Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH FIQH MUNAKAHAT & MAWARIS

SEBAB MENERIMA DAN PENGHALANG MENERIMA WARISAN

Oleh :
Kelompok 9 :

Wahyu Kusuma Mukti

Dosen Pengampuh:
Firdaus K, M.A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN FATAH
PALEMBANG
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum kewarisan pada dasarnya Islam secara keseluruhan. Hukum
kewarisan merupakan terjemahan dari fiqh mawaris yang berarti berpindahnya
harta orang yang wafat kepada orang yang masih hidup. Pembagian itu lazim
disebut ilmu faraidh (dalam bahasa arab) yaitu semua yang berhak menerima
bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam.1
Proses pemindahan harta terlaksana apabila beberapa unsurnya
terpenuhi. Adapun beberapa unsurnya:
1. Ada pewaris.
2. Harta warisan
3. Ahli waris.
Hijab waris/ mani’ merupakan gugurnya hak seseorang untuk mewarisi
peninggalan harta dikarenakan keberadaan penghalang. Namun, tidak adanya
penghalang tidak berarti seseorang diberikan hak waris. Dengan maksud lain,
terhalangnya waris adalah perbuatan setelah adanya sebabsebab diwaris yang
digunakan diwariskannya harta peninggalan oleh seseorang.2
Di antara penghalang kewarisan yang disepakati dalam hukum waris
Islam teradapat tiga (3) jenis: perbudakan, pembunuhan dan berlainan agama.
Adanya pembaharuan hukum Islam di Indonseia, terkhusus didalam Kompilasi
Hukum Islam pada buku ke II yang menerangkan tentang kewarisan terdiri dari
pada 6 bab dan 44 pasal sebagai naungan hakim di bawah naungan Peradilan
Agama. Adapun pasal 173 menyatakan bahwa seseorang terhalang menjadi ahli
waris dari pewarisnya dengan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap di hukum: Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang telah, dihukum
karena :

1
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, 1 st ed (Bandung:CV.Pustaka Setia,2009),hlm. 13.
2
Komite Fakultas Syari’ah Al-Azhar Mesir, ‘Ahkam Al-Mawarits Fi Al-Fiqhi Al-Islam,
Diterjemahkan Addys Aldiar, Faturrahma. Hukum Waris,(Jakarta:Senayan Abadi Publishing,2004),hlm.
30.
1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat pada pewaris.
2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan kejahatan yang di ancam dengan hukuman lima tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat. 3
Bila membandingkan kepada dasar hukum kewarisan yang tertera pada
alQuran dan Sunnah tampak adaya perbedaan yang cukup mendasar. Perbedaan
terebut ialah terdapat pada ayat a dan b yang mencantumkan perilaku fitnah,
mencoba membunuh dan penganiayaan berat sebagai alasan terhalangnya hak
mendapatkan waris dari ahli waris dalam pasal 173 Kompilasi Hukum Islam.
Ketentuan hukum pada waris diambil daripada dasar hukum ketentuan alQuran
dan Hadits, ketiga penghalang kewarisan; 1. Percobaan pembunuhan, 2.
Penganiayaan Berat dan 3. Fitnah tidak terdapat dalam redaksi alQuran, Hadits
maupun dalam bahasan fiqh sebagai penghalang waris. Ketiga penghalang yang
terdapat dalam KHI juga terlihat bertentangan dengan salah satu faktor
kewariasn yaitu pewaris.
Dinyatakan pembunuhan dalam kategori penghalang kewarisan huruf a
sejalan dengan aturan hukum kewarisan Islam yang bersumber dari hujjah yang
sahih, namun dijadikannya percobaan pembunuhan, penganiayaan berat dan
fitnah sebagai penghalang mewarisi merupakan ketentuan baru yang terdapat
dalam KHI. Bila dicermati ketiga kategori penghalang kewarisan ini, pewaris
berarti belum meninggal dunia. Sedangkan hakikat berpindahnya harta dari
pewaris kepada ahli waris apabila pewaris telah meninggal. Pada percobaan
pembunuhan dan penganiayaan pewaris disiksa langsung oleh calon waris, dan
terdapat memfitnah pewaris dalam putusan hakim pengadilan dengan tuduhan
palsu calon ahli waris.4
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja sebab menerima hak waris ?
2. Apa saja sebab penghalang menerima hak waris ?
3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam, 2nd ed (Yogyakarta:Pustaka Yustisia,2009),hlm. 19.
4
Hajar M,Dimensi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,1 st ed (Pekanbaru,2008),hlm. 111.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kewarisan Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata waris berarti Orang
yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. 5 Di
dalam bahasa Arab kata waris berasal dari kata ‫اثرو‬-‫ثري‬-‫ ثرو‬yang artinya
adalah Waris. Contoh, ‫ ثرو هابا‬yang artinya mewaris harta (ayahnya).6
Waris menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang
peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta
akibatnya bagi para ahli warisnya.7dan juga berbagai aturan tentang perpidahan
hak milik, hak milik yang dimaksud adalah berupa harta, seorang yang telah
meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain waris disebut juga
dengan faraid. Yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam
kepada semua yang berhak menerimanya dan yang telah di tetapkan
bagian bagiannya.8
Dari pengertian di atas dapat di tarik kesimpulan waris adalah peralihan
berupa harta seorang yang telah meninggal dunia kepada pihak yang berhak
menerimanya yaitu ahli waris.
B. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam
Dalam kewarisan Islam ada beberapa asas yang berkaitan dengan
peralihan harta kepada ahli waris, cara pemililkan harta oleh yang
menerima kadar jumlah harta dan waktu terjdinya peralihan harta. Asas-
asas tersebut yaitu :
1. Asas Ijbari
Asas Ijbari ialah pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah. Tanpa

5
Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,.ed.3 .( jakarta: balai
pustaka 2001)hal.. 1386.
6
,Ahmad Warson Munawwir. Kamus Al Munawwir (pustaka progressif, Surabaya,
thun1997,)hal. 1634
7
Effendi Perangin, Hukum Waris,(Jakarta: Rajawali Pers ,2008), hal.3
8
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, (Bandung :Pustaka setia, 2012), hal. 13
digantungkan kepada kehendak pewaris dan ahli warisnya dan asas ini dapat
dilihat dari berbagai segi yaitu:9
a. Dari segi pewaris, mengandung arti bahwa sebelum meninggal ia
tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. Apa pun kemauan pewaris
terhadap hartanya, maka kemauannya dibatasi oleh ketentuan yang di
tetapkan oleh Allah. Oleh karena itu sebelum meninggal Ia tidak
perlu memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartanya,
kerena dengan meninggalnya seseorangsecara otomatis hartanya
beralih kepada ahli warisnya.
b. Dari segi peralihan harta, mengandung arti bahwa harta orang yang
meninggal itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan oleh siapa-
sapa kecuali oleh Allah. Oleh karena itulah kewarisan dalam Islam
diartikan dengan peralihan harta, bukan pengalihan harta karena
pada peralihan berarti beralih dengan sendirinya sedangkan pada
kata pengalihan ialah usaha seseorang.
c. Dari segi jumlah harta yang beralih, dari segi jumlah dapat dilihat
dari kata “mafrudan” secara etimologis berarti telah ditentukan atau
telah diperhitungkan, kata-kata tersebut dalam terminologi Ilmu
Fikih, berarti sesuatu yang telah diwajibkan Allah kepadanya, yaitu
berarti bagian waris sudah ditentukan.10
d. Dari segi penerima peralihan harta itu, yaitu bahwa penerima harta,
dan mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan
secara pasti.
2. Asas Bilateral
Asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah seseorang
mener ima hak kewarisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis
keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki.

9
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika ,
Tahun 2008).hal.39
10
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam,( Jakarta: Prenada Media tahun 2004) hal.19
3. Asas Individual
Asas individual ini adalah, setiap ahli waris (secara individu)
berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris
lainya. Dengan demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara
individu berhak mendapatkan semua harta yang telah menjadi bagianya.
Ketentuan ini dapat dijumpai dalam ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat
7 yang secara garis besar menjelaskan bahwa anak laki-laki 22 maupun
perempuan berhak meerima warisan dari orang tuanya dan karib kerabatnya,
terlepas dari jumlah harta yang yang telah ditentukan yang mengemukakan
bahwa bagian masing-masing ahli waris ditentukan.11
4. Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang adalah keseimbangan antara antara hak dengan
kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan
kegunaan. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis
kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan.12
5. Kewarisan Akibat Kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta
hanya semata-mata karena adanya kematian. Dengan perkataan lain harta
seseorang tidak dapat beralih apabila belum ada kematian. Apabila
pewaris masih hidup maka peralihan harta tidak dapat dilakukan dengan
pewarisan.13
C. Sebab- Sebab Menerima Waris
Ada beberapa sebab dalam kewarisan dalam Islam terkait hak seseorang
mendapatkan warisan yaitu hubungan kekerabatan dan hubungan perkawinan.
Kedua bentuk hubungan itu adalah sebagai berikut :
1. Hubungan Kekerabatan (Al-qarabah).
Di antara sebab beralihnya harta seseorang yang telah mati kepada yang
masih hidup adalah adanya hubungan kekerabatan antara keduanya. Adapun

11
Ibid hal.21
12
Ibid hal.24
13
Ibid hal.28
hubungan kekerabatan ditentukan oleh adanya hubungan darah yang
ditentukan pada saat adanya kelahiran.14
Jika seorang anak lahir dari seorang ibu, maka ibu mempunyai hubungan
kerabat dengan anak yang dilahirkan. Hal ini tidak dapat dipungkiri oleh
siapa pun karena setiap anak yang lahir dari rahim ibunya sehingga berlaku
hubungan kekerabatan secara alamiah antara seorang anak dengan seorang
ibu yang melahirkannya. Sebaliknya, bila diketahui hubungan antara ibu
dengan anaknya maka dicari pula hubungan dengan laki-laki yang
menyebabkan si ibu melahirkan. Jika dapat dibuktikan secara hukum melalui
perkawinan yang sah penyebab si ibu melahirkan, maka hubungan
kekerabatan berlaku pula antara si anak yang lahir dengan si ayah yang
menyebabkan kelahirannya.15
Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayah ditentukan Oleh adanya
akad nikah yang sah antara ibu dengan ayah (penyebab si ibu hamil dan
melahirkan)16. Dengan mengetahui hubungan kekerabatan antara ibu dengan
anaknya dan hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya, dapat pula
diketahui hubungan kekerabatan ke atas, yaitu kepada ayah atau ibu dan
seterusnya, ke bawah, kepada anak dan seterusnya, dan hubungan
kekerabatan ke samping, kepada saudara beserta keturunannya. Dari
hubungan kekerabatan yang demikian, dapat juga diketahui struktur
kekerabatan yang tergolong ahli waris bila seorang meninggal dunia dan
meninggalkan harta warisan.17
2. Hubungan Perkawinan (Al-musharah)
Hubungan atau pernikahan dijadikan sebagai penyebab hak adanya
perkawinan, hal ini dipetik dan Qur'an surah An-Nisa' (4) : 12, yang intinya
menjelaskan tentang hak saling mewarisi antara orang yang terlibat dalam tali
pernikahan yaitu suami istri.

14
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana), hal. 179.
15
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 111.
16
Ibid
17
Amir syarifuddin dalam Ibid., hal. 112
Syarat suami-istri saling mewarisi di samping keduanya telah melakukan
akad nikah secara sah menurut syariat. Juga antara suami-istri yang berakad
nikah itu belum terjadi perceraian ketika salah seorang dari keduanya
meninggal dunia.18
3. Memerdekakan Hamba Sahaya atau Budak (Al-Wala’)
Al-Wala’ adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan
hamba sahaya, atau melelui perjanjian tolong menolong. Untuk yang
terakhir ini, agaknya jarang dilakukan jika malah tidak ada sama sekali.
Adapun al-wala’ yang pertama disebut dengan wala’ al-ataqah atau
ushubah sababiyah dan yang kedua disebut dengan wala’ al-mualah, yaitu
wala’ yang timbul akibat kesedihan seseorang untuk tolong menolong
dengan yang lain melalui suatu perjanjian perwalian. Orang yang
memerdekakan hamba sahaya, jika laki-laki disebut dengan al-mu’tiqdan
jika perempuan al-mu’tiqah. Wali penolong disebut maula dan orang yang
ditolong yang disebut dengan mawali.
Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya adalah 1/6
dari harta peninggalan. Jika kemudian ada pertanyaan apakah sekarang
masih ada hamba sahaya, maka jawabanya adalah bahwa hapusnya
perbudakan merupakan salah satu keberhasilan misi Islam. Karena memang
imbalan warisan kepada al-mu‟tiq dan atau al-mu‟tiqah salah satu tujuanya
adalah untuk memberikan motivasi kepada siapa saja yang mampu, agar
membantu dan mengembalikan hak-hak hamba sahaya menjadi orang
yang merdeka.19
D. Sebab-Sebab Penghalang Menerima Hak Waris
Memperoleh hak waris tidak cukup hanya karena adanya penyebab
kewarisan, tetapi pada seseorang itu juga harus tidak ada penyebab yang dapat
menghalanginya untuk menerima warisan. Karena itu orang yang dilihat dari
aspek penyebabpenyebab kewarisan sudah memenuhi syarat untuk menerima
warisan, tetapi jika ia dalam keadaan dan atau melakukan sesuatu yang
18
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan Adaptabilitas,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), hal. 37.
19
Op. Cit Ahmad Rofiq hal.45
menyebabkan dia tersingkir sebagai ahli waris20. Dalam hukum Islam secara
umum faktor penghalang hak waris terdapat beberapa sebab yaitu21:
a. Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapatkan warisan dari
keluarga yang dibunuhnya.
b. Ahli waris yang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya
yang beragama Islam, demikian pula sebaliknya.
c. Orang kafir tidak berhak menerima warisan dari keluarga yang beragama
Islam.

20
Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit., hal.39
21
Eman Suparman, Op. Cit., hal.2.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Waris adalah peralihan berupa harta seorang yang telah meninggal dunia
kepada pihak yang berhak menerimanya yaitu ahli waris. Di pembagian harta
warisan terdapat beberapa asas yang berkaitan dengan peralihan harta kepada
ahli waris, asas-asas tersebut yaitu asas ijbari, bilateral, individual, keadilan
berimbang, kewarisan akibat kematian.
Di dalam harta warisan terdapat sebab ahli waris menerima harta
warisan, diantaranya adanya hubungan kekerabatan (Al-qarabah), hubungan
perkawinan (Al-musharah), memerdekakan hamba sahaya atau budak (Al-
Wala’). Sedangkan pengalang seorang ahli waris menerima harta warisan
diantaranya, ahli waris yang membunuh pewaris, Ahli waris yang murtad atau
keluardari Agama Islam, kafir.
DAFTAR PUSTAKA
Saebani, Beni Ahmad, 2009, Fiqh Mawaris, Bandung:CV.Pustaka Setia
M, Hajar, 2008, Dimensi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Pekanbaru
Munawwir,Ahmad Warson, 1997, Kamus Al Munawwir , Surabaya : Pustaka
Progressif
Perangin, Effendi, 2008, Hukum Waris, Jakarta: Rajawali Pers
Lubis, Suhrawardi K dan Komis Simanjuntak, 2008, Hukum Waris Islam, Jakarta:
Sinar Grafika
Syarifuddin, Amir, 2004, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media
Ali, Zainuddin, 2009, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika
Anshori, Abdul Ghofur, 2012, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan
Adaptabilitas, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Komite Fakultas Syari’ah Al-Azhar Mesir, ‘Ahkam Al-Mawarits Fi Al-Fiqhi Al-Islam,
Diterjemahkan Addys Aldiar, Faturrahman, 2004, Hukum Waris, Jakarta:
Senayan Abadi Publishing
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, 2nd ed , Yogyakarta:Pustaka Yustisia
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, Jakarta: balai pustaka

Anda mungkin juga menyukai