Anda di halaman 1dari 6

TUGAS ANTROPOLOGI GIZI

KEBIASAAN MAKAN DAN FILOSOFINYA (ETNIS PAPUA)

Disusun Oleh :

Virghina Bintang Pininfarina 101811233047

Felicia Anggono 101811233057

Alifia auliannisaa 101811233064

Gusti Ayu Rivanya 101811233087

PROGRAM STUDI GIZI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2019
Pembahasan

A. Kehidupan Orang Papua


B. Manfaat Sagu

Sagu merupakan salah satu makanan pokok di Indonesia, khususnya di Indonesia bagian
timur. Sagu di sana tumbuh secara liar, merawatnya pun tidak susah seperti sawah. Sagu
tidak hanya dimanfaatkan dalam bidang pangan, tetapi juga dapat digunakan untuk
keperluan nonpangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Kementerian
Kehutanan telah mengembangkan sagu menjadi bioetanol, baik skala laboratorium
maupun skala usaha kecil. Selain produksi etanol, hasil sampingan dari ekstrak pati sagu,
yaitu ampas sagu dapat diolah menjadi PST (Protein Sel Tunggal) sebagai sumber protein
pada makanan ternak. PST ini masih belum bisa dan masih sulit diterima sebagai sumber
protein bagi manusia karena bau, rasa, dan warna yang belum sesuai dengan selera,
kandungan asam nukleatnya cukup tinggi, dan dinding selnya keras. Hal itulah yang
menyebabkan aplikasi PST ini lebih tepat sebagai sumber protein bagi makanan ternak.
Selain itu, pemanfaatan ampas sagu dapat digunakan sebagai pupuk organik dan media
tumbuhan jamur.

Secara keseluruhan, komponen tanaman sagu terdiri dari daun, batang, pelepah/dahan
daun, dan akar, dimana komponen-komponen tersebut dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.

1. Daun sagu
Daun sagu biasanya dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat atap rumah. Biasanya
daun sagu yang digunakan yaitu daun yang sudah tua kemudian dijemur hingga kering dan
tahap terakhir dijahit dengan tali rotan.
2. Batang sagu
Batang sagu merupakan komponen utama yang dimanfaatkan. Di dalam batang sagu
terdapat serat yang banyak mengandung pati sagu yang kemudian dijadikan makanan
pokok atau bahan makanan. Batang sagu juga digunakan untuk budidaya ulat sagu,
dimana ulat sagu tersebut juga dapat dikonsumsi. Selain itu, batang sagu dapat
dimanfaatkan sebagai tiang atau balok jembatan.
3. Pelepah/dahan sagu
Pelepah/dahan sagu atau biasa disebut “gaba” dimanfaatkan sebagai bahan bangunan
yang digunakan untuk membuat dinding rumah, plafon rumah, dan rakit.
4. Akar sagu
Akar sagu berfungsi menjaga tata air.

C. Filosofi

Di Asia Tenggara menempatkan kawasan Indonesia Timur khususnya Maluku dan Papua
sebagai pusat keanekaragaman jenis-jenis sagu. Untuk sagu liar saja, di Indonesia terdapat
1.250.000 Ha dan sekitar 1.200.000 tumbuh di Papua sisanya di Maluku seluas 50.000 Ha
dari total sagu liar yang tumbuh di hutan (Flach, 1997).

Sagu digunakan sebagai makanan pokok karna memang pertumbuhan pohon sagu di
Indonesia Timur sangat banyak dan keanekaragaman jenis sagu juga mengindikasikan
bahwa sagu mampu memberikan seperangkat emik, pengetahuan dan sistem religi. Pada
masyarakat yang masih kental corak subsistensinya di mana sagu disimbolkan sebagai
pemberi kehidupan dan berbagai ritus mengiringi setiap prosesi pengolahan sagu menjadi
makanan pokok mulai dari meminta izin ketika hendak menebang, membersihkan semak-
semak sekitar pohon sagu, penokokan, pemangkuran hingga sagu yang siap disantap baik
dalam bentuk lempeng sagu bakar (sago biscuits) atau dihidangkan dalam olahan papeda.

Tarian Pesta Ulat Sagu adalah sebuah hasil olah rasa suku Asmat yang bermakna
pengucapan syukur atas limpahan berkat Tuhan terhadap hasil panen sagu mereka.
Biasanya suku Asmat melakukan tarian ini ketika sebelum dan sesudah masa panen tiba.
Hal ini mereka lakukan karena mereka percaya tarian ini dapat menyenangkan hati Tuhan.

Di masyarakat Asmat, selain memiliki fungsi sosial dan emosional sagu juga memiliki
arti simbolis penting. Zegwaard menjelaskan arti simbolis sagu bagi orang Asmat dan
mungkin juga bagi orang Kamoro (tetangga sebelah orang Asmat)—khususnya ulat sagu,
sebagai makanan yang memiliki daya spiritual: dalam ulat sagu terdapat banyak sekali ruh
leluhur (Asmat: nam yipi, Kamoro: Ipu), dalam kepercayaan orang Asmat ulat sagu
dipersonifikasikan terletak diantara persinggungan titik persendian yang menjaga agar
tubuh dapat bergerak, dengan kekuatan raga dan spiritual (Pouwer, 2010).

Di kebudayaan Asmat sagu menjadi media perantara bagi proses penciptaan manusia.
Sagu berperan sebagai makanan pokok bagi ruh yang akan menuju ke rahim seorang
perempuan. Bilamana ruh leluhur ingin mengabulkan permintaan perempuan Asmat untuk
memiliki anak maka ruh lelulur akan meniupkan ruh pada saat terpancarnya sinar senja
nan jingga di kala matahari terbenam untuk diberikan kepada salah seorang perempuan.
Oleh karna itu perempuan Asmat yang menginginkan anak akan melakukan meditasi di
pantai saat matahari terbenam. Kemudian, ruh yang diutus ke bumi tiba di atap rumah
calon ibu dan bersembunyi disana, ruh tersebut makan sendiri dari sagu yang tersimpan di
bawah atap. Ketika ruh anak memasuki rahim perempuan melalui vagina, maka hamillah
perempuan itu. Menurut kepercayaan orang Asmat kuno, sosok ayah tampaknya tidak
memiliki fungsi dalam konsepsi tersebut.
Arti sagu bagi orang Korowai yang tinggal di tenggara Papua adalah Sagu mengajarkan
mereka dalam melanjutkan kehidupan untuk suksesi generasi mereka. Menurut mereka
sagu adalah ruang belajar tentang makna kehidupan dan bagaimana sagu bisa membekali
mereka dengan keahlian praktis untuk melanjutkan hidup. Sagu adalah guru di mana anak-
anak diajarkan beragam keahlian dalam pengadaan dan penyediaan pangan. Semisal, anak
laki-laki diajarkan agar bisa membuat rumah, menebang pohon, menangkap ikan,
membendung sungai, membuat perangkap dalam berburu, memburu babi, membuat busur
dan anak panah. Sementara anak perempuan dibekali keahlian memangkur sagu,
mengolah sagu, memasak sagu, menyiapkan perapian dan mengumpulkan kayu bakar.
“Tujuan anak-anak nanti di masa depannya adalah bisa menyediakan makanan, membuat
rumah dan tampil di pesta-pesta” (Stasch, 2009).

Bagi orang Korowai memakan sagu adalah menjadikan seorang manusia menjadi
manusia seutuhnya dan saling merekatkan hubungan sosial diantara mereka. Menurut
orang Korowai, sagu sebagai makanan pokok adalah kasih mama yang berlipat dan tiada
bertepi bagi orang Korowai karena ia menjaga kelangsungan hidup baik sebagai
kebutuhan pangan dan sebagai pelanjut generasi berikutnya. Ada ungkapan orang Korowai
bahwa “tanpa sagu kami akan mati” (Stasch, 2009).

D. Pengolahan Sagu

Sagu memberkan kontribusi positif karena sagu menjadi potensi daerah di Papua Barat.
Sagu tidak hanya semata-mata sebagai makanan pokok saja, tetapi sagu juga merupakan
sumber informasi budaya manusianya yang merupakan suatu kolektifitas (kelompok) yang
menyatakan identitas (jatidirinya). Tidak hanya makanan, tetapi perilaku atau kebiasaan
pengolahan sagu (suo) menjadikan cirri pembeda dari kolektifitas (kelompok) yang
lainnya. Pemanfaatan sagu secara tradisi sudah lama dikenal di daerah-daerah penghasil
sagu, produk-produk makanan secara tradisi yang dihasilkan dari sagu seperti papeda,
sagu lempeng, sagu lempeng gula merah, sagu bakar kelapa, sagu bakar apatar.

Sagu Batangan juga salah satu makanan khas papua. Diproduksi dari tepung sagu
kemudian dicetak dan dijemur pada cuaca yang cerah di siang hari. Sagu batangan ini
dapat bertekstur lembek dan dapat pula bertekstur keras. Anda dapat memakan sagu
batangan ini dengan berbagai macam cara, salah satunya mencelupkannya kedalam teh
apabila Anda menyukai rasa manis dan renyahnya sagu batangan.

Papeda merupakan makanan khas masyarakat Papua, Maluku dan beberapa daerah
Sulawesi yang bentuknya gel atau pasta. Prinsipnya, karakteristik papeda yang siap
disantap sifatnya transparan, bentuknya ‘batali’ (menyerupaitali/tidak mudah putus), dan
berwarna keabu-abuan (tergantung acinya). Jika papeda diangkat dengan cara khusus,
maka bagian dari gel tidak mudah putus karena memiliki ikatan yang kuat. Papeda
biasanya dimakan dengan lauk berupa ikan, daging, kelapa, sayuran dan lainnya yang
tentunya memiliki gizi tinggi. Papeda juga dapat dibungkus dengan daun pisang. Papeda
bungkus ini, biasanya disajikan pada acara-acara adat atau keramaian, misalnya
pernikahan, ulang tahun, pembayaran mas kawin, dan sampai pada acara festival budaya.
Sagu bungkus apatar merupakan jenis makanan tradisi masyarakat Inanwatan yang
diolah secara tradisional. Cara pengolahan sagu bungkus ulat sagu (apatar) diolah secara
sedarhana, yaitu aci sagu dihaluskan dengan cara menggosok-gosok bongkahan sagu
dengan kedua telapak tangan di atas ayakan. Hasil ayakan bongkahan aci tersebut di ayak
lagi dengan cara mengoyang-goyangkan ayakan sampai diperoleh bagian aci yang remah
dan halus yang siapdimasak. Cara membuatnya yaitu: aci sagu yang halus tadi,
dihamburkan (dimasukan) dibelahan helai daun sagu, kemudian masukan ulat sagu dengan
cara menderetkan ulat sagu sesuai minat ataupun panjangnya daun. Kemudian hamburkan
aci sagu menutupi ulat sagu dan ditutupi dengan daun sagu. Aci sagu dan ulat sagu yang
telah dibungkus daun sagu siap dibakar dengan bara arang selama 15-25 menit sampai
matang. Sagu bungkus ulat sagu dapat di hidangkan saat panas, atau pun hangat. Sagu
bungkus ini dapat di inovasi isinya selain menggunakan ulatsagu, dapat juga
menggunakan pisang mengkal (setengah matang) atau kelapa parut (kukur).

Untuk kegiatan upacara adat atau pertemuan resmi, sagu biasanya dimasak dengandaging
yang kemudian diberinama Sagusep. Sagu Sep tahan sampai berminggu-mingg. Ketika
semakin sering dipanaskan, rasanya akan semakin bertambah legit. Sagusep sendiri
dibagilagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan campurannya. Ada Kumobo yakni sagu
yang dicampur dengan kelapa dan daging dan Wanggilamo atau sagu yang dicampur
dengan daging yang sudah dipanggang. Selain itu ada Nggalamo, sagu yang dicampur
dengan kelapa dan daging yang dipotong besar-besar dan Kaka atau sagu yang dicampur
dengan kelapa, daging dan ditambah dengan santan. Terakhir ada Siu, sagu yang dicampur
dengan pisang.

Kesimpulan

Sagu banyak ditemui di Indonesia bagian Timur, khususnya di Papua. Tanaman sagu sendiri
tumbuh liar di sana, dan di Papua penanaman sagu lebih mudah dibandingkan dengan padi.
Itu adalah faktor mengapa sagu sebagai makanan pokok di wilayah Papua. Tanaman sagu
dapat memiliki banyak manfaat, mulai dari daun, batang, pelepah, hingga akarnya. Sagu
mampu memberikan seperangkat emik, pengetahuan dan sistem religi. Di masyarakat Asmat,
selain memiliki fungsi sosial dan emosional sagu juga memiliki arti simbolis penting. Arti
sagu bagi orang Korowai yang tinggal di tenggara Papua adalah Sagu mengajarkan mereka
dalam melanjutkan kehidupan untuk suksesi generasi mereka.pengolahan sagu juga
bermacam macam tergantung acara apa yang akan dilakukan

Daftar Pustaka

Tulalessy, Quin D. . 2016. Sagu Sebagai Makanan Rakyat dan Sumber Informasi Budaya
Masyarakat Inanwatan: Kajian Folklor Non Lisan. MELANESIA: Jurnal Ilmiah Kajian Sastra
dan Bahasa, 1(1), 85-91.
Nurcaya, Ipak Ayu H. . 2015. Mengenal Budaya Makan Mahuze di Papua
.https://ekonomi.bisnis.com/read/20150927/99/476120/mengenal-budaya-makan-mahuze-di-
papua (Diakses23 September 2019).

W.W.K, Parama Tirta Wulandari, dkk. 2013. Potensi Tanaman Sagu (Metroxylon sp.) dalam
Mendukung Ketahanan Pangan di Indonesia. Jurnal Pangan. Vol.22(1), pp: 61-76.

Hariyum, A. 1986. Pembuatan Protein Sel Tunggal. P.T. Jakarta: Wacana Utama Pramesti

Nur, Himas. 2018. Mengulik Asal Mula Penganan Papeda, Kuliner Ikonik Khas Papua.
https://phinemo.com/asal-mula-penganan-papeda-papua/ (diakses 20 September 2019)

Triyono, Heru. 2017. Charles Toto, Filosofi sagu dan perjamuan Mick Jagger.
https://beritagar.id/artikel/figur/charles-toto-filosofi-sagu-dan-perjamuan-mick-jagger
(diakses 20 september 2019)

Papua, Halaman 2017. Kepada Sagu Yang Telah Memberi Kasih.


http://halamanpapua.org/umum/kepada-sagu-yang-telah-memberi-kasih/ (diakses 20
seotember 2019)

Anda mungkin juga menyukai