I.
PENDAHULUAN
II.
PEMBAHASAN
Tipologi bangunan
Terbagi dalam 3 tingkat. Bagian atas disebut Para merupakan tempat yang dianggap suci
biasanya dipakai untuk menyimpan bahan makanan, bagian tengah disebut Kale Balla sebagai
tempat manusia menetap atau bertempat tinggal, bagian bawah disebut Siring sebagai tempat
menenun kain atau sarung hitam (topeh leleng) merupakan pakaian khas masyarakat Ammatoa.
Konsep ini sekaligus merupakan wujud fisik manusia yang terdiri dari kepala, badan, dan kaki.
Pada bagian badan
(Kale balla) terdapat bagian yang dianalogikan dengan bahu pada bagian badan manusia yakni
berupa rak 60 cm yang berada di bagian luar dinding tepat di bawah atap yang menjorok keluar
dan memanjang sepanjang bangunan. Bagian ini disebut Para-para. Ketinggan para-para setinggi
telinga/mata pemilik rumah, yang dimaksudkan agar si pemilik rumah bisa melihat/mendengar
jika ada yang bermaksud jahat. Para-para ini difungsikan sebagai tempat menyimpan 16
peralatan dapur. Sedang langit-langit rumah (Kajang: para) difungsikan sebagai lumbung tempat
menyimpan bahan makanan seperti padi dan juga sebagai tempat menyimpan benda pusaka.
Bagian paling atas adalah merupakan penutup para/atap (Kajang: Ata ). Pada bagian muka dan
belakang dari atap ( ata ) ini terdapat timpa laja yakni atap pada bagian muka dan belakang
berbentuk segitiga sama kaki selain sebagai penutup para untuk melindungi bahan makanan dari
tempiasan air hujan juga terdapat lubang kecil sebagai pengahawaan Timpa laja ini terdiri atas 2
susun dan terdapat hanya pada Bola/Balla Hanggang (rumah yang tiangnya ditanam) dan ini
merupakan ciri khas yang menunjukkan keseragaman dan memberikan indikasi keturunan
Ammatoa yang tidak melihat strata sosial dari bentuk dan model rumah. Untuk rumah yang
sudah mengalami perubahan (Bola/Balla paleha), tiang tidak lagi ditanam, susunan timpak laja
sudah ada yang terdiri atas 3 atau 5 susun. Ini ditemukan umumnya pada ibukota desa Tanatoa
(dusun Bagian lain adalah tiang pusat (pocci balla) yang merupakan analogi dari Pusar pada
tubuh manusia dimana nutrisi ditransfer ke embrio dan tempat yang ditujukan untuk
perlindungan. Oleh karena itu Pocci Balla ini dianggap sebagai pusat yang membentuk
keseimbangan, selain itu secara mistik mempunyai nilai religius, dianggap keramat (suci). Pada
tiang ini mendapat perhatian yang paling penting diikuti dengan syarat-syarat termasuk
bahan/jenis kayu dan tata cara mendirikannya. Tiang rumah ditanam ke dalam tanah dan
tingginya diukur sesuai dengan aktivitas yang dapat dilakukan dibawahnya. Tangga dan pintu
masuk hanya ada di depan bagian tengah agak ke kanan atau kekiri dari lebar rumah. Sistem
konstruksinya masih sangat sederhana berupa sistem ikat dan pasak. Begitupula dengan desain
pintu dan jendala yang masih sangat sederhana dengan sistem konstruksi menggunakan sistem
geser (sliding door and sliding window).
Bentuk rumah adat suku kajang sangat unik. Bangunan rumah khas Sulawesi selatan
secara umum adalah rumah panggung. Tapi suku kajang mempunyai keunikan bentuk rumah
panggung tersendiri yaitu dapurnya terltak di depan menghadap jalan utama. Ini melambangkan
kesederhanaan, dan mau menunjukan apa adanya. Mereka senantiasa menyembunyikan rumah di
balik hutan. Di dalam setiap rumah adat suku kajang, tidak ada satupun peralatan rumah tanggga.
Tidak ada kursi ataupun kasur. Bahkan mereka tidak menggunakan satu barang elektronik pun.
Mereka menganggap modernitas dapat menjauhkan suku kajang dengan alam dan leluhurnya.
jalan menuju hidup hakiki , berdasarkan isi dari pappasang bahwa dengan hidup miskin di dunia
akan mendapatkan ganjaran kekayaan di akhirat. Masyarakat Kajang berpegang teguh pada
prinsip kamase-masea dengan sistem nilai lambusu (jujur), gattang (tegas), sabbara (sabar), dan
appisona (pasrah) di dalamnya.nilai nilai yang ada pada budaya kamase-masea itulah yang
menjadi pegangan dan pedoman hidup masyarakat kajang.
2. Upacara Rumatang Masyarakat Kajang
Upacara Rumatang merupakan upacara adat yang bertujuan sebagai ungkapan rasa
syukur, ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta yang dipimpin langsung oleh pemimpin adat
yang kerap disebut ammatoa. Persiapan upacara dimulai pada pagi hari yang oleh kaum wanita
dipersiapkan makanan khas dan dipimpin oleh seorang wanita tua yang memberi petunjuk bahwa
makanan apa saja yang seharusnya disediakan. Nasi yang utama dipersiapkan harus dari beras
hitam. Karena jenis beras inilah yang pertama kali dapat ditanam oleh leluhur mereka.
Dilanjutkan dengan meminum sejenis minuman keras khas Sulawesi Selatan yang disebut
"ballo". Semua kaum pria wajib meminum ballo dari gelas yang sama sebagai simbol
persaudaraan. Hal ini dilakukan pada saat makan siang bersama sebelum dilaksanakannya
upacara Rumatang. Ada juga delapan buah sesaji yang disediakan berupa nasi empat warna,
lauk pauk dan buah-buahan. Sesaji ini dibawa oleh warga ke delapan tempat terpisah sesuai arah
mata angin. Peletakan sesaji ini bermakna hasil panen tidak hanya dinikmati oleh manusia saja
melainkan tanah, angin dan semua unsur di bumi yang membantu panen berhasil, juga ikut
merasakan hasilnya. Salah satu contoh program pemerintah adalah memberikan akses
penerangan (listrik) di daerah ini, ditolak oleh komunitas adat, sehingga sampai saat ini, daerah
adat Kajang Ammatoa masih menggunakan. penerangan lampu tembok yang dulunya terbuat
dari buah jarak, tetapi sekarang sudah memakai minyak tanah. Jadi jangan mencari ada alat
elektronik di daerah ini. Memasuki kawasan Adat, penduduk tidak boleh memakai alas kaki,
termasuk tamu yang datang dari luar, karena itu merupakan suatu penghinaan. Atau jangan
sekali-kali memakai pakaian warna merah. Pakaian orang-orang Kajang adalah pakaian serba
hitam, yang ditenun sendiri, yang konon harganya sangat mahal, bahkan sampai jutaan rupiah.
Filosofi masyarakat kampung suku kajang dalam bahasa kajang Ammentengko nu
kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, adakkako nu kamase-mase, ameako nu kamasemase yang berarti berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau
sederhana, dan berbicara engkau sederhana.
perempuan adat di dalam kawasan hidup Amatoa itu. Mungkin ada beberapa unsur pengaruh
negatif. Keluar, pengawasan sudah kurang. Pengawasan keluarga sudah jarang. Atau mungkin
karena pengaruh pergaulan yang mereka sama sekali di awal kehidupannya belum pernah
melihat tata cara seperti itu, mereka langsung bisa terjerumus. Inilah yang mereka jaga. Tapi,
kalau sekarang ini sudah sedikit agak terbuka.
III.
PENUTUP
KESIMPULAN
Masyarakat suku kajang merupakan masyarakat yang penuh dengan kesederhanaan,
mereka memegang teguh adat istiadat serta budaya-budaya mereka.Masyarakat kajang secara
geografis terdiri dari dua yaitu, masyarakat kajang dalam ( tau kajang ) dan masyarakat kajang
luar ( tau lembang ). Masyarakat kajang dalam lebih memegang teguh budaya dan tradisi-tradisi
yang berlaku di lingkungannya. Sedangkan , masyarakat kajang luar merupakan masyarakat
kajang yang tinggal di luar perkampungan, masyarakat kajang luar ini sudah bersifat modern dan
dapat menerima hal baru dari luar.
DAFTAR PUSTAKA
http://bugiesmakassar.blogspot.com/2012/11/ciri-khas-bulukumba-visite-ammatoasuku.html (28/
3/2015)
http://rahmanthevolves.wordpress.com/2012/04/15/mengenal-budaya-unik-suku-kajang/ (28/3/2
015)
http://hanageoedu.blogspot.com/2011/12/suku-kajang.html (31/3/2015)
https://fhetanblog.wordpress.com/suku-kajang-di-bulukumba/(31/3/3015)