Bali merupakan daerah tujuan wisata dunia, selain dari objek wisata berupa bentang alam
yang memang indah, Bali menyuguhkan objek wisata budaya yang tidak dapat dijumpai di
daerah tujuan wisata lain. Salah satu wisata alam yang menarik dikunjungi adalah
persawahan terasering khas bali dan serta sistem irigasi pertanian yang baik yang dikenal
sebagai Subak.
Dilihat dari sejarahnya, Subak telah terbentuk hampir satu millennium. Ini menunjukkan
bahwa subak memang adalah suatu lembaga irigasi tradisional yang tangguh dan lestari
keberadaannya. Ini dikarenakan subak memilki nilai-nilai luhur yang bersifat sangat universal
yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan. Antara lain secara implisit mengandung
pesan agar kita mengelola sumber daya alam termasuk smber daya air secara arif untuk
menjaga kelestariannya, senatiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan
mengedepankan keharmonisan hubungan antar manusia. Tidak hanya itu, subak juga
memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang patut dilestarikan.
Para petani yang tergabung dalam organisasi subak telah memiliki keterampilan dan
pengetahuan tradisional yang cukup memadai (kearifan lokal/indigenous knowledge) dalam
membangun dan mengelola jaringan irigasi mereka. Karya besar nenek moyang kita berupa
sistem irigasi subak beserta landskap sawah teras yang indah yang kita warisi sampai
sekarang tentulah menggunakan teknologi tradisional yang mereka miliki.
Tetapi sekarang ini subak Bali sedang mengalami dilema, dimana pariwisata bali
memerlukan perluasan tempat dan wilayah guna melengkapi fasilitas-fasilitas kepariwisataan,
dan mau tidak mau tanah dan lahan-lahan pertanian mengalami pengikisan akibat
pengalihfungsian lahan. Selain itu semakin meningkatnya jumlah penduduk di Bali
memberikan dampak negative terhadap sistem irigasi subak. Berdasarkan data hasil survei
yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia Tahun 2010, yang menyatakan
bahwa jumlah penduduk Bali sebesar 3,890,757 jiwa. Pertambahan jumlah penduduk ini akan
mengurangi jumlah areal persawahan, sehingga mengancam kelangsungan sitem irigasi
subak.
Maka dari itu penulis ingin membahas tentang subak dan nilai kearifan lokal yang terkandung
didalamnya agar dapat lebih dikenal, dan meningkatkan kesadaran kita untuk tetap menjaga
dan melestarikan keberadannya.
3. Untuk mengetahui nilai kearifan lokal apa saja yang terkandung dalam subak?
Secara umum makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat pada saat ini dan
masa datang. Oleh sebab itu, manfaat yang dapat dipetik dari penulisan makalah ini dipilah
menjadi dua, yaitu kegunaan untuk masyarakat dalam arti umum untuk orang banyak
(manfaat teoritik, yang terkait dengan pelaksanaan sistem subak) dan kegunaannya untuk
masyarakat dalam lingkup perorangan (manfaat praktik, untuk pelaksanaan tindakan dalam
pelestarian subak)
Manfaat teoritiknya adalah (1) memberikan pedoman dan landasan teoritik tentang subak dan
pelaksanaannya; (2) sebagai pedoman dan landasan teoritik terhadap pentingnya akomodasi
aspek sosial dan kondisi riil masyarakat dalam pelestarian subak. Sedangkan manfaat
prakteknya adalah (1) hasil penulisan makalah, diharapkan memberi manfaat yang cukup
besar sebagai suatu pedoman pelestarian subak di Bali; (2) akan memberikan manfaat secara
tidak langsung kepada masyarakat karena mereka dibantu dan difasilitasi dalam pengetahuan
akan subak dan nilai kearifan lokal didalamnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Subak
Berdasarkan temuan dalam data prasasti, dapat disimpulkan bahwa pertanian dengan sistem
perladangan dan sistem persawahan yang teratur telah ada di Bali pada tahun 882 M. Dalam
prasasti Sukawana A1 tahun 882 M terdapat kata “HUMA”, berarti sawah dan kata
“PERLAK” yang berarti tegalan. Dalam prasasti Raja Purana Klungkung yang berangka
tahun saka 994 (1072 M), disebutkan kata Kasuwakara yang kemudian menjadi suwak atau
subak. Keaslian sistem ini juga diperkuat dengan lontar Markandeya Purana sebagai
dokumen historis yang menyebutkan”...sang mikukuhin sawah kawastanin subak, sang
mikukuhin toya kawastaniu pekaseh, ika ne wenang ngepahin toya punika...” artinya, yang
mengurus sawah seperti menggarp sawah dan sebagainya dinamakan subak, sedangkan yang
diberikan tugas untuk mengurus dan menyelenggarakan pembagian air di sawah dan di
ladang disebut pekaseh.
Berbicara mengenai pertanian di Bali, selalu akan diidentikkan dengan sistem subaknya yang
merupakan cirri khas sistem pertanian di Bali. Seperti yang diungkapkan oleh Piñata (1997)
dalam Sunaryasa, 2002, subak di bali memiliki lima ciri yaitu:
Ada banyak definisi tentang subak yang dikemukakan olah para pakar. Menurut Dilihat dari
pengertiannya, definisi tentang subak adalah sebagai berikut:
Sehingga dapat disimpulkan bahwa subak merupakan organisasi atau lembaga tradisional
yang bergerak dalam tata guna air untuk irigasi serta mengatur sistem pengelolaan pertanian
bersifat social religious, mandiri yang anggotanya terdiri dari petani yang berdada dalam
suatu kesatuan wilayah tertentu dan diatur dalam awig-awig.
Gambar 1. Hubungan timbal balik antar subsistem dalam sistem manajemen irigasi
masyarakat yang bersifat sosio-kultural
Kesemua subsistem tersebut memiliki hubungan timbal balik, dan juga memiliki hubungan
dengan keseimbangan dan lingkungan. Dengan adanya keterkaitan antar semua sub sistem,
maka secara teoritis konflik antar subak yang terkait dalam satu sistem irigasi yang tergabung
dalam satu wadah kordinasi dapat dihindari.
Gambar 1. menunjukkan bahwa dengan menyatunya antar ketiga subsistem dalam sistem
irigasi subak, maka secara teoritis konflik antar anggota dalam organisasi subak maupun
konflik antar subak yang terkait dalam satu sistem irigasi yang tergabung dalam satu wadah
kordinasi akan dapat dihindari. Keterkaitan antar semua subsistem akan memungkinkan
munculnya harmoni dan kebersamaan dalam pengelolaan air irigasi dalam sistem irigasi
subak yang bersangkutan. Hal itu bisa terjadi karena kemungkinan adanya kebijakan untuk
menerima simpangan tertentu sebagai toleransi oleh anggota subak (misalnya, adanya sistem
pelampias, dan sistem saling pinjam air irigasi). Di Subak Timbul Baru Kabupaten Gianyar,
dilakukan kebijakan sistem pelampias dengan memberikan tambahan air bagi sawah yang ada
di hilir pada lokasi-lokasi bangunan-bagi di jaringan tersier. Besarnya pelampias tergantung
dari kesepakatan anggota subak (Windia, dkk, 2011)
Kereligiusan subak dilihat dari adanya satu atau lebih Pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri
sebagai manifestasi Tuhan selaku Dewi kesuburan ), disamping adanya sanggah pecatu
(bangunan suci)yang terdapat dalam setiap blok/komplek persawahan milki petani anggota
subak. Aspek religious ini merupakan cerminan konsep Tri Hita Karana yang pada
hakekatnya terdiri dari Parhyangan, Palemahan, dan Pawongan (Sutawan, 2004).
Dalam perkembangannya hingga saat ini, di Bali telah terbentuk dua buah subakagung
yakni subakagung Yeh Ho (mengkoordinasikan sistem irigasi yang ada di sungai Yeh Ho) di
Kabupaten Tabanan dan subakagung Gangga Luhur di Kabupaten Buleleng
(mengkoordinasikan sistem irigasi yang ada di saluran induk Sungai Buleleng, Sungai
Nangka, dan Sungai Banyumala).
Menurut catatan Bapedda Bali pada tahun 2000, jumlah subak di Bali tetap konstan sejak
tahun 1997, namun luas areal persawahan di Bali telah berkurang, yakni masing-masing pada
tahun 1997, 1998, dan 1999, berturut-turut seluas 100.221,53 ha, 98.177 ha, dan 95.338 ha.
Ini berarti secara fisik keberadaan sistem irigasi subak di Bali telah mulai mengalami
ancaman serius (Windia, 2006).
Subak pada hakikatnya merupakan teknologi sepadan karena sifatnya yang sesuai dengan
prinsip-prinsip teknologi sepadan seperti yang dikemukakan Mangunwijaya (l985) dalam
Windia, dkk (2011), yakni (i) kegiatannya yang berdasarkan pada usaha swadaya, dan tidak
tergantung pada ahli; (ii) bersifat desentralisasi; (iii) kegiatannya berdasarkan pada
kerjasama, dan bukanpada persaingan; dan (iv) merupakan teknologi yang sadar pada
tanggungjawab sosial dan ekologis.
Konsep Parhyangan dalam sistem subak ditunjukkan dengan adanya Pura pada wilayah subak
dan pada komplek persawahan petani. Konsep Palemahan, ditunjukkan dengan adanya
kepemilikan sawah untuk setiap subak. Konsep Pawongan ditunjukkan dengan adanya
organisasi petani yang disesuaikan dengan kebutuha setempat, adanya anggota subak,
pengurus subak, dan pimpinan subak.
Berkait dengan sistem sosial subak untuk mengatur penyediaan dan mengalokasikan air
(mengelola air irigasi) atas dasar kesesuaian dengan pola piker, maka subak membangun
organisasinya sesuai dengan kebutuhan setempat. Misalnya, pada daerah-daerah tertentu, ada
seorang staf pengurus subak yang disebut dengan petilik, yang bertugas untuk secara rutin
mengawasi alokasi dan distribusi air irigasi di kawasan tersebut.
Struktur organisasi subak di Bali pada umumnya adalah sebagai berikut:
b Artefak/kebendaan
Agar tujuan-tujuan itu tercapai maka elemen-elemen yang ada dalam organisasi sosial
tersebut masing-masing memiliki tanggung jawab agar fungsi-fungsi dari artefak yang
tersedia dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Adapun kaitan antara artefak, fungsinya,
dan penanggungjawabnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Sesuai dengan prinsip-prinsip Tri Hita Karana (THK) , maka pembangunan dan pemanfaatan
artefak pada sistem subak di Bali diarahkan sedemikian rupa agar mampu memunculkan
kebersamaan dan harmoni dikalangan anggota subak. Arif (l999) dalam Windia (2006)
mencatat bahwa sistem irigasi subak pada dasarnya didesain, dan dioperasikan sesuai dengan
prinsip-prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan selaras dengan lingkungannya.
Bangunan bagi ada yang sistem numbak, dan sistem pembagian air ngerirun.
Kerta masa: wilayah subak ditanami padi semua karena jumlah air yang mencukupi
Gegadon: pergiliran tanaman padi dengan palawija, karena pergiliran pemakaian air
dengan subak sekitarnya.
Pada kondisi tertentu karena kondisi alam, maka diupayakan dengan sistem:
a. Ngulu: sawah dihulu yang mendapatkan air terlebih dahulu
b. Maongin: sawah yang berada di tengah yang mendapat giliran air
c. Ngasep: sawah yang dihilir mendapat bagian air paling akhir
Melihat besarnya nilai dan peranan subak bagi petani dan masyarakat khususnya masyarakat
di Bali, maka tak salah apabila kita tetap melestarikan sistem subak guna menjaga hubungan
yang harmonis antara manusia dan lingkungan. Mengingat begitu besarnya tantangan
kedepan, hendaknya masyarakat dan pemerintah daerah juga berperan dalam melestarikan
sistem subak yang sudah dikenal hingga mancanegara.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai
berikut:
1. Subak merupakan organisasi atau lembaga tradisional yang bergerak dalam tata guna
air untuk irigasi serta mengatur sistem pengelolaan pertanian bersifat social religious,
mandiri yang anggotanya terdiri dari petani yang berdada dalam suatu kesatuan
wilayah tertentu dan diatur dalam awig-awig.
2. Penerapan sistem subak diserahkan sepenuhnya kepada anggota subak, pengurus
subak, dan pimpinan subak yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat, hal ini
dumungkinkan karena pengelolaan subak bersifat fleksibel.
3. Nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat pada sistem subak terdapat pada artefak atau
aspek benda dan pembuatannya. Seperti pada bendungan, trowongan, serta banguna
bagi pada sistem tersebut.
3.2. Saran
Mengingat sangat pentingnya peranan subak dalam menjaga kelangsungan sistem pertanian
di Bali dan nilai-nilai kearifan lokal yang dimilikinya, maka hendaknya kita harus berupaya
untuk mempertahankan atau bahkan mengemangkannya di wilayah lain di Indonesia.
Mengingat sistem subak memberikan kemudahan dan kepastian kepada petani dalam
memperoleh pasikan air irigasi untuk pertanian yang berkelanjutan.