Anda di halaman 1dari 4

Adat Meublang, Mitos atau Kearifan

Oleh Herman RN

Sebagai masyarakat yang terkenal menjunjung tinggi budaya leluhur,


ureueng Aceh memiliki keberagaman adat dalam kehidupan sehari-
hari. Hanya saja, masyarakat yang mendiami Aceh sekarang—
kemungkinan masyarakat Aceh asli—sudah mulai kurang memahami
antara adat dengan yang hanya merupakan sebuah kebiasaan
semata (reusam). Ada pula yang mulai menganggap adat sebagai
mitos belaka, terutama bagi sebagian orang yang mengklaim dirinya
telah berpikir maju alias modern. Akibatnya, kearifan sebagai adat
atau tradisi hanya kamuflasi mistik alias terbelakang.
Bagi sebagian ureueng Aceh, adat tetaplah sebuah kearifan
yang mesti dijaga, dilestarikan, dijalani, dan diterapkan dalam
kehidupan sebagai bagian dari ‘norma kedamaian’. Karena itu, bagi
yang melanggar adat dikenakan sanksi yang telah disepakati dalam
kawasan masyarakat adat dimaksud, tentu saja sanksi adat satu
daerah dengan daerah lain berbeda. Namun, inti dari sebuah
pelanggaran adat adalah “malu” merupakan sebuah keseragaman.
Hal ini senada dengan hadih maja meulangga hukôm raya akibat,
meulangga adat malèe bak donya ‘melanggar hukum (syar’i) besar
akibat, melanggar adat malu di dunia’.
Tingginya nilai-nilai adat dalam masyarakat Aceh tercermin
pula dalam bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan lahan.
Dalam hal ini, ada lembaga/instansi adat yang berwenang, yakni
panglima uteuen yang dibawahi beberapa struktur adat lainnya
seperti petua seuneubôk, keujruen blang, pawang glé, dan sebagainya.
Dalam sistem pengelolaan hutan sebagai lahan bercocok
tanam, fungsi petua seuneubôk tak dapat dinafikan. Seuneubôk
sendiri maknanya adalah suatu wilayah baru di luar gampông yang
pada mulanya berupa hutan. Hutan tersebut kemudian dijadikan
ladang. Karena itu, pembukaan lahan seuneubôk harus selalu
memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak
negatif bagi anggota seuneubôk dan lingkungan hidup itu sendiri.
Maka fungsi petua seuneubôk menjadi penting dalam menata
bercocok tanam, di samping kebutuhan terhadap keujruen blang.
Menurut qanun nomor 10 tahun 2008 pasal 32, petua
seuneubôk dipilih oleh masyarakat dalam kawasan hutan yang telah
”dilahankan” tersebut, yang ditentukan dalam musyawarah
masyarakat kawasan seuneubôk dimaksud. Seorang petua seuneubôk
mempunyai tugas (a) mengatur dan membagi tanah lahan garapan
dalam kawasan seuneubôk; (b) membantu tugas pemerintah bidang
perkebunan dan kehutanan; (c) mengurus dan mengawasi
pelaksanaan upacara adat dalam wilayah seuneubôk; (d)
menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam wilayah seuneubôk; dan
(e) melaksanakan dan menjaga hukum adat dalam wilayah
seuneubôk.

Membuka Lahan
Berbicara masalah adat identik dengan aturan-aturan di suatu
tempat/daerah/wilayah. Dalam pembukaan lahan untuk bercocok
tanam, bagi ureueng Aceh terdapat sejumlah aturan yang sudah
hidup dan berkembang sejak zaman dahulu. Aturan-aturan tersebut
dimisalkan terhadap tata cara penebangan kayu hutan seperti tidak
boleh menebang kayu-kayu besar yang menjadi tempat bersarang
lebah (tawon). Hal semacam ini sudah menjadi pantangan umum
yang apabila dilanggar dapat merugikan orang banyak.
Kearifan ureueng Aceh juga terdapat dalam larangan menebang
pohon pada radius sekitar 500 meter dari tepi danau, 200 meter dari
tepi mata air dan kiri-kanan sungai pada daerah rawa, sekitar 100
meter dari tepi kiri-kanan sungai, sekitar 50 meter dari tepi anak
sungai (alue). Semua aturan ini sudah menjadi ketetapan lembaga
adat suatu daerah demi menjaga keberlangsungan hidup alam dan
masyarakat di daerah tersebut. Jika aturan-aturan ini dilanggar,
panglima uteuen sebagai instansi adat berhak menjatuhkan sanksi
kepada si pelanggar atau imbasnya akan mendera masyarakat
banyak semisal banjir dan turunnya binatang buas ke pemukiman
penduduk.
Adat semacam ini terkesan mulai dikesampingkan dengan
dalih zaman sudah maju sehingga semua aturan-aturan yang sudah
lestari dalam masyarakat adat itu dianggap sebagai mitos. Akibatnya,
saat ini terdapat daerah-daerah rawan banjir dan daerah-daerah
rawan binatang buas.
Manakala adat semacam itu dianggap mitos, bagaimana pula
dengan hadih maja tanoh sih’èt u timu pusaka jirat/ sih’èt u barat
pusaka papa/ sih’èt u tunong geulantan/ sih’èt u seulatan pusaka
kaya ‘tanah miring ke timur pusaka kubur/ miring ke barat pusaka
papa/ miring ke utara tanah menang/ miring ke selatan pusaka
kaya’. Tentu kearifan yang tergambar dalam hadih maja tersebut
akan dianggap oleh orang-orang yang mengaku berpikir maju sebagai
mistik yang dibuat-buat atau kepercayaan yang ditambah-tambah.
Padahal, maksud kata-kata bijak tersebut jelas menyiratkan betapa
letak kemiringan tanah sangat berpengaruh pada hasil tanam karena
menyangkut siklus edar cahaya matahari. Bukankah di alam ini
terdapat ilmu semesta?

Pantangan

Selain itu, dalam adat Aceh dikenal pula sejumlah pantangan


saat membuka lahan di wilayah seuneubôk. Pantangan itu seperti
peudong jambô. Jambô atau gubuk tempat persinggahan melepas
lelah sudah tentu ada di setiap lahan. Dalam adat meublang, jambô
tidak boleh didirikan di tempat lintasan binatang buas atau tempat-
tempat yang diyakini ada makhluk halus penghuni rimba. Bahan
yang digunakan untuk penyangga gubuk juga tidak boleh
menggunakan kayu bekas lilitan akar (uroet), karena ditakutkan akan
mengundang ular masuk ke jambô tersebut.
Ada pula pantang daruet yang maksudnya anggota suneubôk
dilarang menggantung kain pada pohon, mematok parang pada
tunggul pohon, dan menebas (ceumeucah) dalam suasana hujan. Hal
ini karena ditakutkan dapat mendatangkan hama belalang (daruet).
Selain itu, di dalam kebun (hutan) juga dilarang berteriak-
teriak atau memanggil-manggil seseorang saat berada di
hutan/kebun. Hal ini ditakutkan berakibat mendatangkan hama
atau hewan yang dapat merusak tanaman, seperti tikus, rusa, babi,
monyet, gajah, dan sebagainya.
Disebutkan pula bahwa dalam adat Aceh terdapat pantangan
masuk hutan atau hari-hari yang dilarang. Karena ureueng Aceh
kental keislamannya, hari yang dilarang itu biasanya berkaitan
dengan “hari-hari agama” seperti Jumat, hari meugang (uroe
makmeugang), hari raya fitri dan adha (uroe raya), termasuk hari
rabu abéh (rabu terakhir pada bulan Safar). Dilarang juga masuk
kebun bak uroe pring atau kom (hari libur), yakni sehari setelah
peutua blang simula (keujruen menanam padi). Hari khanduri meulôd
(memperingati kelahiran nabi Muhammad saw.) juga menjadi hari
yang pantang masuk hutan, baik dalam konteks berkebun,
menebang kayu, maupun berburu binatang. Jika hari-hari yang
sudah disepakati sebagai “hari pantang meublang” ini kedapatan ada
yang masuk hutan, akan dijatuhkan sanksi adat di bawah kendali
panglima uteuen. Ini membuktikan betapa kukuhnya instansi adat
dalam masyarakat Aceh. Namun, semua ini mulai luntur, terutama
daerah-daerah perkotaan.
Aceh juga mencatat sejumlah larangan atau pantangan dalam
perilaku. Hal ini seperti memanjat atau melempar durian muda,
meracun ikan di sungai atau alue, berkelahi sesama orang dewasa
dalam kawasan seuneubôk, mengambil hasil tanaman orang lain
semisal buah rambutan, durian, mangga, dll. walaupun tidak
diketahui pemiliknya, kecuali buah yang jatuh. Larangan tersebut
tentunya menjadi cerminan sikap kejujuran dalam kehidupan di
bumi yang mahaluas ini.

Adat Bersawah
Dalam bersawah (meupadé), juga terdapat sejumlah ketentuan
demi keberlangsungan kenyaman dan keamanan bercocok tanam.
Hal ini seperti hanjeut teumeubang watèe padé mirah. Maksudnya
adalah tidak boleh memotong kayu saat padi hendak dipanen. Kalau
ini dilanggar, dipercaya akan mendatangkan hama wereng (geusong).
Demi menghindari sawah sekitar ikut imbas hama wereng, bagi si
pelanggar ketentuan itu dikenakan denda oleh keujruen blang.
Ada pula larangan ceumeucah lam ujeuen tunjai, yaitu
menebang semak belukar (bukan pohon). Juga hanjeut ceumeucah
watèe rôh padé (padi akan berisi). Jika hal ini dilanggar dipercaya
akan mendatangkan hama belalang (daruet) yang berakibat gagal
panen. Masih saat rôh padé, juga dilarang membawa daun nipah
secara terbuka—diketahui bahwa orang-orang tua di Aceh suka
rokok linting dari daun nipah—atau akan terkena penyakit putéh
padé sehingga padi di sawah tidak berisi.
Tata cara turun ke sawah dalam masyarakat adat Aceh
sebaiknya disesuaikan dengan hadih maja keunong siblah tabue
jareueng/ keunong sikureueng tabu beurata/ keunong tujôh padé lam
umong/ keunong limong padé ka dara/ keunong tiga padé ka rhôh,
keunong satoh padé ka tuha ‘kena sebelas tabur yang jarang/ kena
sembilan tabur yang rata/ kena tujuh padi dalam sawah/ kena lima
padi sudah gadis/ kena tiga padi sudah berisi/ kena satu padi sudah
tua’.
Cara bertanam atau turun ke sawah berdasrkan konsep
keuneunong ini sudah lama berlangsung di Aceh. Penghitungan
keuneunong digunakan dengan cara menggunakan angka 25 sebagai
angka utama, lalu dikurangi dengan angka bulan Masehi dan dikali
dua. Misalnya, bulan ini (Oktober) keuneunong yang cocok adalah 5,
yaitu berdasarkan 25 – (10 x 2) sama dengan 25 – 20 dan hasilnya
adalah 5 (lima).
Setelah melihat keuneunong yang juga dicocokkan dengan
peredaran bintang, dilakukan musyawarah gampông “kapan” turun
ke sawah. Duek pakat (musyawarah) ini biasanya dilakukan oleh
gampông, mukim, keujruen blang, demi mencocokkan dengan
penghitungan yang sudah dilakukan oleh keujruen chik. Setelah
kesepakatan dicapai, diumumkanlah kepada warga saat yang tepat
turun ke sawah. Demikian arifnya adat meublang di gampông-
gampông dalam wilayah Aceh secara umum. Terkait hasil panen pun
memiliki aturan-aturan tersendiri. Jikapun terjadi sengketa, selalu
diselesaikan secara adat dengan musyawarah-musyawarah gampông.
Maka, keamanan dan ketenteraman dengan gampông tak lagi
diragukan. Lantas, mitos atau kearifankah adat meublang di Aceh?

Herman RN, Aktivis Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA)


Aceh dan Redaktur SAMAN.

Anda mungkin juga menyukai