Anda di halaman 1dari 8

Kacici

Sabtu, 09 Maret 2013

Kearifan Lokal Adat Kajang "Ammatoa"

Kawasan Adat Ammatoa” bertempat di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba
Provinsi Sulawesi Selatan yang berada sekitar 250 km dari kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.
Menurut tempat mukimnya, suku Kajang terbagi dalam dua kelompok yaitu suku Kajang Luar Dalam dan
Suku Kajang Dalam. Suku Kajang Dalam meliputi tujuh dusun di Desa Tana Toa. Pusat kegiatan
komunitas suku Kajang Ammatoa berada di Suku Kajang Dalam tempatnya di dusun Benteng yang
ditandai dengan kehadiran rumah Ammatoa dan rumah warga kawasan adat dengan bentuk rumah
panggung yang tiangnya berjumlah 16 dan ditanam di bawah tanah dan dapurnya terletak di samping
pintu masuk. Rumah dibangun dari sumber daya alam seperti pepohonan. Perbedaan mendasar antara
rumah masyarakat adat dengan Ammatoa lainnya adalah :

Dinding dan lantai rumah masyarakat adat terbuat dari papan dan boleh menggunakan paku. Sedangkan
dinding dan lantai rumah Ammatoa buat dari bambu (te’re), dan antara dinding satu dengan yang
lainnya dihubungkan oleh tali serat alam yang terbuat dari akar - akar pohon dsb (tidak menggunakan
paku). Dimana pipmpinan Adat dalam komunitas ini adalah "Ammatoa".

Kelestarian hutan di Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan tak lepas dari payung hukum adat
yang selama ini dihormati dan dijunjung tinggi masyarakat adat Kajang yakni, “Pasang”. Bagaimana
masyarakat adat kajang mengimplementasi ajaran Pasang kaitanya dengan pelestarian lingkungan
hidup? Hal yang membuktikan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Pasang
langsung mendapatkan sanksi yang berlaku selama masih hidup di dunia dan juga akan didapatkan di
akhirat nantinya.

Kearifan masyarakat adat Kajang dalam mengelola sumber daya alamnya memang diartikulasikan
melalui media - media tradisional seperti mitos, ritual, dan pesan - pesan leluhur, tetapi sesungguhnya
mengandung pengetahuan ekologis, yaitu sistem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai
penyeimbang ekosistem. Bahkan uraian di atas memperlihatkan empat elemen kearifan lingkungan,
yaitu sistem nilai (value system), pengetahuan (knowledge), teknologi (technology), dan lembaga adat
(institution).
Masyarakat Kajang dalam mengelola sumber daya hutan tidak terlepas dari kepercayaannya terhadap
ajaran pasang. Masyarakat Kajang memahami bahwa dunia yang diciptakan oleh Turie’ A’ra’na beserta
isinya haruslah dijaga keseimbangannya, terutama hutan. Karenanya hutan harus dipelihara dengan baik
dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh merusaknya.

Salah satu pasal dari pesan tersebut berbunyi: “Anjo boronga anre nakkulle nipanraki. Punna nipanraki
boronga, nupanraki kalennu” artinya (Hutan tidak boleh dirusak. Jika engkau merusaknya, maka sama
halnya engkau merusak dirimu sendiri). Selain itu, kita juga bisa melihat pasal lain yang berbunyi: “Anjo
natahang ri boronga karana pasang. Rettopi tanayya rettoi ada” artinya (Hutan bisa lestari karena dijaga
oleh adat. Bila bumi hancur, maka hancur pula adat). Ammatoa selaku pemimpin adat membagi hutan
menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Borong Karamaka (Hutan Keramat), yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis
kegiatan, terkecuali kegiatan atau acara - acara ritual. Tidak boleh ada penebangan, pengukuran luas,
penanaman pohon, ataupun kunjungan selain pengecualian di atas, termasuk larangan mengganggu
flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. Adanya keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat kediaman
leluhur (Pammantanganna singkamma Tau Riolonta), menjadikan hutan ini begitu dilindungi oleh
masyarakatnya. Hal ini diungkapkan secara jelas dalam sebuah Pasang, yaitu:

Talakullei nisambei kajua,

Iyato’ Minjo Kaju Timboa.

Talakullei Nitambai Nanikurangi Borong Karamaka.

Kasipalli Tauwa A’lamung - Lamung Ri Boronga,

Nasaba’ Se’re Wattu La Rie’ Tau Angngakui Bate Lamunna

Artinya :

Tidak Bisa Diganti Kayunya,

Kayu Itu Saja Yang Tumbuh

Hutan Keramat Itu Tidak bisa ditambah atau dikurangi.

Orang dilarang menanam di dalam hutan

Sebab Suatu Waktu Akan Ada Orang Yang Mengakui Bekas Tanamannya.
Hutan keramat ini adalah hutan primer yang tidak pernah diganggu oleh komunitas Amma Toa. Jenis
pelanggaran berat dalam hutan keramat itu, antara lain: Ta’bang Kaju (menebang kayu), Rao Doang
(mengambil udang), Tatta’ Uhe (mengambil rotan), dan Tunu Bani (membakar lebah). Ada dua jenis
hutan adat (Borong Karama’) yang terdapat di dalam kawasan ini antara lain Borong Ilau’ dan Borong
Iraja. Dan hanya orang - orang tertentu saja yang boleh memasuki kawasan hutan adat tersebut. Konon
katanya, hutan tersebut dikelilingi mantra sakti. Oleh karena itu, barang siapa yang memasuki hutan
tersebut dengan niat buruk maka dia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Bahkan apabila
pelakunya adalah warga adat Kajang Ammatoa sendiri, maka akan disidang dan diberi sanksi sesuai
pelanggarannya. Bisa saja orang tersebut tidak diperbolehkan lagi untuk tinggal di kawasan adat Kajang
Ammatoa.

Dan apabila terjadi pelanggaran di dalam hutan keramat, pelanggaran terhadap ketentuan adat ini akan
dijatuhi sanksi adat, dalam bentuk pangkal cambuk atau denda uang dalam jumlah tertentu, sesuai
dengan Ada’ Tanayya, sebuah sistem peradilan adat Kajang. Mereka juga memiliki lembaga adat yang
disebut dengan Tau Limayya (organisasi yang beranggotakan lima orang), dipimpin oleh seseorang yang
bergelar ammatowa, yang tugas utamanya mengatur penebangan pohon, pengambilan rotan, dan
pemanenan lebah madu di hutan adat, serta penangkapan udang.

Pelaku akan dikenakan sanksi yang disebut Poko’ Ba’bala’. Poko’ Ba’bala’ atau sanksi atas pelanggaran
berat merupakan sanksi yang tertinggi nilai dendanya, yaitu sampulonnua real (12 real) atau 24 ohang.
Denda ini jika dirupiahkan setara dengan Rp. 1.200.000 ditambah dengan sehelai kain putih dan kayu
yang diambil dari hutan keramat harus dikembalikan.

2. Borong Batasayya (Hutan Perbatasan) merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya
sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Amma Toa selaku pemimpin adat. Jadi
keputusan akhir bisa tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Amma Toa. Kayu
pun yang ada dalam hutan ini hanya diperbolehkan untuk membangun sarana umum, dan bagi
komunitas Amma Toa yang tidak mampu membangun rumah. Selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan.

Hanya beberapa jenis kayu yang boleh ditebang, yaitu kayu Asa, Nyatoh dan Pangi. Jumlahnya yang
diminta harus sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga tidak jarang, kayu yang diminta akan dikurangi
oleh Amma Toa. Kemudian ukuran kayunya pun ditentukan oleh Amma Toa sendiri.

Syarat yang paling utama adalah ketika ingin menebang pohon, maka pertama - tama orang yang
bersangkutan wajib menanam pohon sebagai penggantinya. Kalau pohon itu sudah tumbuh dengan
baik, maka penebangan pohon baru bisa dilakukan. Penebangan 1 jenis pohon, maka seseorang harus
menanam 2 pohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan oleh Amma Toa. Penebangan pohon itu
memakai alat tradisional berupa kampak atau parang. Dan kayu yang habis ditebang harus dikeluarkan
dari hutan dengan cara digotong atau dipanggul dan tidak boleh ditarik karena akan merusak tumbuhan
lain yang berada di sekitarnya.
Pelanggaran di dalam kawasan hutan perbatasan ini, seperti menebang tanpa seizin Ammatoa atau
menebang kayu lebih dari yang diperkenankan, akan dikenai sanksi. Sanksinya dikenal dengan istilah
Tangnga Ba’bala’. Sanksi ini mendenda pelakunya sebesar Sangantuju real (8 real) atau 12 ohang, yang
setara dengan Rp. 800.000,- ditambah dengan satu gulung kain putih. Selain itu, dikenal juga sanksi
ringan (Cappa’ Ba’bala’), yang dikenakan atas pelanggaran ringan, seperti kelalaian yang menyebabkan
kayu dalam kawasan hutan mengalami kerusakan/tumbang. Untuk pelanggaran ini dikenakan sanksi
berupa denda sebesar Appa’ real (4 real) atau 8 ohang, setara dengan Rp. 400.000,- ditambah satu
gulung kain putih.

Sanksi terakhir ini dapat juga dijatuhkan kepada orang yang menebang pohon dari kebun warga
masyarakat Amma Toa, yang selanjutnya mengenai hal ini akan dijelaskan pada bagian di bawah ini.

3. Borong Luara’ (Hutan Rakyat) merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat. Meskipun
kebanyakan hutan jenis ini dikuasai oleh rakyat, aturan - aturan adat mengenai pengelolaan hutan di
kawasan ini masih berlaku. Tidak diperbolehkan adanya kesewenang - wenangan memanfaatkan hutan
rakyat ini.

Selain sanksi berupa denda, seperti yang telah dijelaskan di atas, juga terdapat sanksi berupa hukuman
adat. Hukuman adat sangat mempengaruhi kelestarian hutan karena ia berupa sanksi sosial yang
dianggap oleh komunitas Amma Toa lebih berat dari sanksi denda yang diterima. Sanksi sosial itu berupa
pengucilan. Dan lebih menakutkan lagi karena pengucilan ini akan berlaku juga bagi seluruh keluarga
sampai generasi ke tujuh (tujuh turunan). Namun sanksi ini merupakan bagian dari Poko’ Ba’bala’.

Selain kepercayaanya, faktor yang berpengaruh untuk menjaga keseimbangan sumberdaya hutan adalah
utuhnya pandangan mereka terhadap asal mula leluhurnya bahwa manusia berkembang dimulai dari
Amma Toa pertama sebagai Tomanurung dan dunia meluas dimulai dari hutan Tombolo (Tana Toa),
dimana manusia pertama itu (Amma Toa) “turun” di hutan Tombolo. Itulah keyakinan mereka terhadap
leluhurnya yang hingga saat ini masih melekat dipikiran dan hati sanubari warga masyarakat Kajang.

Pemahaman masyarakat Ammatoa terhadap sumberdaya hutan sendiri dilandasi oleh prinsip hidup
tallasa kamase - masea (kesederhanaan) dan ajaran pasang sebagai suatu nilai yang dipegang erat.
Masyrakat Ammatoa meyakini, merawat hutan merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan
memiliki kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan, sekaligus mendatangkan bencana manakala tidak
dijaga kelestariannya. Untuk itu mereka senantiasa memelihara hutan agar terhindar dari mara bahaya
yang dapat mengancam kehidupan mereka.

Mereka yakin dan percaya bahwa di sekitarnya terhadap sesuatu kekuatan “supernatural” yang bagi
manusia tidak mampu menghadapinya. Untuk itu mereka senantiasa mengadakan upacara-upacara di
hutan agar terhindar dari mara bahaya yang dapat mengancam kehidupannya. Dengan modal Pasang
tersebut, masyarakat adat kajang menjadi bukti betapa kuatnya kearifan lokal masyarakat adat Kajang
dalam pengelolaan hutan. ”Dengan Pasang inilah semua bentuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan
diatur dengan jelas termasuk menjadi alat pengawasan serta kontrol atas semua aktivitas yang
berhubungan dengan kehutanan.
Persepsi masyarakat Kajang terhadap alam, bahwa di alam ini ada kekuatan-kekuatan dan kekuatan -
kekuatan itu ada pada benda - benda, pohon besar dan lain-lain. Kekuatan - kekuatan alam itu ada pada
gejala atau peristiwa alam yang digerakkan oleh dewa-dewa seperti kekuatan - kekuatan yang ada di
hutan.

Selain ajaran Pasang, masyarakat yang kesehariannya serba berpakian hitam ini, juga memiliki aturan
adat yang disebut Patuntung. Patuntung adalah sebuah aturan adat yang berhubungan dengan upaya -
upaya untuk mempertahankan pengelolaan hutan yang lestari. Hal tersebut tidak terlepas dari
keyakinan masyarakat adat Kajang bahwa hutan adalah merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan
dalam melangsungkan kehidupan mereka. Terbukanya akses dengan masyarakat luar, Patuntung
menjadi sangat penting dalam menjaga kelestarian ekosistem dan mempertahankan fungsi - fungsi
hutan adat Kajang karena disamping pengaturannya yang terkait dengan pengelolaan hutan, Patuntung
juga memiliki nilai ritual. “Oleh karena itu, perlakuan masyarakat adat Kajang terhadap hutan tidak
semata - mata hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari - hari, tapi untuk kepentingan menjaga
keseimbangan ekosistem dan kepentingan ritualnya.

Pengaruh kehidupan modern, bagi masyarakat adat Kajang juga memiliki pengetahuan bahwa kayu atau
hutan adalah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Namun mereka masih sangat menghormati dan
menjunjung tinggi peranan hutan sebagai hal yang sangat sakral. Karena itu prilaku keseharian
masyarakat adat Kajang masih diwarnai oleh tindakan yang mementingkan keseimbangan antara
spritual dan ekonomi.

Dalam hutan adat, warga adat dilarang menanam dan memotong kayu di kawasan hutan adat. Karena
diragukan pada suatu saat nanti mereka menebang pohon karena pohon itu adalah pohon yang
ditanamnya di masa lalu.

Masyarakat Ammatoa dalam menjaga hubungannya dengan sumber daya alam terletak pada
pandangannya yang tidak dibenarkan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan,
seperti mengelolah tanah lebih dari satu kali dalam setahun, untuk memperoleh hasil yang lebih banyak.
Etos kerja bagi masyarakat Ammatoa tidak lebih hanya bermotif "menjaga" yakni mengumpulkan bahan
makanan sebanyak mungkin agar dapat dimanfaatkan pada saat tertentu seperti kegiatan - kegiatan
upacara dengan tidak menguras sumber daya alam.

Butir - butir pasang yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan yang dipegang teguh
masyarakat adat Ammatoa : Pasang satu : "Jagai Linoa Lolong Bonena. Kammayya Tompa Langika.
Siagang Rupa Taua. Siagang Boronga". Dalam bahasa Indonesia berarti (jagalah dunia beserta isinya,
begitu juga langit, manusia dan hutan).

Oleh mereka ungkapan ini dipercaya sebagai pesan pertama dari Turie' A'ra'na (Tuhan YME) kepada
Ammatoa (Tau Marioloa), yang menyatakan bahwa ekositem dunia (Lino) adalah sumber kehidupan
yang menjadi jaminan keberadaan umat manusia di muka bumi. Selanjutnya ada pasang lain yang
mengingatkan akan ketergantungan terhadap sumber daya hutan sebagai sumber hujan yang demikian
besar, sehingga upaya pelestarian adalah amanah yang harus dijalankan oleh seluruh warga masyarakat
Ammatoa.

Pasang ini mengingatkan bahwa kalau terjadi penebangan kayu di hutan secara terus menerus tanpa
ada upaya pemulihan, maka akan mengurangi hujan dan menghilangkan sumber mata air. Oleh karena
itu, menurut pasang adalah tidak dibenarkan dan apabila terjadi penebangan maka diidentifikasi sebagai
melanggar pasang. Pasang ini secara administratif dijalankan oleh Galla Puto (lembaga yang khusus
menangani hutan.

Sedangkan bagi masyarakat yang membutuhkan kayu di hutan, pertama harus disampaikan kepada
Galla Puto. Kemudian, Galla Puto akan menyampaikan kepada Ammatoa. Setelah Ammatoa
menganalisis kebutuhan masyarakat, maka selanjutnya diserahkan kepada Galla Lombo'. Galla Lombo'
bersama Galla Puto memeriksa ketersediaan kayu di hutan batasannya (Boronga Batasayya).
Pemanfaatan kayu hanya sebatas membangun rumah, bukan untuk diperdagangkan. Sebelum
menebang satu pohon diwajibkan menanam pohon minimal dua pohon.

Pesan - pesan Suci Dari suci yang dipercaya masyarakat adat Tanah Toa Kajang, dan diyakini berasal dari
Tau Rie’a A’ra’na (Pencipta Segala Sesuatu, Yang Maha Kekal dan Maha Mengetahui), yang diturunkan
kepada manusia pertama yang disebut Ammatoa

Naparanakkang Juku

Napaloliko Raung Kuju

Nahambangiko Allo

Nabatuiko Ere Bosi

Napalolo Rang Ere Tua

Nakajariangko Tinanang

Pesan-pesan itu memiliki arti :

Ikan bersibak

Pohon - pohon bersemi

Matahari bersinar

Hujan turun

Air tuak menetes


Segala tanaman menjadi tumbuh

Masyarakat yang memiliki pesan-pesan suci untuk berbaur dengan alam dan menghargai alam.
Masyarakat adat yang di banyak bagian negara ini sering terjepit dan menjadi anak tiri pertiwi. Inilah
potret masyarakat kita, yang tentunya harus dihargai, bukan untuk dirusak.

Kearifan lokal masyarakat Kajang Ammatoa dalam mengelola hutan sangatlah baik. Tetap terpatri di
dalam jiwa mereka untuk selalu menjaga dan melestarikan hutan karena hutan merupakan kekayaan
alam yang dimilikinya dan merupakan pusat kebudayaan dimana adat Kajang Ammatoa berada. Tidak
ada hasil hutan yang boleh diganggu karena di dalam hutan terdapat kekayaan yang merupakan penjaga
berupa :

1. Rotan

2. Kayu

3. Udang

4. Lebah

(*Galla Pantama)

Galla Pantama (Kanan) Beserta Salah Satu Tim

Ekspedisi Budaya Adat Kajang Ammatoa (Kiri)

Untuk menjaga kelestarian hutan, maka Ammatoalah yang berperan dalam menghimbau kepada
warganya untuk tidak melakukan penebangan dan perambahan hasil hutan. Mereka juga menyadari
bahwa perambahan hutan merupakan cikal bakal kerusakan hutan dan pemanasan global.

Lestarikan Alam Kita sebagai Warisan

Kacici di 09.08

Berbagi
Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beranda

Lihat versi web

Me ^_^

Foto saya

Kacici

Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia

Enjoy Brayyyy

Lihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai