Anda di halaman 1dari 7

HUKUM ADAT LAOT DI ACEH

Oleh Kelompok 1 :
Nyoman Raditya Andika Putra Mehaga (18323011)
Anisa Fitriyani (203232024)
Ayuning Diah Tri Hapsari (203231007)
Fadhila Kumala Wangi (203232033)
Muhammad Zaid Aslam (203233075)
Buba Bilarka Bilhaq (203232028)

Pengelolaan sumber daya kelautan telah menjadi isu yang semakin mendesak di era
globalisasi ini. Peningkatan aktivitas manusia di sektor kelautan, perubahan iklim, dan berbagai
tekanan lainnya telah menyebabkan kerusakan dan degradasi sumber daya kelautan di seluruh
dunia. Dalam upaya menjaga keberlanjutan lingkungan laut, pengelolaan sumber daya kelautan
yang berkelanjutan menjadi suatu kebutuhan mendesak.
Dalam konteks pengelolaan sumber daya kelautan, penting untuk mengakui dan
melindungi kearifan lokal yang telah ada sejak lama. Kearifan lokal ini mencakup pengetahuan,
praktik, dan sistem nilai yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat adat.
Pengakuan dan perlindungan terhadap kearifan lokal ini dapat menjadi landasan yang kuat dalam
pengelolaan sumber daya kelautan yang berkelanjutan.
Aceh, sebagai provinsi yang memiliki garis pantai yang panjang dan kaya akan
keanekaragaman hayati laut, memiliki tradisi dan hukum adat kelautan yang kaya dan beragam.
Hukum adat kelautan Aceh memiliki prinsip-prinsip yang mendasari praktik pengelolaan sumber
daya kelautan berdasarkan kearifan lokal. Pengakuan dan perlindungan terhadap hukum adat
kelautan Aceh merupakan langkah penting dalam menjaga keberlanjutan dan keseimbangan
ekosistem laut di wilayah tersebut.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, pengaruh perubahan sosial, ekonomi, dan politik
telah memberikan tekanan yang signifikan terhadap kearifan lokal dan hukum adat kelautan Aceh.
Pengaruh regulasi modern, aktivitas industri di sektor kelautan, dan perubahan pola pikir
masyarakat dapat mengancam keberlanjutan sumber daya kelautan dan mengabaikan nilai-nilai
hukum adat yang telah terbukti efektif dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan hukum adat kelautan Aceh,
mengidentifikasi prinsip-prinsip yang mendasarinya, serta menganalisis dampaknya terhadap
keberlanjutan dan perlindungan sumber daya kelautan. Dengan memahami hukum adat kelautan
Aceh, kita dapat mengenali nilai-nilai dan praktik yang harus diperhatikan dan dipertahankan
dalam pengelolaan sumber daya kelautan.
Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis dengan mengumpulkan data melalui
penelitian kepustakaan. Data yang dikumpulkan akan dianalisis dengan memperhatikan aspek-
aspek kunci dari hukum adat kelautan Aceh, termasuk prinsip-prinsip yang mendasarinya,
prosedur pengambilan keputusan, dan upaya perlindungan sumber daya kelaut.
Masyarakat nelayan Aceh adalah nelayan yang berasal dari orang Aceh. Sehingga akan
tergambar akan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat terutama
orang Aceh tersebut. Kebiasaan-kebiasaan tersebut merupakan adat istiadat yang hidup dan
menjadi panutan bagi masyarakat setempat terkhusus bagi para nelayan sekaligus menggambarkan
tentang adat istiadat yang berlaku umum bagi masyarakat Aceh.
Kemudian kehidupan para nelayan terkait pola pikir nelayan yang erat hubungannya
dengan berbagai pranata dan sistem nilai yang menjadi panutan dan mempengaruhi alam pikir.
Dalam masyarakat nelayan di Aceh ditinjau dari sistem pembagian kerja, dapat dikategorikan
kepada empat golongan diantaranya yaitu;
1. Aneuk pukat (buruh nelayan)
2. Toke (pemilik alat-alat penangkap ikan)
3. Muge (agen/pedagang eceran)
4. Pawang dan Panglima Laot
Panglima Laot merupakan golongan besar dan perannya sebagai seorang pemimpin yang
secara hukum adat laut bertugas untuk mengkoordinasikan satu atau lebih daerah perikanan, atau
minimal satu perkampungan nelayan (Dinas Perikanan Aceh, 1995: 102). Berikut tugas Panglima
Laot sebagai berikut;
1. Mengawasi serta memelihara pelaksanaan hukum adat laut
2. Mengatur mengenai tata cara penangkapan ikan di laut
3. Menyelesaikan berbagai pertikaian yang terjadi dalam hubungan dengan penangkapan ikan di
laut
4. Menyelenggarakan upacara-upacara adat laut, dan menolong apabila terjadi kecelakaan di laut,
serta menyelesaikan berbagai permasalahan sosial lainnya (Bapeda Aceh, 1996: 271).
Dilihat dari tugas dari Panglima Laot tersebut, maka Panglima Laot memiliki andil besar
dan sangat menentukan dalam kehidupan nelayan Aceh. Dengan demikian peran Panglima Laot
dalam masyarakat nelayan Aceh, yakni menjadi seorang pemimpin yang mendapatkan legitimasi
adat dan diakui oleh seluruh masyarakat pemangku adat tersebut.
Hampir semua aspek kenelayanan berada dibawah Panglima Laot, namun dalam
menjalankan tugasnya Panglima Laot seringkali menghadapi rintangan. Rintangan yang
menghambat dalam perkembangan masyarakat nelayan adalah sebagai berikut;
1. Faktor eksternal, hubungan Panglima Laot dengan kelembagaan bentukan pemerintah,
hubungan nelayan dengan pedagang perantara (toke bangku).
2. Faktor Internal seperti sikap mental nelayan yang cenderung boros dan juga kurang
berorientasi ke masa depan. Mengakibatkan mereka kesulitan dalam mengatur
penghasilannya. Masalah yang dihadapi oleh masyarakat nelayan sangat kompleks, sementara
peran Panglima Laot sebagai pemimpin dan pengayom masyarakat nelayan erat berhubungan
dengan aspek sosial-budaya. Sementara proses kemiskinan seakan berjalan terus, seolah tanpa
dapat dicegah. Sehingga diperlukan satu proses panjang untuk menentukan cara yang tepat
guna mengangkat masyarakat nelayan dari penderitaan yang panjang tersebut.
Dalam hukum adat laot terdapat pengecualian dimana ketentuan pelanggaran hukum yang
telah berlaku/telah ada terlebih dahulu. Dengan demikian ketentuan hukum adat laot akan menjadi
hukum adat yang berlaku secara universal bagi Nelayan di seluruh Aceh. Berbeda dengan hukum
Barat, bagi mereka yang dianggap setiap perbuatan illegal adalah merupakan pelanggaran hukum
yang diancam dengan pedoman dalam undang-undang. Dalam hukum Adat Meulaot, adat yang
lainnya tidak merupakan suatu detik, tetapi pada suatu ketika perbuatan tersebut dianggap
mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat dimana pemuka adat dapat mengambil suatu
tindakan guna memulihkan keadaan semula, maka saat itu muncul hukum baru. Sebagai contoh
dapat kita lihat dalam kasus penangkapan benur dan nener, dahulu penangkapan bibit ikan dan
udang tersebut dilakukan dengan cara sangat sederhana dengan memakai tanggok ‘‘sawok‘‘ akan
tetapi setelah ada alat yang lebih modern dipandang telah sangat merugikan Nelayan yang
menggunakan alat tradisional, maka setelah menjadi kasus lahir ketentuan hukum adat yang baru
tentang penangkapan nener dan benur. Sebagaimana sudah kita maklumi bahwa lahirnya suatu
delik pelanggaran adat adalah sama dengan lahirnya peraturan peraturan hukum adat pada
umumnya, yaitu pada waktu pemuka adat mempertahankan peraturan adat terhadap orang yang
melanggar peraturan itu. Oleh karena itu apabila terjadi pelanggaran dalam hukum adat, misalnya
hutang piutang, maka hukum dapat dikeraskan dengan menghukum orang yang tidak mau
membayar hutang, atau dalam kasus perbuatan ilegal yang menyebabkan kerugian orang lain,
maka upaya meluruskan hukum adalah membayar kerugian. Pelanggaran hukum adat laot dapat
digolongkan dalam dua bentuk yaitu: pelanggaran hukum dan perbuatan pelanggaran yang dalam
keadaan tertentu tidak dianggap pelanggaran. Dimaksud dengan perbuatan pelanggaran hukum
adat laot adalah semua perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat laot yang telah ditetapkan
terlebih dahulu, antara lain, 3 hari pantang melaut setelah kanduri Laot, dihitung sejak keluar
matahari pada hari kanduri hingga tenggelam matahari pada hari ketiga.
Hari Raya Idul Adha, dilarang melaut selama 3 hari dihitung sejak tenggelam matahari
pada hari meugang hingga terbenam matahari ketiga Hari Raya (disesuaikan dengan kegiatan
ibadah Haji). Dan sebaliknya jika ketentuan adat tidak memuat atau member sanksi hukum bagi
pelanggarnya maka dikatakan sebagai adat atau kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Dalam
skripsi kami beberapa catatan tentang hukum adat laot, diberi pengertian sebagai berikut, Hukum
adat laot adalah serangkaian kaedah yang diperuntukkan bagi sekelompok orang yang
menggunakan laut sebagai tempat mencari nafkah. Sebagai hukum adat, maka hukum ini
merupakan hukum yang hidup dan ditaati (The Living Law) oleh masyarakat Aceh khususnya di
lingkungan bidang penangkapan ikan di laot. Sebagai hukum yang hidup dan berorientasi pada
keadaan yang nyata pada masyarakat Nelayan maka keberadaan Hukum Adat Laot sangat
diperlukan oleh para Nelayan dalam melakukan aktifitasnya menangkap ikan di laot, dan masalah
lain yang berhubungan dengan kepentingan kepentingan.
Gampong Lampulo terletak di Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh. Gampung
Lampulo terletak di wilayah pesisir yang memiliki tempat perdagangan (TPI) dan pelabuhan untuk
nelayan. Mata pencaharian masyarakat Lampulo sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.
Namun, banyaknya jumlah nelayan juga tidak hanya berasal dari masyarakat Lampulo saja,
nelayan-nelayan tersebut berasal dari luar daerah Banda Aceh, seperti Aceh Besar, Pidie, dan
Lainnya. Wilayah Gampung Lampulo berada di wilayah kekuasaan hukum adat laot Lhok Krueng
Aceh yang dipimpin oleh Panglima Laot Lhok yang bernama Tabrani.
Kasus pertama
Dalam kurun waktu Tahun 2015sampai dengan 2017 ditemui adanya beberapa bentuk
pelanggaran adat di Gampong Lampulo. Pelanggaran tersebut terjadi karena konflik masyarakat
nelayan biasa dengan masyarakat Gampong yang tidak pernah lepas dari masalah. Adapun bentuk
dari pelanggaran pertama yaitu, pelanggaran dalam bentuk pencarian ikan di rumpon milik orang
lain. Bapak Saiful bahri (seorang nelayan) selaku korban pencurian menyatakan bahwa, pada
pertengahan bulan April 2016 terjadi pencurian yang diawali dengan nelayan dari Lampulo yang
hendak melaut mencari ikan ke daerah lautan Pulo Aceh, tepatnya sekitar 3 Mil dari tempat
pelelangan ikan (TPI) Lampulo, dengan melintasi wilayah rumpon yang sudah terpasang terlebih
dahulu oleh nelayan lain dan mereka berhenti di kawasan rumpon, kejadian ini dilihat oleh nelayan
boat kawee yang sedang berada di sekitar wilayah rumpon tersebut, yang juga kenal dengan
pemilik rumpon tersebut.
Melihat hal tersebut nelayan tersebut langsung menghubungi pemilik rumpon yang dicuri
ikannya. Kemudian pemilik rumpon beserta awak boat langsung datang ke lokasi dan melihat
langsung bahwa rumpon mereka rusak berat dan sudah mengambil hasil tangkapan mereka.
Dengan kejadian ini, kawanan awak boat bapak Saiful Bahri tidak terima atas ulah mereka tersebut,
selanjutnya para pelaku pencurian tersebut di minta untuk kembali ke daratan guna bertanggung
jawab atas perbuatannya. Sesampainya di daratan, mereka langsung menghubungi Panglima Laot
wilayah Lampulo untuk meminta bantuan agar dapat menyelesaikan masalah tersebut melalui
persidangan. Mendapat laporan tersebut panglima laot memanggil para stafnya untuk langsung
menuju ke lokasi tepatnya di TPI Lampulo lama. (Saiful Bahri: 2016).
Perangkat yang berwenang dan hadir dalam persidangan penyelesaian perkara tesebut
ialah:
1. Panglima Laot Lampulo sebagai ketua siding
2. Sekretaris Panglima Laot sebagai pencatat semua kejadian dalam persidangan
3. Tokoh adat sebagai penasihat
4. Toke boat dari kedua belah pihak beserta anak buah kapal yang berperkara
5. Kawanan nelayan yang lainnya yang berada disekitar tempat kejadian
Persidangan dilakukan pada hari itu untuk memerhatikan dan mendasari prinsip-prinsip
supaya terjadinya rasa kekeluargaan. Kemudian, Panglima Laot mendengarkan kronologis
kejadian dari pihak pelaku pencurian yang bersengketa serta saksi-saksi yang melihat kejadian
tersebut. Adapun sanksi yang dijatuhkan kepada pihak anak buah kapal yang melakukan pencurian
ikan adalah:
• Denda Rp.20.000.000 (dua puluh juta rupiah) sebagai pengganti rumpon yang rusak
• Ikan hasil curian dikembalikan kepada pemilik rumpon
• Dilarang melakukan kegiatan melaut selama dua minggu bagi pelaku pencurian
Namun dalam penyelesaian pelanggaran pihak yang kalah merasa tidak adil karena pihak
yang kalah tidak menerima sanksi yang diberikan oleh Panglima Laot terhadapnya. Walaupun
sebenarnya hukuman tersebut sudah setimpal dengan harga rumpon yang mereka rusak. Maka dari
itu, Panglima Laot meminta masukan kepada Pol Air sebagai penasehat untuk memberikan sedikit
masukan kepada seluruh awak boat bahwa perbuatan mereka itu salah. Setelah peninjauan itu
kembali dilakukan, hasilnya sama seperti sebelumnya dan pihak yang kalah akhirnya menerima
putusan tersebut. Akhirnya, proses penyelesaian pelanggaran ini dapat diterima dan selanjutnya
seluruh awak boat dari 2 belak pihak yang berselisih di peusijuk oleh tokoh adat.
Kasus Kedua
Pada kasus ini, adanya pelanggaran yang terjadi pada bulan September 2016 yakni bermula
dari kapal nelayan lampulo ada yang mogok di tengah lautan, sementara pihak awak boat sudah
memberikan kode dengan mengangkat tangan untuk meminta bantuan dari nelayan sekitar, namun
nelayan dari Ulee Lheu tidak merespon (dengan alasan tidak mau membantu). Kemudian pihak
dari nelayan Lampulo melapor pada Panglima Laot, dan selanjutnya Panglima laot Lampulo
melakukan koordinasi dengan Panglima Laot Ulee Lheu untuk menyelesaikan masalah tersebut,
karena ini merupakan hukum adat laot yang berlaku 58 bagi semua wilayah laut.
Berdasarkan hasil koordinasi antar kedua Panglima Laot, maka nelayan ulee lheu harus di
sidangkan karena sudah melanggar kode etik hukum adat laut. Penyelesaian perkara ini dilakukan
oleh dua Panglima Laot dan juga dihadirkan tokoh adat antara keduanya serta kawanan nelayan
kedua belah pihak. Dalam keputusannya pihak nelayan yang tidak mau membantu diberikan sanksi
tidak boleh melaut selama 2 minggu penuh serta membuat surat perjanjian untuk tidak mengulangi
perbuatan tersebut. Dalam adat melaot, sudah menjadi ketentuan bahwasannya ada boat dari
kawanan yang mogok, maka kawanan nelayan lain yang terdekat dari boat yang rusak wajib untuk
membantu.
Aceh, sebagai provinsi yang memiliki garis pantai yang panjang dan kaya akan
keanekaragaman hayati laut, memiliki tradisi dan hukum adat kelautan yang kaya dan beragam.
Kebiasaan-kebiasaan tersebut merupakan adat istiadat yang hidup dan menjadi panutan bagi
masyarakat setempat terkhusus bagi para nelayan sekaligus menggambarkan tentang adat istiadat
yang berlaku umum bagi masyarakat Aceh. Pawang dan Panglima Laot Panglima Laot merupakan
golongan besar dan perannya sebagai seorang pemimpin yang secara hukum adat laut bertugas
untuk mengkoordinasikan satu atau lebih daerah perikanan, atau minimal satu perkampungan
nelayan (Dinas Perikanan Aceh, 1995: 102).

Dengan demikian peran Panglima Laot dalam masyarakat nelayan Aceh, yakni menjadi
seorang pemimpin yang mendapatkan legitimasi adat dan diakui oleh seluruh masyarakat
pemangku adat tersebut. Dengan demikian ketentuan hukum adat laot akan menjadi hukum adat
yang berlaku secara universal bagi Nelayan di seluruh Aceh.

Dalam hukum Adat Meulaot, adat yang lainnya tidak merupakan suatu detik, tetapi pada
suatu ketika perbuatan tersebut dianggap mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat
dimana pemuka adat dapat mengambil suatu tindakan guna memulihkan keadaan semula, maka
saat itu muncul hukum baru.

Anda mungkin juga menyukai