Anda di halaman 1dari 13

Penelitian

312 Zulkarnain Yani

NILAI-NILAI BUDAYA DAN AGAMA DALAM TRADISI


MELEMANG DI DESA KARANG RAJA DAN DESA KEPUR,
MUARA ENIM, SUMATERA SELATAN
CULTURAL AND RELIGIOUS VALUES IN THE TRADITION OF
NILAI-NILAI BUDAYA DAN AGAMA DALAM TRADISI

THE MELEMANG IN KARANG RAJA AND KEPUR VILLAGE,


MELEMANG DI DESA KARANG RAJA DAN DESA KEPUR,
MUARA ENIM, SUMATERA SELATAN

MUARA ENIM, SUMATERA SELATAN


DOI: https://doi.org/10.32488/harmoni.v18i2.372

ZULKARNAIN YANI
Balai Litbang Agama Jakarta,
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
zulkarnainyani@yahoo.com
Artikel diterima 5 September 2019, diseleksi 6 November 2019, dan disetujui 26 Desember 2019

Abstract
PAKAIAN TAQWA: MELIHAT NILAI-NILAI ISLAM NUSANTARA
Abstrak
MELALUI PAKAIAN ADAT KERATON YOGYAKARTA
This paper presents the results of research
DOI: https://doi.org/10.32488/harmoni.v18i2.364
Tulisan ini menyajikan hasil penelitian
on traditions and rituals in the district of tentang tradisi dan ritual melemang di
Muara Enim, South Sumatra. This research kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
was conducted from 4 - 18 October 2018 Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 4
in the villages of Karang Raja and Kepur. sampai 18 Oktober 2018 di desa Karang
The purpose of this study is to present what Raja dan Kepur. Tujuan penelitian ini
cultural and religious values ​​can be drawn menyajikan nilai-nilai budaya dan agama
from the tradition of melemang in the 2 apa saja yang bisa diambil dari tradisi
(two) villages. The melemang tradition is a melemang di dua desa tersebut. Tradisi
customary tradition that exists in the month melemang merupakan tradisi adat yang
of Muharram in the villages of Karang Raja ada pada bulan Muharram di desa Karang
and Kepur. This tradition has been carried Raja dan Kepur. Tradisi ini sudah dilakukan
down from generation to generation since secara turun-temurun sejak zaman nenek
the days of their ancestors (Puyang) to the moyang (Puyang) mereka hingga saat ini.
present. This tradition is intended as an Tradisi ini bertujuan sebagai tolak bala’ dari
anticipation for the flood disaster that will bencana banjir yang akan menimpa dua
befall these 2 (two) villages by holding desa tersebut dengan mengadakan sedekah
village alms (dusun) in the form of making desa (dusun) dalam bentuk membuat
lemang by the entire community without lemang oleh seluruh masyarakat tanpa
exception. This tradition is characterized terkecuali. Tradisi ini bercirikan pembuatan
by making lemang made from a mixture of lemang yang terbuat dari campuran beras
glutinous rice and grated coconut, which ketan dan kelapa parut, yang dicampur
is mixed with bananas, shrimp or onions pisang, udang atau bawang dengan dilapisi
coated with banana leaves, then put into daun pisang, kemudian dimasukkan ke
a section of bamboo. The cultural values​​ dalam bambu berukuran seruas bambu.
that we can be drawn from this tradition Nilai-nilai budaya yang dapat kita ambil
are the value of Hospitality and Mutual dari tradisi ini yaitu nilai Silaturahmi dan
Cooperation between members of the Gotong Royong. Adapun nilai agama yang
society. The religious values ​​conveyed in disampaikan dalam tradisi tersebut berupa
the tradition are creed and worship. nilai aqidah dan ibadah.
Keywords: Tradition, Melemang, Cultural Kata Kunci : Tradisi, Melemang, Nilai Budaya,
Values, Religious Values. Nilai Agama.

HARMONI Juli - Desember 2019


Nilai-Nilai Budaya dan Agama dalam Tradisi Melemang di Desa Karang Raja dan Desa Kepur, Muara Enim,
Sumatera Selatan
313

PENDAHULUAN khususnya yang ada di kabupaten Muara


Enim – Sumatera Selatan adalah tradisi
Bulan Muharam dalam kalender Islam melemang. Tradisi melemang merupakan
dikenal juga dengan sebutan bulan tradisi adat yang khas di 2 (dua) desa;
Syuro atau Asy-Syuro. Berbagai tradisi desa Karang Raja dan desa Kepur yang
dilakukan oleh masyarakat Islam pada ada di Kecamatan Muara Enim.
bulan Muharram di Indonesia. Sehingga
terdapat banyak aktifitas tertentu Muara Enim, yang menjadi lokasi
yang dilakukan oleh sebagian besar penelitian, memiliki cerita tersendiri
masyarakat Indonesia. Persentuhan Islam mengenai masuk dan berkembangnya
dengan budaya lokal membawa pada Islam yang bersumber pada manuskrip
keberagaman tradisi yang bernuansa berupa kulit kayu (kahas) dan bambu
Islam. Keberagaman budaya dan tradisi (bolo). Selain itu, Muara Enim memiliki
lokal di Indonesia merupakan ekspresi beragam suku, diantaranya suku
simbolik, sekaligus wujud akulturasi Semendo, suku Enim, suku Lampung,
agama, etnik dan budaya lokal. Aspek suku Belide dan suku-suku lainnya (Yusuf
agama memberikan warna yang cukup Abdullah dan Abisyuja’i Said, 1986;
besar dalam pembentukan tradisi lokal 261), yang mempunyai berbagai budaya
(Japarudin, 2017: 623). dan tradisi yang diwariskan dari nenek
moyang dan masih dilestarikan hingga
Dalam kerangka akulturasi, lahir saat ini, salah satunya tradisi melemang.
yang kemudian dikenal sebagai local genius.
Local genius, diartikan oleh Soebadio dan Tradisi ini sudah ada sejak zaman
Poespowardojo sebagaimana dikutip oleh nenek moyang masyarakat setempat
Ambary (1998: 252), sebagai kemampuan dan masih terus dilestarikan hingga
menyerap sambil mengadakan seleksi saat ini. Tradisi ini berawal dari upaya
dan pengolahan aktif terhadap pengaruh masyarakat desa untuk menolak balak
kebudayaan asing, sehingga dapat berupa bencana banjir yang biasa melanda
dicapai suatu ciptaan baru yang unik, desa dengan mengadakan sedekah desa
yang tidak terdapat di wilayah atau (dusun) dengan membuat lemang oleh
daerah yang membawa pengaruh budaya seluruh masyarakat tanpa terkecuali.
tersebut. Secara implisit, local genius Tradisi ini bercirikan dengan pembuatan
memiliki karakteristik yang mampu lemang yang terbuat dari campuran beras
bertahan terhadap budaya luar, mampu ketan dan kelapa parut, yang dicampur
mengakomodasi unsur-unsur budaya pisang, udang atau bawang, kemudian
luar dan mampu mengintegrasikan dimasukkan ke dalam bambu berukuran
unsur-unsur budaya luar ke dalam seruas bambu. Setelah itu, lemang
budaya aslinya. dipanggang di atas bara api, karena waktu
memasaknya yang terlalu lama, maka
Tradisi di bulan Muharram pada direbus terlebih dahulu baru kemudian
masyarakat Indonesia yang secara umum dibakar. Lemang yang sudah masak
dilakukan pada tanggal 1-10 Muharam, tersebut kemudian dibawa ke Masjid atau
direpresentasikan dalam berbagai bentuk Mushalla atau Balai Desa. Sebelum lemang
dan ragam. Salah satu tradisi keagamaan tersebut dimakan bersama-sama, terlebih
di bulan Muharram yang selalu dilakukan dahulu dilakukan ritual keagamaan yang
dan menjadi tradisi masyarakat, dipimpin oleh Ketua Pemangku Adat
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2
314 Zulkarnain Yani

atau Imam Desa (Wawancara dengan menginstruksikan seluruh Walikota dan


Sahudin1, 8-10-2018). Tradisi melemang ini Bupati yang ada di propinsi Sumatera
hanya dilakukan pada bulan Muharram Selatan untuk berperan aktif dalam
saja. melakukan pelestarian kebudayaan
daerah, salah satunya tradisi melemang.
Tradisi ini menjadi daya tarik
Sehingga, penelitian mengenai tradisi
tersendiri, sehingga setiap pelaksanaan
melemang ini menjadi penting sebagai
tradisi melemang dilakukan, masyarakat
bagian dari pelestarian kebudayaan
dari luar desa bahkan dari luar
daerah yang ada di wilayah Sumatera
kabupaten, ikut hadir merayakan tradisi
Selatan, khususnya di wilayah kabupaten
ini dan menikmati hidangan lemang yang
Muara Enim.
dihidangkan oleh tuan rumah. Bahkan
pada saat malam puncak perayaan Oleh sebab itulah, penelitian ini
tradisi tersebut, jalan lintas Sumatera, berbeda, walaupun ada beberapa hal yang
menjadi macet hingga tengah malam sama seperti bahan lemang itu sendiri,
karena masyarakat tumpah ruah turut dengan hasil kajian dan penjelasan di atas.
bergembira. Kebetulan juga, jalan Sehingga, penelitian tradisi dan ritual
desa Karang Raja berada di jalan lintas melemang di masyarakat Muara Enim –
Sumatera. Sumatera Selatan menjadi suatu hal yang
menarik diteliti dengan mengkaji dari
Akan tetapi, bukan kemeriahan
berbagai aspek, diantaranya nilai-nilai
dari tradisi tersebut yang menjadi
budaya dan agama yang disampaikan
fokus penelitian ini. Penelitian ini lebih
dari tradisi ritual melemang tersebut.
memfokuskan pada nilai-nilai budaya
dan agama apa saja yang bisa diambil Berdasarkan penjelasan di atas,
dari tradisi melemang ini, yang tentu saja maka ada beberapa rumusan yang terkait
dapat memberikan sumbangan untuk penelitian ini, antara lain :
dunia pengetahuan, khususnya mengenai 1. Apa itu tradisi melemang?
tradisi dan budaya lokal, dan sebagai
2. Nilai-nilai budaya dan agama apa saja
pedoman kehidupan bermasyarakat.
yang disampaikan dalam tradisi dan
Hal ini sejalan dengan Rencana Strategis
ritual melemang ?
(renstra) Kementerian Agama tahun
2015-2019, yakni (1) meningkatkan Penelitian ini bertujuan untuk
kualitas pemahaman dan pengamalan mendeskripsikan nilai-nilai budaya
ajaran agama, sehingga agama dapat dan agama dalam tradisi dan ritual
berfungsi dan berperan sebagai landasan melemang yang ada di desa Karang Raja
moral dan etika dalam pembangunan, dan desa Kepur Kabupaten Muara
(2) meningkatkan kerukunan umat Enim – Sumatera Selatan. Manfaat yang
beragama. Hal ini juga sejalan dengan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini
peraturan daerah yang dikeluarkan terungkapnya nilai-nilai budaya dan
oleh Gubernur propinsi Sumatera agama yang terdapat dalam tradisi dan
Selatan Nomor 4 tahun 20152 yang telah ritual melemang yang ada di masyarakat
1 Sahudin merupakan Ketua Pemangku Adat desa yang bisa dijadikan pedoman dalam
atau Imam Desa Tamblang Desa Karang Raja Kecamatan kehidupan bermasyarakat.
Muara Enim.
2 Lihat Peraturan Gubernur Provinsi Sumatera
Selatan Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Daerah tertanggal 20 Maret 2015.

HARMONI Juli - Desember 2019


Nilai-Nilai Budaya dan Agama dalam Tradisi Melemang di Desa Karang Raja dan Desa Kepur, Muara Enim,
Sumatera Selatan
315

Berdasarkan hasil kajian Selain itu, Japarudin (2017) juga


kepustakaan (literature review) yang ada, menulis tentang “Tradisi Bulan Muharram
peneliti belum menemukan penelitian di Indonesia”. Dalam tulisannya tersebut,
ataupun kajian yang secara khusus Japarudin mengangkat 4 (empat) tradisi
mengangkat mengenai tradisi melemang masyarakat Indonesia yang ada di
di wilayah Muara Enim – Sumatera bulan Muharram, yaitu tradisi bulan
Selatan. Berdasarkan informasi dari Asan Usin yang ada di Aceh, tradisi
sdri. Binti Musyrikah, pustakawati Tabuik di Sumatera Barat, tradisi Tabut
pada perpustakaan Fakultas Adab dan di Bengkulu dan tradisi kirab di keraton
Humaniora UIN Raden Fatah Palembang, Yogyakarta dan Solo. Tulisan tersebut
dari 253 judul skripsi mahasiswa, belum mendeskripsikan keberagaman tradisi
ada penelitian atau kajian serupa3. masyarakat dalam perspektif sejarah dan
Begitu pula halnya dengan hasil budaya.
penelusuran yang peneliti lakukan di
Syarbini (2011: 174-175) menulis
web perpustakaan Universitas Indonesia
tentang “Islam dan Kearifan Lokal (Local
melalui reporsitory UI, peneliti belum
Wisdom) : Menelusuri Nilai-Nilai Islam
menemukan kajian atau penelitian yang
dalam Praktek Ritual Adat Masyarakat
serupa dengan judul peneliti sampai
Banten”. Dalam tulisannya tersebut,
dengan proposal ini disusun.
Syarbini mengangkat salah satu tradisi
Sutarto (2016) menulis tentang keagamaan yang dilakukan masyarakat
“Kearifan Budaya Lokal dalam Pengutan di Banten, terutama di perkampungan,
Tradisi Malemang di Tengah Masyarakat pada bulan Muharram berupa pesta obor
Modernisasi di Sungai Keruh Musi pada malam ke-1 (satu) bulan Muharram
Banyuasin – Sumatera Selatan”. Dalam sambil membaca shalawat. Hal ini sebagai
tulisannya tersebut, Sutarto menemukan upaya mensyiarkan dan mengagungkan
bahwa tradisi malemang yang ada di Allah Swt. Mereka juga melaksanakan
masyarakat kecamatan sungai Keruh Musi puasa, yang menurut masyarakat muslim
Banyuasin merupakan tradisi adat dalam Banten adalah puasa Sunnah, selama 10
bentuk pembakaran lemang di pagi hari hari di awal bulan Muharram. Puncak
oleh setiap penduduk di desa Kertayu. perayaan Muharram di masyarakat
Tradisi ini sebagai bentuk ekspresi untuk Banten pada hari ke-10 Muharram
menolak balak yang terjadi pada masa mengadakan selametan dengan membuat
kolonial dengan wabah penyakit yang bubur suro yang dibagikan ke kerabat dan
ada di masyarakat. Sehingga, tradisi tolak tetangga terdekat.
balak yang ada di masyarakat tersebut
Peneliti juga memperoleh informasi,
dihubungkan dengan adat dan tradisi
bahwa tradisi ini di masyarakat Sumatera
malemang, syukuran pasca panen, ziarah
Barat juga dikenal dengan istilah tradisi
ke makam puyang Burung Jauh dan
malamang. Malamang adalah memasak
sebagai permohonan keselamatan.
lemang. Lemang sendiri adalah penganan
khas dari Sumatera Barat yang terbuat
3 Data tersebut dikirimkan oleh pustakawati, dari adonan beras ketan putih dan santan
sdri. Binti Musyrikah, perpustakaan Fakultas Adab yang dimasukkan ke dalam bambu.
dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang melalui
Bambu tersebut sebelumnya dialasi
email peneliti yang diterima pada hari Kamis tanggal 30
Agustus 2018. dengan daun pisang dan kemudian di
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2
316 Zulkarnain Yani

panggang di atas bara api. Biasanya atau tepung. Tidak terelakkan sekitar
lemang di sajikan dengan tapai atau mulut mereka akan cemong dengan
ketan hitam yang sudah difermentasikan. tepung ataupun arang itu. Di luar pagar
Namun, bagi masyarakat Sumatera panggung para penonton bersorak-sorai
Barat, malamang merupakan suatu terhibur: antara takjub dan lucu. Pada
tradisi. Tradisi ini biasanya dilakukan kasus yang lain para penonton akan
di saat hari-hari tertentu, seperti hari melemparkan koin atau sapu tangan
besar keagamaan atau memperingati ke tengah panggung kemudian para
hari kematian. Contohnya masyarakat penampil melemang akan mengambilnya
Pariaman Sumatera Barat, biasanya seperti halnya mengambil koin-koin di
melaksanakan tradisi malamang pada atas: saweran pada pertunjukan melemang
saat acara Maulid Nabi. Tradisi ini lahir (Dedi Arman, 8 Agustus 2016).
tak lepas dari peran Shaykh Burhanuddin,
Ulama asal Pariaman. Saat itu Shaykh METODE
Burhanuddin melakukan perjalanan
ke daerah pesisir Minangkabau untuk Penelitian ini menggunakan metode
menyiarkan agama Islam, terutama di kualitatif deskriptif yang dilakukan
daerah Ulakan – Pariaman (Eda Ervina, 8 dalam 2 (dua) tahapan; pertama tahapan
Mei 2014). penjajakan; tahapan ini dilakukan selama
5 (lima) hari yang bertujuan untuk
Selain itu, di masyarakat desa mendapatkan informasi awal mengenai
Penaga – Teluk Bintan, melemang tradisi dan ritual melemang di wilayah
merupakan seni pertunjukkan yang Muara Enim. Pada saat studi penjajakan
menitikberatkan pada kelenturan tubuh dilakukan, masyarakat Desa Karang Raja
dengan membuat gerakan-gerakan sedang melaksanakan tradisi melemang
kayang. Tentu untuk melakukan gerakan di tanggal 9 (sembilan) Muharram.
kayang semacam itu butuh kelenturan Sehingga peneliti melihat langsung tradisi
tubuh. Mungkin karena kelenturan tubuh tersebut dan memperoleh dokumentasi
maka disamakan dengan sifat lemang; pelaksanaan tradisi tersebut. Sedangkan di
kenyal dan lentur. Lemang sendiri sejenis Desa Kepur, tradisi melemang dilaksanakan
makanan berbahan pulut (ketan) yang pada tanggal 11 dan 12 bulan Muharram.
cukup akrab bagi masyarakat Melayu, Pada tanggal tersebut, peneliti sudah
baik di Sumatera maupun kepulauan. berada di Jakarta, sehingga peneliti
Melemang sendiri adalah seni akrobatik memperoleh dokumentasi tradisi tersebut
yang mempertunjukkan kelenturan dan dari Saudara Rifa Kalbadri, wartawan
ketahanan tubuh penampilnya. Pada TVRI Stasiun Pemancar Muara Enim.
pertunjukannya para penampil dalam
posisi tubuh kayang dengan menjadikan Tahap kedua berupa pengumpulan
tangan dan kakinya sebagai tumpuannya data selama 15 (lima belas) hari.
berjalan mendekati biji kelapa atau talam Pada tahapan ini, peneliti melakukan
yang diletakkan di tengah panggung. pengumpulan data dengan metode
Tetap dalam posisi kayang mereka berupa wawancara dengan beberapa
mengambil koin-koin tersebut dengan narasumber utama, seperti Bapak Sahudin
cara menggigitnya. Walhasil bagian (Ketua Pemangku Adat atau Imam Desa
mulutnya bersentuhan dengan arang Karang Raja, Bapak H. Himyah (sesepuh

HARMONI Juli - Desember 2019


Nilai-Nilai Budaya dan Agama dalam Tradisi Melemang di Desa Karang Raja dan Desa Kepur, Muara Enim,
Sumatera Selatan
317

masyarakat desa Karang Raja berusia (dikenal dengan sebutan Puyang Santri)
94 tahun), Ahmad Syukri (sesepuh untuk mengadakan acara berupa sedekah
masyarakat desa Kepur berusia 93 tahun), dusun yang berfungsi sebagai penangkal
Burhalim (Ketua Pemangku Adat desa bencana yang akan ada di masyarakat.
Kepur), Ahmad Bidin (Imam desa dan Puyang Santri diperintahkan untuk
pewaris kepuyangan di desa Kepur) dan membuat 3 (tiga) lemang yaitu lemang
Kepala Desa Karang Raja. gemuk, lemang manis dan lemang sempaloh.
Selain lemang yang disajikan untuk acara
sedekah tersebut, dibuat juga serabi merah
PEMBAHASAN
dan putih, bubur merah dan putih, bunga
Deskripsi Tradisi dan Ritual Melemang serawe, nasi kunyit, ayam bakar, yang
kesemuanya tersebut setelah selesai masak
Tradisi melemang merupakan tradisi dibawa ke langgar dengan mengundang
adat yang ada di Desa Karang Raja dan seluruh masyarakat desa dan dilanjutkan
Desa Kepur – Muara Enim. Tradisi ini dengan ritual berupa pembacaan surah
dilaksanakan setiap bulan Muharram al-Fatihah yang dipimpin oleh Imam
oleh masyarakat di dua desa tersebut. desa. Setelah menerima perintah tersebut,
Pelaksanaan melemang ini menjadi tradisi Puyang Santri memerintahkan Lebi Mah
yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu Kute Alam dan Abdul Hasim bin Umar
yang diprakarsai oleh para Puyang di (Puyang Serawi) agar mengambil bambu
dua desa tersebut sebagai wujud dari muda untuk membuat lemang 3 (tiga)
rasa syukur dan ungkapan keselamatan warna tersebut.
bagi masyarakat desa. Pada pembahasan
ini, peneliti akan menggambarkan secara Tradisi melemang di Desa Karang
singkat mengenai sejarah tradisi melemang, Raja dilaksanakan pada hari ke 9
apa itu melemang dan bagaimana tradisi (sembilan) bulan Muharram yang dimulai
serta ritual keagamaan dalam melemang sejak pagi hari dengan mempersiapkan
tersebut. bahan-bahan untuk membuat lemang
yang akan dimakan bersama pada tanggal
Tradisi melemang yang ada di desa 10 Muharram. Pada tanggal 7 (tujuh)
Karang Raja sudah ada sejak zaman Muharram, masyarakat desa Karang Raja
nenek moyang hingga saat ini. Menurut melakukan ziarah ke makam-makam
pak Sahudin (8 Oktober 2018), tradisi Puyang, yaitu makam Shaykh ‘Abd al-
melemang yang ada di desa ini merupakan Jabbar atau Puyang Tamblang, makam
sarana sedekah desa untuk menolak balak Rudi Angkasa (Puyang Sesapah), makam
berupa banjir yang akan melanda desa Kromo Widjoyo (Puyang Santri) dan
tersebut. Pada tahun 1034, saat terjadi makam Puyang Rangga Lawe.
banjir bandang di wilayah Sungai Enim,
Shaykh ‘Abd al-Jabbar, dikenal dengan Pada pagi hari tanggal 10
sebutan Puyang Tamblang, pada saat Muharram, rangkaian tradisi melemang
itu sebagai KK Demang di wilayah Desa dilanjutkan dengan ritual keagamaan
Tamblang memanggil Kromo Widjoyo4 yang dilakukan antara lain; pembacaan
surah Yasin, istighashah, do’a bersama
4 Kromo Widjoyo (Puyang Santri) dalam dan ceramah agama mengenai sejarah
struktur pemerintahan di kerajaan Kute Pelawi
merupakan pengayom dan pembina masyarakat ke (Puyang Serawi) merupakan pembantu (ajudan) dari
ajaran Islam Lebi Mah Kute Alam dan Abdul Hasim bin Kromo Widjoyo (Puyang Santri).

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2


318 Zulkarnain Yani

melemang di desa Karang Raja yang Tradisi melemang di desa Karang


dipimpin oleh Imam Desa atau Ketua Raja saat ini sudah seperti pesta desa,
Pemangku Adat. Akan tetapi, prosesi dimana pada malam 10 Muharram,
ritual keagamaan tersebut sudah semua masyarakat desa di 7 (tujuh)
dilakukan oleh masyarakat desa Karang kampung tumpah ruah keluar dari
Raja. Akan tetapi, ritual yang harusnya rumah mereka untuk merayakan tradisi
dilakukan sudah tidak dilaksanakan lagi tersebut dengan menampilkan organ
oleh masyarakat desa Karang Raja. Tidak tunggal di beberapa kampung. Warga
ada penjelasan yang pasti, baik dari Ketua masyarakat Desa Karang Raja yang
Pemangku Adat maupun Kepala Desa, berada di daerah lainnya, biasanya pada
mengenai mengapa ritual keagamaan, pulang kampung untuk merayakan
yang menjadi kesatuan dalam tradisi tradisi melemang ini, bahkan masyarakat
melemang di desa Karang Raja ini, sudah dari desa lainpun berdatangan ke desa
tidak dilaksanakan lagi. Karang Raja untuk menikmati lemang.
Pesta lemang ini biasanya selesai sampai
Berdasarkan penjelasan yang
tengah malam, setiap tamu yang datang
peneliti peroleh dari H. Himyah , beliau
5
pada saat itu diberi oleh-oleh berupa
mengatakan bahwa tradisi melemang yang
lemang yang jumlahnya bervariasi, ada
ada sekarang sudah tidak sesuai dengan
yang membawa 3 (tiga) buah lemang
tradisi yang dilakukan pada zaman dulu,
bahkan ada yang membawa sampai 10
bahkan beliau sedih dengan diadakannya
(sepuluh) lemang.
pertunjukkan organ tunggal yang sudah
jauh dari tradisi adat. Pak Himyah Adapun tradisi melemang yang
mengatakan bahwa tradisi melemang ada di Desa Kepur, menurut penjelasan
dilakukan di tanggal 10 Muharram pada Bapak Burhalim6, belum ada informasi
jam 02.00 malam hingga menjelang shalat pasti mengenai sejarah melemang di
Subuh. Setelah shalat subuh, masyarakat desa Kepur. Informasi yang ada justru
melakukan ritual keagamaan berupa mengenai sejarah Desa Kepur dan
pembacaan surah Yasin, istighashah, do’a masuknya ajaran agama Islam ke Desa
bersama dan ceramah agama di masjid Kepur yang dibawa oleh Muhammad
desa dengan membawa lemang yang Daud Ibn Ibrahim Temenggung, yang
sudah dimasak untuk dimakan bersama. lebih dikenal dengan sebutan Puyang
Tradisi dan ritual tersebut sudah tidak Temenggung, pada tahun 1314 H7.
dilakukan sebagaimana mestinya sejak
tahun 1980an. Bahkan tradisi melemang
langsung dibakar dengan mencampurkan
bahan ketan putih ke dalam bambu yang
dibungkus dengan daun pisang dan
bahan-bahan lainnya bukan dimasak di
dalam dandang seperti sekarang.
6 Wawancara dengan Pak Burhalim tanggal 10
5 Wawancara dengan Bapak H. Himyah tanggal Oktober 2018, beliau Ketua Pemangku Adat desa Kepur –
01 September 2018. Beliau berusia 94 tahun, merupakan Muara Enim.
sesepuh masyarakat desa Karang Raja yang masih hidup 7 Informasi mengenai para pembawa ajaran
di desa tersebut. Memori beliau mengenai tradisi dan agama Islam ke desa Kepur tertulis dalam naskah kuno
ritual melemang masih sangat kuat sekali meskipun secara berupa Gelumpai kepingan-kepingan bilah bambu yang
fisik sudah sulit untuk berjalan. masih disimpan oleh Imam Desa.

HARMONI Juli - Desember 2019


Nilai-Nilai Budaya dan Agama dalam Tradisi Melemang di Desa Karang Raja dan Desa Kepur, Muara Enim,
Sumatera Selatan
319

kembang 7 rupa/warna dan air hujan


yang ditampung pada tanggal 14 tiap
bulannya.

Selain membawa lemang dan


barang-barang peninggalan Puyang,
para ahli waris dan kepuyangan juga
membawa makanan yang berbeda-beda
masing-masing sebanyak 4 (empat) jenis.
Hal tersebut menggambarkan 4 (empat)
orang Puyang yang ada di Desa Kepur,
yaitu Puyang H. Muhammad Daud
bergelar Temenggung, Puyang Ario Suro
Foto : Naskah Kuno “Gelumpai” dalam bergelar Kumbang Sakti, Puyang Begedih
kepingan-kepingan bilah bambu dan Puyang Alim Dewa.

Berdasarkan cerita yang turun Adapun ke empat jenis makanan


menurun, tradisi melemang di Desa Kepur yang dibawa untuk dihidangkan antara
ini sebagai sedekah dusun agar terhindar lain; 4 ekor ayam yang dimasak baghi (ayam
dari malapetaka dan marabahaya yang kuning + santan); 4 buah apam putih dan
akan menimpa desa. Dalam rangka merah; 4 bubur putih dan merah; ketan
melaksanakan sedekah dusun tersebut, putih, merah dan hitam; dan nasi gemuk.
maka masyarakat membuat tiga buah jenis Setelah prosesi ritual yang dipimpin
lemang. Adapun waktu melemang di Desa oleh Imam Desa selesai dilaksanakan,
Kepur ini dilaksanakan dilaksanakan masyarakat mulai menikmati hidangan
pada tanggal 11 Muharram dimulai yang sudah disediakan.
pada jam 5 (lima) sore hingga menjelang
Adapun bahan-bahan yang
subuh. Keesokan harinya, tanggal 12
dibutukan untuk membuat lemang, antara
Muharram diawali dengan ziarah ke
lain; beras ketan putih dan hitam, garam
makam Muhammad Daud Temenggung
secukupnya, bambu muda, daun pisang,
atau Puyang Temenggung.
santan kelapa, bawang merah, gula pasir
Setelah salat zuhur, masyarakat dan udang kering. Proses pembuatan
membawa lemang yang sudah dimasak lemang, yaitu mencuci beras ketan terlebih
ke masjid bersama-sama dengan Imam dahulu, membersihkan daun pisang,
Desa untuk melakukan ritual keagamaan kemudian daun pisang yang sudah
di Masjid. Adapun rangkaian ritual bersih tadi dimasukkan ke dalam bambu
yang dilakukan di masjid, antara lain ; muda yang yang dipotong seukuran ruas
membaca surah Yasin, tahlilan, bercerita bambu. Untuk membuat lemang putih,
tentang sejarah desa dan kepuyangan dan santan kelapa dimasukkan ke dalam
do’a, setelah itu membersihkan barang- kuali hingga mendidih kemudian beras
barang peninggalan Puyang secara ketan putih dimasukkan ke santan kelapa
bergiliran. Barang-barang peninggalan dicampur dengan garam secukupnya,
puyang yang dibersihkan berupa keris, bawang goreng merah atau udang kering.
pedang, tombak dan penutup dada Proses mengaduk adonan ini disebut
dengan menggunakan 3 buah jeruk nipis, dengan ngaron. Aduk adonan tersebut

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2


320 Zulkarnain Yani

hingga air santan menyusut. Dinginkan Nilai-Nilai Budaya dan Agama dalam
adonan tersebut, setelah dingin, baru Tradisi Melemang.
adonan tadi dimasukkan ke dalam bambu
Dalam pengamatan peneliti,
muda yang sudah diberi daun pisang.
masyarakat Desa Karang Raja dan Desa
Setelah itu, bambu tersebut dimasukkan
Kepur sangat menjunjung tinggi nilai-
ke dalam dandang yang sudah disiapkan,
nilai adat dan budaya sebagai kearifan
proses memasak dengan menggunakan
lokal. Kearifan lokal merupakan gagasan-
dandang ini selama 2 – 3 jam.
gagasan setempat (lokal) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan,bernilai baik,
yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya. Dalam kearifan lokal
terkandung pula kearifan budaya
lokal. Kearifan budaya lokal sendiri
adalah pengetahuan lokal yang sudah
sedemikian menyatu dengan sistem
kepercayaan, norma, dan budaya serta
diekspresikan dalam tradisi dan mitos
yang dianut dalam jangka waktu yang
lama (Yunus, 2015; 1).

Dalam hal ini, salah satu kearifan


lokal dalam bentuk budaya lokal tradisi
melemang Desa Karang Raja dan Desa
Kepur mengandung nilai-nilai budaya
dan agama yang baik, yang selalu
Foto : memasak lemang dalam dandang tertanam, diikuti dan dilaksanakan
oleh seluruh masyarakat dengan penuh
Setelah itu, lemang yang sudah
kesadaran dan keyakinan yang begitu
setengah matang tadi, dibakar ditempat
mendalam. Oleh karena itu, ada beberapa
yang sudah disiapkan dengan kemiringan
nilai budaya yang dapat kita ambil dari
45o. Proses membakar lemang ini selama 1
tradisi melemang, yang tentu saja bisa
– 2 jam. Hal ini dilakukan agar lemang yang
dijadikan rujukan atau pedoman dalam
sudah dimasak dengan menggunakan
kehidupan sehari-hari di masyarakat.
dandang tadi benar-benar masak.
Nilai-nilai budaya tersebut,
pertama, silaturahmi. Salah satu nilai
budaya yang bisa diambil dari tradisi
melemang di desa Karang Raja dan Kepur
adalah silaturahmi. Dalam KBBI (2008:
1449) silaturahmi berarti tali persahabatan
dan persaudaraan. Masyarakat yang ada
di desa Karang Raja dan desa Kepur bukan
orang lain. Mereka memiliki hubungan
darah antara satu sama lainnya. Hal ini
Foto : pada saat lemang dibakar. bisa dilihat dengan keberadaan para

HARMONI Juli - Desember 2019


Nilai-Nilai Budaya dan Agama dalam Tradisi Melemang di Desa Karang Raja dan Desa Kepur, Muara Enim,
Sumatera Selatan
321

Puyang (leluhur mereka) yang ada di biasanya mereka menikmati hidangan


2 (desa) tersebut. Di desa Karang Raja lemang di teras rumah dan duduk di atas
4 (empat) orang Puyang, antara lain tikar yang sudah disiapkan oleh tuan
: Shaykh ‘Abd al-Jabbar lebih dikenal rumah. Pemandangan ini sangat menarik
dengan sebutan Puyang Tamblang; sekali karena warga desa Karang Raja dan
Rudi Angkasa bergelar Raden Mas Raga Kepur dengan suka rela menerima para
Putih yang lebih dikenal dengan sebutan tamu “yang tidak diundang” tersebut
Puyang Sesapah; Kromo Widjoyo lebih tanpa melihat status sosial yang ada.
dikenal dengan sebutan Puyang Santri;
Kedua, Gotong-royong; Manusia
dan .... Begitu juga halnya dengan desa
sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup
Kepur yang mempunyai 4 (empat)
sendiri, melainkan memerlukan orang
orang Puyang, yaitu; Muhammad Daud
lain dalam berbagai hal, seperti bergaul,
Temenggung dikenal dengan sebutan
bekerja, tolong menolong, kerja bakti,
Puyang Temenggung; Ario Suro bergelar
keamanan, dan lain-lain. Kerjasama yang
Kumbang Sakti dikenal dengan sebutan
dilakukan secara bersama-sama disebut
Puyang Ario Suro; Puyang Begedih; dan
sebagai gotong-royong, akhirnya menjadi
Puyang Alim Diwo.
strategi dalam pola hidup bersama yang
Sudah menjadi kebiasaan setiap saling meringankan beban masing-
tahunan, selain hari raya, menjelang masing pekerjaan (Gurupendidikan,
dilaksanakannya tradisi melemang, warga 2018).
desa yang tinggal diluar desa Karang
Budaya gotong royong adalah
Raja dan Kepur atau merantau, akan
bagian dari kehidupan berkelompok
mudik ke desa mereka masing-masing
masyarakat Indonesia, dan merupakan
untuk ikut serta dalam tradisi melemang
warisan budaya bangsa. Nilai dan
tersebut. Bahkan, warga desa yang tidak
perilaku gotong royong bagi masyarakat
mudik pada saat melemang, mereka
Indonesia sudah menjadi pandangan
akan dikirimi lemang. Ini sebagai bentuk
hidup, sehingga tidak bisa dipisahkan
ungkapan jalinan silaturahmi yang tidak
dari aktivitas kehidupannya sehari-hari.
akan putus walaupun sudah berada
Gotong royong memiliki pengertian
merantau di daerah lain. Tradisi seperti
sebagai bentuk partisipasi aktif setiap
ini sudah berjalan sejak dahulu dan
individu untuk ikut terlibat dalam
hingga sekarang masih terus dilestarikan.
memberi nilai tambah atau positif
Silaturahmi bukan hanya dengan kepada setiap obyek, permasalahan atau
sesama warga desa itu saja, pada saat kebutuhan orang banyak di sekelilingnya.
melemang, masyarakat yang ada di Partisipasi aktif tersebut bisa berupa
desa lain pun akan berdatangan ke bantuan yang berwujud materi,
Desa Karang Raja dan Desa Kepur. keuangan, tenaga fisik, mental spiritual,
Mereka yang datang turut bersuka ria, ketrampilan, sumbangan pikiran atau
bergembira dan menikmati hidangan nasihat yang konstruktif, sampai hanya
lemang. Biasanya warga desa akan berdoa kepada Tuhan (Rochmadi, 2012:
mengajak masyarakat dari desa lain, 1 – 4).
meskipun belum mengenal satu sama
Budaya gotong royong ini dapat
lain, untuk masuk dan menikmati lemang
dilihat pada saat masyarakat kedua
ditemani dengan kopi khas muara enim,
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2
322 Zulkarnain Yani

desa tersebut mulai mempersiapkan ngaron, memasak beras ketan putih dan
segala kebutuhan dan peralatan yang santan kelapa dalam kuali. Yang satu
akan digunakan pada saat melemang. mengaduk-aduk adonan beras ketan
Anak-anak, para remaja dan orang tua dengan santan kepala dan satunya lagi
bergotong-royong, tanpa segan mereka memegang papan agar apinya tidak
terlibat aktif dalam proses pembuatan terkena tiupan angin.
lemang. Mulai dari mencari bambu muda
yang dilakukan oleh orang tua dan
dibantu oleh para remaja, mereka mencari
bambu ke pinggiran sungai yang ada
di desa sebelah. Kita juga dapat melihat
pada saat menyiapkan bambu-bambu
muda, yang sudah dipotong seukuran
ruas bambu, dengan memasukkan daun
pisang ke dalam bambu tersebut, tua
Foto : 2 warga yang saling membantu dalam
muda, pria dan wanita, bahkan anak-anak membuat adonan santan
kecil pun, tanpa disadari, ikut terlibat
aktif dalam memasukkan daun pisang ke Tentu saja, semangat saling
dalam bambu. tolong menolong juga terlihat pada saat
masyarakat kedua desa melakukan ziarah
ke makam-makam Puyang mereka.
Mereka bekerjasama membersihkan
makam-makam Puyang tersebut.
Tua-muda ikut terlibat aktif dalam
kegiatan membersihkan makam, tanpa
membedakan apakah makam tersebut
merupakan makam Puyang mereka atau
tidak, selama makam tersebut merupakan
makam Puyang desa, maka dengan
sendirinya makam tersebut dibersihkan.

Sedangkan nilai-nilai agama yang


bisa kita ambil dari tradisi melemang
berupa nilai aqidah-ibadah dan moral.
Nilai Aqidah (hablun min Allah) yang
tersampaikan dalam tradisi ini bahwa
masyarakat desa meyakini dengan
sepenuh hati bahwa segala kenikmatan
dan keselamatan yang mereka peroleh
Foto (atas dan bawah) : semuanya berasal dari Allah Swt.
Sehingga, ritual ibadah yang dilakukan
masyarakat saling membantu dalam proses
pembuatan lemang. berupa pembacaan surah Yasin, tahlilan
dan istighashah sebagai ungkapan bahwa
Semangat gotong royong juga pertolongan itu hanya Allah Swt saja
ditunjukkan pada saat 2 (dua) orang yang dapat memberikan, tidak ada
remaja yang saling membantu dalam makhluk yang lain di dunia ini. Selain
HARMONI Juli - Desember 2019
Nilai-Nilai Budaya dan Agama dalam Tradisi Melemang di Desa Karang Raja dan Desa Kepur, Muara Enim,
Sumatera Selatan
323

itu, rangkaian ritual tersebut sebagai wanita, bujang dan gadis, yang saling
manifestasi rasa syukur bahwa desa selalu beramah tamah satu sama lainnya.
diberikan keselamatan dan terhindar dari Lemang sempalo; memiliki arti yang
musibah yang tidak diinginkan. Hal ini khas, yang melambangkan budaya adat
sejalan dengan tujuan dari melemang yaitu istiadat yang penuh keakraban sesuai
sebagai tolak balak dengan mengadakan dengan norma-norma agama yang
sedekah dusun. Serta mengingatkan berlaku, serta selalu saling menjaga
kepada masyarakat agar ingat kepada kehormatan dan aib sesama, dan lemang
Allah Swt dengan menjalankan segala gemuk; melambangkan kesucian guna
yang diperintahkan dalam agama memperdalam ajaran syari’at agama
Islam dan menjauhkan dari segala yang Islam dengan memperkokoh hubungan
dilarang oleh agama Islam. silaturahmi dengan sesama insan yang
beriman dan bertaqwa
Nilai ibadah yang bisa kita ambil
berupa hubungan baik dengan sesama UCAPAN TERIMA KASIH
warga (hablun min al-Nas). Dengan adanya
Pada kesempatan ini, penulis ingin
tradisi melemang ini akan mempererat
mengucapkan terima kasih kepada seluruh
hubungan sesama umat manusia, apalagi
pihak yang telah membantu kelancaran
dengan sesama desa. Hal tersebut terlihat
proses penelitian ini, mulai dari tahapan
pada saat menyambut orang yang tidak
persiapan, pelaksanaan penjajakan dan
dikenal sama sekali. Tidak ada perasaan
pengumpulan data, pengolahan data
curiga dengan orang tersebut, bahkan
dan pelaksanaan seminar hasil penelitian
orang yang baru dikenal tersebut disambut
ini. Tak lupa, peneliti menyampaikan
dan dihidangkan dengan hidangan lemang
ucapan terima kasih kepada Kepala Balai
beserta kopi. Hal tersebut memberikan
Litbang Agama Jakarta beserta seluruh
pemahaman pada anak untuk saling
jajarannya, struktural dan pelaksana
peduli dengan tetangganya, tidak
(TU BLAJ) yang telah membantu selama
mempunyai sifat kikir dan pelit dan selalu
proses penelitian ini. Selain itu, Kepala
berbagi dengan sesama sebagai aktualisasi
Kementerian Agama Kabupaten Muara
dari nilai-nilai ajaran Islam.
Enim, Kasi Bimas Islam dan seluruh
jajarannya, Sekretaris Dinas Pariwisata
SIMPULAN
Kabupaten Muara Enim, Sekretaris
Tradisi melemang yang ada di Desa Kecamatan Muara Enim, Kepala Desa
Karang Raja dan Desa Kepur merupakan Karang Raja dan Desa Kepur, Pemangku
salah satu budaya lokal yang merupakan Adat Desa Karang Raja dan Desa Kepur,
kearifan lokal masyarakat setempat, yang Imam Desa Karang Raja dan Desa Kepur,
bertujuan sebagai tolak balak dengan juga Sesepuh Desa Karang Raja dan Desa
mengadakan sedekah dusun berupa Kepur. Penulis juga menyampaikan
lemang. Lemang sendiri merupakan terima kasih kepada Mitra Bestari dan
makanan khas tradisional orang Melayu Pengelola Jurnal Harmoni, Puslitbang
dan sangat disukai. Lemang yang dibuat Bimas Agama dan Layanan Keagamaan,
di kedua desa tersebut ada 3 (tiga) Badan Litbang dan Diklat Kementerian
jenis: lemang manis; sebagai lambang Agama RI, yang telah memberikan
perkumpulan sanak saudara seisi desa catatan dan kritik hingga tulisan ini bisa
atau kampung, tua muda, pria dan diterbitkan pada edisi kali ini.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2
324 Zulkarnain Yani

DAFTAR ACUAN

Abdullah, Yusuf dan Abisyuja’i Said., 1986. “Sejarah Islam Masuk ke Kabupaten Muara
Enim”. dalam Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. Editor K.H.O
Gadjahnata dan Sri-Edu Swasono. Jakarta. UI-Press.
Ambary, Hasan Muarif., 1998. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis
Islam Indonesia. Jakarta. Logos Wacana Ilmu
Japarudin, 2017. “Tradisi Bulan Muharram di Indonesia”, Jurnal Tsaqofah dan Tarikh,
Volume. 2 Nomor. 2, Juli – Desember
Rochmadi, N., 2012. “Menjadikan Nilai Budaya Gotong-Royong Sebagai Common
Identity dalam Kehidupan Bertetangga Negara-Negara ASEAN”. Repository
Perpustakaan Universitas Negeri Malang. 20/11/2012
Sutarto, Dendi., 2012. “Kearifan Budaya Lokal dalam Penguatan Tradisi Malemang di
Tengah Masyarakat Modernisasi di Sungai Keruh Musi Banyuasin Sumatera
Selatan”. Makalah Seminar Kepemimpinan Kepemudaan Madya Kementrian
Pemuda dan Olahraga RI - PUSKAKEM Universitas Sriwijaya di Hotel Aston
Palembang, 2-6 Oktober 2012
Syarbini, Amirullah., 2011. “Islam dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) : Menelusuri Nilai-
Nilai Islam dalam Praktek Ritual Adat Masyarakat Banten”. Makalah pada The
11th Annual Conreference on Islamic Studies” Merangkai Mozaik Islam dalam
Ruang Publik untuk Membangun Karakter Bangsa”. Bangka-Belitung. 10 – 13
Oktober.
Yunus, Abd. Rahim., 2015. “Nilai-Nilai Islam dalam Abd. Rahim Yunus Budaya dan
Kearifan Lokal (Konteks Budaya Bugis)”. Jurnal Rihlah. Vol. II No. 1 Mei 2015.

Internet

Arman, Dedi., (2016), “Melemang: Tubuh yang Kayang”. https://kebudayaan.kemdikbud.


go.id/bpnbkepri/melemang-tubuh-yang-kayang/ dikutip tanggal 3 September
2018.

Ervina, Eda., (2014). “Cerita Tradisi Malang dari Sumatera Barat”. https://www.merdeka.
com/peristiwa/cerita-tradisi-malamang-dari-sumatera-barat.html . dikutip tanggal
3 September 2018.
Gurupendidikan. 2018. “Gotong Royong: Pengertian dan Contohnya; Manfaat, Nilai,
Tujuan”. https://www.gurupendidikan.co.id/gotong-royong-dan-contohnya/,
dikutip tanggal 28 Oktober 2018.

HARMONI Juli - Desember 2019

Anda mungkin juga menyukai