Anda di halaman 1dari 10

BUDAYA POLITIK MASYARAKAT ADAT

Studi Kasus di Kampung Naga Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten


Tasikmalaya

Negara Republik Indonesia yang wilayahnya sangat luas, merupakan sebuah negara
besar yang dihuni oleh penduduk dalam jumlah yang besar pula, yakni lebih dari 260 juta
jiwa. Penduduk di wilayah tersebut terdiri atas sejumlah kelompok masyarakat yang
tinggal menyebar di berbagai pulau yang membentang dari ujung barat hingga ke ujung
timur. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut memiliki latar belakang budaya yang
berbeda satu sama lainnya, dan perbedaan tersebut dapat memberikan gambaran jati diri
yang khas bagi setiap kelompok masyarakat yang memilikinya. Sudah tentu beragamnya
kelompok masyarakat berikut karakteristik budaya yang mereka miliki mewarnai
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melihat kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen, sudah tentu
tidaklah mudah untuk menciptakan kondisi yang selaras dengan tujuan pembangunan
nasional. Ada kemungkinan karena mereka dapat menerima pembaharuan atau
modernisasi, baik yang berasal dari program-program pembangunan maupun yang
diperoleh melalui arus informasi akibat desakan globalisasi yang terjadi pada saat ini.
Namun tak bisa dipungkiri pula kalau hingga kini pun masih tersisa sejumlah kelompok
masyarakat yang tak perduli dengan hal yang berbau modern. Kelompok masyarakat
yang menggambarkan kondisi tersebut adalah masyarakat adat yang hidup dalam sebuah
lingkungan adat yang sangat dipatuhinya. Mereka hidup dalam kelompok yang
memisahkan diri secara formal dari tatanan budaya pada umumnya.
Seperti halnya yang terjadi di salah satu daerah di kabupaten Tasikmalaya yang
masih kental dengan kebudayaan aslinya sehingga dengan adanya perubahan mengenai
peraturan pemerintahan daerah sangat erat kaitannya dengan keberlangsungan adat
istiadat di daerah tersebut. Daerah yang dimaksud adalah Kampung Naga. Kampung
Naga adalah salah satu daerah yang ada di kecamatan Salawu kabupaten Tasikmalaya ini
merupakan sebuah kampung yang masih kuat mempertahankan kemurnian adat
istiadatnya, meskipun disekitarnya sudah bisa dipastikan tidak lagi bisa menjaga pola
hidup dan kebudayaan aslinya. Secara administratif Kampung Naga termasuk Desa Legok
Dage Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya. Jarak tempuh dari kota
Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut 26
km jauhnya. Untuk sampai ke Kampung Naga dari jalan menuju Garut dan Tasikmalaya
kita menuruni tangga yang telah berdinding (Sunda = sengked) sampai ke tepi sungai
Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak sekitar 500 meter. Kemudian,
melalui jalur sepanjang sungai Ciwulan untuk sampai di Kampung Naga. Menurut data
dari Desa Neglasari, bentuk permukaan tanah di perbukitan Kampung Naga dari
produktivitas tanah bisa dikatakan subur.
Struktur pemerintahan Kampung Naga sangat menarik kita bahas, kerena
mempunyai cara tersendiri dalam pelaksanaannya. Ada beberapa jabatan tradisional
diantaranya, jabatan tertinggi ada di tangan kuncen. Proses pemilihan kuncen tidak
dibatasi usia, namun adanya hubungan keluarga secara turun temurun. Tugas seorang
kuncen ialah memimpin upacara adat yang diadakan enam kali dalam satu tahun,
mengatur, membuat, dan merumuskan kebijakan untuk diterapkan pada seluruh
warganya. Jabatan kedua diduduki oleh seorang punduh yang tugasnya melaksanakan
tugas keseharian yang diperintahkan oleh kuncen, seperti contoh mengurus, menata, dan
mengarahkan warganya (ngurus laku meres gawe). Jabatan ketiga yaitu Lebe yang
tugasnya mengurus masalah keagamaan diantaranya pemulasaraan jenazah. Sedangkan
jabatan formal seperti pada umumnya adalah RT, RW, Kadus dibawah naungan
pemerintah desa setempat. Hal ini menjadi sorotan bagi keberlangsungan sosial budaya
yang ada di daerah. maka fenomena kebudayaan yang ada di Kampung Naga Desa

Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya akan menjadi kajian dalam


penelitian ini.
Keunikan dari desa ini terletak pada keseragaman rumah, arah yang mereka hadapi,
rancangan, dan bahan bangunan. Semua Gables rumah wajah sungai dan selaras
sepanjang sumbu timur-barat. Bahan atap untuk atap adalah ijuk (gula-serat kelapa).
Tidak ada sepeda motor atau kendaraan lain di dalam atau dekat desa. Jalur sempit di
antara rumah-rumah yang terbuat dari batu bulat kasar. Sebagaimana mempertahankan
dinding dan tangga yang menuju ke bagian atas desa. Tidak ada listrik di Kampung Naga,
dan bahkan penggunaan kaca jendela sangat baru-baru ini. Rumah yang ada di Kampung
Naga baru saja lebih dari seratus rumah dan banyak keluarga. Di pusat desa, tepat di
samping ruang sidang, adalah sebuah warung kecil yang menjual barang-barang
kerajinan yang terbuat dari bambu terbelah dengan harga sangat moderat.
Kampung Naga yang merupakan daerah satu hektar setengah, sebagian besar
digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan sisanya digunakan untuk bidang
pertanian panen dua kali setahun. Kampung Naga yang mempunyai kekhasan dalam
bentuk rumah dan pola hidupnya yang masih tradisional ini masih bisa tetap bertahan
dengan kebudayaan aslinya meskipun jumlah penduduknya yang sudah sekian
banyaknya dan tidak jarang juga diantaranya yang sudah mendapatkan gelar sarjana
maupun yang masih berstatus mahasiswa, tetapi semua itu tidak mempengaruhi
kekhasan daerahnya.

KESIMPULAN
Dari penjelasan tersebut, kampung Naga menjadi salah satu daerah yang memiliki
magnet yang cukup kuat bagi kajian budaya baik lokal maupun nasional. Hal ini terbukti
karena di kampung Naga tersebut tradisi-tradisi kebudayaan masih tetap terjaga
meskipun arus modernisasi semakin menyeret daerah-daerah yang ada di Kabupaten
Tasikmalaya. Sehingga Kampung Naga menjadi salah satu daerah yang bisa dikatakan
istimewa karena struktur pemerintah dan adat istiadat beriringan dengan baik dalam
menjaga kebudayaan dan menjaga norma-norma adat yang ditunjang dengan
dijalankannya peraturan-peraturan pemerintah yang berbeda. Maka dari itu peneliti
tertarik dalam penelitian ini untuk mengkaji budaya politik yang ada di Kampung Naga
tersebut.

Secara praktis penelitian ini dapat menjadi penjelasan budaya dan perilaku politik
khususnya bagi masyarakat kampung Naga di desa Neglasari Kecamatan Salawu
Kabupaten Tasikmalaya. Lebih dari itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
kontribusi pemikiran bagi pemerintah desa maupun pemerintah kabupaten Tasikmalaya
agar senantiasa memberikan perhatian yang lebih terhadap kelestarian kebudayaan
kampung Naga sehingga perilaku politik dari masyarakat kampung Naga di dasarkan atas
orientasi yang jelas dan rasional.
Mengenai permasalahan budaya politik yang ada di Indonesia telah ada beberapa
peneliti yang meneliti penelitian budaya politik Indonesia. Menurut Albert Widjaja
(1988:24), Suryani (2008:3) budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang
terdiri dari ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya ini dikenal
dan diakui sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberi rasional untuk
menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. Albert Widjaja menyamakan budaya
politik dengan konsep ideologi yang dapat berarti sikap mental, pandangan hidup, dan
struktur pemikiran. Budaya politik menurutnya menekankan ideologi yang umum berlaku
dimasyarakat, bukan ideologi perorangan yang sifatnya sering khusus dan beragam.
Studi budaya politik di Indonesia pernah dilakukan oleh para ilmuwan dari barat
diantaranya yaitu Herbert Feith dan Clifford Geetz. Budaya politik suatu masyarakat akan
ditentukan oleh unsur-unsur yang ada dalam masyarakat tersebut. Herbert Feith,
mengemukakan bahwa Indonesia memiliki dua budaya politik yang dominan, yaitu
aristokrasi jawa dan wiraswasta jawa. Sedangkan menurut Clifford Geetz, dalam
masyarakat jawa terdapat tiga subkebudayaan yaitu santri, abangan, priyayi. Sementara
itu, Hildred Greetz, mengelompokan masyarakat kepada tiga subkebudayaan yang
disebut sosiocultural types menjadi petani pedalaman Jawa dan Bali, Masyarakat Islam
Pantai, dan Masyarakat pegunungan. Pendapat para ahli barat tersebut kendatipun
banyak menuai kritik, akan tetapi hal tersebut menunjukan adanya keanekaragaman
subbudaya politik yang mempengaruhi budaya politik masyarakat di Indonesia.
Perkembangan pada subbudaya politik, menurut Nazarudin. dalam Suryani
(2008:6), dipengaruhi oleh dua faktor dominan, yakni adat istiadat dan sistem
kepercayaan (agama). Adat dan agama memainkan peranan yang besar dalam proses
penyerapan dan pembentukan pandangan masyarakat tentang kekuasaan atau simbolsimbol yang ada disekitarnya. Adat dan agama telah mempengaruhi atau memberi
bentuk pola sikap atau pandangan individual anggota masyarakat mengenai peranan
yang mungkin dimainkannya dalam sistem politik.
Konsekuensi dari kebijakan otonomi daerah ini dirasakan langsung oleh seluruh
daerah yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk Kabupaten Tasikmalaya
yang merupakan salah satu daerah yang ada di Provinsi Jawa Barat bagian Priangan
Timur. Dari sisi historis, Tasikmalaya memiliki sejarah yang panjang diduga nama ini
mempunyai kaitan erat dengan keberadaan gunung Galunggung. Dahulu kala, nama yang
dikenal pertama kali adalah Tawang atau Galunggung, yang pada jaman penjajahan
Belanda daerah ini diperintah oleh seorang patih lurah (zelfstandige patih). Nama itu
sering pula disatukan menjadi Tawang Galunggung. Tawang sama dengan Sawang yang
artinya tempat yang luas terbuka atau dalam bahasa sunda berarti pula pulelongan.
Daerah ini dikenal sangat subur dan banyak ditanami teh, kina, dan kopi (Hakim,2005:2).
Kekhasan budaya masyarakat Tasikmalaya yang dikenal santun dan religi sangat
menarik kita kaji ketika kita kaitkan dengan kondisi sosial politik yang terjadi sekarang ini.
Dimana proses demokratisasi yang sedang berjalan di negara ini sudah berjalan cukup
lama terlebih setelah terjadinya reformasi pada tahun 1998. Dimana setelahnya reformasi
terjadi di negeri ini, mengakibatkan terjadinya perubahan yang cukup mendasar bagi
perundang-undangan bangsa Indonesia. Terutama perubahan Undang-Undang mengenai
pemerintahan daerah. Sehingga masyarakat yang ada diakar rumput terlibat secara

langsung didalam menentukan pemimpin yang akan memimpin negara ini maupun
pimpinan daerah secara khususnya.

Sumber : http://dratsk.blogspot.co.id/2010/11/budaya-politik-masyarakat-adat-studi.html

KORUPSI
Korupsi di Indonesia sekarang ini semakin terbongkar kriminalitasnya, dimana kasuskasus tersebut seringkali diberitakan di media massa. Penggemboran berita korupsi pun
merajalela sehingga perspektif masyarakat terhadap kinerja pemerintah buruk dan
kurang mempercayai pengelolaan negara. Dibuktikan dengan kasus korupsi paling rumit
di tahun 2010, Gayus Tambunan seorang pegawai departemen pajak yang hanya
bergolongan III A sudah mempunyai asset sebesar 250 miliar sedangkan rata-rata
penghasilan pegawai pajak departemen golongan III A tidak berpendapatan sebanyak itu.
Tidak hanya gayus sebagai pamor mafia pajak yang membuat Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) berkurang, tapi juga kasus penyelewengan dana yang
banyak diberitakan di media massa berdampak pada jalannya sektor pembangunan
negara. Misalnya dari penangkapan kasus korupsi sekertaris Menpora (Wafid Muharram)
yang divonis telah menerima penyuapan, penyimpangan dana Otonomi khusus provinsi
Papua, dan pencekalan tersangka kasus korupsi Joko Sutrisno dalam pelaksanaan lomba
ketrampilan siswa dan pameran SMK Kementrian pendidikan Nasional yang ditangani
KPK(Komisi Pemberantasan Korupsi). Padahal, korupsi dapat mengurangi nilai manfaat
suatu pembangunan dan memperlambat perkembangan negara ke arah yang lebih maju.
Menurut pandangan hukum yang berlaku, definisi korupsi sendiri berarti perbuatan
setiap orang baik pemerintahan maupun swasta yang melanggar hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara(UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001). Dalam 13 buah Pasal
UU no.31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU no.20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tipikor, korupsi dirumuskan dalam bentuk tipikor yang dijelaskan di dalam
pasal-pasal tersebut. Dasar dasar dari tindak korupsi dikelompokkan menjadi tujuh
yaitu
:
Kerugian
keuangan
negara,
suap-menyuap,penggelapan
dalam
jabatan,pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan,
gratifikasi. Bentuk-bentuk lain tertera pada UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001
yang berisi tentang tindakan pidana yang berkaitan dengan tindakan korupsi, seperti

merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, tidak memberi keterangan atau memberi
keterangan yang tidak benar, bank yang tidak memberikan keterangan rekening
tersangka, saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan
palsu, orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau
memberikan keterangan palsu, saksi yang membuka identitas pelapor.
Dilihat dari segi historis, Indonesia mengalami masa kolonialisme dimana korupsi
telah mengakar dari masa kerajaan hingga sekarang. Hal tersebut membuat
pemberantasan korupsi sulit dilaksanakan karena telah mendarah daging sebagai
kepribadian bangsa. Pada masa pra-kolonialisme, para penguasa lebih otoriter untuk
memimpin suatu wilayah kerajaan yang dikuasainya sehingga rakyat tidak berdaya dalam
melawan raja-raja, rakyat hanya diperintahkan untuk membayar upeti kepada raja-raja.
Rakyat pun tidak berani untuk mengkritik dan melakukan pertentangan karena takut akan
menimbulkan perlawanan dan diperlakukan dengan buruk. Rakyat lebih cenderung
kepada sikap nrimo dan cari perhatian kepada para raja untuk mendapatkan sesuatu
yang lebih dari raja-raja. Budaya ini menyebar terutama di wilayah jawa. Budaya seperti
ini memicu adanya akar dari suatu korupsi di negara Indonesia karena sistem yang
diterapkan raja dengan menarik upeti kepada rakyat tidak transparan dan dapat
menimbulkan penyelewengan dana. Akibatnya, rakyat semakin menderita dan wilayah
kerajaan semakin makmur. Perlakuan raja tersebut juga didukung oleh adanya rakyat
yang hanya dapat menerima apa adanya tanpa perlawanan dan perbaikan untuk raja dan
sikap cari perhatian kepada raja untuk membahagiakan diri sendiri dan keluarga. Perilaku
tersebut menyebabkan mental bangsa Indonesia menjadi malas, dan bergantung kepada
orang lain sehingga mengambil jalan singkat menuju kebahagiaan. Mental tersebut dapat
menjadi akar dari sebuah kata korupsi.
Budaya rakyat dan raja-raja pada masa akhir kerajaan di Indonesia diamati oleh
kolonial yang ingin mengeruk harta kekayaan alam Indonesia, menyebarkan agama, dan
mencari kekuasaan. Tujuan-tujuan tersebut dikenal dengan sebutan mencari 3G (Gold,
Glory, dan Gospel). Kasus peraturan culture stelseel yang dibuat oleh pihak Belanda
sangat merugikan rakyat, padahal isi dari peraturan tersebut bertujuan untuk
menyejahterkan rakyat, tapi dalam realitanya peraturan tersebut sebagai wadah untuk
melaksanakan tujuan kolonialisme Belanda. Belanda juga membentuk VOC (Vereenigde
Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia
Timur Belanda) yang pada akhirnya hancur karena korupsi. Pegawai VOC banyak yang
terlibat korupsi dan kasus tersebut dibuktikan dengan adanya pegawai tinggi VOC yang
memiliki banyak rumah mewah di Indonesia dan di negri Belanda yang seharusnya tidak
dapat dibiayai oleh gaji mereka. Mental para kolonial sebagai koruptor dapat ditiru oleh
bangsa yang dijajah karena mengalami proses percampuran budaya Indonesia dan
Belanda.
Pada Masa Orde Baru, korupsi menjadi suatu keterselubungan birokrasi pemerintah
yang dimanipulasikan dengan kestabilan ekonomi rakyat. Dibalik kestabilan
tersebut,Soeharto menyembunyikan korupsi politik yang dilakukannya, seperti membelit
negara dengan hutang luar negri dan elit politik yang menikmati kekuasaan Soeharto.
Korupsi tersebut pun dipicu oleh adanya ketidaktransparansi anggaran pemerintah
sehingga banyak peluang untuk melakukan praktik korupsi. Pada era-orde baru juga
didukung oleh pemerintahan yang otoriter dan subversif. Otoritas jabatan Soeharto
menjadikan kuasa politik tanpa batas. Keotoritasan itu pun berdampak kepada praktik
korupsi politik. Perusahaan negara seperti Bulog,Pertamina Departemen Kehutanan sering
dianggap sebagai sarang korupsi sehingga banyak sekali mahasiswa dan pelajar yang
protes tentang permasalahan tersebut. Padahal pada saat itu pun ada Tim Pemberantasan

Korupsi tapi kelompok tersebut menunjukkan ketidakseriusan dalam memberantas


korupsi. Para elit pemerintahan pada masa ini dapat melakukan praktik korupsi dengan
mudah

Pada Masa Era Reformasi, penyakit korupsi menjangkiti elemen penyelenggara


negara. BJ Habibie yang pada awalnya aktif dalam memberantas korupsi, terlihat dari
usahanya dalam mengeluarkan UU No.28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara
yang bersih dan bebas KKN. Presiden selanjutnya, Abdurrahmah Wahid nampak perannya
dalam pemberantasan korupsi ketika membuat Tim Gabungan Tindak Pidana Korupsi
(TGTPK) dan peran Megawati ketika membentuk suatu badan yang berdiri hingga
sekarang masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang bernama KPK (Korupsi
Pemeberantasan Korupsi). Namun, dari pembentukan badan dan pembuatan undangundang tersebut masih saja belum menyelesaikan permasalahan korupsi. Para elit politik
dan penyelenggara negara masih melakukan praktik politik walaupun media massa
sekarang pun banyak menyoroti pejabat-pejabat yang terkait dengan tindak pidana
korupsi dan ketangkap basah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) namun
pengusutan tersangka korupsi yang melibatkan banyak pihak belum terselesaikan.
Problematika itu dibelit-belit dan tampak seperti permainan politik pemerintahan.
Misalnya dalam menangani kasus Gayus dan Bank Century. Kasus tersebut ditangani
dengan lambat, dan kasus ini pun harus mengorbankan satu mentri Keuangan, Sri
Mulyani. Kasus Gayus juga belum terselesaikan hingga sekarang dan masih mencari
tersangka yang terkait. Akhirnya,citra presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun jatuh.
Dari sejarah yang dikaji, terlihat bahwa korupsi sudah menjadi budaya para
aparatur negara Indonesia sehingga rakyat jengah melihat keadaan Indonesia yang
semakin miskin karena ketidakmerataan alokasi dan distribusi SDA, infrastruktur
pembangunan kurang memadai dan kekacauan permasalahan sosial dan politik Indonesia.
Dampaknya, rakyat semakin apatis untuk memperhatikan peranan pemerintah dan
pemerintah menjadi asumsi negatif di mata rakyat. Aparat pemerintah juga menjadi
teladan bagi masyarakat Indonesia dimana korupsi juga menyebar luas di kalangan
masyarakat. Masyarakat juga tidak ingin dibodohi terus-menerus oleh pemerintah
sehingga mereka juga sering melakukan praktik korupsi, baik dalam skala besar maupun
kecil. Contoh kasusnya terlihat pada kasus kecil dimana penilangan polisi dibayar
memakai lembaran dua puluh ribu, daftar pekerjaan atau kuliah dengan menggunakan
amplop, dan perilaku korupsi lainnya yang menimbulkan mental bangsa Indonesia
menjadi mental korupsi dan mengakar menjadi budaya bangsa Indonesia.
Budaya merupakan suatu orientasi nilai-nilai yang menjadi acuan tindakan-tindakan
para aktor politik. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga dipengaruhi oleh budaya
politik pemerintahan. Latar belakang dari budaya itu sendiri dipengaruhi oleh
agama,ras,etnik,adat,bahasa,dan lain sebagainya. Perbedaan budaya tersebut dapat
menyebabkan konflik antar para elit politik. Almond dan Verba mendefinisikan budaya
politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan
aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam
sistem tersebut. Dari definisi diatas, korupsi juga dapat menjadi suatu budaya yang
tertanam di Indonesia karena korupsi mempunyai orientasi yang bertujuan untuk
memperoleh kekayaan dengan cara memperoleh kedudukan dalam pemerintahan.
Budaya tersebut juga tidak menyebar di dalam kalangan elit politik saja, namun
masyarakat Indonesia yang tidak paham dan mengabaikan pemahaman betapa
pentingnya penghilangan praktik korupsi juga turut membantu jalannya korupsi walaupun

kasus dominan yang sering terjadi di masyarakat masih berskala kecil. Dari praktik kecil
korupsi itulah muncul bibit-bibit generasi para elit politik dengan kejahatan white collar
crime.
Indonesia pada tahun 2005, menurut versi transparancy Internasional menempati
urutan ke-36 negara tekorup. IPK tersebut adalah persepsi korupsi di sektor publik pada
180 negara. Nilai IPK ini skalanya dari 0 sampai 10. Nol mengindikasikan persepsi
terhadap korupsi yang tinggi. Sedangkan 10 mengindikasikan tingkat korupsi yang
rendah. Pada 2006, IPK Indonesia adalah 2,4. Sedangkan IPK pada 2007 adalah 2,3.
Penurunan indeks tersebut dapat disebabkan oleh masih banyaknya koruptor yang
dibebaskan dari jeratan hukum. Misalnya, pada tahun 2007 Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang memvonis bebas Pontjo Sutowo dan Ali Mazi dari dakwaan korupsi
perpanjangan hak guna bangunan Hotel Hilton, putusan Pengadilan Negeri Blora yang
memvonis bebas Supito, terdakwa kasus korupsi pengadaan bantuan gubernur untuk air
bersih senilai Rp 800 juta.Padahal negara tetangga kita, Malaysia, memiliki skor yang jauh
lebih baik dari Indonesia yakni 5,1. Singapura memperoleh skor 9,3 untuk indeks persepsi
korupsi. Pada tahun 2010, Angka Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2010 tetap 2,8
atau berada di peringkat ke-110 dari 178 negara yang disurvei. Nilai ini sama persis
dengan tahun 2009 sehingga bisa dimaknai pemberantasan korupsi berada pada titik
stagnan. Hal ini disebabkan oleh kurang berjalannya pemberantasan korupsi disebabkan
sistem hukum dan politik di Indonesia masih korup. Anggota DPR, DPRD, dan pemilu
kepala daerah harus mengeluarkan banyak uang pada saat kampanye pemilu. Praktik
money politics sering terjadi di Indonesia sehingga menimbulkan kekacauan dan masalah
kecurangan dalam pemilu.

KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa korupsi dapat menjadi suatu
budaya di Indonesia karena dilihat dari segi historis, praktik tersebut diterapkan secara
turun-temurun dan sulit diberantas apabila tidak dilakukan dengan kesadaran untuk
merubah jati diri bangsa Indonesia. Perubahan nilai-nilai tersebut harus dimulai dari otak
penggerak negara, yaitu aparat penyelenggara negara. Apabila aparat penyelenggara
negara mempunyai pemikiran menjalankan pemerintahan mendahului kepentingan
bangsa dan negara dibandingkan kepentingan partai politik dan kepentingan individu,
maka stabilitas pembangunan Indonesia yang sedang berkembang, infrastruktur negara
pun masa manfaatnya lebih panjang, dan kesejahteraan sumber daya manusia tercapai
karena alokasi dan distribusi dibagikan secara merata.
Indonesia juga dapat mencontoh negara-negara maju tentang bagaimana cara
pemberantasan korupsi yang tepat untuk mengintegrasikan pembangunan bangsa
Indonesia. Seperti Singapura, Hongkong, Denmark, New Zealand, dan negara tetangga
sendiri yaitu Malaysia. Indonesia dapat melihat dan mencontoh hongkong yang
menjadikan zero tolerance sebagai prinsip utama dalam pemberantasan korupsi.
Karakteristik orang Indonesia yang penuh toleransi pun mendukung timbulnya bibit-bibit
korupsi sehingga penegakan hukum tidak berjalan secara maksimal. Penegak hukum dan
lembaga pemberantas korupsi harus bersikap tidak toleransi dengan orang yang telah
melanggar korupsi, baik itu korupsi yang dilakukan oleh pegawai rendah atau pejabat
besar.
Indonesia yang mempunyai sumber alam dan minyak tambang yang berlimpah,
seharusnya mempunyai sumber daya manusia yang berkualitas tinggi untuk mengelola
SDA yang telah ada. Namun, sebaliknya kemajuan negara Indonesia telah diambil oleh
koruptor yang bermental para pencuri dan mempunyai integritas rendah. Indriyanto Seno
Adji, ahli hukum pidana Universitas Indonesia, mengatakan bahwa sejak Orde Lama
sampai era reformasi, integritas dan mentalitas suap para pejabat negara tidak berubah.
Ketaatan regulasi dianggap lebih rendah dengan tradisi upeti kepada pejabat negara. Ini
semua yang disebut institusionalized corruption yang merajalela (Kompas,28/04/2011).
Maka dari itu, pemerintah, DPR, dan penegak hukum seharusnya bersama-sama
menerapkan suatu paradigma pemberantasan korupsi. Paradigma tersebut tidak hanya
dalam bentuk prosedural dimana struktur pemerintah yang hanya melengkapi fungsional
personal dalam pemberantasan hukum, seperti menyediakan penyidik, penuntut, dan
pengadilan khusus. Tapi elemen tersebut seharusnya dilingkupi dengan rasa keadilan,
sanksi moral yang kuat, memperbaiki sistem-sistem pemerintah yang rentan dengan
praktik korupsi. Langkah awal yang harus dijalankan pemerintah dengan dilaksanakannya
perubahan paradigma bangsa dalam pemberantasan korupsi dan perbaikan moral
pemerintah dengan integritas yang tinggi.
Sumber : https://sinichikudo92.wordpress.com/2011/05/17/korupsi-sebagai-budaya-politikindonesia/

BUDAYA POLITIK PADA PEMILU LEGISLATIF 2009

Pada 9 April 2009 tahun lalu, pemilu legislatif usai digelar. Pemilu 2009 memang
sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pemilu 2009 berjalan dalam suasana
sangat kompetitif multipartai dan memilih nama caleg. Pemilu yang dibayangkan mampu
menghadirkan kontestan yang benar-benar dikenal oleh pemilih. Sebagain besar
masyarakat bisa mengenal dan berkomunikasi langsung dengan calon-calon anggota
parlemen. Tujuannya adalah mendekatkan calon legislative kepada masyarakat serta
mengarahkan masyarakat agar melakukan pilihan berdasarkan perhitungan rasional
tentang keuntungan atau kerugian yang bakal diperoleh.
Hasilnya adalah harapan mengenai legislative yang legitimate, sehingga mampu
melahirkan kebijakan-kebijakan politik yang berbasis kepentingan masyarakat. Harapanharapan ini dimungkinkan karena beberapa hal. Menguatnya peran media, semakin
membaiknya tingkat pendidikan masyarakat, yang memungkinkan masyarakat semakin
rasional di dalam melakukan pilihan-pilihan politik. Pandangan-pandangan politik lama
seperti pendekatan Geertz tentang Santri, Priyayi, dan abangan sebagai preferensi pilihan
politik tidak mampu memberikan penjelasan perilaku politik masyarakat. Bahwa
kepercayaan agama tidak lagi menjadi faktor determinan perilaku politik masyarakat.
Pemilu 2009, sepertinya bergerak dalam keyakinan.
Dalam pemilu 2009 ini, di luar persoalan kemenangan Partai Demokrat yang
spektakuler dengan 20,85% perolehan suara, sebagaimana diduga oleh banyak lembaga
survey, catatan penting adalah aroma politik uang yang begitu kuat memberi cita rasa
pemilu 2009. Siapa yang memberi saya uang lebih banyak, dialah yang saya pilih. Kurang
lebih demikianlah cara berpikir para pemilih. Atau sebaliknya para calon anggota
legislative yang menyimpulkan bahwa masyarakat memilih hanya karena pertimbangan
uang. Apakah pemilu 2009 ini mencerminkan budaya duit yang sudah dibayangkan oleh
setiap orang. Gambaran di atas dapat begitu saja membuat orang berfikir bahwa tidak
banyak lagi makna yang masih tersisa dari pemilu, selain pandangan bahwa masyarakat
sedang berada di ujung zaman daulat duit.
Secara umum, perilaku politik, khususnya perilaku memilih merupakan fungsi dari
sikap atas situasi social, ekonomi, politik dan kepentingan masyarakat. Perilaku politik,
merupakan bagian dari tindakan social yang merupakan cermin dari budaya masyarakat.
Sebagai ilustrasi, kita dapat menunjuk pada norma-norma dan simbol-simbol masingmasing kategori sejarah. Dalam kategori tradisional misalnya, norma solidaritas dan
partisipasi menjadi ideologi. Di sini kita menemukan bahwa cita-cita egalitarian
diwujudkan dalam berbagai mite, tabu dan tradisi lisan yang menunjang ideology itu.
Dalam kategori patrimonial, yang ideologinya kawulo-gusti kita menemukan norma
yang melegitimasikan dan berusaha memberikan kontrol negara atas masyarakat dalam
bentuk simbolik berupa babad, tabu, mite serta hasil-hasil seni yang mengkeramatkan
raja.
Sebagai catatan dapat dikemukakan tentang kemungkinan adanya dikotomi budaya
di satu kategori dan juga ada gejala anomali budaya pada penghujung tiap kategori
sejarah. Dalam masyarakat patrimonial misalnya, akan ada dikotomi social dan budaya
antara golongan bangsawan dan petani. Ada budaya istana dan budaya rakyat yang
masing-masing mempunyai lembaga, symbol dan normanya sendiri.
Jadi budaya politik warga indonesia pada pemilu legislative 2009 banyak yang
partisipan. Ini di buktikan dengan jumlah golput yang semakin sedikit jika di bandingkan
dengan pemilu legislative sebelumnya. Seemakin banyak warga indonesia yang
memahami tentang arti pentingnya ikut berpartisipasi politik dalam merubah perpolitikan
indonesia kedepannya agar menjadi lebih baik. Budaya politik partisipan banyak terjadi
pada masyarakat kalangan terdidik dan daerah perkotaan. Walaupun seperti itu juga
banyak warga yang sebenarnya bersifat parokial, tetapi menurut saya budaya parokial
yang ditunjukkan oleh orang indonesia sudah bukan parokial seperti yang dikatakan oleh

verba dalam theorinya. Tetapi lebih pada parokhial yang memilih berpartisipasi poltik
karena mendapatkan uang dari para calon legislative. Pada hakikatnya para pemilih ini
bersifat acuh tak acuh terhadap perpolitikan yang ada di Indonesia, akan tetapi demi
uang maka mereka memilih. Dan mereka memilih itupun tidak berdasarkan kesadaran
politik mereka yang tinggi, akan tetapi karena mendapatkan uang. Tanpa uang mereka
akan bersifat parokial terhadap pemerintahan. Sedangkan untuk budaya politik subyek
dimiliki oleh kalangan akademisi yang sudah mulai muak dengan tingkah laku para politisi
yang bertindak sesuka hatinya. Para akademisi ini tahu bahwa politik di Indonesia ini
sudah mengalami kekacauan, akan tetapi mereka sudah bosan dan tidak percaya lagi
dengan janji manis para politisi.

Sumber : http://cakikin.blogspot.co.id/2011/06/analisa-budaya-politik-pada-pemilu.html

Anda mungkin juga menyukai