Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sejarah Aceh telah memperlihatkan adanya dinamika hubungan antara
pranata sosial masyarakat dengan syariat islam serta adat istiadat dan hukum
positif yang menjadi aturan langsung yang mengikat. Syariat islam telah menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat Aceh.
Pelaksanaan syariat islam di Aceh merupakan buah perjuangan panjang para
pejuang syariat yang melalui masa yang panjang bahkan nyaris terputus ditengah
jalan. Maka sudah sepantasnya masyarakat Aceh bersyukur kepada Allah SWT
atas nikmat ini, bentuk syukurnya pun tidak hanya sebatas bersujud syukur tetapi
juga harus mempergunakan kesempatan ini dengan semaksimal mungkin.
Pengimplementasian syariat islam di Aceh tidak lepas dari peran lembaga-
lembaga adat yang ada diberbagian tingkatan komunitas masyarakat. Lembaga-
lembaga adat tersebut memiliki otoritas yang cukup luas terhadap pelaksanaan
hukum dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. hukum hukum
yang berlaku sebelum disahkan pemberlakuan syariat islam dalam banyak hal
merujuk kepada hukum yang terbentuk dalam masyarakat sejak dahulu. Hukum
hukum tersebut dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang terdapat dan diakui oleh
masyarakat sebagai salah satu sumber rujukan pelaksanaan hukum dalam berbagai
persoalan yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Maka dari itu dalam makalah
ini penulis akan menejelaskan tentang lembaga–lembaga adat baik dari segi
sejarah, tingkatan, adat yang terdapat didalamnya, sanksi adat, maupun eksistensi
keberadaaanya.
1.2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan istilah adat?
b. Bagaimana penerapan upacara adat pertanian di Aceh ?
c. Bagaimana penerapan upacara adat kelautan di Aceh?
1.3. Tujuan
Untuk mengetahui upacara adat pertanian dan kelautan di Aceh.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Istilah Adat
Istilah adat istiadat sebagai satuan perbuatan yang lazim dituruti dan
dilakukan sebgai suatu kebiasaan sejak dahulu. Wujud kebiasaanmerupakan
ekspressi yang terdiri dari nilai budaya, norma, hukum dan aturan-aturan yang
satu dengan yang lainnya. Dalam kehidupan masyarakat aceh pemahaman istilah
adat dengan hukum adat hanya bisa dirasakan dalam pelaksanaannya, tapi tidak
memiliki perbedaan dalam tulisan dan sebutannya. Maka oleh karena itu, adat bisa
dikatakan sebagai kebiasaan-kebiasaaan yang umumnya bersifat serimonial
upacara-upacara yang memberikan makna dengan simbol-simbol tertentu untuk
menggambarkan kondisi atau harapan dalm bentuk kehidupan yangmenjadi tujuan
dan harapan masyarakat sekitarnya.
2.2. Adat Pertanian
Orang yang memimpin dan mengatur kegiatan usaha di bidang
persawahan yaitu Keujruen Blang. Fungsinya antara lain :
1. menentukan dan mengkoordinasikan tata cara turun ke sawah,
2. mengatur pembagian air ke sawah petani,
3. membantu pemerintah dalam bidang pertanian,
4. mengkoordinasikan khanduri blang atau upacara adat lainnya terkait
dengan pengurusan pertanian sawah
5. memberi teguran dan sanksi kepada petani yang melanggar aturan-
aturan adat bersawah (meugo) atau tidak melaksanakankewajiban
lain dalam sistem pelaksanaan pertanian secara adat
6. menyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan dengan
pelaksanaan usaha pertanian sawah.
2.2.1. Mawah
Mawah adalah suatu akad kerjasama dalam usaha di aceh dimana
seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dikelola dengan
pembagian hasilnya sesuai dengan kesepakatan dan perjanjian yang
ditetapkan bersama dan biasanya perjanjian tersebut dalam bentuk

2
perjanjian lisan. Pada bidang pertanian biasanya transaksi mawah
dilakukan untuk mengelola ladang/sawah yang produktif. Sampai saat ini
budaya mawah masih sangat kental dilakukan oleh masyarakat aceh.
2.2.2. Hukum Adat Pertanian (Meugoe)
Prosesi adat meugoe merupakan sejumlah aktifitas yang dilakukan
masyarakat petani dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan turun ke sawah
dan membajak sawahnyasehingga menghasilkan padi sebagai bahan pokok untuk
dikosumsi dan keperluannya lainnya yang dibutuhkan. Prosesi adat ini dimulai
dengan ritual-ritual awal sebelum turun ke sawah yang dilakukan warga sampai
dengan tibanya padi dibawa pulang ke tempat penyimpanan untuk disimpan di
tempatnya (beurandang).Disni prosesi adat meugoe diklasifikasikan dalam dua
kelompok, yakni pra-meugoe, dan aktifitas meugoe itu sendiri. Berikut aktifitas
prosesi meugoe:
a. Pra-Meugoe, yang mencakup beberapa kegiatan antara lain:
 Kanuri neulob, yaitu suatu ritual yang dilaksanakan sebagai prosesi awal
dari keseluruhan prosesi adat meugoe (turun ke sawah), dan untuk
memberi tenggang waktubagi petani (biasanya dua pekan) untuk
menyelesaikan semua jenis transaksi yang berhubungan dengan status
sawah garapannya.
 Kanuri blang, yaitu ritual yang dilaksankan menjelang seumula(menanam
padi). Ritual ini dilakukan ketika tiba saat dimulainya seumula, dimana
bibit padi yang disemai di neuduek/seuneulhong (tempat pembibitan),
sudah berumur antara 20 sd 25 hari, dipindahkan ke lahan yang sudah
disiapkan sebelumnya.
b. Aktivitas Meugoe, yang mencakup beberapa kegiatan antara lain:
 Meu-uue/krok tanoh (membajak sawah), yaitu suatu kegiatan dalam
adat meugoe, dimana tanah yang sudah disiapkan untuk menanam padi
harus dibajak terlebih dahulu baik dengan menggunakan alat tradisional
maupun modern.
 Ceumacah, kegiatan lanjutan dari membajak tanah dengan cara
menginjak-injak dengan kaki telanjang. Tanah ini disiapkan sedemikan

3
rupa sudah siap untuk menanam padi yang dipindahkan dari
neuduek/seuneulhong.
 Ceumeureuh, yaitu suatu kegiatan Meugoe dalam mempersiapkan tanah
dengan cara memakai tenaga hewan, sapi atau kerbau untuk menarik alat
dari bahan kayu, sehingga tanah yang dilalui hewan tadi dan terkena
dengan alat itu akan encer dan layak untuk digunakan seumula.
 Rah bijeh, yaitu pekerjaan membasahi bibit (bijeh) padi yangharus
direndam di air atau dalam suhu yang lembab supaya bias tumbuh.
 Seumula, yaitu menanam bibit padi (bijeeh) pada lahan yang telah
disiapkan tadi dengan jarak kira 20 cm. Banyak bibit padi yang ditanm itu
akira-kira antara 3 sd 5 batang bibit.
 Teumeweh, yaitu tanaman padi yang telah berumur selama 22 sd 25 hari
setelah ditanam, tentu saja lahannya di sela-sela tanaman padi banyak
ditumbuhi rumput liar dan tumbuhan lain, untuk itu diperlukan
teumeuweeh. Ini dilakukan untuk membersihkan tanaman liar yang dapat
mengganggu kesuburan padi tumbuh dengan bebas di lahannya dan dapat
memperbanyak tunas baru, sehingga menghasilkan produksi padi yang
melimpah.
 Boh baja, yaitu melakukan pemupukan pada tanaman padie setelah
aktivitas teumeeweh. Ini juga untuk menambah kesuburan padi.
 Seumomprot, yaitu suatu upaya membasmi hama tanaman dengan cara
penyemprotan. Tentu ini berimplikasi kepada terjaganya kesuburan padi
yang hamper memasuki 1 bulan atau lebih.
 Paroh tulo, yaitu suatu uapaya dari petani untuk mengusir hama berupa
burung dan hewan lainnya yang mengganggu tanaman padi, sehingga
diharapkan juga tanaman padi bias tumbuh dengan sewajarnya.
 Keumeukoh, yaitu memanen padi yang telah menguning dan berumur
selama 3 sd 4 bulan, dengan cara memotong batanganya dengan
menggunakan alat pemotong padi yang disebut sadeup (sabit) dan
selanjutnya diikat dengan menggunakan batang padi itu sendiri dalam
bentuk ikatan-ikatan kecil sebesar paha orang dewasa

4
2.3. Upacara Adat Kelautan
Institusi adat meulaot dipimpin oleh seseorang yang dipanggil dengan
sebutan Panglima Laot. Untuk mengatur berbagai adat yang berkaitan dengan
aktivitas nelayan menangkap ikan di laut serta penyelesaian sengketa yang terjadi
antar nelayan. Daerah kekuasaan Panglima Laot tidaklah sama dengan wilayah
administrasi pemerintahan, seperti desa atau kecamatan. Jangkauan
wewenangnya berbasis pada satuan lokasi tempat yang biasa para nelayan
menambatkan perahunya, menjual ikan atau berdomisili yang disebut Lhok.
Berdasarkan Qanun Nomor 10 tahun 2008, panglima laot lhok mempunyai
tugas:
 Melaksanakan, memelihara dan mengawasi pelaksanaan adat istiadat dan
hokum adat laot
 Membantu pemerintah dalam bidang perikanan dan kelautan
 Menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang terjadi di antara nelayan
sesuai dengan ketentuan hokum adat laot
 Menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan kawasan pesisir dan laut
 Memperjuangkan peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan
 Mencegah terjadinya penangkapan ikan secara illegal
2.3.1 Musim Ke Laut
Kebudayaan manusia yang demikian luas cakupannya dapat dibagi ke
dalam tujuh unsur yang dalam kajian antropologi disebut sebagai unsur-unsur
kebudayaan universal yang pengertiannya adalah unsur-unsur kebudayaan yang
pasti ada dalam setiap kebudayaan suatu suku bangsa.
Unsur-unsur tersebut yaitu:
 Bahasa
 Sistem Mata Pencaharian
 Sistem Perhelatan Hidup
 Sistem Pengetahuan dan Kepercayaan
 Sistem Kehidupan Sosial dan Kesenian
2.3.2. Menangkap Ikan dan Perlengkapannya
 Kawe (pancing atau kail)
 Nyareng (jaring)

5
 Jeue (Jala)
 Perahu, Boat dan Pukat
 Keumawe: adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk memancing ikan
biasanya mengunakan pancing dan kegiatan ini dilakukan di laut, sungai
maupun tambak ikan.
 Meuneuhen: suatu proses yang dilakukan untuk membudidakan jenis-
jenis hewan air misalnya udang, kepiting dan ikan ( tambak)
 Laboh darat: adalah menggiring dan menarik pukat yang direntangkan di
laut ke arah pantai yang tidak berkarang dan hanya boleh dilakukan di
lokasi-lokasi tertentu yang telah ditetapkan oleh panglima laot yang
disebut lheun.
 Laboh laot : yaitu melabuhkan pukat ditengah laut atau biasa disebut
meupayang. Seringkali dilakukan ketika ombak besar dan sulit dilabuhkan
pukat ke tepi pantai dan biasanya dilakukan pada saat musim ikan.
2.3.3. Sistem Bagi Hasil
Nelayan Aceh memiliki kearifan local tersendiri dalam kaitannya dengan
tatacara pembagian hasil tangkapan, khususnya jika penangkapan ikan dilakukan
dengan menggunakan peralatan berupa pukat. Hasil yang diperoleh dari usaha
menangkap ikan dengan menggunakan pukat disebut “harekat pukat”.
2.3.4 Pantangan Dan Upacara Ritual
Di antara pantang yang menonjol di kalangan nelayan Aceh adalah
berkaitan dengan hari-hari yang tidak dibenarkan untuk melakukan aktivitas
melaut dengan tujuan untuk menangkap ikan. Hari-hari nelayan tidak dibolehkan
turun ke laut disebut dengan istilah “Uroe pantang laot”.Musyawarah panglima
laot se-Aceh pada tanggal 6-7 Juni 2000 telah memutuskan bahwa nelayan Aceh
mengenal empat waktu yang dianggap sebagai uroe pantang laot. Keempat waktu
tersebut adalah: hari Jum’at, hari raya idul fithri, hari raya idul adha, dan setiap
tanggal 17 Agustus. Pascaperistiwa tsunami, uroe pantang laot ini ditambah satu
waktu lagi yaitu padatanggal 26 Desember setiap tahun (Teuku Muttaqin,
2014:27). Dengan penambahan tersebut, uroe pantang laot menjadi lima waktu.

6
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Adat istiadat sebagai satuan perbuatan yang lazim dituruti dan dilakukan
sebgai suatu kebiasaan sejak dahulu. Wujud kebiasaan merupakan ekspressi yang
terdiri dari nilai budaya, norma, hukum dan aturan-aturan yang satu dengan yang
lainnya. Dalam kehidupan masyarakat aceh pemahaman istilah adat dengan
hukum adat hanya bisa dirasakan dalam pelaksanaannya, tapi tidak memiliki
perbedaan dalam tulisan dan sebutannya. Maka oleh karena itu, adat bisa
dikatakan sebagai kebiasaan-kebiasaaan yang umumnya bersifat serimonial
upacara-upacara yang memberikan makna dengan simbol-simbol tertentu untuk
menggambarkan kondisi atau harapan dalam bentuk kehidupan yang menjadi
tujuan dan harapan masyarakat sekitarnya.

7
DAFTAR PUSTAKA

Badruzzaman, Asas-Asas Hukum Adat Sebagai Pengantar (Aceh: MAA,


2009),.Hlm. 3.
Badruzzaman Ismail, Fungsi Menasah Sebgai Lembaga Hukum (Banda Aceh:
MAA, 2009)., Hlm. 146.
Badruzzaman Ismail, Dasar Dasar Hukum Pelaksanaan Adat Dan Adat Istiadat
Di Aceh (Banda Aceh, MAA, 2009),. Hlm. 191.]Badruzzaman
Ismail, Dasar Dasar Hukum Pelaksanaan Adat Dan Adat Istiadat Di
Aceh (Banda Aceh, MAA, 2009),.Hlm. 14
Ismail Badruzzaman, Asas-Asas Hukum Adat Sebagai Pengantar(Aceh: MAA,
2009),.hlm. Ibid,. Hlm. 19.
Syamsul Rizal, Dinamika Sosial Keagamaan Dalam Penerapan Syariat
Islam (Aceh: Perpustakaan Nasional,2007),. Hlm.119.
Rusjdi Ali Muhammad, Kearifan Tradisional Lokal: Penerapan Syariat Islam
Dalam Hukum Adat Aceh(Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh2011),.
Hlm.37.
Badruzzaman Ismail, Paduan Adat Dalam Masyarakat Aceh( Aceh: MAA.
2009),.Hlm. 27.Op. Cit. Badruzzzaman Ismail,.Hlm. 17. Ibid., Hlm. 37.
Badruzzaman Ismail, Dasar Dasar Hukum Pelaksanaan Adat Dan Adat Istiadat
Di Aceh (Banda Aceh, MAA, 2009),. Hlm. 189.

Anda mungkin juga menyukai