Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tradisi merupakan salah satu bentuk budaya yang sifatnya dianggap

berharga dan juga memiliki nilai. Pada umum nya tiap etnik melahir kan tradisi

atau budaya dalam keberlangsungan kehidupannya. Indonesia yang didiami

berbagai etnik dimana tiap etnik memiliki tradisi dan menjadi kebanggaan etnik

bersangkutan. Keberagaman tradisi etnik di Indonesia juga menjadi kebanggaan

nasional dalam kaca global, Karena keanekaragaman tersebut menjadi suatu

keunikan yang menjadi modal bagi Indonesia sebagai negeri wisata dunia.

Salah satu etnik di Indonesia yang relatif konsisten mewarisi dan

mempertahankan tradisi secara turun menurun adalah etnik Karo. Etnik Karo

yang masih dominan mempertahankan adat istiadat sebagai dasar kearifan lokal,

dalam setiap proses keberlangsungan kehidupannya masih banyak di pengaruhi

budaya yang di wariskan turun temurun dari para leluhurnya.

Praktek budaya yang di warisi itu berlangsung sejak lama dan mentradisi

dalam berbagai aspek kehidupan etnik karo hingga sekarang. Khususnya etnik

karo yang berdomisili di wilayah Kabupaten Karo masih sering melakukan tradisi

lama ketika menghadapi suatu masalah. Diantara tradisi tersebut yang masih

sering di lakukan adalah Erlau – lau (mandi – mandi air) hingga dewasa ini masih

dapat mukan di desa Lingga Kecamatan Simpang Empat.

1
Bagi etnik Karo di desa Lingga Kecamatan Simpang Empat, Erlau-lau di

maknai sebagai suatu cara untuk memanggil hujan turun. Erlau–lau dilakukan

ketika suatu daerah mengalami kekeringan berkepanjangan yang berdampak pada

gagalnya panen. Tradisi Erlau - lau untuk memanggil hujan turun di desa Lingga

Kecamatan Simpang Empat dilaksanakan dalam ritual, yang melibatkan para

penatuah adat, aparat pemerintahan desa dan seluruh warga desa.

Pelaksanaan Erlau –lau ini di mulai dengan ritual di suatu tempat yang di

anggap keramat atau memiliki kekuatan magic. Di tempat itu di lakukan upacara

penyembahan yang di pimpin oleh tokoh adat setempat. Tokoh adat berperan

sebagai mediator menyampaikan persemban kepada kekuatan gaib yang di yakini

menguasai alam sekeliling desa. Persembahan ini di lakukan dengan melepas

seekor ayam yang berbulu hitam atau putih. Setelah melepas ayam persembahan

pemimpin ritual (tokoh adat) menyiram impalnya dengan air. Setelah ritual selesai

di tempat keramat, acara selanjut nya di laksanakan di lapangan terbuka di dalam

desa. Pelaksanaan acara inilah yang menjadi puncak Erlau–lau dalam ritual

pemanggilan hujan. Pada acara ini pemimpin upacara (toko adat) mempersilahkan

warga desa untuk menyiramkan air kepada lawan jenis nya, yang dalam

terminology Karo adalah impalnya Pelaksanaan Erlau–lau ini mulai dari

penyembahan di tempat keramat, hingga acara saling siram menyiram

berlangsung selama empat hari berturut–turut.

Uniknya dalam acara saling siram ini tidak ada yang protes, emosi atau

marah jika mendapat siraman hingga basah kuyup. Malah jika mendapat siraman

yang bersangkutan menyambutnya dengan menyiram kembali orang yang

2
menyiramnya. Berdasarkan informasi sementara acara saling siram ini

berlangsung dalam suasana sukacita dan gembira. Menurut penuturan beberapa

warga di desa Lingga Kecamata Tigabinanga, biasanya setelah acara ini hujan

selalu turun tetapi apabila hujan tidak kunjung turun maka ritual akan diulang

kembali.

Tradisi Erlau-lau sebagaimana dipaparkan di atas selalu dilakukan

penduduk desa Lingga mana kala terjadi musim kemarau yang berkepanjangan,

seluruh warga desa pada acara ini turut berpatisipasi, untuk saling siram-siram

impalnya. Tampaknya warga desa Lingga yang dominan adalah etnik Karo

memandang tradisi Erlau-lau ini sebagai salah satu solusi alternatif untuk

mengatasi masaalah kekeringan yang dapat mengakibatkan merosotnya hasil

pertanian mereka.

Jika dikaitkan kondisi masyarakat di desa lingga tradisi Erlau-erlau di

pandang sebagai sesuatu yang unik. Sebab dalam berbagai aspek, kehidupan

masyarakat telah mengalami proses modernisasi. Pada aspek pertanian umumnya

masyarakat desa ini sudah menggunakan teknik pertanian modern. Di mana dalam

mengolah bahan, telah memamfaatkan alat-alat yang digerakkan dengan mesin

(mesin: traktor ) demikian juga dalam hal perawatan tanaman sudah mengenal

penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Di samping itu, seluruh warga desa ini

sudah memeluk agama ( kristen dan islam ) yang meyakini tuhan sebagai pencipta

segala sesuatu.

3
Secara umum masyarakat yang telah mengalami proses modernisasi dan

memeluk agama islam maupun kristen cenderung meninggalkan cara-cara

pemecahan masalah yang sifatnya internasional. Seperti ritual-ritual berupa

permasalahan kepada kekuatan gaib. Tetapi di desa Lingga keadaan demikian

tidaklah sepenuhnya terjadi. Walaupun penduduknya telah mengalami

modernisasi dan telah memeluk agama (kristen dan islam) ritual Erlau-lau

tampaknya masih diyakini sebagai solusi yang tepat untuk mendatangkan hujan

yang dibutuhkan memberi kesuburan tanaman pertanian. Karena itu peneliti

merasa tertarik mendalaminya melalui penelitian dengan judul Tradisi Elau-lau

dalam Ritual Pemanggilan Hujan di desa Lingga Kecamatan Simpang Empat.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah ditetapkan,maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pelaksanaan tradisi Erlau-lau dalam pemanggilan hujan


2. Mengapa etnik Karo di desa lingga masih melaksanakan tradisi Erlau-lau
1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Eksistensi Erlau–lau di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat


2. Mengetahui pelaksanaan tradisi Erlau-lau dalam pemanggilan Hujan
3. Mengetahui alasan etnik Karo di Desa Lingga masih melaksankan tradisi

Erlau-lau.

1.4 Manfaat Penelitian

4
Apabila tercapainya penelitian di atas, maka hasil penelitian diharapkan

dapat bermanfaat sebagai :

1. Kegunaan teoritis :Penelitian ini lebih fokusnya terhadap kajian etnik

dengan tradisi didalam masyarakatnya sehingga hasil penelitian diharapkan

dapat menjadi sebuah literatur yang memperkaya khasanah keilmuan di

bidang Antropologi, khususnya tradisi salah satu etnik. Penelitian ini

fokusnya dalam kajian matakuliah Antropologi Agama (condong pada

kepercayaan).
2. Kegunaan praktis :Penelitian ini dapat sebagai bentuk penyampaian tradisi

salah satu etnik, yang akan menjadi aset untuk menarik wisatawan lokal

maupun non-lokal dan juga sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang

bermaksud mengadakan penelitian lebih lanjut tentang “ Tradisi Erlau-lau

Sebagai Bentuk Ritual Pemanggilan Hujan (Study Kasus Kecamatan

Simpang Empat)”.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian pustaka


2.1.1 Ritual pemanggilan Hujan
Penelitian terdahulu digunakan oleh peneliti sebagai bahan pertimbangan,

perbandingan maupun bahan masukan.Berdasarkan tema yang diteliti, peneliti

melakukan studi kepustakaan.Peneliti mendapat jurnal dan skripsi yang berkaitan

dengan tema yang diangkat peneliti sebagai pedoman penulisan kajian pustaka.
P.Ginting (1999:75) dalam bukunya Religi Karo yang menjelaskan ulang

praktek religi kepercayaan tradisional yang hidup ditengah-tengah suku karo

maupun yang sifatnya social budaya tetapi dikaitkan dengan praktek religi agama

di karo bersifat magis-mistis.Hal tersebut karena msyarakat karo secara alamiah

dipengaruhi kuasa-kuasa yang bersifat mistis di dalam kehidupannya.


“Nilai Kesatuan dalam Berbagai Upacara di Indonesia Seperti

Tradisi Elkoil Od” yang berisi tentang bagaimana masyarakat Lawahing

memanggil hujan apabila terjadi kemarau panjang yang dimana acaranya

masyarakat suku Lawahing dipercaya sebagai hasil dari kekuatan Dewa Mau

Maha-maha (matahari) dan Ul (bulan). Upaya suku Lawahing untuk bernegosiasi

dengan kekuatan alam adalah dengan menyelenggarakan upacara, salah satunya

upacara memanggil hujan atau yang biasa disebut dengan Elkoil Od. Para kepala

klen (Lengleng Buung), para kepala kampung (Bang Kapal), para kepala adat

(Lengleng Bala O Aba Aiy), ketua dewa adat (Aba Aiy Mati) dan kepala kampung

6
besar (Bang Kapal Mati) bermusyawarah dengan masyarakat untuk

mempersiapkan upacara. Penjemput Gong berpayung daun pandan (ami) beranjak

ke rumah bendahara negeri untuk memulai upacara.Hanya pemuda pilihan yang

boleh menjadi penjemput Gong.Selama perjalanan Gong harus dijaga dan tidak

boleh dipukul sebelum sampai di tempat upacara. Pelanggaran akan hal ini akan

menyebabkan malapetaka. Pemimpin upacara dan masyarakat telah berkumpul di

suatu tempat yang terdapat mesbah (dol) untuk menyambut datangnya Gong

Elkoil dan Gong Telekei, pendamping Gong Elkoil.


2.1.2 Erlau – Lau Pada Etnik Karo
Ginting (1999 :7) dalam bukunyan religi karo yang menjelaskan tentang tradisi

Erlau-lau bisa dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah festival tani, mengingat

Tanah Karo dikenal sebagai daerah tani yang subur di Sumatera Utara. Festival ini

bisa dikembangkan sebagai sebuah ajang doa kebudayaan Karo agar seluruh

usaha pertanian di Tanah Karo bisa memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Sebab

toh, meski setiap desa memiliki otoritas untuk menggelar pesta panen versi

mereka tetapi belum pernah rasanya terjadi sebuah pesta panen yang digelar

missal.
Digelar massal artinya seluruh desa di wilayah Tanah Karo bahkan warga

Karo dimanapun berada menggelar pesta panen, secara bersamaan. Bayangkan

bilamana sebuah tradisi baru diinisasi dan dilahirkan dari konsensus berbagai

tokoh Desa hingga lintas kabupaten. Mengingat diaspora Karo tersebar tak sebatas

di Tanah Karo saja. Dengan demikian, Tanah Karo bisa terus menanamkan

kecintaan budaya pada generasi mudanya. Melalui sebuah rangkaian festival baru

yang mengembangkan tradisi kebudayaannya, generasi muda dilatih mengenali

kearifan kultural leluhurnya. Mencintai tanah pertanian yang telah memelihara

7
keluarga mereka turun temurun. Juga sekaligus kesempatan menjadikan ajang ini

sebagai agenda wisata selain festival Pesta Buah dan Bunga yang gemanya di

tingkat nasional belum begitu popular.


Lebih dari itu, kesempatan tersebut bisa menjadi momentum dimana

Pemerintah Kabupaten Karo, intelektual serta pemerhati kebudayaan Karo, hingga

diaspora Karo terlibat dalam sebuah sinergi kebudayaan. Sinergi yang

mengedepankan pelestarian kebudayaan Karo bagi generasi penerusnya.


Sebab barang siapa yang mengabaikan budaya luhur yang diberikan

Tuhan kepadanya, tentu akan kehilangan akar sejarah dan identitas dirinya. tak

selamanya agama memberangus praktik budaya yang tafsir sesatnya bisa diberi

makna baru sesuai dengan perkembangan peradaban, agama dan pendidikan

masyarakat. Menjaga budaya adalah tanggung jawab kita. Sebab bila kita percaya

bahwa Tuhan itu Maha Segala, maka segala kebaikan yang masih ada di dalam

kebudayaan pantas dipertahankan agar tidak punah. Sehingga dengan demikian

generasi muda Karo di era modern kelak bisa bersyukur atas sisi spiritual

leluhurnya yang tak pernah melupakan kekuatan Sang Pencipta lewat berbagai

tradisinya.
Patrawidya,vol.14,no.4 Bagi mahkluk hidup, air merupakan salah satu

kebutuhan pokok, sehingga air seringkali disebut sebagai sumber penghidupan.

Terlebih bagi masyarakat agraris, air merupakan kebutuhan yang sangat vital.

Hidup matinya tanaman pertanian antara lain sangat tergantung kepada air, baik

air hujan maupun air irigasi. Seni Tradisi Pemanggilan Hujan Masyarakat

Banyumas, Jateng merupakan penelitian yang bertujuan ingin mengetahui dan

mendeskripsikan ritual pemanggilan hujan yang dilakukan oleh warga Desa Plana,

Kecamatan Somagede, Banyumas. Pelaksanaan ritual cowongan dilakukan oleh

8
warga Desa Plana setiap kemarau berkepanjangan, malam Jumat Kliwon pada

bulan Kapat (kalender Jawa) atau bulan September-Oktober.


Setiap kali warga Desa Plana mengalami musim kemarau yang

berkepanjangan, mereka selalu sepakat memeragakan cowongan ini. Cowongan

masih bisa memberikan harapan warga Desa Plana dalam pemenuhan kebutuhan

air ketika kemarau berkepanjangan mendera warga.


2.2 Kerangka Teori
2.2.1 Kebudayan
Koentjaranigrat (2009:144) menyebutkan memiliki arti sebagai seluruh sistem

gagasan, tindakakan dan hasil Karya Manusia dalam kehidupan masyarakat yang

dijadiakan milik dari manusia dengan belajar. Proses belajar dalam kelompok

masyarakat ini dilakukan dengan bentuk pewarisan secara turun temurun. Hasil

dari apa yang dihasilkan oleh manusia itu sendiri mempunyai kegunaan sebagai

pelengkap dan memajukan kelangsungan hidupnya.


Sebagaimana terdapat juga banyak unsur sosial, dan budaya, mulai dari

tradisi keseharian , ritual, makana, pakaian, kesenian dan sebagainya. Dalam ilmu

Antropologi dikatakan tidak pernah lepas dari tujuh unsur budaya yang ada dan

itu selalu ada selama manusia masih hidup guna mempertahankan kehidupanya.

Salah satu dari tujuh unsur kebudayaan tersebut adalah Erlau-lau


Dalam pelaksanaanya tidak lepas dari tindakan, hasil kreasi, ide, dan berbagai

aturan yang dibuat oleh para ketua adat. Penyediaan sesajen dalam upacara adalah

hal yang dianggap penting karena ini adalah wujud nyata dari sebuah tindakan

penghormatan yang diakui umat kepada penciptanya. Selain itu pernak pernik,

bunga, busana, alat musik, tarian dan letak aturan duduk bahkan berdiri juga

dimaknai sebagai sesuatu yang tidak boleh boleh dipermain-mainkan atau

dilakukan dengan sembarangan, karena semua itu mempunyai makna sakral.

9
Menurut E.B Taylor (1871) Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup

pengetahuan,kesenian, moral, hukum , adat istiadat, dan lain kemapuan

kemampuan serta kebaiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai

anggpta masyarakat. Dengan kata lain perkataan, kebudayaan mencakup

semuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota

msyarakat. Kebudyaan terdiri dari sesuatu yang dipelajari oleh pola-pola perilaku

yang normatif. Atinya mencakup segala cara atau pola-pola berpikir, merasakan

dan bertindak. (Soerjono Soekanto 2002 :172-173)


Berdsarkan pernyataan di atas maka teori dikemukakan oleh E.B. Taylor

menjadi tolak ukur terhadap pengertian kebudayaan yang berkaitan dengan tradisi

Erlau-lau di Desa Lingga. Kebudayaan mencakup keseluruh aktifitas manusia

sebagai anggota masyarakat yang dilakukan secara berulang-ulang dengan proses

belajar sehingga menjadi kebiasaan yang mengtradisi.


Hampir semua aspek kehidupan manusia adalah kebudayaan. Begitu pula

pelaksanaan tradisi Erlau-lau saat mengalami musim kemarau berkepanjangan di

Desa Lingga. Tradisi Erlau-lau merupkan salah satu wujud dari kebudayaan Desa

Lingga. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat setempat menjungjung

kebudayaan yang telah di wariskan oleh nenek moyang.


Koentjaraningrat (2009 : 150-152) menyebut bahwa wujud kebudayaan

terdiri dari dua hal dan saling berkaitan satu sama lainnya. Kedua hal kebudayaan

tersebut ialah:
1. Wujud kebudayaan ideas. Hal ini berupa suatu bentuk kompleks dari ide,

gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya.


2. Wujud kebudayaan aktivities. Hal ini berupa suatu bentuk kompleks
aktivitas secara tindakan berpola dari manusia dan masyarakat.
Seperti halnya ritual erlau-lau dilaksanakan masyarakat karo di desa Lingga

Kecamatan Simpang Empat. Tradis erlau-lau mewujutkan kebudayaan

10
masyarakat karo, hal ini sekaligus menunjukkan masyarakat karo di tempat

tersebut begitu menjunjung kebudayaan yang diwariskan oleh para leluhur. Ritual

erlau-lau merupakan salah satu wujud kebudayaan dalam bentuk ideas, akan

tetapi wujud kebudayaan yang berupa ide ini juga saling berkaitan dengan wujud

kebudayaan pada tradisi Erlau-lau di Desa Lingga kedua hal ini saling berkaitan.

Pengetahuan (ideas) yang diketahui oleh masyarakat sekitar diwujudkan melalui

tindakan (activities) melaksanakan dengan rangkayan proses tradisi Erlau-lau.

2.2.2 Religi
Religi adalah segala sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud

dengan cara menyandarkan diri dengan kemauan dan kuasa mahluk-mahluk halus

seperti roh, dewa dan sebagainya yang menempati alam (Koentjaraningrat1992 :

232)
pada pokoknya religi adalah penyerahan diri kepada tuhan, dalam

keyakinan manusia tergantung pada diri tuhan, bahwa tuhanlah yang merupakan

keselamatan yang sejati dari manusia, bahwa manusia sendiri tidak mampu untuk

memperoleh keselamatan itu karena ia menyerahkan dirinya (Driyarkarya, 1997 :

27-31)
Menurut koentjraningrat (1987 : 37) istilah religi adalah suatu sistem

berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upacara keramat artinya yang terpisahkan

dan pantang, keyakinan-keyakinan yang berorientasi pada suatu komunitas moral,

yang disebut umat.

Pada teori lang tentang religi timbul dari ajaran jiwa mengadung

pernyataan bahwadalam jiwa manusia ada suatu kemampuan gaib yang dapat

11
bekerja lebih kuat dengan makin lemahnya aktifitas pikiran manusia yang

rasional (koentjaranigrat, 1987 : 59).


Hal inilah yang dialami oleh masyarakat di Desa Lingga masyarkat

setempat percaya bahwa adanya suatu kekuatan kuat yang mengatur dan

menjaga ketertipan alam. Anggapan tesebut berdampak pada kehidupan

masyarakat di Desa Lingga dan terlihat dalam sebuah tradisi yang masih mereka

pertahankan yaitu, tradisi Erlau-lau


Selanjutnya (koentjaranigrat, 1987 : 48) mengajukan teorinya tentang asal

mula religi adalah kesadaran akan adanya jiwa itu disebabkan karena dua hal ,

yaitu: pertama perbedaan yang Nampak pada manusia pada manusia antara hal-

hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Suatu animism pada suatu saat bergerak

gerak, artinya hidup.


Evolusi religi menurut (koentjranigrat, 1987 : 49-50) religi dari tiga

tingkatan yaitu: Pertama, pada tingkat tertua pada evolusi religinya, manusia

percaya bahwa mahluk-mahluk halus itulah yang menempat alam sekeliling

tempat tinggalnya. Makluk-makluk halus yang tinggal dekat temapat tinggal

manusia itu, yang bertubu halus sehinnga tidak tertangkap oleh pancaindra

manusia,yang mampu membuat hal-hal yang tak dapat diperbuat manusia,

mendapat tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sehingga

menjadi objek penghomatan dan penyembahan, yang disertai berbagai upacara

berupa doa, sajian, atau korban. Religi seperti itulah yang oleh taylor disebut

animisme. Kedua, pada tingkat ini evolusi religi, manusia yakin bahwa gerakan

alam yang hidup itu juga disebabkan adanya jiwa di balik peristiwa-peristiwa

dan gejala-gejala alam itu. Jiwa alam itu difersonifikasikan dan dianggap

sebagai makluk-makluk yang memiliki suatu kepribadian dengan kemauan dan

12
pikiran, yang disebut dewa-dewa alam. Ketiga, pada tingkat ini evolusi religi

bersama dengan susunan kenegaraan dalam masyarakat manusia, timbul pada

keyakinan bahwa dewa-dewa itu juga hidup dalam susunan kenegaraan, serupa

dengan dunia makluk hidup.


Kesadaran akan adanya kekuatan yang menggerakkan organisme itu, yaitu

dialami oleh masyarakat Desa Lingga. Adanya anggapan bahwa hujan memiliki

jiwa atau roh menjadi awal melakukan tradisi Erlau-lau saat musim kemarau

berkepanjangan.

2.2.3 Teori Batas Akal

Teori religi tentang batas akal ini dikembangkan oleh J.G. Frazer (1890:9)

yang berpedoman bahwa manusia dalam kehidupannya senantiasa memecahkan

berbagai persoalan hidup dengan perantaraan akal dan ilmu pengetahuan; namun

dalam kenyataannya bahwa akal dan sistem pengetahuan itu sangat terbatas

sekali.Makin maju kebudayaan manusia, makin luas batas akal itu, tetapi dalam

banyak kebudayaan batas akal manusia masih amat sempit.Persoalan hidup yang

tidak bisa dipecahkan dengan akal, dicoba dipecahkannya dengan melalui magic,

ialah ilmu gaib.

Magic diartikan sebagai segala perbuatan manusia untuk mencapai suatu

maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada pada alam, serta seluruh kompleks

anggapan yang ada di belakangnya; pada mulanya manusia hanya

mempergunakan ilmu gaib untuk memecehkan segala persoalan hidup yang ada di

luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Religi waktu itu belum

ada dalam kebudayaan manusia, lambat laun terbukti bahwa banyak dari

13
perbuatan magic itu tidak menunjukkan hasil yang diharapkan, maka pada saat itu

orang mulai percaya bahwa alam itu didiami oleh mahlu-mahluk halus yang lebih

berkuasa darinya, maka mulailah manusia mencari hubungan dengan mahluk-

mahluk halus yang mendiami alam itu, dan timbullah religi.

Menurut Frazer, memang ada suatu perbedaan yang besar antara magic

dan religi; magic adalah segala sistem perbuatan dan sikap manusia untuk

mencapai suatu maksud dengan menguasai dan mempergunakan kekuatan dan

hukum-hukum gaib yang ada di dalam alam. Sebaliknya, religi adalah segala

sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara

menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti

roh-roh, dewa, dan sebagainya.

Seperti halnya teori krisis yang disampaikan oleh M. Crawley (1905:8)

dan A.Van Gennep (1909:3); menurut ke dua orang ini, dalam jangka waktu

hidupnya, manusia mengalami banyak krisis yang menjadi sering obyek perhatian

dan dianggap sebagai suatu yang menakutkan. Bertapapun bahagianya hidup

orang, entah sering atau jarang terjadi bahwa orang itu akan ingat akan

kemungkinan-kemungkinan timbulnya krisis dalam hidupnya; krisis –krisis itu

terutama berupa bencana-bencana sekitar sakit dan maut (mati), suatu keadaan

yang sukar bahkan tidak dapat dikuasai dengan segala kepandaian, kekuasaan,

atau harta benda kekayaan yang mungkin dimilkinya.

Dalam jangka waktu hidup manusia, ada berbagaimasa dimana

kemungkinan adanya sakit maut ini besar sekali, yaitu misalnya saat kanak-kanak,

masa peralihan dari usia pemuda ke dewasa , masa hamil, masa kelahiran, dan

14
akhirnya maut. Van Gennep menyebut masa-masa itu sebagai crisis rites atau rites

de passage.Dalam menghadapi masa krisis serupa itu manusia butuh melakukan

perbuatan untuk memperteguh imannya dan menguatkan dirinya; perbuatan-

perbuatan serupa itu, yang berupa upacara-upacara pada masa krisis tadi itulah

yang merupakan pangkal dari religi dan bentuk-bentuk religi yang tertua.

Seperti halnya yang dijelaskan oleh teori batas akal tersebut bahwasanya

saat manusia itu sudah melampaui akal pemikiran mereka sendiri akan dapat

membentuk atau menciptakan suatu cara atau metode baru untuk suatu realitas

yang akan mereka ciptakan. Seperti halnya menciptakan suatu pemujaan atau

perbuatan-perbuatan yang sebenarnya diluar akan manusia itu sendiri, namun

kepercayaan tersebut tetap eksis dan diakui keberadaannya di kalangan

masyarakat modern ini. Merka percaya akan suatu hal ang gaib yang notabennya

hal tersebut jelas diluar akal mereka sendiri, namun Karena masa krisis itu begitu

melanda hingga menciptakan suatu hal atau mencari suatu cara mistis untuk

mengabulkannya. Seperti halnya tradisi Erlau-lau yang dimana masyarakat karo

percaya dengan acara tersebut di daerah mereka dapat turun hujan.

2.3 Kerangka Konseptual


2.3.1 Eksistensi

Sementara itu, seorang ahli filsafat atau filsuf bernama Karl Jaspers

memaknai eksistensi sebagai pemikiran manusia yang memanfaatkan dan

mengatasi seluruh pengetahuan objektif. Berdasarkan pemikiran tersebut, manusia

dapat menjadi dirinya sendiri dan menunjukkan bahwa dirinya adalah makhluk

eksistensi. Selain itu, Jaspers juga menjelaskan tentang penerangan eksistensi

yang dikemukakannya, yaitu:

15
1. Eksistensi selalu memiliki hubungan dengan tradsi.
2. Eksistensi merupakan filsafat yang menghayati dan menghidupi

kebenaran.
3. Eksistensi seorang manusia dapat dibuktikan oleh cara berpikir dan

tindakannya.

Karl Jaspers menerangkan hal-hal tersebut dengan tujuan supaya semua

orang paham dan sadar bahwa setiap orang memiliki keunikan yang berbeda satu

dengan yang lain. Sebab, eksistensi merupakan sesuatu yang sifatnya individual

sehingga bisa ditentukan oleh masing-masing individu. Dan menurut Jaspers,

semua orang memiliki cara keberadaan yang khas dan unik, itulah yang

dinamakan sebagai eksistensi seorang individu. Sehingga setiap orang yang dapat

menentukan jati diri atas keberadaannya dan mampu berdiri diantara eksistensi

orang lain maka mereka akan mendapatkan eksistensi yang sejati

2.3.2 Pengertian Tradisi

Tradisi adalah suatu pola perilaku atau kepercayaan yang telah menjadi

bagian dari suatu budaya yang telah lama dikenal sehingga menjadi adat istiadat

dan kepercayaan secara turun-temurun (Soekanto, 1993:520). Misalnya saja

tradisi mappaccing yang dilaksanakan sehari sebelum hari akad nikah di Desa

Lingga.

Tradisi adalah merupakan salah satu kekayaan budaya. Hal ini terutama

melihat pada keberadaan suku-suku seperti di Indonesia, terutama yang tumbuh di

pedesaan. Ia terbentuk sesuai lingkungan alam dan sosial tempatnya berkembang.

Tradisi berjalan dalam proses waktu sesuai faktor-faktor yang mendasari

16
pelaksanaannya. Sebagian tradisi menjadi terkikis dan hilang, namun ada pula

yang tetap bertahan walaupun dalam suatu proses adaptasi terhadap situasi dan

kondisi yang berlangsung. Soejito (1987: 4) melihat tradisi dari konsep “Social

Heritage” yaitu dipertahankannya beberapa unsur pokok budaya karena

merupakan pola tingkah laku yang dimiliki masyarakat. Sedangkan Brutu (1998:

2) menyatakan tradisi dari setiap kelompok sesungguhnya tidak ada yang tetap

dan baku. Selalu ada perubahan akibat faktor dari dalam dan luar masyarakat. Hal

ini dilihat dari pergeseran, perubahan atau pengurangan unsur-unsur tradisi. Salah

satu tradisi yang terdapat pada masyarakat Karo yaitu “kerja tahun”. Apa

sesungguhnya kerja tahun tersebut dan mengapa penulis mengatakan sebagai

tradisi yang tetap bertahan.

2.3.3. Erlau - lau

Menurut pak Joko salah satu narasumber peneliti pada saat pra penelitian

bahwasanya tradisi Erlau-lau tersebut merupakan salah satu tradisi leluhur yang

masih eksis hingga saat ini. Sebagaimana acara tersebut selalu dilaksanakan pada

saat daerah tersebut tidak turun hujan selama berbulan-bulan. Biasanya selama

empat bulan sekali, acara tersebut dianggap sebagai suatu acara yang suci, dimana

sebelum melaksanakan kegiatan Erlau-lau maka masyarakat atau para tokoh adat

akan melaksanakan ritual penyembahan terlebih dahulu.

Para toko adat akan mempersembahkan ayam atau kambing sebagai salah

satu hewan persembahan sebagai penyambung komunikasi terhadap roh atau

lokasi yang dianggap memiliki kekuatan gaib. "Dirr Ko Wari" begitu teriakan

17
warga biasanya sembari memercikkan air kepada siapa saja disekitarnya. Kalimat

dalam bahasa Karo itu bisa diartikan sepintas, deraslah hujan menghiasi

hari.Tradisi Erlau-lau (lau dalam bahasa Karo bermakna Air) merupakan bagian

dari ritual budaya untuk memanggil hujan.Ekspresi pengharapan masyarakat Karo

pada Sang Maha Memberi agar mereka mendapatkan curahan hujan ditengah

kemarau yang panjang. Entah mengapa praktik demikian semakin sulit ditemui.

Pandangan oleh pengaruh agama yang kini banyak dianut oleh masyarakat

Karo, ritual kultural ini semakin banyak ditinggalkan. Baik penganut Islam dan

Kristen, agama yang dominan dianut oleh masyarakat Karo diluar animisme,

tampaknya risih menggunakan tradisi ini karena khawatir dituding tak beragama.

Tidak percaya pada kuasa Tuhan. Seperti halnya sinisme beberapa komentator di

video tersebut yang menuding praktik kebudayaan ini sebagai sebuah tindakan

yang tak sesuai dengan ajaran agama. Dipandang tak sesuai syariat dan

sebagainya. Padahal bila diteliti lebih jauh, ritual ini sejatinya bisa dimaknai

sebagai doa. Doa tak serta mereka selalu harus berwujud sholat istiqosah atau

ibadah ke gereja. Tuhan yang menyatu dan mewujud dalam peristiwa harian kita

dan semesta, rasanya tak melulu disapa dengan ritual doa versi agama.

Tuhan bagi saya juga hadir dalam suasana gembira dan percikan air yang

menepis sejenak muka masam karena efek kemarau. Bukankah dalam tradisi suci

beberapa agama tertentu membasuh diri dengan air dipandang menyucikan diri

agar layak menghadap serta memohon pada Sang Kuasa? Saya kira demikian pula

ritual kultural ini yang dalam perspektif baru harus dilepaskan dari bayang-bayang

animisme.Erlau-lau sebagai sebuah doa kultural, bagaimanapun adalah peristiwa

18
sosial yang menarik. Melibatkan tumpukan keluh kesah warga tani yang sekian

waktu didera oleh kemarau panjang. Pada titik puncaknya, dengan membasahi diri

dan sesama serta tanah kampung, dalam suasana gembira dan percaya meminta

agar Sang Kuasa terlibat memberikan hujan. Sebuah pesan kultural yang secara

simbolik justru menyiratkan azas dari sebuah doa.

2.4 Kerangka Berfikir

ETNIK
KARO

Karo

Religi Hubungan manusia Batas Akal


dengan alam

Tradisi

ErlauLau Ritual

19
Eksistensi Pelaksana Alasan

Desa Linggah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Simpang Empat yang

didiami oleh suku Karo yang masih mempertahankan adat istiadat yang di

wariskan oleh leluhur mereka. Suku karo yang berkediaman di Desa Lingga

memiliki kebudayaan yang turun temurun oleh nenek moyang mereka.

Berdasarkan uraian di atas budaya karo memiliki budaya Erlau–lau atau

pemanggilan hujan maka peneliti menggunakan dua teori yaitu religi dan teori

batas akal sehingga membentuk kerangka berfikir.berdasarkan kerangka berfikir

maka dapat disimpulkan bahwasanya eksistensi budaya Erlau–lau atau

pemanggilan hujan dianggap sebagai suatu tradisi yang sangat mistis. Sebagai

mana suatu kepercayaan akan suatu roh gaib dianggap keberadaanya dapat

menjadi salah satu cara untuk pemanggilan hujan.

Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa Tradisi Erlau–lau yang sangat

mistis masih berlaku di era monotheisme ini. tentunya akan menjadi pertanyaan

besar bagi kita. Hal tersebut lah yang tentunya dikaji kembali bahwasanya dalam

batas akal manusia dalam kehidupan senantiasa berbagai persoalan hidup dengan

perantaan akal dan ilmu pengetahuan, namun dalam kenyataan akal dan sistem

pengetahuan itu sangat terbatas sekali.

20
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Menurut Moleong (2010:5) penelitian kualitatif adalah penelitian

memamfaatkan wawancara terbuka untuk menelah dan memehami sikap,

pandangan, perasaan dan perilaku individu dan sekelompok orang.

Mendefinisikan metodologi penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata–kata tertulis atau lisan dari orang–orang

dan perilaku yang diamati.


Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa metode kualitatif

dengan pendekatan deskriptif adalah metode untuk menjawab persoalan-

persoalan tentang atau kondisi yang terjadi sekarang. Kondisi atau keadaan yang

dimaksut mencakup tentang studi fenomena sebagaimana di lapangan ataupun

menetahuai pola pada fenomena yang di teliti, peneliti memilih jenis penelitian

kualitatif dengan pendekatan deskriptif agar mudah memahami dan

mendeskripsikan tradisi Erlau–lau pada etnik Karo di Desa Lingga Kecamatan

tigabinaga. Maka dalam hal ini peneliti juga melakukan penelitian lapangan (fiel

reseach)
3.2 Lokasi Penelitian
Adapun lokasi atau tempat penelitian yang berada di Desa Lingga

21
Kecamatan Tigabinaga. Peneliti memeilih beberapa tempat yang mempokuskan

lokasi penelitian di Desa Lingga Kecamatan Tigabinanga. Adapun pemilihan

lokasi ini karena di Desa Lingga terdapat sebuah tradisi Erlau-lau di daerah

tersebut. Masyrakatnya juga masih tetap melaksanakan tradsi Elau–lau jika

kemarau berkepanjangan sehingga menjadi daya tarik peneliti untuk memperoleh

data lebih lengkap.

3.3 Informan

Penentuan informasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

teknik purposipe yakni menentukan sendiri informan dengan menentukan kriteria

1. Dua orang tokoh adat yang mengetahui fungsi dan proses tradisi Erlau

– lau

2. Dua orang yang dituakan etnik Karo yang mengetahui tentang

perubahan–perubahan dalam tradisi Erlau–lau

3. Tiga orang masyarakat setempat etnik Karo yang terlibat dalam tradisi

erlau–lau

Pada penelitian ini, informan yang ditetapkan dapat diharapkan memberi

keterangan tentang suatu fakta atau pendapat. peneliti mememilih raja adat

sebagai informan utama yaitu raja adat yang mampu memberikan informasi

mengenai kondisi yang sebenarna terkait tentang tradisi Erlau–lau pada etnik

Karo. Peneliti juga memilih orang yang dituakan agar mendapat informasi secara

jelas mengenai tradisi Erlau-lau yang memiliki informasi mengenai hal yang

22
diteliti dan peneliti juga memilih informan pada etnik Karo yang penah menjalan

kan tradsi Erlau–lau dan paham mengenai informasi terkait.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini

adalah observasi dan wawancara.

1. Observasi
Teknik pengumpulan data dengan observasi adalah metode yang digunakan

dengan dengan menggunakan pengamatan utuk menghimpun data penelitian


Dalam meneliti Tradisi Erlau–lau peneliti meneliti lansung kelapangan.

Peneliti melakukan observasi terhadap masyarakat yang pernah melaksanakan

acara ritual pemanggilan hujan dengan menggunakan lembar obsevasi yang

telah disiapkan terhadap masyarakat yang sedang melaksanakan pesta adat

perkawinan .
Adapun lokasi penelitian ini adalah Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat

2.Wawancara

Untuk memperoleh suatu data yang akurat peneliti menggunakan metode

wawancara langsung dengan informan yang hendak diteliti. Wawancara dilakukan

untuk mengetahui lebih akurat Tradisi Budaya Elau-lau sebagai bentuk ritual

pemanggilan hujan di masyarakat Karo khususnya Desa lingga. Selain itu, peneliti

disini berperan langsung bertanya pada tokoh adat, kepala desa dan masyarakat

tentang bagaimana eksistensi ritual tersebut dimasyarakat. Selain itu peneliti juga

ingin mengetahui bagaimana mekanisme pelaksanaan ritual tersebut dan seberapa

besar kepercayaan masyarakat akan tradisi tersebut.

23
Wawancara semi terstruktur adalah salah satu wawancara yang digunakan

peneliti dalam penelitian ini, dikarenakan sudah termasuk dalam kategori in-depth

interview sehingga peneliti nantinya akan mendapatkan suatu data yang akurat

dan sesuai dengan fakta dari informan tersebut. Untuk penelitian ini informan

sangatlah dibutuhkan agar tercapainya suatu kesempurnaan dalam

penelitian.Orang yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah tokoh adat

dan masyarakat sekitar.

2. Studi Dokumen

Dokumentasi adalah salah satu pengumpulan data kualitatif dengan melihat

atau menganalisa dokume-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau orang

lain tentang subjek. Dokementasi yaitu berupa pemotretan terhadap berbagai

fenomena dan keadaan dan kondisi yang sedang diamati dan diteliti, guna

mendukung dan melengkapi hasil penelitian.

3.4 Teknik Analisa Data

Analisa merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang

diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara

mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,

melakukan sistesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang paling penting

dan harus dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga dapat dipahami oleh diri

sendiri maupun orang lain.

24
Setelah semua yang diperlukan telah terkumpul maka keseluruhan data

dianalisa dengan membandingkan data antara kajian teoritis dengan hasil

penelitian yang di dapatkan.

Daftar Pustaka

Ginting, E.P. 1999. Religi karo. Kabanjahe: Abdi karya.

Koentjaranigrat. 1984.Kamus Istilah Anrtopologi.jakarta: Pusat Pembinaan Dan


Pengembangan Bahasa Dan Departemen Kebudayaan.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Koentjaraningrat, 1983, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT


Gramedia.

Mudana,Gede.2013. Kearifan lokal suku helong.yokyakarta.Ombak.

25
Maran, Rafael Raga. 2000. Manusia Dan Kebudayaannya Dalam Perspektif
Ilmu Budaya Dasar. Jakarta:Rineka Cipta

Margono S, Drs. 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan Komponen MKDK.


Jakarta : PT. Rineka Cipta

Moleong, Lexy. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja


Rosdakarya

Simanjuntak,B.A(2009), Metode Penelitian sosial, Medan : Bina Media Perintis

Riduwan. 2004. Metode Riset. Jakarta : Rineka Cipta

Moeliono, Anton M. 1988. Kamus Bahasa Indonesi. Jakarta: Balai Pustaka

Brama, Putro. 1995. Sejarah Karo dari Zaman Ke Zaman.Djamin Ginting: Ulih
Saber

Johan de santo,agus cremere.1997. Mitos dukun dan sihir. Yokyakarta: kanisius

Sangti,batara.1977.Sejarah batak, Balige : Karl Sianipar company

Sugiono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, dan R&D. Bandung Alfabeta

Sumber internet:

Alexander. 1997. Journal Of Ritual Studies

http://Sayeadoredille.bologspot.com//2014/05/arti-ritual.html.

http://eprints.uny.ac.id/18427/4/4.%20BAB%20II.pdf

http://www.duniapelajar.com/2014/07/18/pengertian-eksistensi-menurut-para-ahli/

http://www.kompasiana.com/sembirink86/erlau-lau-tradisi-karo-yang-terancam-
punah_570a13338723bd3307408d97

26
https://www.scribd.com/doc/211296324/Hubungan-Manusia-Dengan-Alam

http://elearningpendidikan.blogspot.co.id/2013/09/hubungan-manusia-dan-alam-
semesta.html

27

Anda mungkin juga menyukai