Anda di halaman 1dari 2

Menjaga Kearifan Lokal, Menjaga Kehidupan

Oleh Dame Manalu

Kami mengisi bambu dengan beras yang dibungkus daun pisang dan talas hutan,
lalu dibakar. Nasi bambu itu kemudian ditolak ke sungai, dijemput di satu titik, lalu
kami bawa ke batu keramat untuk memberi makan bumi (tanawatu), kata Blasius
Laka (60). Ini untuk menghormati bumi, yang sudah memberi makan kepada kita
lewat hasil panen tahun ini, lanjutnya.
Blasius Laka berasal dari Desa Fatamari, Kecamatan Lio Timur, Kabupaten Ende.
Ritus yang dijelaskan tadi dikenal dengan nama Loka Poo. Masyarakat adat Lio,
khususnya di desa ini, menjalankan ritus ini secara turun temurun. Ini dilakukan
setelah selesai memanen padi pada bulan-bulan September atau Maret.
Dengan melakukan ritual ini, mereka menunjukkan rasa terima kasih kepada Du'a
Nggae (Dua Lulu Wula, Nggae Wena Tana),Wujud Tertinggi penguasa semesta alam.
Menurut Oscar Mandalangi, budayawan asal Sikka, dalam sebuah bincang-bincang
dalam rangka memperingati hari Bumi di Taman Kota Maumere, pada 27 April lalu,
ritual seperti Loka Poo ini juga ada di adat Tana Ai yang disebut Gren Mahe untuk
memohon kesuburan tanaman atau di Palue yang disebut Pua Karapau, ritual untuk
pemulihan alam dengan memotong kerbau dan mempersembahkan kepada Rawula
watu Tana (Allah semesta alam)
Sebelum agama masuk, berbagai upacara ini sudah ada dan menjadi cara
masyarakat kita untuk menjalani hidup yang selaras dengan alam. Namun kini
upacara-upacara ini sudah mulai hilang. Batu persembahan yang dalam bahasa lokal
disebut Watu Mahe, sekarang (pun) sudah hilang, Katanya.
Pada minggu sebelum dan sesudah ritual Loka Poo, masyarakat Lio memasuki
minggu tenang tanpa aktivitas, tidak diperbolehkan berkebun atau memberi makan
ternak. Sementara masyarakat Palue melakukan Phije, berpantang selama lima hari.
Mereka dilarang melakukan aktivitas yang merusak alam, juga melukai tanah.
Misalnya, memetik daun, apalagi menebang pohon, merupakan larangan keras.
Berbagai ritus yang saat ini sudah hampir hilang, menandai kedekatan masyarakat
kita, khususnya di Sikka, dengan alam sekitar. Pada masyarakat yang
menggantungkan mata pencaharian pada alam, ritus-ritus ini adalah elemen penting
yang perlu dijaga. Ini juga adalah ajakan untuk menjalin hidup dengan harmonis
dengan alam. Alasannya, alam yang tidak dijaga, apalagi alam yang dirusakkan,
akan memberi bencana bagi penghuninya, seperti kekeringan atau gagal panen.
Mustamil, seorang petani madu dari desa Darat Pantai, mengatakan di desanya para
petani madu melakukan ritual Pati Hulun, dengan mempersembahkan sesajian ke
hutan dan tanah, agar lebah madu memberi hasil.

Ritus ini menunjukkan sudah ada yang menandai pohon lebah madu tertentu di
hutan, sehingga tidak boleh di tandai oleh orang lain lagi.
Lain lagi dengan Klatus Beru, dari Sanggar Doka Tawa Tana. Di sanggar, kami
memastikan penggunaan zat pewarna alami, dari kulit pohon, daun atau akar yang
ditumbuk halus. Penggunaan pewarna alami ini ramah pada lingkungan, dan juga
warna kain tahan lama untuk digunakan, katanya.
Bisa dibayangkan, jika kemudian hutan menghilang dan alam rusak, maka para
petani, pencari madu, penenun akan kesulitan memenuhi kebutuhannya. Mereka
bisa kehilangan mata pencaharian dan berdampak pada pemenuhan kebutuhan
hidup mereka sehari-harinya.
Berterimakasih kepada bumi lewat Loka Poo, menjaga alam lewat Gren Mahe atau
Pua Karapau, menandai pohon lebah madu lewat ritual Pati Hulun, adalah satu dari
sekian cara bagi kita untuk menghargai bumi; hutan, tanah dan air, yang menjaga
kehidupan kita.
Tentu, ritus-ritus ini berguna. Tantangan untuk kita adalah merevitalisasi ritus-ritus
itu agar sungguh bermakna bagi kita dan masyarakat kita, dan juga untuk
kehidupan kita dan anak cucuk kita nanti.
-------

Anda mungkin juga menyukai