Anda di halaman 1dari 6

Jadi Bagian Budaya, Orang Papua

Konsumsi Sagu Sejak 50 Ribu Tahun Lalu

Tahukah kamu?

 Sagu merupakan makanan pokok orang Papua yang masih pertahankan hingga kini.
 Sagu dikonsumsi orang Papua diperkirakan sejak 50 ribu tahun lalu seiring kedatangan
para pemukim pertama di Papua.
 Sagu dikonsumsi sejak zaman prasejarah di Papua dapat ditemukan melalui bukti artefak
gerabah dan alat batu penokok sagu.
 Sagu bagi masyarakat Papua tidak hanya sebagai bagian budaya, tetapi juga bagian dari
sistem kepercayaan.

Sagu merupakan sumber pangan tertua yang dikonsumsi masyarakat Indonesia, selain
pisang dan umbi-umbian. Di berbagai tempat di Indonesia juga masih ada yang
memanfaatkan sagu sebagai bahan pangan dengan olahannya, misalkan di Riau, Sumatera
Selatan, Sulawesi, dan Maluku.

Sementara, bagi sebagian besar masyarakat Papua, sagu terkenal sebagai makanan pokok
yang dipertahankan hingga kini. Sagu pun tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan
masyarakat Papua.

Apalagi sagu telah menjadi penanda identitas, batas wilayah, serta berperan krusial dalam
ritual dan adat pada suku-suku di dataran rendah yang secara tradisional
memanfaatkannya.

Tahukan Anda, sejak kapan masyarakat Papua mengonsumsi sagu?

Hari Suroto, Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN, memperkirakan bahwa
masyarakat Papua mengonsumsi sagu sejak 50 ribu tahun lalu, seiring kedatangan
para pemukim pertama di tanah Papua.

Mereka memperoleh makanan dengan cara berburu dan meramu serta memanfaatkan
tumbuhan lokal untuk makanan, termasuk sagu yang tumbuh liar di tepi sungai, danau, dan
rawa.

“Artefak yang berkaitan dengan budaya sagu di Papua yaitu gerabah dan alat batu penokok
sagu. Hasil penelitian arkeologi menunjukan, gerabah banyak ditemukan di situs-situs
arkeologi di pesisir Papua hingga pulau-pulau lepas pantai. Namun, gerabah tidak
ditemukan di pegunungan maupun pesisir selatan Papua,” jelas Hari
kepada Mongabay Indonesia, Senin [10/6/2023].
Gerabah yang ditemukan di situs-situs hunian prasejarah di Papua berjenis tempayan,
periuk, dan forna [tempat membuat sagu lempeng]. Tempayan digunakan untuk menyimpan
air dan menyimpan pati sagu.

Dinding tempayan yang tebal memiliki daya tahan kuat sebagai media penyimpan. Periuk
digunakan untuk merebus air dalam proses pembuatan papeda. Dinding periuk yang tipis,
mempercepat proses pemanasan makanan.

Sedangkan artefak gerabah forna di situs Mosandurei mengindikasikan bahwa telah ada
aktivitas pengolahan bahan pangan yang lebih variatif, yaitu memanggang pati sagu atau
sagu bakar. Forna terdiri dua bentuk: persegi panjang dan setengah bulat.

Artefak forna menunjukkan bahwa sagu merupakan makanan pokok, karena mudah
diperoleh dari hutan di dekat situs.

“Bagi masyarakat Papua, sagu tidak hanya sumber makanan pokok tetapi juga memberikan
seperangkat emik, yakni sumber pengetahuan dan sistem religi,” kata Hari.

Hal ini dapat dilihat saat pengambilan sagu dalam masyarakat adat yang biasanya tidak
dilakukan serampangan. Ada ritus mengiringi, mulai dari meminta izin ketika hendak
menebang, membersihkan semak-semak sekitar pohon sagu, penokokan, pemangkuran,
hingga siap disantap, baik dalam bentuk lempeng sagu bakar atau dihidangkan dalam
olahan papeda.

Sagu dan sistem kepercayaan

Beberapa etnis masyarakat adat Papua memiliki aturan dalam mengelola dan menebang
pohon sagu. Seperti etnis Sentani, yang percaya amanat leluhur bahwa sagu hanya
ditebang seperlunya. Tidak boleh asal tebang dan tidak boleh jatuh ke anakan sagu. Karena
itu merawat sagu seperti halnya merawat diri sendiri. Jika sagu diperlakukan baik, dipercaya
akan jauh dari musibah.

“Bagi etnis Korowai, mereka dengan cepat membandingkan perbanyakan sagu dan suksesi
generasi manusia. Mereka juga sering berbicara tentang kebun sagu sebagai sumber
makanan masa depan: bukan anak-anak saat ini dan siapa yang akan mengeksploitasi
mereka nanti,” jelas Hari.

Bagi etnis Marori di Merauke, sagu dijadikan kelengkapan dan kewajiban serta tanggung
jawab sosial bagi yang menyelenggarakan ritual kelahiran maupun kematian. Ritual-ritual
yang berhubungan dengan produk sagu adalah lamaran, kelahiran, tindik telinga, kematian,
penjemputan tamu, dan lain-lain.

Sementara bagi marga Mahuze, etnis Marori, sagu merupakan totem, yaitu simbol
persaudaraan sehingga tidak bisa sembarang diperjualbelikan. Pada marga ini, pemanenan
dan pengolahan sagu hanya dilakukan sewaktu-waktu, untuk mencukupi kebutuhan
penyelenggaraan pesta atau ritual adat serta konsumsi dalam rumah tangga.
Luas sagu di Indonesia sekitar 85% dari luas lahan sagu dunia dan mayoritas di Papua. Di
Papua, sagu paling banyak menyebar di pesisir selatan seperti Merauke, Asmat, Mappi,
Timika dan Kaimana. Di utara juga ada seperti Jayapura, Membrambo, dan Nabire.

Sebelumnya, Profesor Elias, Guru Besar Departemen Manajeman Hutan, Fakultas


Kehutanan IPB, menjelaskan bahwa sagu memiliki karakter hutan di lahan tergenang air
permanen, tergenang tidak permanen, dan lahan kering. Bentuk hutan sagu adalah hutan
campuran, hutan sagu murni, tegakan berstrata, tanaman berumpun atau tumbuh bersama
dalam satu kelompok.

Dia juga menjelaskan ciri khas pohon sagu yang sudah masak atau bisa ditebang,
diameternya lebih dari 35 cm dengan panjang tinggi batang antara 8 hingga 15 meter.
Lokasi tumbuhnya biasa di dataran rendah, areal rawa, gambut, dan sepanjang tepi sungai.
Topografinya datar, landai, hingga bergelombang. Tumbuh dengan curah hujan 2.500-3.000
mm per tahun.

“Sagu hingga kini belum dimanfaatkan dengan baik karena minimnya infrastruktur dan
akses yang sangat sulit,” ungkap Elias.
Lestarikan Budaya Kuliner Khas Papua

Sagu sep merupakan kuliner tradisional yang khas dari Papua Selatan. Memiliki cita rasa gurih
membuat makanan khas orang Papua satu ini tidak kalah lezat dengan makanan tradisional
yang berasal dari daerah lain dan merupakan budaya kuliner yang harus dilestarikan.

Hal inilah yang mendorong PT Tunas Sawa Erma B (TSE B) melalui kegiatan komunikasi
bulanan berkolaborasi dengan masyarakat khususnya mama – mama Papua dalam acara
demo memasak sagu sep sebagai bentuk pelestarian makanan tradisional khas orang Papua
ini di Kampung Getentiri, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan Sabtu
(26/8).

Panganan atau kudapan tradisional ini di proses dengan mencampurkan tepung sagu
dan kelapa yang diolah menjadi satu dan ditambahkan daging sekaligus rempah – rempah
untuk menambah cita rasa. Yang unik dari pembuatan sagu sep ini adalah dimasak dengan
menyiapkan api untuk membakar batu berukuran sebesar kepalan tangan yang biasa disebut
dengan tradisi bakar batu.

Selain menggunakan cara di bakar menggunakan batu, sagu sep sendiri dapat dimasak
dengan menggunakan arang kayu. Adonan sagu sep yang sudah terbungkus rapat dengan
daun pisang secara perlahan akan matang karena uap panas berasal dari batu yang dibakar
atau bara api dari arang kayu.

“Kunjungan yang dilakukan pihak perusahaan ini merupakan hal positif, apalagi dengan mengajak
mama-mama di kampung untuk memasak makanan khas tradisional kami. Saya harap kegiatan di saat
ini dapat memperkenalkan dan melestarikan kearifan lokal yang berada di tempat kami,” tutur Germanus
Vite, salah satu ketua marga yang memberikan apresiasinya pada pihak perusahaan.

https://suryapapua.com/lestarikan-budaya-kuliner-khas-papua/
**Sagu Bakar: Kearifan Lokal Masyarakat Asmat dalam Mengolah Pangan**

Di pedalaman Papua, tepatnya di wilayah Asmat, terdapat sebuah kearifan lokal yang telah
diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Salah satu kearifan tersebut adalah
dalam pengolahan pangan, khususnya sagu bakar. Sagu bakar bukan hanya sekadar makanan
bagi masyarakat Asmat, melainkan juga merupakan bagian dari identitas budaya mereka yang
kaya.

Sagu, yang berasal dari pohon sagu atau Metroxylon sagu, merupakan sumber karbohidrat
utama bagi masyarakat Asmat. Proses pengolahan sagu menjadi sagu bakar adalah salah satu
teknik tradisional yang dijunjung tinggi oleh mereka. Proses ini bukan hanya melibatkan
kemahiran teknis dalam mengolah sagu, tetapi juga menunjukkan kedekatan spiritual dan
ketergantungan masyarakat Asmat terhadap alam sekitarnya.

Proses pengolahan sagu dimulai dengan penebangan pohon sagu. Setelah dipanen, batang
pohon sagu dipotong menjadi potongan-potongan kecil yang kemudian direbus dalam air
bersih. Air hasil rebusan tersebut kemudian diperas hingga menghasilkan tepung sagu. Tepung
sagu inilah yang kemudian akan diolah lebih lanjut menjadi sagu bakar.

Sagu bakar dibuat dengan cara memanggang tepung sagu di atas tungku tradisional yang
terbuat dari batu-batu besar. Api yang digunakan untuk memanggang biasanya berasal dari
kayu bakar. Proses pemanggangan dilakukan dengan hati-hati, dengan memperhatikan suhu
dan waktu agar tepung sagu matang secara merata tanpa terbakar.

Selain sebagai makanan pokok, sagu bakar juga memiliki nilai simbolis dan sosial yang penting
dalam budaya Asmat. Masyarakat Asmat seringkali mengadakan acara-acara adat dan
perayaan yang melibatkan sagu bakar sebagai hidangan utama. Hal ini mencerminkan
pentingnya sagu bakar dalam memperkuat ikatan sosial dan memelihara tradisi budaya
mereka.

Namun, kearifan lokal dalam pengolahan sagu bakar di Asmat tidak hanya berhenti pada aspek
teknis dan sosial. Proses ini juga mencerminkan hubungan harmonis antara masyarakat Asmat
dan lingkungan alam mereka. Mereka memahami dengan baik ekosistem tempat tumbuhnya
pohon sagu dan mempraktikkan pertanian yang berkelanjutan.

Dalam era modern yang serba terkoneksi ini, kearifan lokal dalam pengolahan sagu bakar di
Asmat tetap relevan dan bernilai. Meskipun telah terjadi perubahan-perubahan dalam pola
hidup masyarakat Asmat, mereka tetap berpegang pada nilai-nilai tradisional mereka, termasuk
dalam hal pengolahan pangan. Ini bukan hanya tentang mempertahankan warisan budaya,
tetapi juga tentang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, sebuah nilai yang
mungkin bisa menjadi inspirasi bagi masyarakat luas dalam menghadapi tantangan
keberlanjutan global.

Anda mungkin juga menyukai