Anda di halaman 1dari 3

Berleha pada Fakta, Lupa pada Fiksi

Oleh Herman RN

KEBIASAAN menulis ceritaan rekaan yang ide dasarnya diambil


dari pengalaman, kisah nyata, atau catatan sejarah, bukanlah hal
baru di dunia sastra Nusantara. Dari sini pula kemudian muncul
pembagian genre baru seperti sastra sejarah, biografi, dan
sejenisnya. Padahal, mula sekali sastra digolongkan ke dalam
wilayah fiksi semata sehingga kisah yang dipaparkan hanya terjadi
di dunia ijaminasi sang penulis.
Keabsahan mengangkat kisah nyata—pengalaman,
pengamatan, hasil bacaan—ke dalam bentuk karya fiksi semakin
kuat sejak munculnya buku The Mirror and The Lamp karya M.H.
Abrams. Buku Abrams ini kemudian menjadi induk teori
pendekatan terhadap kajian karya sastra yang menjadi pegangan
utama para kritikus dan pencipta. Abrams menyebutkan ada
empat pendekatan terhadap karya sastra, satu di antaranya
adalah cerminan dari alam, dikenal dengan teori mimesis. Oleh
karena itu, alam dan pengalaman yang merupakan realita sejarah
dapat juga diangkat ke dalam bentuk cerpen.
Boleh jadi penulis mengambil pengalaman orang lain, baik
dari mendengar langsung maupun tidak langsung atau
membacanya dari sejumlah literatur, termasuk media massa.
Membaca referensi untuk menguatkan cerita apalagi cerita yang
hendak ditulis dalam bentuk novel merupakan jerih yang bagus.
Hal ini telah dilakukan oleh banyak penulis. Sebut saja
Habiburrahman El Shirazy, dengan karya fenomenalnya Ayat Ayat
Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Pada kedua novel itu, di
beberapa lembaran terakhir tertera sejumlah kitab yang
mendampingi pembuatan novel dimaksud. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Helvy Tiana Rosa pada naskah drama Tanah
Perempuan.
Upaya membaca beberapa referensi saya amati pula
dilakukan oleh R.h. Fitriadi pada The Gate of Heaven (TGH).
Sayangnya, ia tak menyebutkan di mana mengambil sejumlah
data untuk novelnya ini, seperti pernah dilakoni para penulis
sebelumnya. Berat dugaan, Fitriadi memperoleh segala data dalam
novelnya itu dari internet. Di sinilah kelemahan penulis novel
dalam mempertanggungjawabkan hasil karyanya, meskipun novel
adalah karya fiksi. Apalagi, sang penulis berani menyebutkan
karya fiksinya itu diangkat dari kisah nyata.
Sisi lain TGH ialah mirip buku ilmiah, sederhananya ilmiah
populer. Hal ini dapat dijumpai pada beberapa penjelasan umum
dari sejumlah istilah yang digunakan. Artinya, membaca novel ini
kita juga disuguhkan pengetahuan umum tentang kondisi
Palestina, nama tempat, dan jenis-jenis senjata. Kendati

1|RN
penggunaan nama tempat, nama tokoh, dan latar, yang terdapat
pada sebuah novel boleh jadi nama sebenarnya, beda sangat
dengan TGH. Novel ini tak cukup sekadar mengangkat nama-
nama asli itu ke dalam kisahnya, tetapi juga menyuguhkan
definisi dan pengetahuan umum lainnya. Lihat saja halaman 21:
Roket al-Qassam varian III adalah roket jelajah menengah.
Varian ini telah dilengkapi dengan guidance system
menggunakan radar dan electro-optical sensor. Varian terbaru
ini adalah senjata yang setaraf dengan roket menengah-jauh
milik Israel jenis David’s Sling dan Patriot Missile.

Jika saja narasi tersebut diucapkan oleh seorang tokoh di


dalam novel itu, tentu tidak dinggap lagi sebagai paragraf ilmiah.
Namun, karena paragraf ini berdiri sendiri berupa narasi, ada
kesan seakan penulis hendak membeberkan definisi dan struktur
roket al-Qassam. Ketidakhati-hatian seperti ini cenderung
membuat penulis tidak lagi berposisi sebagai narator, melainkan
menggurui.
Rasa ingin memberitahukan (bukan menunjukkan) pembaca
terhadap beberapa hal dianggap penting oleh penulis novel ini juga
dapat dilihat pada halaman 265-266. Pada dua halaman ini,
penulis berusaha membeberkan tentang merkava IV beserta
kapasitasnya dan kegunaannya.
Miripnya novel ini sebagai karangan ilmiah atau semiilmiah
semakin jelas pada halaman berikutnya (lihat hlm. 22). Ada tiga
footnote (catatan kaki) di halaman ini. Hal yang sama terdapat
pada halaman 12, 25, 26, 29, 45, 56, 90, 92, 167, 194, 217, 246,
249, 258, 266, 275, 283, 309, 312, 330, 340, 357, 372, 397, 406,
430, 434, 438, dan 447. “Semaknya” catatan kaki yang hadir
nyaris pada setiap halaman tentu mengganggu kosentrasi mata
pembaca. Jikapun ini dianggap penting, baiknya ditulis dalam
bentuk endnote saja. Pilihan lainnya gunakan semacam daftar
istilah atau daftar bacaan apabila memang merasa kehadiran
penjelasan tambahan itu penting. Tentu saja akan lebih ‘indah’
dan kuat dibanding menghadirkan footnote hampir di setiap
halaman serupa buku-buku pengetahuan di sekolah-sekolah.
Kemiripan novel ini dengan buku pengetahuan semakin
kuat pada gaya penulisan dokumen (halaman 130) dan gambar
peta (halaman 296). Pada surat dokumen yang ditulis berpoin dan
tertata itu jelas menunjukkan teknis penulisan pada dokumen asli
yang membuat pembaca curiga bahwa bagian ini diambil dari
bahan bacaan. Ironis lagi, sebelum masuk pada poin pertama
(nomor 1) dibuka dengan tanda kutip yang tak jelas ucapan siapa
—biasanya penggunaan tanda kutip dalam novel/cerpen adalah
ucapan tokoh—tetapi pada bagian ini tidak ditutup dengan tanda
kutip pula sehingga semakin rancu.
Selanjutnya, pada halaman 296, penulis melampirkan peta
yang mungkin memang kopian asli. Padahal, deskripsi peta pada

2|RN
halaman 297 yang digunakan lewat lakon seorang tokoh prajurit
sudah sangat memadai. Gambar peta itu mubazir dan sifatnya
terlalu resmi.
Hal yang mirip juga terjadi pada halaman 42, penulisan
pernyataan sikap. Pernyataan sikap dengan lima poin itu saya
taksir sebagai realitas. Jika pun tidak, tentu saja gaya penulisan
pernyataan sikap di dalam novel tidak mesti mengikuti format
selebaran.
Beberapa data di atas telah menjerumuskan novel ini ke
luar dari ranah sastra padahal ia disebut-sebut sebagai novel
sastra. Sungguh, ini bukan novel sastra. Namun demikian, yang
membuat novel ini kuat adalah kelihaian penulisnya
mendeskripsikan, baik latar, suasana, tokoh, wujud, maupun
situasi. Detailnya deskripsi tentang semua itu mengesankan
seakan penulis hadir di sana, melihat, merasa, meraba,
mendengar, dan mencium apa saja. Lantas, pembaca diajaknya
juga melakukan hal yang sama saat membaca novel ini.
Pembaca akan terganggu pula dengan prolog singkat di
sampul buku. Di sana ada ungkapan “…dan tulisan ini juga
mengarah pada suatu kebenaran yang nyata.”
Novel bukanlah kitab apalagi hendak disamakan
kedudukannya dengan Alquran yang memang kebenaran yang
nyata. Meskipun lebih 50 persen kisah dan nama dalam novel
diangkat dari kisah nyata, tetap ada unsur fiksi. Bagaimana
mungkin penulis berani menyebutkan “kebenaran yang nyata”?
Bukankah ada tendesi di sini? Lagi-lagi novel ini keluar dari ranah
sastra, tetapi tak berhasil keluar sepenuhnya. Karya besar dan
deskripsi yang bagus telah tercoreng oleh sepatah kalimat di
sampul depan tersebut.

Herman RN, kandidat master Bahasa dan Sastra Indonesia,


Unsyiah.

Judul buku : The Gate of Heavent


Penulis : R.H. Fitriadi
Penerbit : Semesta, Yokyakarta
Tahun terbit : 2010
Tebal buku : 480 hlm~14 x 20,5 cm

3|RN

Anda mungkin juga menyukai