Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ajaran Susila merupakan suatu ajaran primer kehidupan yang berperan penting dalam
tingkah laku manusia untuk menjalani kessehariannya baik pada sesame manusia, lingkungan
dan pada Tuhan. Manusia yang terlahir dengan membawa watak atau sifatnya masing-masing
tentunya memunculkan berbagai macam tingkah laku dan jenis manusia tergantung
karakteristiknya. Namun dalam kehidupan di dunia digolongkan menjadi dua golongan untuk
sifat manusia, yaitu sifat baik dan sifat buruk yang selalu berdampingan bersama dan tak
dapat dipisahkan.
Dalam Bhagawad Githa juga menjelaskan golongan sifat manusia yang dibagi menjadi
dua, Sri Krisna menyebutkan bahwa ada dua sifat manusia yaitu Daivi Sampad dan Asuri
Sampad, dua kecenderungan sifat manusia ini tercermin jelas dalam diri manusia dan akan
berpengaruh pada kehidupan manusia tersebut. Sifat manusia tentunya melahirkan sebuah
tindakan-tindakan, manusia akan melakukan sebuah tindakan yang berawal dari indriya nya.
Tindakan ini dapat berpengaruh positif maupun negatif pada dirinya maupun sekitarnya.
Maka suatu tindakan untuk menekan atau mengendalikan tingkah laku yang negatif perlu
dilakukan agar tidak membawa petaka pada diri dan sekitar

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimanakah Susila dalam konteks Bhagawad Githa ?
1.2.2 Apa saja kecenderungan-kecenderungan sifat manusia menurut Bhagawad Githa ?
1.2.3 Bagaimana Tindakan Pengendalian diri dalam menekan tindakan Negatif ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Mengetahui ajaran susila yang terkandung dalam Kitab Suci Bhagawad Githa.
1.3.2 Dapat memahami kecenderungan-kecenderungan sifat manusia yang dijelaskan
dalam Bhagawad Githa.
1.3.3 Dapat memahami dan menekan tindakan negative dalam diri setelah memahami apa
saja tindakan pengendalian diri.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ajaran Susila Dalam Bhagawad Githa


Tattwa, Susila dan Acara adalah bagian-bagian dari Tri Jnana Sandhi, yaitu tiga
kerangka dasar Agama Hindu. Pada pembahasan ini saya akan menguraikan penekanan
tentang Susila dalam Bhagavad Gita. Susila Terdiri dari kata: Su dan Sila. Su berarti baik,
indah, harmonis. Sila berarti dasar, perilaku, tata laku. Dengan demikian susila berdekatan
dengan pengertian etika, mengandung pengertian sopan santun, kaidah, norma yang baik.
Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik dan terpancar sebagai cermin obyektif
kalbunya dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Realitas hidup manusia tak bisa lepas dari hubungan dengan lingkungannya, dengan
sesama atau dengan alam. Dalam konteks itu susila memegang peranan penting karena akan
membangun watak dan tingkah laku manusia sehingga bisa menjadi anggota keluarga atau
masyarakat yang susila, berkepribadian mulia, serta dapat membimbing mereka untuk
mencapai kebahagiaan.
Penekanan tentang Susila dalam Bhagavad Gita, pada Bab XVI, dimana Sri Krsna
memberikan pelajarannya pada Arjuna, yaitu menjelaskan tentang sifat-sifat baik ataupun
buruk manusia. Orang-orang yang bersifat rendah hanya memandang alam semesta ini
sebagai kumpulan material. Dalam pandangan mereka, makhluk hidup ada hanya karena
hubungan seksual tanpa ada campur tangan Tuhan. Bagi mereka, Tuhan dianggap tidak ada.
Hidup orang-orang semacam ini hanya dipenuhi oleh pemuasan nafsu dan amarah. Dan
amarah muncul ketika nafsu tak terpuaskan.
Sri Krsna menjelaskan tiga pintu gerbang menuju neraka yaitu Kama (hawa nafsu,
keinginan), Krodha (amarah), dan Lobha (kelobaan, rakus) yang harus dihindari apabila
orang menginginkan pencapaian kebahagiaan sejati. Mereka yang mampu melepaskan diri
dari sifat-sifat rendahan akan sampai pada Tuhan. Orang diajarkan untuk menggunakankitab
suci sebagai pedoman hidup untuk menentukan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan
(sastra-pramana).
Dalam Bab ini disampaikan sifat rohani dan sifat jahat. Sifat rohani yang dimiliki oleh
orang suci, terperinci dengan jelas, demikian pula sifat jahat yang dimiliki oleh orang jahat.
Sifat rohani menguntungkan bagi pembebasan, sedangkan sifat jahat mengakibatkan ikatan.

2
Ikatan yang terlalu kuat akan menjadikan orang jatuh ke neraka. Ada tiga pintu gerbang
menuju nerak, yaitu: hawa nafsu, amarah, dan loba. Orang yang terhindar dari tiga pintu
neraka itu akan melakukan perbuatan yang menguntungkan untuk keinsyafan diri.
Disebutkan pula oleh Sri Krsna kepada Arjuna, bahwa manusia dilahirkan dengan
sifta-sifat, oleh karena itu mereka harus mematuhi aturan yang tertulis dalam kitab suci yang
dapat dipercaya.
Seperti pada Sloka 12 dan 3 yang tedapat pada Bab XVI yaitu, Sri Krsna bersabda,
“bebas dari segala jenis kecemasan, kebersihan dan kesucian bathin, demi pengetahuan suci
memantapkan diri dalam pelaksanaan yoga, mengembangkan sifat kedermawanan,
mengendalikan indriya-indriya, melakuka persembahan-persembahan suci, aktif mempelajari
kitab suci Veda, melakukan pertapaan, hidup sederhana, tidak melakukan kekerasan,
mempraktikan kejujuran, mengendalikan amarah, bebas dari keterikatan-keterikatan,
kedamaian, tidak menfitnah, mengasihi semua makhluk, tidak serakah, kelembutan bathin,
bersikap sopan, ketabahan, bercahaya, suka mengampuni, kemantapan hati, selalu menjaga
kebersihan, tidak bersikap bermusuhan, tidak mengharapkan penghormatan berlebihan, wahai
keturunan Bharata, semua sifat-sifat mulia seperti itu akan dimiliki oleh orang-orang yang
sudah mencapai keinsyafan diri, wahai Arjuna.
Selain itu, penekanan tentang Susila dalam Bhagavad Gita juga terdapat pada Bab
XVII, yaitu Krsna menjelaskan pada Arjuna bahwa alam ini dipengaruhi oleh Tri Gunaya,
yaitu tiga sifat alam material yang terdiri dari Sattva-guna (kebaikan), Raja-guna (kenafsuan),
Tamas-guna (kegelapan, kebodohan). Karakter manusia ditentukan oleh unsur mana atau sifat
alam yang mana yang dominan didalam dirinya.
Unsur dominan dari Tri Guna ini mempengaruhi manusia dalam hal jenis makanan
yang disukai, sikap hidup sehari-hari, hingga bentuk keyakinannya. Dijelaskan motif-motif
yajna, tapa, dan kedermawanan yang dilakukan berdasarkan Tri Guna. Diajarkan agar
kegiatan Yajna, tapa dan kedermawanan dilaksanakan dengan berlandaskan pada keyakinan
pada Tuhan yang maha Esa. Yajna, pertapaan dan kedermawanan yang tidak didasarkan pada
keyakinan kepada Tuhan yang maha esa hasilnya tidak akan berguna, baik dikehidupan ini
maupun setelah meninggal.
Dalam Bab ini pula dijelaskan bahwa ada tiga golongan keyakinan yang berkembang
dari salah satu di antara tiga sifat alam, golongan dalam sifat kebaikan, dalam sifat kenafsuan,
dan dalam sifat kebodohan. Orang baik menyembah Dewa, orang berada dalam sifat
kenafsuan menyembah yaksa dan raksasa, dan orang-orang yang berada dalam sifat
kebodohan akan menyembah para hantu dan roh-roh tingkat bawahan. Makanan yang disukai

3
oleh ketiga golongan berbeda. Demikian juga korban suci, pertapaan dan kedermawanan
yang dilakukan, sangat ditentukan oleh tiga sifat alam yang mempengaruhi seseorang.
Pada pembahasan ini saya mencantumkan tiga Sloka yang menekankan tentang ajaran
Susila dalam Bhagavad Gita, yaitu pada Bab XVII Sloka 14, 15, dan 16. Bab XVII Sloka 14:
Deva-dvija-guru-prajna
Pujanam saucam arjuvam
Brahmacaryam ahimsa ca
Sariram tapa ucyate
Artinya:
Melakukan pemujaan sepantasnya kepada para Dewa, para Brahmana, guru spiritual (bapak,
ibu), menjaga kebersihan, kesederhanaan, berpantang hubungan seksual dan tidak melakukan
kekerasan, semua ini dikatakan sebagai pertapaan badan. Bab XVII Sloka 15:

Anudvega-karam vakyam
Satyam priya-hitam ca yat
Svadhyayabhyasanam caiva
Van-mayam tapa ucyate
Artinya:
Kata-kata yang tidak menyebabkan perasaan orang lain terganggu, jujur, menyenangkan dan
mengandung kebaikan serta kata-kata yang dipergunakan untuk belajar serta mempraktekkan
pembacaan kitab suci Veda, semua itu dikatakan sebagai pertapaan kata. Bab XVII Sloka 16:
Manah-prasadah saumyatvam
Maunam atma-vinigrahah
Bhava-samsuddhirity etat
Tapo manasam ucyate
Artinya:
Pikiran yang puas dalam segala keadaan, kesadaran yang menyejukkan, suka merenung, suka
mengendalikan pikiran, berusaha sepenuhnya menyucikan pikiran, semua itu dikatakan
sebagai pertapaan pikiran.
Pada ketiga Sloka tersebut dapat saya jelaskan bahwa, ketiga-tiganya menguraikan
tentang ajaran Tri Kaya Parisudha yaitu Tri berarti tiga, kaya berarti prilaku atau sifat, dan
parisudha berarti disucikan. Jadi Tri Kaya Parisudha berarti tiga sifat atau prilaku yang
disucikan. Ketiga sifat suci tersebut yaitu Manacika (berpikir yang baik), Wacika (berkata
yang baik), Kayika (bertingkah laku yang baik).

4
Tingkah laku, pikiran dan perkataan yang baik dapat dicapai dengan Karma Patha
yaitu pengendalian diri. Dengan akal yang dikaruniai Tuhan, kita harus mampu mengedalikan
tingkah laku dan perkataan melalui analisa logis tentang yang baik dan yang buruk. Justru
dalam kemampuan membedakan antara yang baik, yang benar dan buruk, yang jahat, itulah
letak kelebihan manusia dari makhluk lainnya.
Pengendalian diri ajaran Tri Kaya Parisudha yaitu pada manacika (pikiran yang baik),
manusia diajarkan untuk tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal, tidak berpikir buruk
terhadap orang lain, tidak mengingkari hukum Karma Phala. Pengendalian diri pada wacika
(berkata yang baik), manusia diajarkan untuk tidak mencaki maki orang lain, tidak berkata-
kata kasar pada orang lain, tidak memfitnah, dan tidak ingkar terhadap janji. Kemudian
pengendalian diri pada kayika (berbuat yang baik), manusia diajarkan untuk tidak menyiksa
makhluk lain, tidak membunuh, tidak curang dan tidak berzinah atau melakukan hubungan
seksual diluar nikah.
Pengendalian diri adalah kemampuan seseorang untuk tidak melakukan yang tidak baik dan
tidak patut dilakukan. Untuk dapat mengendalikan diri, seseorang hendaknya mengenal
ajaran tentang Viveka atau Vivekajnana. Yang dimaksud dengan Viveka adalah kemampuan
untuk membedakan yang baik dan buruk, salah dan benar.

Yang baik belum tentu benar, sebaiknua yang benar belum tentu baik dan selanjutnya
yang dengan pengetahuan Viveka ini seseorang akan dapat mengendalikan dirinya, sebab
diantara berbagai makhluk hidup dengan tegas dinyatakan hanya manusialah yang memiliki
pengetahuan itu sebab, oleh karena itu menjelma sebagai manusia disebut sebagai
penjelmaan utama bila dibandingkan dengan makhluk lainya :
Manusah sarve bhutesu varttate
vai dubhasubhe asubhesu samavistam
subhesvevakarayet
“Ri sakwehning sarva bhuta, iking wwang juga wenangguma ikang sebha asubha karma,
kunang panentasekena ring asubhakarma juga ikang subha karma, phala ning dadi wwang”
(Sarasamnuccaya)

(Di antara semua makhluk, yang hanya dilahirkan sebagai manusia sajalah yang dapat
melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk. Leburlah ke dalam perbuatan baik itu
menjelma sebagai manusia.)

5
Di dalam kitab Sarasamuccaya dijelaskan pula bahwa menjelma sebagai manusia adalah
kesempatan yang utama dan sangat sulit untuk diperoleh (parama durlabha) dan hidup
sebagai manusia dinyakan sangat singkat (ksanikasvabhava) bagaikan kerdipan kilat.

Memang bila direanungka, seseungguhnya manusia hampir sangat jarang untuk


merenungkan kembali, untuk apa tujuan penjelmaan kita ini, bagaimana kita seharusnya
berbuat di dunia ini, benarkah kita nanti, apakah yang akan kita bahwa dan bagaimanakah
kita alam sana dan lain-lain pernyataan akan muncul bagi mereka yang memiliki kepekaan
untuk merenungkan kehidupan kembali.

Bila kita hanya mengejar kepuasan materi atau kesenangan duniawi belaka (kepuasan
kama), maka penderitaanlah yang akan kita jumpai. Memuaskan Kama semata diibaratkan
menyiram api yang sedang berkobar tidak dengan air, melainkan dengan bensin dan
akibatnya adalah api semakin membesar yang mengakibatkan kehancuran. Agama Hindu
mengamanatkan untuk mewujudkan kedamaian dalam kehidupan ini (peace oriented),
karena di balik kedamaian yang sejati (true happines).

2.2 Kecenderungan Sifat Manusia dalam Bhagawad Githa

Berdasarkan ringkasan isi dari kitab Bhagavadgita Bab XVI (enam belas) diatas maka
ajaran agama Hindu yang terkandung di dalamnya adalah sebagai berikut :
1. Daiwi Sampad, yaitu sifat-sifat kedewaan.
2. Asuri Sampad, yaitu sifat-sifat keraksasaan.
Perbuatan yang dilakukan di dunia ini baik atau buruk akan berakibat atau
membuahkan hasil. Boleh dikatakan bahwa tidak ada perbuatan sekecil apapun yang luput
dari hasil atau pahala baik langsung maupun tidak langsung pahala itu pasti akan datang.
Perbuatan baik (subha karma) pasti akan mendapatkan pahala yang baik, demikian juga
sebaliknya perbuatan yang kotor atau perbuatan yang tidak baik (asubha karma ) kita perbuat,
maka hasilnyapun akan berakibat tidak baik ( ala ulah ala tinemu, ayu ginawe ayu
pinanggih ).
Sifat dasar yang mempengaruhi perbuatan manusia ada dua. Dalam kitab Bhagawad
gita perbuatan tersebut yaitu Daiwi sampad dan Asuri Sampad. Daiwi Sampad yaitu sifat
manusia yang dipengaruhi oleh sifat-sifat kedewataan yang mengakibatkan atau mendorong

6
manusia untuk berbuat mulia baik, bjaksana. Sedangkan asuri sampad yaitu sifat manusia
yang banyak dipengaruhi oleh sifat keraksaan, yang cendrung manusia bersifat berbudi
rendah, seperti angkuh sombong, marah, iri hati, benci dan penuh dengan kekerasan.
Perilaku baik atau perilaku kedewataan (Daiwi Sampat) antara lain:
1) Berbakti, hormat, dan menyayangi orang tua.
2) Hormat dan sayang kepada guru/ pengajar.
3) Taat beragama dalam anti menjalankan ajaran agama.
4) Setia pada nusa-bangsa.
5) Rajin belajar dan bekerja.
6) Berdisiplin, melaksanakan tapa (pengenalian diri).
7) Bersosialisasi dengan masyarakat dengan baik.
8) Berjiwa besar, mengabdi pada kepentingan umum.
9) Hidup sesuai dengan kemampuan.
10) Menjadi manusia yang produktif, bukan konsumtif.
11) Tidak cemburu, dengki dan iri hati kepada keberhasilan orang lain.
12) Menyayangi keluarga, dan umat manusia secara luas.
13) Mencintai alam semesta.
14) Berkata-kata yang sopan, jujur, tidak membentak-bentak, tidak memfitnah, tidak
mengadu domba, tidak menyebarkan berita bohong, dan setia pada kata-katanya
sendiri.
Perilaku buruk (Asuri Sampad) berbanding terbalik dengan Daiwi Sampad. Asuri Sampad
dibentuk oleh maraknya perilaku yang tergolong dipengaruhi oleh Sad-Ripu (enam musuh)
utama yang ada di dalam diri manusia itu sendiri, yaitu:
1) Kama: keinginan memuaskan nafsu secara berlebihan
2) Lobha: rakus
3) Kroda: suka/ gampang marah-marah
4) Mada: mabuk pada: kekuasaan, kekayaan, martabat
5) Moha: sombong atau memandang rendah orang lain
6) Matsarya: cemburu, dengki dan iri hati
7) Saat awal penciptaan (utpatti) Tuhan (Sanghyang Widhi/Sanghyang Acintya) yang
semula adalah Nirguna Brahma (Parama Siwa) yang tidak berbentuk, tidak
beraktivitas, kosong, menjadikan diri-Nya Saguna Brahma (Sada Siwa) yang
berwujud, beraktivitas, dan terisi. Sada Siwa terdiri dari dua unsur kemahakuasaan
yakni, Purusa adalah unsur kemahakuasaan dalam kejiwaan dan Prakrti adalah unsur

7
kemahakuasaan dalam kebendaan. Prakrti mulanya menciptakan Bhuwana Agung
(alam semesta) yang terdiri dari Panca Mahabhuta: pertiwi, apah, bayu, teja, dan
akasa. Tahap berikutnya Prakrti membentuk pula tubuh manusia dari unsur-unsur
Panca Mahabhuta di Bhuwana Agung itu, yaitu:
8) Dari pertiwi (tanah), terbentuk tulang dan daging (bagian yang keras dari tubuh
manusia).
9) Dari apah (air), terbentuk: darah, air kencing, air keringat, lemak, lendir, ludah,
(bagian yang cair dari tubuh manusia).
10) Dari bayu (angin), terbentuk udara dalam tubuh manusia di paru-paru, rongga perut,
oksigin dalam darah, (bagian yang berangin/udara dalam tubuh manusia).
11) Dari teja (matahari), terbentuk suhu badan yang hangat, dan sinar mata yang
cemerlang (bagian yang panas dalam tubuh manusia).
12) Dari akasa (angkasa), terbentuk urat syaraf, rambut, kuku, dan 9 lubang dalam tubuh
manusia (bagian-bagian yang sensitif).

Daiwi Sampad bermaksud menuntun perasaan manusia ke arah keselarasan antara


sesama manusia. Sifat-sifat ini perlu dibina, seperti diungkapkan di dalam kitab
Bhagawadgita, XVI.1, 3 dan 5 yang berbunyi sebagai berikut :
“Abhayam sattwassamocuddhir jnanayogawyasvathitih danamdamaca yadnas ca
swadhyayas tapa arjawam”.
Terjemahannya:
Tidak mengenal takut, berjiwa murni, giat untuk mencapai kebijaksanaan dan yoga,
berderma, menguasai indria, berkorban, mempelajari ajaran-ajaran kitab suci, taat berpantang
dan jujur.

“Tejahksama dhrtih saucam adhro na ‘timanita Bhawanti sampadam daiwin abhijatasya


bharata”.
Terjemahannya:
Kuat, suka memaafkan, ketawakalan, kesucian, tidak membenci, bebas rasa kesombongan, ini
tertolong pada orang yang lahir dengan sifat-sifat dewata, oh Arjuna.

“Daiwi Sampad wimoksaya nibandaya suri mata ma sucah sampadan daiwim abhijato si
pandawa.
Terjemahannya:

8
Kelahiran yang bersifat Ketuhanan dikatan memimpin ke arah moksa dan yang bersifat setan
ke arah Ikatan. Jangan bersedh hati, oh pandawa (Arjuna), engkau dilahirkan dengan sifat-
sifat dewata.
Kemudian mengenal sifat-sifat Asuri Sampad (sifat-sifat yang buruk) yang harus kita hindari
dijelaskan dalam kitab Bhagawadgita, XVI.4, 17 dan 21 yang berbunyi sebagai berikut :

“Tambho darpo bhimanas krodah parusyam eva ca Ajnanam cabhijatasya partha sampadan
asur.
(Bhawadgita, XVI.4)
Terjemahannya:
Berpura-pura, angkuh, membanggakan diri, marah, kasar, bodoh, semuanya ini adalah
tergolong yang dilahirkan dengan sifat-sifat raksasa (Asuri Sampad),oh Arjuna.

“Atma sambhawatah stabdha dhana mana madanwitah Jayabnte namayajnais te dambhena


widhipurvakam.”
(Bhawadgita, XVI.17)
Terjemahannya:
Menganggap dirinya yang terpenting, keras kepala, penuh dengan kesombongan, gila akan
kekayaan, bersifat pura-pura, semuanya ini adalah bertentangan dengan ajaran kitab suci.

“Trivihdam narakasyedam dvaram nasanam atmanah Kamah krodhas tatha lobhas tasmad
etat trayam trajett.”
(Bhawadgita, XVI.21)
Terjemahannya:
Ada tiga gerbang pintu neraka yang meruntuhkan Atma, yaitu nafsu, sifat pemarah dan loba.
Oleh karena itu, orang harus menghindari ketiganya itu.

A. Kaitan Asuri Sampad dengan Ajaran Sad Ripu


Dalam Kitab Bhagawadgita telah disebutkan bahwa pada dasarnya kecederungan
budhi manusia ada dua jenis yaitu Daiwa Sampad dan Asuri Sampad. Asuri sampad adalah
kecenderungan-kecenderungan untuk berbuat tidak baik (Asubha Karma). Banyak perilaku
yang tidak baik yang perlu kita hindari, dan bahkan dalam ajaran agama Hindu perbuatan-
perbuatan yang tidak baik digolongkan Adharma dan merupakan musuh dalam diri manusia.

9
Sad-Ripu sebagai sumber dari Asuri Sampad terbentuk (mengkristal) karena pengaruh dari
Panca-Indria:
Dari indria pendengaran (Sabda tanmatra), misalnya: suka dipuji-puji.
Dari indria penglihatan (Rupa tanmatra), misalnya: suka melihat yang bagus/ indah-indah,
suka pamer diri, berdandan berlebihan, dan lain-lain.
Dari indria penciuman (Ganda tanmatra), misalnya: suka mencium sesuatu yang harum-
harum, yang gurih, enak, dan lain-lain.
Dari indria lidah (Rasa tanmatra), misalnya: suka makan yang enak-enak.
Dari indria kulit (Sparsa tanmatra), misalnya: suka diraba yang halus-halus.
Dalam kekawin Ramayana disebutkan ragadi musuh mapari ri hati ya tongwania tan maduh
riawak, artinya kama atau nafsu keinginan adalah sejenis musuh yang dekat dalam hati,
tempatnya tidak jauh dari diri sendiri. Singkat kata, sesungguhnya musuh-musuh itu bermula
dari diri kita sendiri, maka dari itu tanyakan pada diri sendiri, mengapa musuh itu ada.
Setelah ketemu asal mulanya, carilah pemecahan yang paling bijaksana agar musuh-musuh
dapat dijinakkan atau diatasi. Asuri Sampad dibentuk oleh maraknya perilaku yang tergolong
dipengaruhi oleh Sad-Ripu (enam musuh) utama yang ada di dalam diri manusia itu sendiri,
adapun bagian-bagian dari Sad-Ripu adalah:
a) Kama
Keinginan bila dikendalikan dan diarahkan ke hal-hal positif akan bermanfaat.
Namun, jika tidak dikendalikan dapat membahayakan dan menjerumuskan diri sendiri.
Contohnya, Seorang anak smp baru saja bisa naik motor lalu ia kebut-kebutan. Padahal
motor yang dipakai merupakan motor pinjaman dan ia pun belum memiliki sim C.
akhirnya ia mengalami kecelakaan. Bayangkan akibatnya, banyak pihak ia buat susah
termasuk dirinya sendiri.

b) Lobha
Orang-orang yang loba selalu resah, gelisah, gusar, resah bekerja seperti robot,
tidak mengenal waktu, dan tidak memperhatikan kesehatan. Akibatnya hidup selalu
susah, gelisah, selalu merasa ada beban, tidak pernah menikmati rasa keindahan, dan
kenikmatan hidup. Loba merupakan bagian dari hidup kita. Jadi, berhati-harilah
menyiasati loba agar kita tidak diperbudak olehnya. Arahkanlah sifat loba ke hal yang

10
positif, benar dan bermanfaat. Contohnya, Andi punya prestasi olahraga silat dan dapat
juara. Lalu semua cabang olahraga seperti sepak bola, bulu tangkis, renang, dan catur
ingin diikutinya. Akibatnya andi tak pernah beristrirahat, sehingga kelelahan. Akhirnya
keinginan andi untuk menang atau juara disemua olahraga gagal karena sifat lobanya.

c) Kroda
Kemarahan timbul karena jengkel, bosan, tersinggung, kesepian, kecewa, capek,
merasa terhina, difitnah, dinodai, diabaikan, atau dilecehkan. Kemarahan adalah sumber
penderitaan. Adapun alasanya, marah itu tidak baik. Marah dan emosi tidak dapat
menyelesaikan masalah. Marah merupakan racun batin yang sangat berbahaya dan dapat
menghancurkan kehidupan spiritual. Jika marah atau kesal muncul, segeralah menarik
nafas dalam-dalam, minum air dingin dan sedapat mungkin menjauhkan diri dari sumber
penyebab marah. Jika ada cermin tataplah satu persatu bagian wajahmu. Bandingkan
dengan wajahmu ketika dalam kedaan ceria dan bahagia. Mana yang kamu sukai? Ada
istilah yang sering kita dengar “ marah akan cepat tua” jika marah sulit dihilangkan atau
dikendalikan, pergilah ketempat yang sepi (umpamanya ke pantai). Berteriaklah sekeras-
kerasnya, sehingga terasa kestabilan dalam hati atau pikiran.

d) Moha
Pikiran bingung membuat kita menjadi tidak terkontrol. Orang yang dalam
keadaan bingung tidak dapat berfikir dan melakukan pekerjaan dengan baik.
Kebinggungan berpengaruh besar terhadap kesehatan.

e) Mada
Mada artinya mabuk, seperti mabuk karena minuman keras dan narkoba.
Minuman merupakan salah satu penyakit yang sulit dihilangkan. Kita harus menghindari
atau menjau agar masyarakat, khususnya generasi muda, tidak minum. Minuman
beralkohol diatas 10%, secara ilmiah dapat merugikan hidup kita. Disaat mabuk tidak
dapat mengontrol diri, semua rahasia terbongkar kata-kata ngawur, dan tidak kejahatan
dapat terjadi. Jika terbiasa mengkonsumsi minuman keras akan rentan terhadap serangan
penyakit seperti lever, stroke, jantung, gagal ginjal dan penyakit syaraf lainya. Mabuk
yang disebabkan oleh kepandaian, kekayaan, dan keduukan dapat menyebankan lupa diri
sehingga menjadi sombong, angkuh, arogan, dan bertindak kasar dan kejam. Hal ini akan
merugikan diri sendiri seperti dimusuhi orang, dijauhi, dibenci, bahkan dibuat celaka. Jika

11
menginginkan pikiran damai, tenang, batin suci dan hubungan dengan orang lain tetap
harmonis, hindarilah segala bentuk mabuk. Ingatlah dengan ajaran sapta timira yaitu tujuh
penyebab kegelapan yang menghancurkan diri sendiri.

f) Matsarya
Perasaan iri hati atau irsya adalah perasaan yang tidak mau tersaingi oleh orang
lain yang lebih sukses, berhasil atau bahagia. Ada ungkapan bahwa orang iri selalu
terlihat sinis, muka selalu masam, dan kata-katanya selalu mengada-ngada.
Contoh: Jika teman mendapat penghargaan, dan bintang kelas, kita iri, lalu menuduh bahwa
penghargaannya di dapat dengan cara curang. Akhirnya muncul keinginan untuk mengerjai,
memusuhi, dan merusak barang orang yang dapat penghargaan tersebut.

2.3 Pengendalian Diri Dalam Menekan Tindakan Negatif


Tidakan-tindakan yang buruk tidak dapat lepas dari kehidupan manusia karena hal itu
merupakan hal yang telah manusia bawa sejak lahir ke dunia dan tindaka-tindakan buruk
tersebut mestilah ditekan dan dikendalikan, salah satu ajaran agama Hindu yang dapat
dipakai untuk menekan tidakan negatif tersebut ialah ajaran Panca Yama Brata.

A. Panca Yama Brata


Panca Yama Brata adalah lima macam pengendalian diri tingkat pertama untuk
mencapai kesempurnaan dan kesucian jasmani. Panca yama brata harus dilakukan paling
awal, karena setelah terbebas dari perbuatan-perbuatan yang kotor akan mampu membuat
pikiran dan hati menjadi suci. Dengan kesucian pikiran dan hati terbebas dari beban
perbuatan kotor yang dilakukan oleh badan jasmani akan mampu menenangkan pikiran dan
pemusatan pikiran pun akan dapat dilakukan untuk melaksanakan kesucian bathin.
Bagian-bagian panca yama brata yang diuraikan dalam silakrama adalah Ahimsa,
Brahmacari, Satya, Awyawahara/awyawaharika, dan Astainya/asteya. Berikut ini akan
dijelaskan dari masing-masing bagian tersebut.
1. Ahimsa
Kata ahimsa sudah tidak asing lagi didengar dalam masyarakat. Ahimsa berarti
tidak membunuh ataupun menyakiti. Menurut ahimsa mengajarkan untuk tidak
melakukan perbuatan, perkataan, dan pikiran yang dapat menyakiti orang ataupun
mahluk lainnya. Melakukan perbuatan seperti menyakiti sangat dilarang oleh Agama

12
Hindu. Apabila perbuatan. Perkataan, ataupun pikiran yang menyakitkan itu dilakukan
tentunya akan terus membekas dalam alam pikiran yang akan membuat sipelaku
selalu dalam keadaan bingung dan gelisah. Dengan keadaan seperti itu maka suatu
ketenang pikiran tidak akan bisa tercapai.
Pembunuhan dapat dilakukan bila tidak didasari oleh dorongan nafsu dan indria,
tetapi didasarkan pada sastra. Dalam sastra terdapat pengecualian bahwa pembunuhan
itu dapat dilakukan, yaitu :

1. Dewa puja : yaitu pembunuhan dibenarkan untuk tujuan yajna atau


dipersembahkan kepada tuhan;
2. Untuk kepentingan dharma;
3. Atiti puja : yaitu untuk diberikan kepada tamu;
4. Menjalankan swadharma kehidupan rumah tangga;
5. Untuk kesehatan;
6. Melindungi diri dari segala ancaman pembunuhan;
7. Tidak dilatar belakangi oleh sad ripu.
Tujuh bentuk pengecualian tersebut duiraikan dalam sila kramaning aguron-guron
(wrespati tattwa). Namun sebelum melakukan suatu pembunuhan terlebih dahulu melakukan
upacara. Seperti di bali dikenal yang namanya mapapada yaitu memberikan doa terhadap
binatang yang akan dijadikan persembahan. Upacara mapapada dilakukan pada binatang
yang berkaki empat seperti babi, sapid an lain-lain.

2. Brahmacari
Brahmacari merupakan masa menuntut ilmu. Tahapan hidup dengan tahapan belajar
dibedakan atas dua masa yaitu :
1. Brahmacari saat usia lajang atau belum menikah;
2. Brahmacari pada masa berumah tangga.
Pada brahmacari yang memiliki pengertian pertama tersebut adalah masa menuntut
ataupun masa belajar dari guru dan sastra agama. Pada masa ini harus benar-benar belajar
tanpa menghiraukan kehidupan duniawi, dalam artian bahwa pada masa ini kita harus mampu

13
mengendalikan diri dari segala godaan nafsu dunia agar konsentrasi dalam belajar dapat
tercapai.

3. Satya
Satya berarti setia, kejujuran, dan kebenaran. Satya ini harus dipelajari dan
dilaksanakan khususnya bagi seorang calon diksa agar setelah natinya menjadi pandita dapat
menjadi tauladan atau panutan bagi umatnya. Ajaran tentang kesetiaan, kejujuran dan
menjaga suatu kebenaran akan dapat dilakukan setelah terbiasa. Jadi sebelum menjadi
seorang pandita maka terlebih dahulu harus membiasakan diri untuk menjalankan ajaran
satya.

Ajaran satya ini dapat dibagi menjadi lima yang disebut dengan panca satya, yaitu:

1) Satya laksana ; yaitu setia pada perbuatan. Hidup sebagai manusia yang dipengaruhi
oleh triguna maka seringkali manusia tidak mengakui apa yang telah ia lakukan.
Dalam satya laksana yang dipentingkan adalah bagaimana manusia mampu
bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan. Maka berani berbuat harus berani
bertanggung jawab. Manusia juga harus jujur dan selalu melakukan perbuatan yang
berdasarkan pada ajaran dharma. Segala bentuk perbuatan yang adharma harus bisa
dikendalikan dengan menumbuhkan sifat satwam didalam diri.

2) Satya mitra : yaitu setia terhadap sahabat. Artinya dalam mencari sahabat hendaknya
didasari atas kejujuran. Dewasa ini kebanyakan manusia dalam mencari teman hanya
untuk kepentingan sendiri. Hal ini dikarenakan manusia hanya ingin mencari
keuntungan dalam pertemanan sehingga ketika pada waktunya teman atau sahabat itu
tidak memberikan suatu keuntungan maka ia akan meninggalkan temannya. Sikap
inilah yang harus dikendalikan dan dihindari, karena tidak ada harta yang lebih berarti
dari sahabat.

3) Satya wacana : yaitu setia terhadap kata-kata. Artinya manusia harus berbicara jujur,
apa adanya dan sesuai dengan kebenaran. Kita harus mampu menghindari dan
mengendalikan diri dari perkataan yang tidak benar, palsu ataupun memfitnah. Karena
fitnah lebih kejam dari pembunuhan.

14
4) Satya semaya : yaitu setia terhadap janji. Seringkali dalam kehidupan ini manusia
memberikan janji-janji palsu dan ini sering dilakukan oleh calon wakil rakyat ataupun
pemimpin. Ini harus dihindari, karena sekali berbohong akan menimbulkan
kebohongan yang lain. Tidak mampu menepati janji akan selalu membawa
kegelisahan dalam hati dan pikiran sehingga ketenangan yang diharapkan pun tidak
dapat dicapai.

5) Satya hredaya : yaitu setia pada kata hati. Seringkali kita dalam melakukan dan
berkata bertentangan dengan kata hati. Pikiran yang tidak benar atau negative thinking
harus dihindari. Karena pikiran yang tidak baik akan mendorong manusia untuk
berkata dan berbuat yang bertentangan dengan dharma.

4. Awyawahara
Awyawahara berarti tidak terikat pada kehidupan duniawi (tan awiwada). Dalam
kehidupan ini harus mampu mengendalikan indria dari obyek duniawi. Karena bila indria
yang mengendalikan manusia maka ia akan terjerumus dalam kesengsaraan. Kesengsaraan itu
timbul dari dalam diri manusia yang tidak pernah merasa puas terhadap hal-hal yang bersifat
duniawi. Ketertarikan terhadap benda duniawi akan membuat manusia selalu tenggelam
dalam awidya.
Setelah menjadi seorang pandita, maka yang bersangkutan tidak dibenarkan melakukan
kegiatan jual beli dengan tedensi keuntungan yang berlipat-lipat, simpan pinjam (rna rni) dan
memperlihatkan kepandaian serta memupuk dosa kecuali menjaga harta warisan, menjaga
keutuhan keluarga, dan kesejahteraan istri, anak dan cucu.

5. Asteya
Asteya berarti tidak mencuri atau memperkosa milik orang lain seperti angutil,
anumpu, dan abegal. Dalam silakrama disebutkan sebagai berikut :
"apabila seorang wiku berjalan jauh dan dalam perjalanan haus dan lapar lalu mengambil
tumbuhan milik orang tanpa bilang hanya sebatas penghilang haus dan lapar maka ia terlepas
dari dosa"
Ini berarti bahwa siapapun orangnya khususnya pandita diperbolehkan mengambil
milik orang lain ketika ia merasa haus dan lapar dalam perjalanan jauh. Tetapi barang yang

15
diambil hanya sebatas untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga. Tentu tidak dibenarkan
barang yang diambil melebihi keperluan apalagi sampai dijual. Segala perbuatan hendaknya
tidak didasari oleh sad ripu.
Selain dari Panca Yama Brata juga ada lima jenis pengendalian diri yang lainnya, yaitu :

1. Pengendalian diri melalui kemoralan (Sila-samvara): berarti mengontrol kata-kata dan


perbuatan sesuai dengan peraturan atau disiplin masyarakat atau berkelompok.

2. Pengendalian diri melalui perhatian (Sati-samvara) : berarti sadar, tidak dibawa oleh
keserakahan atau kebencian pada saat melihat, mendengar, mencium, mengecap,
menyentuh atau berpikir. Sadar sebelum dan sewaktu berpikir, berbicara dan berbuat,
tidak lengah dalam saat-saat apapun, adalah segi lain dari pengendalian melalui
perhatian.
3. Pengendalian diri melalui pandangan terang (Nana-samvara) : berarti merenungkan
hakekat dari empat kebutuhan-kebutuhan hidup (pakaian, makanan, tempat tinggal,
obat-obatan) dan tujuan sesungguhnya dalam menggunakan mereka, tidak terseret
oleh keinginan serakah. Menggunakan atau menempatkan pandangan terang yang
telah dicapai sewaktu berhubungan dengan orang-orang atau sewaktu menghadapi
persoalan adalah arti dari bentuk pengendalian diri ini juga.

4. Pengendalian diri melalui kesadaran (khanti-samvara) : Memiliki kesabaran pada saat


menghadapi kelaparan, sakit, kesukaran-kesukaran, gangguan-gangguan (seperti
gangguan-gangguan dari serangga-serangga) hinaan-hinaan dan pengalaman-
pengalaman lain yang tidak menyenangkan adalah arti yang dimaksudkan dengan
pengendalian diri melalui kesabaran.

5. Pengendalian diri melalui usaha atau semangat (Viriya-samvara) : Pengendalian diri


melalui usaha berarti menghilangkan pikiran-pikiran jahat. Itu dapat juga ditujukan
pada empat rangkaian praktek usaha-usaha : memupuk kebaikan yang telah ada,
mengembangkan kebaikan baru yang belum dimiliki, meninggalkan keburukan yang
telah dimiliki dan mencegah timbulnya keburukan-keburukan baru.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tattwa, Susila dan Acara adalah bagian-bagian dari Tri Jnana Sandhi, yaitu tiga
kerangka dasar Agama Hindu. Pada pembahasan ini saya akan menguraikan penekanan
tentang Susila dalam Bhagavad Gita. Susila Terdiri dari kata: Su dan Sila. Su berarti baik,

17
indah, harmonis. Sila berarti dasar, perilaku, tata laku. Dengan demikian susila berdekatan
dengan pengertian etika, mengandung pengertian sopan santun, kaidah, norma yang baik.
Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik dan terpancar sebagai cermin obyektif
kalbunya dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Berdasarkan ringkasan isi dari kitab Bhagavadgita Bab XVI (enam belas) diatas maka
ajaran agama Hindu yang terkandung di dalamnya adalah sebagai berikut :
1. Daiwi Sampad, yaitu sifat-sifat kedewaan.
2. Asuri Sampad, yaitu sifat-sifat keraksasaan.
Sifat dasar yang mempengaruhi perbuatan manusia ada dua. Dalam kitab Bhagawad
gita perbuatan tersebut yaitu Daiwi sampad dan Asuri Sampad. Daiwi Sampad yaitu sifat
manusia yang dipengaruhi oleh sifat-sifat kedewataan yang mengakibatkan atau mendorong
manusia untuk berbuat mulia baik, bjaksana. Sedangkan asuri sampad yaitu sifat manusia
yang banyak dipengaruhi oleh sifat keraksaan, yang cendrung manusia bersifat berbudi
rendah, seperti angkuh sombong, marah, iri hati, benci dan penuh dengan kekerasan.
Tidakan-tindakan yang buruk tidak dapat lepas dari kehidupan manusia karena hal itu
merupakan hal yang telah manusia bawa sejak lahir ke dunia dan tindaka-tindakan buruk
tersebut mestilah ditekan dan dikendalikan, salah satu ajaran agama Hindu yang dapat
dipakai untuk menekan tidakan negatif tersebut ialah ajaran Panca Yama Brata.

3.2 Saran
Dengan mempelajari Susila dan pengendalian diri diharapkan dapat menekan tidakan-
tidakan yang berpengaruh negatif pada diri dan sekitar. Dengan memahami isi materi ini
pembaca agar lebih memahami apa saja yang perlu dikendalikan dalam diri.

18

Anda mungkin juga menyukai