Anda di halaman 1dari 8

WILAYAH KELOLA HUKUM ADAT LAUT: PAGLIMA LAOT

PENJAGA HUKUM ADAT

Dalam video dokumenter yang bertema Panglima Laot Penjaga Hukum


Adat ini mengisahkan tentang upaya Panglima Laot di Aceh dalam menjaga dan
mempertahankan Wilayah Kelola Hukom Adat Laot. Para Panglima Laot kini
bangkit kembali setelah terjadinya Tsunami pada tahun 2004 untuk membantu
masyarakat dengan harapan pemerintah harus lebih memperhatikan dan
membantu masalah yang terjadi pada wilayah hukum adat untuk menjamin
kehidupan nelayan Aceh. Peran dari Panglima Laot ini adalah sebagai ketua dan
lembaga adat nelayan di Aceh yang mengatur tentang tata cara penangkapan ikan
di laut penyelesaian sengketa adat laut, pengawasan, pemanfaatan dan
pengelolaan wilayah kelola adat laot. Panglima Laot secara kelembagaan
mengatur pengelolaan lingkungan laut dengan aturan selain memuat larangan juga
mengatur cara orang bertindak terhadap lingkungan dalam lingkup yang terbatas
sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Pengaturan seperti itu membawa
konsekuensi lebih efektifnya hukum atas pengelolaan lingkungan laut.

Pada saat ini banyaknya pertarungan penguasaan zonasi laut semakin


menyebar. Klaim-klaim zonasi yang telah ditetapkan dalam Qanun (Perda) Aceh
tentang Rencana Zonasi Wilayah Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
(RZWP3K) lebih bersifat topdown yang mana pemerintah yang mengambil
keputusan tanpa melibatkan masyarakat hukum adat laot atau Panglima Laot
secara baik. Tetapi setalah diterapkan wilayah laot hukum adat, para nelayan
merasa lebih mudah jika terjadi sebuah sengketa dan juga lebih memudahkan
Panglima Laot dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di laut.

Hal ini dikhawatirkan akan mengenyampingkan hak-hak pengelolaan


wilayah yang melekat dalam kesatuan masyarakat hukum adat laot di Aceh.
Padahal dalam Pasal 20 Undang-Undang 1 Tahun 2014 perubahan atas Undang-
Undang Nomor 27 tahun 2007 tengan Pengelolaan Pesisir Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil berbunyi: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memfasilitasi pemberian izin lokasi dan izin pengenlolaan kepada masyarakat
lokal dan masyarakat tradisional. Peraturan Pemerintah Kelautan dan Perikanan
Repulik Indonesia Nomor 8 tahun 2018 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah
Kelola Masyarakat Hukum Adat dalam Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil berbunyi: “Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang
yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara
Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,
hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata
pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya” dan Qanun Aceh
Nomor 7 tahun 2010 Tentang Perikanan dalam Pasal 13 ayat (5) berbunyi: “
Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
mempertimbangkan hukum adat dan/atau adat istiadat”. Maka dengan adanya
Peraturan-peraturan tersebut dapat menjamin bahwa zonasi wilayah kelola hukum
adat adalah suatu keniscayaan seharusnya terlebih dahulu diselesaikan sebelum
menetapkan zonasi-zonasi lain.

Hadirnya pihak Universitas Syiah Kuala melalui Pengabdian Masyarakat


berbasis Produk Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat hadir membantu
masyarakat adat laot dalam memastikan wilayah hukum adat mereka terjaga dan
terlindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hak asal usul yang
dimiliki.

Adanya eksistensi hukum adat ini masih berlaku sampai saat ini bahkan
semenjak pasca tsunami, masyarakat wilayah pesisir makin peduli dan berusaha
untuk menjaga lingkungan mereka lebih baik lagi. Sistem pengelolaan lingkungan
semacam ini sangat bagus dan terbukti cukup berhasil, dikarenakan dasar dari
sistem hukum adat laut ini adalah kesadaran dan kepedulian yang mendalam dari
masyarakat atas lingkungan sekitar mereka yang telah memberikan banyak
keuntungan dan manfaat demi keberlangsungan hidup mereka.

Tugas II

PERAN LEMBAGA PANGLIMA LAOT DALAM PENGGELOLAAN


SUMBER DAYA KELAUTAN
Panglima Laot dalam Bahasa Aceh, bermakna laut dan panglima adalah
pemimpin. Maka panglima laot dapat diterjemahkan sebagai pemimpin kelautan.
Dalam hal ini, Panglima Laot adalah orang yang memimpin adat istiadat,
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan di laut, termasuk
mengatur tempat penangkapan ikan dan penyelesaian sengketa yang terjadi antar
nelayan.1

Menurut Hoesein Djajaninggrat, Panglima Laot adalah kepala sebuah


Lhok atau kuala teluk yang mengepalai sejumlah pukat ikan dan di pilih dari
pawang pukat dengan persetujuan kepala negeri. Dalam pertemuan Panglima Laot
se-Aceh Tanggal 23-25 Januari 1992 di Langsa, merumuskan konsep Panglima
Laot sebagai lembaga adat karena kedudukannya berfungsi sebagai ketua adat
bagi kehidupan nelayan di pantai, serta merupakan unsur penghubung pemerintah
dengan nelayan di tepi pantai guna menyukseskan program pembangunan
perikanan dan pemerintah.2 Sedangkan menurut Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun
1990 tentang Pembinaan Adat Istiadat, Kebiasaan- kebiasaan masyarakat beserta
lembaga adat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh merumuskan Panglima Laot
sebagai orang yang memimpin adat istiadat, kebiasaan- kebiasaan yang berlaku di
bidang penangkapan ikan di lautan sedangkan dalam hal ini mengatur
tempat/areal penangkapan ikan, penambatan perahu dan menyelesaikan sengketa.
3

Lembaga ini memang sudah ada sejak lama, dalam catatan sejarah adat
laot disebutkan sudah ada sejak abad ke-14 (sejak 400 tahun yang lalu), masa
Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu, panglima laot memiliki 2 tugas yaitu
memobilisasi peperangan dalam rangka melawan penjajahan dan memungut cukai
(pajak) dari kapal-kapal yang singgah pada tiap-tiap pelabuhan di Aceh. Namun,
ini sama sekali tidak terkait dengan mengawasi nelayan seperti yang banyak
disampaikan oleh para sarjana. Menurut sejarah, pelabuhan-pelabuhan di Aceh
1
Syamsuddin dan Cut Adek, Adat Maulaot (Adat Menangkap Ikan DiLaut), Banda Aceh:
CV. Boebon jaya, 2010, hlm. 44.
2
T. Mohd Djuned, Kedudukan Panglima Loat dalam Hukum Positif di Indonesia,
Makalah Duek Pakat Panglima Laot se-Aceh, Sabang, 19-20 Maret, 2001, hlm. 3.
3
M. Adli Abdullah, dkk, Kearifan Lokal di Laut Aceh, (Syiah Kuala University Press:
Banda Aceh, 2010), hlm. 29-30
adalah tempat bertemunya beberapa kehidupan masyarakat Aceh di bidang
ekonomi, politik, agama, dan budaya.4

Secara umum tugas Panglima Laot meliputi tiga hal, yaitu


mempertahankan keamanan di laut, mengatur pengelolaan sumber daya alam di
laut dan mengatur pengelolaan lingkungan laut. Tata cara penangkapan ikan di
laut (meupayang) dan hak-hak persekutuan di dalam teritorial lhok diatur dalam
hukom adat laut, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Panglima Laot sebagai
pemimpin persekutuan masyarakat adat.

Berkaitan dengan tugas Panglima Laot, Pangima Laot mempunyai tugas


yang berbeda antara Panglima Laot Lhok, Panglima Laot Kabupaten/Kota dan
Panglima Laot Aceh. Dimana ketentuan Pasal 28 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 10
Tahun 2008 menyebutkan:

1) Panglima Laot Lhok atau nama lain mempunyai tugas:

a. Melaksanakan memelihara dan mengawasi pelaksanaan adat istiadat dan


hukum adat laot;

b. Membantu pemerintah dalam bidang perikanan dan kelautan;

c. Menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang terjadi di antara nelayan


sesuai dengan ketentuan hukum adat laot;

d. Menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan kawasan pesisir laut;

e. Memperjuangkan peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan; dan

f. Mencegah terjadinya penangkapan ikan secara illegal.

2) Panglima Laot Kab/Kota atau nama lain mempunyai tugas:

a. Melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang


bersifat lintas Lhok atau nama lain; dan

b. Menyelesaikan sengketa antar Panglima Laot Lhok atau nama lain.

3) Panglima Laot Aceh atau nama lain mempunyai tugas:

a. Melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a yang


bersifat lintas Kab/Kota;
4
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, “Panglima Laot Masa Kini: Sebuah Tinjauan
Sosiologi-Antropologi”, dalam M. Adli Abdullah, dkk, Kearifan Lokal di Laut Aceh, (Banda
Aceh: Syiah Kuala University Press, 2010), hlm. 43.
b. Memberikan advokasi kebijakan kelautan dan perikanan serta memberikan
bantuan hukum kepada nelayan yang terdampar di negara lain; dan
mengkoordinasikan pelaksanaan hukom adat laot.

Selama ini keberadaan Panglima Laot sangat menguntungkan nelayan Aceh,


dimana aturan adat yang dikeluarkan juga berdasarkan musyawarah dengan
nelayan di seluruh Aceh. Tugas Panglima Laot bukan hanya mengeluarkan aturan
adat atau mengawasi nelayan agar mencari nafkah sesuai aturan. Tetapi juga
membantu nelayan Aceh yang terdampar atau tertangkap di negara lain, termasuk
mencari cara agar segera dipulangkan.5

Fungsi Panglima Laot yaitu Sebagai ketua adat bagi masyarakat nelayan,
Sebagai penghubung antara pemerintah dan masyarakat nelayan dan sebagai mitra
Pemerintah dalam menyukseskan program pembangunan perikanan dan kelautan.
Sebagai Panglima Laot dalam melaksanakan tugas dan fungsinya harus berperan
sebagaimana mestinya. Menurut Poerwadarminta54 Peran adalah sesuatu yang
menjadi bagian atau yang memegang pimpinan yang terutama dalam terjadinya
hal atau peristiwa. Jadi, peran lebih banyak menunjuk pada pelaksanaan atau
seseorang yang tengah mengerjakan kegiatan atau serangkaian prilaku yang
dianggap harus dilakukan oleh orang yang sedang menduduki posisi tersebut.
Dapat diklarifikasi bahwa peran Panglima Laot dalam menegakkan hukum adat
laot dan juga menyelesaikan sengketa dan pelanggaran bagi masyarakat nelayan.

Hukum adat laot di Aceh merupakan hukum adat yang berlaku dalam
masyarakat nelayan di wilayah adat masing-masing. Nelayan atau pengusaha
perikanan laut di daerah melakukan usaha penangkapan ikan pada wilayah hukum
adat yang berlaku di daerah tersebut. Hukum Adat Laot telah ada sejak 400 tahun
yang lalu yaitu pada massa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). 6
Sejak saat itu hukum adat laot ditegakkan oleh pemangku adat yang dinamakan
Panglima Laot. Hukom adat laot merupakan hukum-hukum adat yang
diberlakukan oleh masyarakat nelayan Aceh untuk menjaga ketertiban dalam
penangkapan ikan dan kehidupan masyarakat nelayan di pantai. Hukum adat laot

5
http://www.mongabay.co.id/2015/11/04/beginilah-hukum-adat-laut-di-aceh/, diakses
pada 4 September 2017, pukul 21.20 WIB.
6
Adli Abdullah ddk, Selama Kearifan Adalah Kekayaan; Eksistensi Panglima Laot di
Aceh, (Cet. 1, Panglima Laot Aceh, Banda Aceh), 2006, hlm. 7.
mengatur mengenai 2 hal, yaitu tata acara penangkapan ikan/meupayang di laut
dan cara penyelesaian bila terjadi sengketa antar nelayan laut.

Menurut Hakim Nya’Pha (2001), hukum adat laot dilaksanakan oleh


Panglima Laot. Adat laot tersebut berkaitan dengan beberapa peraturan, seperti
aturan tentang penangkapan ikan, bagi hasil, sewa-menyewa, pengupahan dan lain
sebagainya, tempat/wilayah khusus tempat penambatan perahu/pukat pantai,
tempat penjemuran alat penangkapan ikan/memperbaiki kerusakan-kerusakan
baik alat penangkapan ikan maupun perahu/boat, larangan melakukan kegiatan di
laot/pantang laot, penemuan harta di laot, upah dan pengganti jerih payah
Panglima laot dan atau pawang, pertengkaran/perselisihan/pertikaian dan
perkelahian di laot, perusakan lingkungan laut, tentang pencurian ikan di laot,
kecelakaan di laot, dan aturan-aturan laot yang berhubungan dengan semua
kegiatan mencari nafkah di laot. 7

Dalam menjalankan kehidupan masyarakat nelayan harus mematuhi


hukum adat laot. Adapun aturan hukum adat laot tersebut terkait dengan aturan
larangan Uroe Pantang Laot, yang di atur dalam keputusan musyawarah Panglima
Laot se- Aceh pada Tanggal 6-7 Juni 2000. Dalam musyawarah tersebut
disepakati 5 jenis uroe pantang laot di Aceh, yaitu: kenduri laot, hari jum’at, hari
raya idul fitri, hari raya idul adha, hari kemerdekaan 17 Agustus 1945. Setelah
terjadi musibah tsunami 26 Desember 2004 telah ditambah satu jenis hari lagi
pada masa musyawarah kedua Panglima laot di Banda Aceh.8

Pada saat ini banyak sekali laut, udara dan hutan semakin tercemar oleh
limbah yang  diciptakan oleh manusia sendiri. Tidak hanya itu, pengelolaan
sumber daya alam yang banyak dilakukan oleh pihak-pihak tertentu meninggalkan
sisa-sisa  yang berdampak langsung kepada kehidupan  masyarakat. Termasuk
Aceh di provinsi yang terletak paling ujung Indonesia ini marak terjadi
penebangkan hutan yang tak terkendali. Banyak yang menyebutkan bahwa yang
bermain di hutan tidak  hanya masyarakat, tetapi  juga  lembaga seperti  Polri dan
TNI ikut ambil andil dalam pengelolaan hutan. Di lain sisi kehidupan  Aceh,
7
Sulaiman, Tesis, Model Alternatif Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukom Adat laot di
Kabupaten Aceh Jaya Menuju Keberlanjutan Lingkungan yang Berorientasi Kesejahteraan
Masyarakat, 2010, hlm. 27.
8
42 M. Adli Abdullah dkk, Aceh (Kebudayaan Tepi Laut dan Pembangunan), (Banda
Aceh: Pushal-KP, 2014) hlm.
potensi lautnya menyimpan sejuta rahasia dan keindahan yang belum terungkap,
tetapi sangat disayangkan bila potensi itu semua hanya digunakan untuk
kepentingan sepihak saja. Sama halnya dengan hutan, laut juga rawan akan
tangan-tangan manusia yang tidak pernah puas.

Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti trawl, 


bahan peledak,  listrik dan sampai dengan obat bius pun kerap terjadi di laut. Lihat
saja di semenanjung pantai barat Aceh, sempat terjadi penjarahan ikan oleh
nelayan asing yang tentunya menggunakan alat tangkap yang berbahaya bagi
lingkungan. Dampak dari pengelolaan sumber daya kelautan yang tak terkendali
sudah tampak jelas setelah tidak adanya kontrol tentang bagaimana cara
penempatan dan pemamfaatan sumber daya kelautan itu. Fakta lain yang
ditemukan bahwasanya sebelum tsunami, sumber daya kelautan Aceh sudah
dimanfaatkan melebihi daya dukungnya sehingga setelah tsunami laju tingkat
kerusakan mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, hal yang paling dirasakan
adalah kerusakan bibir pantai dan kerusakan terumbu karang. Kerusakan ini
langsung berimplikasi terhadap penurunan kualitas habitat perikanan dan juga
mengurangi keindahan kehidupan pesisir.

Ancaman kerusakan sumber daya kelautan dapat langsung berimplikasi


terhadap semakin rendahnya tingkat pendapatan masyarakat yang kehidupannya
bertumpu pada sektor kelautan. Rendahnya tingkat pendapatan masyarakat akan
menyebabkan roda sistem perekonomian menjadi kurang lancar berputar. Ada 
beberapa penyebeb pengelolaan sumber daya kelautan dengan cara yang salah:

1. Kurangnya pembinaan tentang bagaimana cara pengelolaan sumber daya


kelautan yang baik dan benar sehingga menyebabkan rendahnya kapasitas
sumber daya manusia (SDM) dalam pengelolaan kelautan dan perikanan.
2. Pada umumnya nelayan tradisional tumbuh dan berkembang secara alami dan
melakukan kegiatan penangkapan ikan berdasarkan naluri dan pengalaman
yang diperoleh secara turun-temurun. 
3. Adanya hasrat yang timbul dari dalam diri manusia itu sendiri yang
mempunyai sifat tidak pernah puas akan hal-hal yang telah dicapainya.
Cara untuk menghambat tingkat pertumbuhan kerusakan lingkungan
dengan cara mengedepankan hukum lokal  yang berorentasikan kepada kehidupan
masyarakat setempat, merupakan salah satu cara bagaimana mengatasi
permasalahan  yang timbul akibat kesalahan masyarakat itu sendiri. Upaya
mendorong terciptanya pengelolan sumber daya kelautan dengan mulai
mengepakan kembali sayap hukum yang berorentasi pada adat merupakan salah
satu langkah strategis untuk  mengatasi maraknya penangkapan ikan yang
menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.Karakteristik masyarakat
Aceh yang masih mengedepakan peraturan-peraturan adat adalah hal yang sudah
mendarah daging semenjak dahulu. Oleh karenanya adalah sangat bijak apabila
bertumpu pada tata cara kehidupan lokal masyarakat tersebut.
Dalam pelaksanaanya, Panglima adat  laot berpegang teguh  pada hukum
adat yang telah dipelihara dan dipertahankan oleh masayarakat nelayan untuk
menjaga ketertiban dalam penangkapan ikan dan kehidupan nelayan di pantai.
Hukum adat laot juga berfungsi sebagai pengisi hukum nasional, misalnya dalam
hukum nasional tidak ada peraturan mengenai permasalahan nelayan yang bersifat
lokal, seperti larangan melaut pada hari raya,  larangan melaut pada hari
kemerdekaan, maka dalam hukum adat lautlah hal tesebut  telah diatur.
Keberadaan panglima laot dengan sumber daya yang memadai tentunya bukan
hanya dapat melakukan perlawanan terhadap penggunaan pukat harimau, listrik,
maupun bahan peledak saja yang dapat teratasi, perlawanan terhadap penjarahan
yang kerap dilakukan oleh nelayan asing pun tentunya akan dapat dicegah. Hal ini
menjadi mungkin ketika nelayan memiliki armada dan peralatan yang kuat dan
kesejahteraan yang lebih baik.
Salah satu sanksi  yang diberikan kepada nelayan yang melanggar
ketentuan-ketentuan adat laot adalah dikenakan sanksi hukum adat dimana seluruh
hasil tangkapannya disita dan dilarang melaut minimal selama tiga hari dan
selama-lamanya tujuh hari. Walaupun demikian, hukum-hukum adat tentunya
tidak akan berarti apapun bila tidak didampinggi oleh penegak hukum yang
berwenang.

Anda mungkin juga menyukai