NIM : 2010412132
A. Pendahuluan
Kelapa Sawit merupakan salah satu andalan ekspor negara Indonesia. Usaha perkebunan
kelapa sawit pun juga telah menyerap jutaan warga untuk bekerja, sehingga saat ini banyak
masyarakat yang menggantungkan hidupnya terhadap perkebunan kelapa sawit. Dalam
perkembangannya permintaan akan minyak sawit semakin hari semakin meningkat. Hal ini
membuat pemerintah ingin melakukan ekspansi terhadap lahan perkebunan kelapa sawit.
Tentunya dengan dilakukannya ekspansi, maka lingkungan dan tatanan kehidupan
bermasyarakat pun juga akan ikut terganggu. Tak jarang, banyak masyarakat yang mengeluhkan
persoalan ini kepada pemerintah. Naasnya penantian panjang akan penyelesaiaan masalah
kelapa sawit pun tak mendapatkan respon dari pemerintah. Dibalik luasnya perkebunan kelapa
sawit yang sangat meresahkan masyarakat yang kini tersebar di seluruh kepulauan Indonesia,
tiap-tiap daerah punya caranya masing-masing agar lingkungan mereka tetap terjaga.
B. Konsep-Konsep Antropologi
Meskipun hewan lain belajar, hanya manusia yang memiliki pembelajaran budaya,
tergantung pada simbol. Manusia berpikir secara simbolis sewenang-wenang melimpahkan
makna pada hal-hal dan peristiwa. Dengan konvensi, simbol adalah singkatan dari sesuatu yang
tidak memiliki hubungan yang perlu atau alami. Simbol memiliki arti khusus bagi orang yang
berbagi kenangan, nilai, dan kepercayaan karena enkulturasi umum. Orang-orang menyerap
pelajaran budaya secara sadar dan tak Sadar. Difusi, migrasi, dan kolonialisme telah membawa
sifat dan pola budaya ke berbagai bidang dunia. Mekanisme perubahan budaya meliputi difusi,
akulturasi, dan Penemuan. Globalisasi menggambarkan serangkaian proses yang
mempromosikan perubahan di dunia di bangsa dan manusia mana yang saling terkait dan saling
bergantung.
Di Indonesia, saat ini terdapat 25 PT yang bergerak di perkebunan kelapa sawit. Dengan
kisaran total luas lahan yaitu sebelas juta hektar, perkebunan sawit di Indonesia sebanding
dengan total luas pulau Jawa yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Dan
sampai saat ini, baik pemerintah maupun swasta terus membuka hutan untuk dialih fungsikan
menjadi lahan perkebunan sawit.
Dengan pengalihfungsian lahan, tentunya hal ini akan berdampak pada lingkungan dan
masyarakat setempat. Tanaman sawit membutuhkan air tanah yang sangat banyak, hal ini
dapat menguras air tanah yang ada sehingga bencana kekeringan pun tak terhindarkan. Jika
lahan perkebunan didirikan di atas tanah gambut maka saat kemarau dapat mengakibatkan
kebakaran. Belum lagi saat melakukan pembabatan hutan dengan melakukan pembakaran, hal
ini akan semakin memperburuk situasi terutama asap hasil pembakaran hutan yang terhirup
oleh paru-paru manusia. Pembakaran yang dilakukan secara asal jelas sangat merugikan.
Apalagi kabar bahwa negara tetangga sepeti Malaysia dan Singapura juga ikut terdampak akibat
dari pembakaran hutan secara sembarangan.
Berbeda dengan masyarakat suku Dayak, yang di mana saat melakukan pembabatan
hutan memiliki tata cara-tata cara tertentu. Singkatnya, secara umum, saat hendak melakukan
pembakaran hutan, mereka berdoa terlebih dahulu kepada leluhurnya dengan
mempersembahkan sebuah sesajen. Setelah itu memasang pagar-pagar khusus agar api tidak
menyebar ke lahan lain. Dan tentunya mereka tetap memperhatikan ke mana arah angin
berhembus. Hal ini dilakukan agar api mudah untuk dikontrol sehingga dampak yang
ditimbulkan pun tidak begitu parah.
Lain halnya dengan salah satu masyarakat Batanghari yang berada di Jambi. Alih-alih
menanam kelapa sawit masyarakat sekitar lebih memilih tanaman palawija seperti padi sebagai
warisan leluhur. Mereka pun tidak tergantung hanya pada satu jenis tanaman saja. Mereka
melarang pengalih fungsian lahan menjadi perkebunan kelapa sawit ataupun tanaman keras
lainnya. Semua itu merupakan ketentuan-ketentuan masyarakat sekitar yang telah ada sejak
jaman dahulu. Mereka meyakini 3 prinsip yaitu ada padi serba menjadi, ada ternak serba enak
dan ada karet serba murah. Jika salah satu warga ketahuan melanggar adat tersebut maka ia
akan di usir dari desanya. Dan lahannya pun akan dibongkar serta ia akan dikeluarkan dari
kelompok para petani.
Hal ini pun serupa dengan masyarakat desa Kubung, Kalimantan Tengah. Penolakan
terhadap kelapa sawit juga dilakukan oleh masyarakat Dayak Tomun, desa Kubung, Kalimantan
Tengah. Perluasan kelapa sawit yang hanya berjarak 20 Km dari desa mereka dianggap
mengancam keberadaan hutan dan kehidupan warga. Namun bagi masyarakat desa ini, hutan
yang asri dan sistem berladang tumpang sari, masih diyakini lebih menguntungkan secara
ekonomi dibandingkan dengan menanam sawit. Warga berpikiran bahwa dengan hutan saja
sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan. Hutan merupakan simbol kehidupan warga sama
seperti makna hutan bagi masyarakat Papua. Dibanding merusak mereka lebih memilih
menjaga hutan. Sehingga membuka hutan merupakan sebuah pantangan bagi masyarakat
sekitar.
Daftar Pustaka
Kottak, C. P. (2011) Cultural Anthropology : Appreciating Cultural Diversity. Bab Culture, Hal 27-
39. University of Michigan : Mc Graw Hill
Jati, Indra dan Dandhy Laksono. 2018. Asimetris. Indonesia: Watchdog Image. 68 mins.