Anda di halaman 1dari 7

Tradisi Usaba Dodol Desa Selat Duda

Karangasem
OLEH
INFORMASI
I GUSTI NGURAH ANANJAYA

Usaba Dodol, berlangsung setiap tahun di Desa Duda, Kecamatan Selat, Kabupaten

Karangasem Bali. Tradisi ini dilaksanakan saat Tilem Kesanga, di Pura Dalem Selat, sehingga

sering disebut Usaba Dalem. Keunikan tradisi ini, membuat masyarakat dan wisatawan

berdatangan ke Selat tepat sehari sebelum Hari Raya Nyepi, khusus untuk menyaksikan

kemeriahan Usaba Dodol. Bayangkan saja, jika biasanya masyarakat lumrah menemukan dodol

berukuran kecil dan beratnya hanya sekitar 100 gr, mendadak disuguhi pemandangan

mencengangkan karena menyaksikan dodol yang beratnya bisa mencapai 150 – 200 kg. Saking

besar dan beratnya dodol itu, sehingga harus ditandu puluhan lelaki dewasa. Selain menemukan

dodol ‘raksasa’, tradisi usaba pun tidak kalah unik.

Sebelum tradisi dilangsungkan, maka jero desa akan beramai-ramai ‘berburu’ pisang

kayu di kebun-kebun penduduk. Perburuan itu dilakukan 27 orang dan dilakukan pagi hari
sekitar pukul 06.30 wita. Ada sejumlah persyaratan pisang kayu yang hendak digunakan sebagai

upakara tradisi. Yakni jumlah buahnya 17 buah dalam satu ‘ijas’ dan kondisinya mulus tanpa

cacat sedikitpun. Jika pisang tidak diketemukan, maka itu seolah menjadi penanda kalau usaba

tidak bisa dilakukan. Pisang kayu memang menjadi simbol ‘nyejerang’ Ida Betara Durga,

sehingga menjadi persyaratan wajib, sekaligus menjadi proses awal dari usaba. Apabila pisang

kayu telah ditemukan, selanjutkan akan disucikan dan diletakkan di bagian jeroan pura. Acara

kemudian berlanjut dengan persembahyangan dan akan di-puput Ida Pedanda. Tatkala

persembahyangan usai, di senja harinya pisang kayu akan ditanam sebagai pertanda

mengembalikan lagi ke bumi.

Di lain pihak, di antara prosesi persembahyangan itu, beberapa warga akan sibuk

menghaturkan dodol berbagai ukuran. Biasanya orang yang mempersembahkan dodol berukuran

‘raksasa’ karena mempunyai kaul. Misalnya, kalau sembuh dari sakit atau kehidupannya

membaik, maka akan memberikan persembahan kepada Ida Betara Durga. Sesungguhnya, dodol

persembahan itu dibuat dari ketan sebagai bahan utamanya. Masyarakat acapkali menyebutnya

jaja uli. Latar belakang jaja uli ini disebut dodol, menurut beberapa penduduk setempat

disebabkan sebelum dibawa ke pura, jaja uli itu lebih dulu dibungkus menggunakan upih atau

pelepah pinang, sehingga bentuknya menyerupai dodol. Jika dodol berukuran normal, tentu biaya

pembuatannya tidak memberatkan. Namun, pada dodol pembayar kaul yang sering ukurannya

sangat besar, maka baik biaya maupun pengerjaannya dilakukan beramai-ramai dalam suatu

keluarga besar.

Hal ini membuat proses pembuatan dodol sama sekali tidak memberatkan dan

justru memperat hubungan kekeluargaan di antara mereka. Bahan untuk membuat dodol adalah

ketan, beras, gula dan garam. Kalau dodol yang dibuat berukuran besar, bisa dikerjakan terus-
menerus selama empat hari. Selama proses pengerjaan maka dodol harus terus diaduk agar tidak

gosong. Pengadukan inilah yang dilakukan bergantian antarkeluarga secara bergiliran sampai

akhirnya dodol benar-benar matang. Jika sudah didinginkan, maka dodol itu dibungkus

menggunakan pelepah pinang dan dihias menggunakan rangkaian bunga sehingga terlihat

menarik. Barulah kemudian dodol siap ditandu untuk dipersembahkan ke Pura Dalem. Setelah

dipersembahkan, dodol kembali dibawa pulang, ditandu beramai-ramai. Sesampai di rumah,

dodol akan dinikmati bersama-sama oleh keluarga besar. Kegiatan ini benar-benar menyisakan

kesan mendalam tentang sebuah persembahan yang ikhlas dan terekatnya lebih erat jalinan

hubungan kekeluargaan. –sumber

Ngusaba Dodol – Desa Selat Kecamatan Selat menyuguhkan peragaan rangkaian

ritual Upacara Ngusaba di Mel/Carik. Tahapannya setelah usai upacara Usaba Gede yang

dilaksanakan di Pura Besakih yang lazim disebut Ngusaba Besakih. Setelah itu barulah Desa

Pakraman Selat memulai upacara ngusaba di Mel atau yang disebut dengan Ngusaba Dodol.

Seluruh upacaranya diawali dengan rangkaian Upacara Ngepitu. Upacara tersebut bertujuan

memohon kepada Ida Bhatara Sakti Gunung Agung, bahwasannya seluruh krama Desa Selat

akan siap menyongsong pelaksanaan Usaba di Mel. Kemudian dilanjutkan dengan Upacara

Nyaga Nyungsung, upacara ini bermakna ngaturang piuning (memberitahukan) kehadapan

Tuhan bahwa krama yang memiliki kegiatan/mata pencaharian sebagai petani, di sawah, kebun

dan usaha lainnya siap untuk mulai bekerja dan tetap memohon wara nugraha.
Upacara berikutnya adalah Nguit Toya, upacara ini bermakna ngaturang angayu

bagia (syukur) dan memohon agar semua kegiatan yang digelar memperoleh kesuburan dengan

memperoleh air, sinar dan memperoleh kebaikan serta keselamatan. Dilanjutkan

dengan Upacara Meboros/Medugul dengan sarana bodag jaring bermakna bahwa

memohon wara nugraha (anugerah) kehadapan Tuhan agar semua yang ditanam di sawah

maupun di kebun, mulai dari menanam, memelihara, sampai dengan memanen tidak diserang

oleh hama penyakit.

Sementara tradisi yang juga diwariskan oleh leluhur di Desa Selat berlangsung rutin

setiap akan menyongsong upacara usaba di Mel adalah Tradisi Ngoncang dengan menggunakan

sarana kulkul dari bambu. Tradisi ini merupakan kegiatan/pergelaran kesenian yang dilaksanakan

oleh masing-masing banjar adat di wilayah Desa Pakraman Selat yaitu dengan saling tukar

pergelaran di setiap banjar atau saling mengunjungi dengan menampilkan kesenian-kesenian atau

pergelaran kreasi seni. Makna dari ngoncang tersebut adalah bertujuan untuk menyampaikan

rasa terima kasih kehadapan Ida Sanghyang Widi agar diberikan kesuburan dari hasil pertanian
di sawah atau di tegalan sehingga hasil bumi meningkat. Tradisi ngoncang ini merupakan luapan

kegembiaraan bagi para petani.

Kegiatan tersebut berlangsung selama 12 hari, dan kesibukan di masing-masing

rumah warga sudah mulai terlihat dengan seperti ada pemasangan tenge. Sarana yang dipakai

membuat tenge ini adalah daun aba yang ditulisi gambar-gambar seram seperti Bhuta Kala, daun

bambu, daun gegirang, dijadikan satu (diikat) yang akan dipasang pada bangunan dan pintu

masuk rumah sebelah kiri. Tengen digambar dengan wujud Bhuta Kala yang terpasang di

pekarangan dimohonkan untuk berkumpul ke Bale Agung akan diberikan lelabaan sehingga

Bhuta Kala agar tidak mengganggu perayaan usaba di Mel (Usaba Dodol) ini. Katanya Tenge ini

tidak dapat ditampilkan karena kesakralannya.

Dilanjutkan lagi rangkaian menyongsong usaba di Mel adalah Upacara

Petabuhan yaitu upacara yang maknanya adalah agar diberikan keseimbangan antara

alam makrokosmos (bhuana agung) dengan mikrokosmos (bhuana alit). Pada saat inilah

dilaksanakan Pagelaran Siat Sarang menggunakan bahan sesarang dari daun enau yang

dianyam dan dipakai alas untuk membuat jajan khas jaja uli Desa Selat. Sarang itu adalah tempat

mengumpulkan Tengeyang telah dipasang sehari sebelum upacara petabuhan ini.

Setelah Tenge dikumpulkan yang ditempatkan pada sarang lalu diupacarai

dengan segehan di depan rumah/pintu gerbang/lebuh dilengkapi dengan api takep dari serabut

kelapa yang ditakep berbentuk Swastika. Sarang inilah yang digunakan untuk melakukan siat

(perang) sarang dengan makna memerangi segala sifat dan prilaku menyerupai bhuta kala dan

juga dapat mengusir atau menyomiakan bhuta kala dari masing-masing rumah tangga agar mau

datang ke Bale Agung untuk caru penyomia (kata-katanya: pesu-pesu ke bale agung ngalih

tulang dedungkul) sasapan pada waktu ngayabang upacara cari di masing-masing rumah tangga.
Selanjutnya semua mamulat sarira (introspeksi) dan siap menyatukan pikiran untuk

mempersiapkan melaksanakan usaba di Mel. Upacara diakhiri dengan membunyikan atau

nyuarayang Ida Bhatara Suara. Setelah acara siat sarang ini maka keesokan harinya dilanjutkan

dengan upacara potong babi, membuat sate, dan perlengkapan upacara lainnya hampir sama

dengan rangkaian upacara seperti hari raya Galungan.

Pada hari usaba dilakukan persembahyangan di Pura Dalem, dilaksanakan mulai

dari pagi hari dengan membawa upakara biasa atau banten pepranian. Pada pagi harinya

dipersembahkan kepada Ida Bhatara Sakti di Pura Dalem sekalian memohon tirta amertha yang

akan dipakai melaksanakan upacara di masing-masing rumah: Pura/Merajan Dadia dan lainnya.

Siang hari banten yang dibawa adalah seedan (12 jenis banten di atas dulang) merupakan banten

para leluhur yang dipersembahkan kepada Bhatara Pura Dalem. Bagi masyarakat yang

mempunyai sesangi/sosot (kaul). Kaul ini ada yang berupa bebanten-bebanten soroan dan yang

paling terkenal adalah kaul yang dihaturkan oleh masyarakat berupa kumpulan jajan uli yang

dijadikan satu menjadi jajan uli yang cukup besar yang disebut dengan buntilan diusung oleh

beberapa orang menuju Pura Dalem diiringi gong baleganjur.

Buntilan ini dibuat dari bambu dan anyaman menyerupai keranjang setinggi

sesuai isi kaul dihias, dan di tengah keranjang itulah dimasukkan jajan uli sesuai dengan jumlah

kaul/sesangi misalnya timbungan 25 (25 catu), timbungan 50 (50 catu) dan seterusnya. Upakara

ini dipersembahkan kepada Ida Bhetara Dalem atas permohonan dan janji yang diucapkan,

permohonan intinya adalah memohon kesembuhan, keselamatan dan kesehatan.

Waktu terus berjalan sampai menjelang sore hingga malam hari maka upacara bebanten

yang dihaturkan terakhir pada rangkaian upacara usaba dodol adalah dengan

menghaturkan Banten Sokan.


Isi dari Sokan sesuai dengan tandingan banten biasa beragam kue: jajan uli, satuh tempani,

krupuk, buah dan sebagainya, dan semua bahan-bahan itu berjumlah ganjil bilangan 3, 5, 7 atau

9. Sokannya tidak tertutup dan dihiasi berupa pelawa seperti daun cemara, pidpid, janur, daun

pisang, bunga kasna dan yang lainnya, dan di atasnya ditutup dengan sampian besar. Banten ini

ditujukan kepada Ida Bhetara Sakti Gunung Agung. Sambil berlari membawa pulang yang

membawa banten tersebut berteriak-teriak dengan mengucapkan: oborin-oborin, papagin-

papagin. Setelah sampai di depan pintu gerbang rumah disambut dengan upacara segehan, dan

barulah boleh dibawa masuk ke rumah.

Anda mungkin juga menyukai