Anda di halaman 1dari 11

TUGAS GEOGRAFI

MAKALAH SISTEM SUBAK DI BALI


KD. ........................
KELAS XI IPS 1

NAMA : RENDI SETIAWAN


NIS : 0042745800

SMA NEGERI 5 KOTA METRO


2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bali merupakan daerah tujuan wisata dunia, selain dari objek wisata berupa bentang alam
yang memang indah, Bali menyuguhkan objek wisata budaya yang tidak dapat dijumpai di
daerah tujuan wisata lain. Salah satu wisata alam yang menarik dikunjungi adalah
persawahan terasering khas bali dan serta sistem irigasi pertanian yang baik yang dikenal
sebagai Subak.

Dilihat dari sejarahnya, Subak telah terbentuk hampir satu millennium. Ini menunjukkan
bahwa subak memang adalah suatu lembaga irigasi tradisional yang tangguh dan lestari
keberadaannya. Ini dikarenakan subak memilki nilai-nilai luhur yang bersifat sangat universal
yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan. Antara lain secara implisit mengandung
pesan agar kita mengelola sumber daya alam termasuk smber daya air secara arif untuk
menjaga kelestariannya, senatiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan
mengedepankan keharmonisan hubungan antar manusia. Tidak hanya itu, subak juga
memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang patut dilestarikan.

Para petani yang tergabung dalam organisasi subak telah memiliki keterampilan dan
pengetahuan tradisional yang cukup memadai (kearifan lokal/indigenous knowledge) dalam
membangun dan mengelola jaringan irigasi mereka. Karya besar nenek moyang kita berupa
sistem irigasi subak beserta landskap sawah teras yang indah yang kita warisi sampai
sekarang tentulah menggunakan teknologi tradisional yang mereka miliki.
Tetapi sekarang ini subak Bali sedang mengalami dilema, dimana pariwisata bali
memerlukan perluasan tempat dan wilayah guna melengkapi fasilitas-fasilitas kepariwisataan,
dan mau tidak mau tanah dan lahan-lahan pertanian mengalami pengikisan akibat
pengalihfungsian lahan. Selain itu semakin meningkatnya jumlah penduduk di Bali
memberikan dampak negative terhadap sistem irigasi subak. Berdasarkan data hasil survei
yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia Tahun 2010, yang menyatakan
bahwa jumlah penduduk Bali sebesar 3,890,757 jiwa. Pertambahan jumlah penduduk ini akan
mengurangi jumlah areal persawahan, sehingga mengancam kelangsungan sitem irigasi
subak.
Maka dari itu penulis ingin membahas tentang subak dan nilai kearifan lokal yang terkandung
didalamnya agar dapat lebih dikenal, dan meningkatkan kesadaran kita untuk tetap menjaga
dan melestarikan keberadannya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dirumuskan beberapa permasalahan antara lain:

1. Apa yang dimaksud dengan subak?

2. Bagaimana penerapan sistem subak?

3. Nilai kearifan lokal apa saja yang terkandung dalam subak?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah mengacu pada rumusan masalah, yaitu untuk mengetahui:

1. Untuk megetahui apa yang dimaksud dengan subak?

2. Untuk mengetahui bagaimana proses penerapan sistem subak?

3. Untuk mengetahui nilai kearifan lokal apa saja yang terkandung dalam subak?

1.4 Manfaat Penulisan

Secara umum makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat pada saat ini dan
masa datang. Oleh sebab itu, manfaat yang dapat dipetik dari penulisan makalah ini dipilah
menjadi dua, yaitu kegunaan untuk masyarakat dalam arti umum untuk orang banyak
(manfaat teoritik, yang terkait dengan pelaksanaan sistem subak) dan kegunaannya untuk
masyarakat dalam lingkup perorangan (manfaat praktik, untuk pelaksanaan tindakan dalam
pelestarian subak)

Manfaat teoritiknya adalah (1) memberikan pedoman dan landasan teoritik tentang subak dan
pelaksanaannya; (2) sebagai pedoman dan landasan teoritik terhadap pentingnya akomodasi
aspek sosial dan kondisi riil masyarakat dalam pelestarian subak. Sedangkan manfaat
prakteknya adalah (1) hasil penulisan makalah, diharapkan memberi manfaat yang cukup
besar sebagai suatu pedoman pelestarian subak di Bali; (2) akan memberikan manfaat secara
tidak langsung kepada masyarakat karena mereka dibantu dan difasilitasi dalam pengetahuan
akan subak dan nilai kearifan lokal didalamnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Subak
Berdasarkan temuan dalam data prasasti, dapat disimpulkan bahwa pertanian dengan sistem
perladangan dan sistem persawahan yang teratur telah ada di Bali pada tahun 882 M. Dalam
prasasti Sukawana A1 tahun 882 M terdapat kata “HUMA”, berarti sawah dan kata
“PERLAK” yang berarti tegalan. Dalam prasasti Raja Purana Klungkung yang berangka
tahun saka 994 (1072 M), disebutkan kata Kasuwakara yang kemudian menjadi suwak atau
subak. Keaslian sistem ini juga diperkuat dengan lontar Markandeya Purana sebagai
dokumen historis yang menyebutkan”...sang mikukuhin sawah kawastanin subak, sang
mikukuhin toya kawastaniu pekaseh, ika ne wenang ngepahin toya punika...” artinya, yang
mengurus sawah seperti menggarp sawah dan sebagainya dinamakan subak, sedangkan yang
diberikan tugas untuk mengurus dan menyelenggarakan pembagian air di sawah dan di
ladang disebut pekaseh.
Berbicara mengenai pertanian di Bali, selalu akan diidentikkan dengan sistem subaknya yang
merupakan cirri khas sistem pertanian di Bali. Seperti yang diungkapkan oleh  Piñata (1997)
dalam Sunaryasa, 2002, subak di bali memiliki lima ciri yaitu:

1. Subak merupakan organisasi petani pengelola air irigasi untuk anggota-anggotanya.


Sebagai suatu oraganisasi, subak memiliki pengurus dan pengaturan organisasi (awig-
awig) yang tertulis maupun tidak tertulis.
2. Subak memiliki sumber air bersama, berupa bendungan (ampelan) di sungai, mata air,
ataupun saluran utama suatu sistem irigasi.
3. Subak mempunyai suatu areal persawahan
4. Subak mempunyai otonomi, baik internal maupun eksternal
5. Subak mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul atau pura yang berhubungan dengan
persubakan.

Ada banyak definisi tentang subak yang dikemukakan olah para pakar. Menurut Dilihat dari
pengertiannya, definisi tentang subak adalah sebagai berikut:

1. Pinnata (1997) dalam Sunaryasa (2002); mendefinisikan subak sebagai masyarakat


hokum adat yang bersifat sosio agraris dan religious yang tediri dari petani-petani
penggarap sawah pada suau areal persawahan yang mendapatkan air dari suatu
sumber.
2. Liefrink (1986) dalam Sunaryasa (2002); mendefinisikan subak sebagai suatu
organisasi petani yang mengatur penyaluran air ke sawah-sawah untuk pertanian,
sistem irigasi yang baik, juga sangat efektif digunakan untuk memungut tigasana atau
pajak tanah/landrente.
3. Sutawan (1986) dalam Sunaryasa (2002); mendefinisikan subak sebagai organisasi
petani lahan basah yang mendapatkan air irigasi dari auatu sumber bersama, memiliki
satu atau lebih Pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri, manifestasi Tuhan sebagai
Dewi Kesuburan); serta mempunyai kebebasan didalam mengatur rumah tangganya
sendiri maupun dalam berhubungan dengan pihak luar.
4. Arif (1999), dalam Windia (2006) memberi perluasan pengertian terhadap
karakteristik subak. Arif mendefinisikan subak sebagai suatu masyarakat hukum adat
yang memiliki karakteristik sosio-teknik-religius.
5. Peraturan-daerah pemerintah-daerah Provinsi Bali No.02/PD/DPRD/1972
menyatakan Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik
sosio-agraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi
dilahan sawah.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa subak merupakan organisasi atau lembaga tradisional
yang bergerak dalam tata guna air untuk irigasi serta mengatur sistem pengelolaan pertanian
bersifat social religious, mandiri yang anggotanya terdiri dari petani yang berdada dalam
suatu kesatuan wilayah tertentu dan diatur dalam awig-awig.

2.2 Penerapan Sistem Subak


Dari aspek sosial dan teknik dilihat bahwa subak sebagai sistem teknologi dari sitem sosio
kultural masyarakat yang pada dasarnya memiliki tiga sub sistem yaitu:
1. Subsistem budaya (pola piker, norma dan nilai),
2. Subsistem sosial (termasuk ekonomi)
3. Subsistem kebendaan (termasuk teknologi)

Gambar 1. Hubungan timbal balik antar subsistem dalam sistem manajemen irigasi
masyarakat yang bersifat sosio-kultural

Kesemua subsistem tersebut memiliki hubungan timbal balik, dan juga memiliki hubungan
dengan keseimbangan dan lingkungan. Dengan adanya keterkaitan antar semua sub sistem,
maka secara teoritis konflik antar subak yang terkait dalam satu sistem irigasi yang tergabung
dalam satu wadah kordinasi dapat dihindari.
Gambar 1. menunjukkan bahwa dengan menyatunya antar ketiga subsistem dalam sistem
irigasi subak, maka secara teoritis konflik antar anggota dalam organisasi subak maupun
konflik antar subak yang terkait dalam satu sistem irigasi yang tergabung dalam satu wadah
kordinasi akan dapat dihindari. Keterkaitan antar semua subsistem akan memungkinkan
munculnya harmoni dan kebersamaan dalam pengelolaan air irigasi dalam sistem irigasi
subak yang bersangkutan. Hal itu bisa terjadi karena kemungkinan adanya kebijakan untuk
menerima simpangan tertentu sebagai toleransi oleh anggota subak (misalnya, adanya sistem
pelampias, dan sistem saling pinjam air irigasi). Di Subak Timbul Baru Kabupaten Gianyar,
dilakukan kebijakan sistem pelampias dengan memberikan tambahan air bagi sawah yang ada
di hilir pada lokasi-lokasi bangunan-bagi    di jaringan tersier. Besarnya pelampias tergantung
dari kesepakatan anggota subak (Windia, dkk, 2011)
Kereligiusan subak dilihat dari adanya satu atau lebih Pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri
sebagai manifestasi Tuhan selaku Dewi kesuburan ), disamping adanya sanggah pecatu
(bangunan suci)yang terdapat dalam setiap blok/komplek persawahan milki petani anggota
subak. Aspek religious ini merupakan cerminan konsep Tri Hita Karana yang pada
hakekatnya terdiri dari Parhyangan, Palemahan, dan Pawongan (Sutawan, 2004).
    Dalam perkembangannya hingga saat ini, di Bali telah terbentuk dua buah subakagung
yakni subakagung Yeh Ho (mengkoordinasikan sistem irigasi yang ada di sungai Yeh Ho) di
Kabupaten Tabanan dan subakagung Gangga Luhur di Kabupaten Buleleng
(mengkoordinasikan sistem irigasi yang ada di saluran induk Sungai Buleleng, Sungai
Nangka, dan Sungai Banyumala).
   
Menurut catatan Bapedda Bali pada tahun 2000, jumlah subak di Bali tetap konstan sejak
tahun 1997, namun luas areal persawahan di Bali telah berkurang, yakni masing-masing pada
tahun 1997, 1998, dan 1999, berturut-turut seluas 100.221,53 ha, 98.177 ha, dan 95.338 ha.
Ini berarti secara fisik keberadaan sistem irigasi subak di Bali telah mulai mengalami
ancaman serius (Windia, 2006).
Subak pada hakikatnya merupakan teknologi sepadan karena sifatnya yang sesuai dengan
prinsip-prinsip teknologi sepadan seperti yang dikemukakan Mangunwijaya  (l985) dalam
Windia, dkk (2011), yakni (i) kegiatannya yang berdasarkan pada usaha swadaya, dan tidak
tergantung pada ahli; (ii) bersifat desentralisasi; (iii) kegiatannya berdasarkan pada
kerjasama, dan bukanpada persaingan; dan (iv) merupakan teknologi yang sadar pada
tanggungjawab sosial dan ekologis.
Konsep Parhyangan dalam sistem subak ditunjukkan dengan adanya Pura pada wilayah subak
dan pada komplek persawahan petani. Konsep Palemahan, ditunjukkan dengan adanya
kepemilikan sawah untuk setiap subak. Konsep Pawongan ditunjukkan dengan adanya
organisasi petani yang disesuaikan dengan kebutuha setempat, adanya anggota subak,
pengurus subak, dan pimpinan subak.

Gambar 2. Bangunan suci untuk menyembah Dewi Sri

a. Sistem sosial subak


Subak pada umumnya beranggapan bahwa bagaimana sebaiknya irigasi itu dapat dikelola
agar mampu mencukupi kebutuhan air berbagai tanaman pada saat tanaman kekurangan air.
Air didistribusikan secara proporsional kepada setiap petani anggota subak, yakni dengan
ukuran tektek, satu tektek air irigasi di subak pada dasarnya bermanfaat untuk mengairi areal
sawah seluas satu bit tengah sekitar 0,35ha.
Untuk mencapai tujuan seperti yang dikemukakan, maka dibentuklah organisasi sosial subak
yang mengelola sistem irigasi yang tersedia. Tugas-tugas yang harus dilaksanakan para
pengurus organisasi adalah:
 Merencanakan tujuan, dan sasaran kegiatan yang merupakan wujud dari pelaksanaan
yang taat asas menurut aturan yang diberlakukan.
 Menjelaskan tujuan dan sasaran kepada anggota
  Menyusun kesepakatan tindakan pemecahan permasalahan, dan pembagian tanggung
jawab pada seluruh anggota
 Memberdayakan anggota untuk berperan serta sesuai tujuan, hak,dan kewajiban yang
dimiliki.
 Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan agar tujuan dan sasaran
kegiatan yang telah disepakati dapat tercapai dengan baik.

Berkait dengan sistem sosial subak untuk mengatur penyediaan dan mengalokasikan air
(mengelola air irigasi) atas dasar kesesuaian dengan pola piker, maka subak membangun
organisasinya sesuai dengan kebutuhan setempat. Misalnya, pada daerah-daerah tertentu, ada
seorang staf pengurus subak yang disebut dengan petilik, yang bertugas untuk secara rutin
mengawasi alokasi dan distribusi air irigasi di kawasan tersebut.
Struktur organisasi subak di Bali pada umumnya adalah sebagai berikut:

Gambar 3. Struktur organisasi subak di Bali pada umumnya

b Artefak/kebendaan   
Agar tujuan-tujuan itu tercapai maka elemen-elemen yang ada dalam organisasi sosial
tersebut masing-masing memiliki tanggung jawab agar fungsi-fungsi dari artefak yang
tersedia dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Adapun kaitan antara artefak, fungsinya,
dan penanggungjawabnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Artefak, fungsi dan penanggung jawabnya


Penjelasan singkat:

1. Bendung (empelan): lokasinya pada kawasan tikungan sungai


2. Saluran irigasi (telabah): saluran terbuka yang dimanfaatkan oleh subak yang
bersangkutan untuk mengalirkan air irigasi hingga kepetak sawah petani
3. Trowongan (aungan): dibuat apabila saluran irigasi (telabah) tidak dimungkinkan
untuk dibuat.
4. Bangunan bagi (tembuku): digunakan untuk membagi air ke setiap sawah milik
petani.

Sesuai dengan prinsip-prinsip Tri Hita Karana (THK) , maka pembangunan dan pemanfaatan
artefak pada sistem subak di Bali diarahkan sedemikian rupa agar mampu memunculkan
kebersamaan dan harmoni dikalangan anggota subak. Arif (l999) dalam Windia (2006)
mencatat bahwa sistem irigasi subak pada dasarnya didesain, dan dioperasikan sesuai dengan
prinsip-prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan selaras dengan lingkungannya.
Bangunan bagi ada yang sistem numbak, dan sistem pembagian air ngerirun.

 Gambar 4. Bangunan bagi sistem numbak (tembuku)

Gambar 5. Bangunan bagi sistem ngerirun (box)


 Gambar 6. Saluran sekunder air pada subak

Gambar 7. Saluran tersier

2.3Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung pada sistem subak


Di dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat nilai-nilai sosial yang membentuk
kearifan lokal (local wisdom) dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Berikut
nilai-nilai kerifan lokal yang terkandung dalam sistem subak:

1. Bangunan penangkap air disungai (bendung/empelan) diletakkan pada kawasan


tikungan sungai, sehingga dengan demikian bangunan sadap dari bendung tersebut
dapat ditempatkan pada lokasi dengan kecepatan air paling tinggi, ada kekuatan
sentrifugal dan dengan sedimen paling minimal.
2. Bagian atas trowongan dibuat melengkung mengandalkan pada batuan asli dan tidak
disemen. Pada beberapa tempat dibuat lubang untuk masuk terowongan untuk
menjamin agar ada udara diatas air pada saluran sehingga terowongan tetap pada
keadaan saluran terbuka.
3. Tiap petani anggota subak memiliki bangunan pengambilan (water inlet) tersendiri
dan juga saluran pembuang (outlet) sendiri. Hal ini akan mempermudah pinjam
meminjam air antar anggota juga memudahkan proses pelaksanaan diversifikasi
tanaman meskipun pada musim hujan sekalipun pada musim hujan.
4. Bangunan bagi dibuat dengan sistem tradisional “numbak” dengan ambang rata-rata
tanpa pintu, dibuat proporsional sesuai luas lahan yang dimiliki oleh petani, teknologi
pengalokasian air ini menjamin transparansi, rasa keadilan dikalangan anggota,
mudah dikelola, dan mudah dipantau sehingga dapat dikatakan sebagai teknologi
tepat guna.
5. Setiap petani atau anggota subak menata lahannya mengikuti kontur lahan yang
secara umum di Bali memiliki kontur berbukit, sehingga munculah sistem terasering.
Sistem terasering ini memiliki manfaat besar menjaga kelestarian lingkungan, hal ini
disebabkan karena dengan sistem ini dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya
erosi atau longsor, pencucian mineral tanah akibat air pada saat musim hujan, serta
menjamin ketersediaan air yang merata kepada petani pada saat usim kemarau.
6. Sistem subak mengatur pemanfaatan air yang tersedia di alam berperan penting 
dalam menjaga keseimbangan dan keserasian antara manusia dan lingkungan, hal ini
disebabkan karena subak dikembangkan berdasarkan konsep Tri Hita Karana. 
7. Adanya pengaturan air kepada petani secara merata dalam sistem subak memberikan
jaminan kepada masyarakat akan ketersediaan pangan. Hal ini dimungkinkan, karena
adanya kemungkinan saling pinjam air antar sistem subak maupun saling pinjam air
antar anggota subak.
8. Adanya pengaturan pola dan jadwal tanam dilakukan dengan tegas dan ketat, bahkan
terkadang dengan pemberian sanksi tertentu bagi yang melanggar. Pengaturan pola
dan jadwal tanam dilakukan utuk merespon perubahan musim, dan ketersediaan air di
alam. Beberapa pola tanam yang dikenal dalam subak antara lain:

  Kerta masa: wilayah subak ditanami padi semua karena jumlah air yang mencukupi
  Gegadon: pergiliran tanaman padi dengan palawija, karena pergiliran pemakaian air
dengan subak sekitarnya.

Pada kondisi tertentu karena kondisi alam, maka diupayakan dengan sistem:
    a. Ngulu: sawah dihulu yang  mendapatkan air terlebih dahulu
    b. Maongin: sawah yang berada di tengah yang mendapat giliran air
    c. Ngasep: sawah yang dihilir mendapat bagian air paling akhir

Melihat besarnya nilai dan peranan subak bagi petani dan masyarakat khususnya masyarakat
di Bali, maka tak salah apabila kita tetap melestarikan sistem subak guna menjaga hubungan
yang harmonis antara manusia dan lingkungan. Mengingat begitu besarnya tantangan
kedepan, hendaknya masyarakat dan pemerintah daerah juga berperan dalam melestarikan
sistem subak yang sudah dikenal hingga mancanegara.
BAB III
PENUTUP

3.1.    Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai
berikut:

1. Subak merupakan organisasi atau lembaga tradisional yang bergerak dalam tata guna
air untuk irigasi serta mengatur sistem pengelolaan pertanian bersifat social religious,
mandiri yang anggotanya terdiri dari petani yang berdada dalam suatu kesatuan
wilayah tertentu dan diatur dalam awig-awig.
2. Penerapan sistem subak diserahkan sepenuhnya kepada anggota subak, pengurus
subak, dan pimpinan subak yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat, hal ini
dumungkinkan karena pengelolaan subak bersifat fleksibel.
3. Nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat pada sistem subak terdapat pada artefak atau
aspek benda dan pembuatannya. Seperti pada bendungan, trowongan, serta banguna
bagi pada sistem tersebut.

3.2.    Saran
Mengingat sangat pentingnya peranan subak dalam menjaga kelangsungan sistem pertanian
di Bali dan nilai-nilai kearifan lokal yang dimilikinya, maka hendaknya kita harus berupaya
untuk mempertahankan atau bahkan mengemangkannya di wilayah lain di Indonesia.
Mengingat sistem subak memberikan kemudahan dan kepastian kepada petani dalam
memperoleh pasikan air irigasi untuk pertanian yang berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai