah
tantangan yang muncul dari luar. Yang paling dahsyat adalah globalisasi. Globalisasi
adalah fonomena sosial yang tak mungkin dielakkan
3. Pemanfaatan
Kekayaan budaya Indonesia menjadi daya tarik bagi sektor parawisata, sehingga
mendatangkan wisatawan, Seperti sumber daya alam dan sumber daya manusia, sumber
daya budaya juga menjadi modal dasar pembangunan Indonesia menjadi negara maju.
Yang termasuk daya budaya meliputi peninggalan sejarah berupa banguanan bersejarah
(masjid, makam, istana, monumen, Situs, bekas kerajaan), arkeologi, museum, galeri dan
artefak, bangunan kuno dan obyek keramat. Keanekaragaman karya budaya tersebut
diatas dapat dimanfaatkan untuk kemajuan dan pengembangan sektor parawisata yang
berorientasi pada peningkatan penerimaan keuangan daerah.
Andingingi merupakan warisan budaya yang sampai hari ini masih dipegang
teguh oleh komunitas adat Kajang. Pelaksanaan Andingingi dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat adat Kajang untuk memperlihatkan budaya mereka yang unik kepada
masyarakat luas dan tidak tertutup kemungkinan masyarakat yang ada di luar sana dapat
berkunjung ke daerah tersebut untuk melihat dan menikmati ritual secara langsung.
4. Pembinaan
Kebudayaan memegang peranan penting dalam kemajuan suatu bangsa. Negara
memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dan menjadikan
kebudayaan sebagai investasi untuk membangun masa depan. Keberagaman kebudayaan
daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang sangat diperlukan untuk
memajukan kebudayaan nasional. Dalam menjaga dan melestarikan budaya lokal yang
ada didalam masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan kemampuan
dan keahlian setiap individu.

19
Pembinaan kebudayaan daerah dapat dilakukan dengan ikut aktif dalam kegiatan
kebudayaan daerah, baik dengan memberikan bantuan dana atau fasilitas terhadap
kegiatan kebudayaan, menampilkan kebudayaan lewat media, baik cetak atau elektronik,
seperti penayangan melalui beberapa stasiun swasta yang ada dibeberapa daerah.
Pembinaan kebudayaan dengan cara melestarikan kebudayaan adat dapat dilakukan
dengan melibatkan generasi muda dengan mengambil peranan di dalamnya.

Penutup
Mengacu dari berbagai uraian panjang yang terungkap dalam bab-bab
sebelumnya, maka yang terungkap dalam bab penutup ini pada prinsipnya dapat
disimpulkan sebagai berikut :
Pertama. Dalam kehidupan keseharian masyarakat ke-Ammatoaan pada
prinsipnya sarat dengan pelaksanaan ritual-ritual yang intinya adalah berfokus pada
persoalan-persoalan yang erat kaitannya dengan permohonan dan permintaan
keselamatan kepada sang pencipta bumi dan segala isinya, yaitu Turie’A’Ra’Na (Tuhan
Yang Maha Kuasa), termasuk aktivitas pengucapan Syukur dalam menjalankan hidupnya
dalam setahun dan tidak ada kejadian yang menimpa hidupnya, seperti bencana
kekeringan yang berkepanjangan, yang mana masyarakatnya mengandalkan
kehidupannya dari sektor pertanian.
Kedua. Masyarakat ke-Ammatoaan adalah masyarakat yang hadir sebagai
penganut aliran kepercayaan yang menata hidupnya dengan penuh kesederhanaan yang
dikenal dengan prinsip kamase-mase. Hal ini tercermin dari cara mereka berpakaian
dengan warna hitam yang melambangkan kesederhanaan dan warna hitam juga
menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang didepan Sang Pencipta.
Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya
kelestarian hutan yang harus dijaga keasliannya sebagai sumber kehidupan.
Ketiga. Masyarakat ke-Ammatoaan menjadikan Pasang sebagai salah satu sumber
kebenaran dan dimaknai sebagai pesan atau firman yang kebenarannya tidak bisa ditolak
dan memiliki nilai-nilai lokal yang sangat arif yang bisa dijadikan sebuah pegangan dan
prinsip hidup dalam bermasyarakat. Pasang dalam masyarakat Kajang sama halnya
posisi Firman Allah yang tertuang dalam kitab Al-Quran bagi penganut agama Islam
pada umumnya.

20
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Adriana Mustafa, 2020. Ritual Andingingi Di Desa Tana Towa Kecamatan Kajang
Kabupaten Bulukumba. Shautuna (Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan
Mazhab.) Volume 1 No. 2 Mei. UIN Alauddin Makassa
Agus Bustanul, 2006. Agama Dalam Kehidupan Manusia, Raja Grafindo Persada

Chadijah Isfariani Iqbal, 2014. Budaya Malu dalam Masyarakat Jepang dan Bugis-
Makassar. Jurnal Sejarah dan Budaya. Walasuji Volume 5 No. 2
Ihromi, T.O, 2013. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia
Indriati, Ety. 2012. Current Status and Issues for Intangible Cultural Heritage
Safeguarding in Indonesia” paper for representation of Information and Networking
for ICH Safeguarding in, South-East. Asian Sub-region: Issues and Colaboration
Measure. Jakarta Indonesia, September 10-12, 2012
Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat
---------------------, 1983. Kebudayaan mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
---------------------. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Dian Rakyat, Jakarta.
---------------------. 1987. Sejarah Teori Antropologi 1. UI Press. Jakarta
Liliweri, Alo, 2014. Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Nusa Media.
Nuraeni, Heny, & Muhammad Alfian, 2013. Studi Budaya di Indonesia. Bandung:
Pustaka Setia
Pallamai, Ramli dan Mappasomba, Andhika, 2012. Sejarah Eksistensi Ada’ Lima
Karaeng Tallua di Kajang. Dinas Kebudayaan dan Parawisata Kabupaten
Bulukumba.
Rachman, Arief, 2009. Strategi dan Teknik Penyiapan Pengusulan (Nominasi) Mata
Budaya Takbenda ke UNESCO: Kasus Batik di Indonesia. Makalah disampaikan
dalam Inventarisasi dalam rangka Perlindungan Karya Budaya . Hotel Alila Jakarta
19-20 Agustus
Rahardjo, Satjipto, 2006. Membedah Hukum Progresif. Buku Kompas, Jakarta.
Rezkiawan Embas, Ade, 2017. Analisis Sistem pemerintahan Desa Adat Ammatoa Dalam
Pelestarian Lingkungan Hidup Di Kecamatan kajang, Kabupaten Bulukumba.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unversitas hasanuddin Makassar. Skripsi

21
Setiadi, Elli, dkk, 2012. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar Edisi Kedua. Jakarta: Kencana
Sedyawati, Edy, 2014. Kebudayaan di Nusantara. Depok: Komunitas Bambu.
Septiady, Yopie, 2012. Pentingnya dan Tata Cara Pencatatan Warisan BudayaIndonesia.
Makalah disampaikan dalam Kegiatan Sosialisasi Pencatatan Warisan Budaya
Indonesia Di Denpasar Bali, tanggal 29 oktober
Sugiarti, Trisakti Handayani, 1999. Kajian Kontenporer Ilmu Budaya dasar. Malang,
UMM Press
Suparlan, Parsudi, 2005. Suku Bangsa dan Hubungan Antar Suku bangsa. Jakarta:
yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
Solly, Lubis, M. 1989. Landasan dan Teknik Perundang-Undangan, cetakan Ke- III, CV.
Mandar Maju. Bandung.

22
23

Anda mungkin juga menyukai