Anda di halaman 1dari 8

RESENSI BUKU

MENELUSURI ARSITEKTUR MASYARAKAT SUNDA


NAMA : WIDIYA ANGGREANY
NPM

: 29313260

KELAS

: 2TB01

Judul
buku
Arsitektur

:
Menelusuri
Masyarakat Sunda

Pengarang

: Purnama Salura

Penerbit
Salura

Tahun

terbit

Jumlah
haalaman
Jumlah

bab

Sastra

: 2007
halaman

Dimensi buku
LATAR
Kebudayaan

Cipta

110

: 5 bab
: 16cm x 28cm
BELAKANG
merupakan bagian yang tak

dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Kebudayaan suatu bangsa dapat dilihat dari
berbagai aspek termasuk dari aspek arsitektur yang diciptakan manusia dalam suatu
kelompok. Kebudayaan pun terbentuk karena suatu proses kehidupan yang dipengaruhi
oleh berbagai hal misalnya lingkungan alam, sosial, dan religi. Dengan melihat pada
kebudayaan lokal yang nilai sejarahnya masih terkandung kental, kita bisa belajar dari
apa yang telah terjadi pada masa lalu.
Kebudayaan masyarakat lokal memiliki banyak pelajaran yang dapat kita pelajari dan
ambil hikmahnya untuk kehidupan yang lebih baik, terutama karena masih terkandungnya
nilai-nilai sejarah yang membentuk peradaban dan pola kehidupan masyarakat tersebut.

Dengan mengenali sejarah dan kebudayaan, kita dapat mengenali darimana kita berasal,
nilai apa saja yang dapat dipertahankan, dan nilai-nilai apa saja yang perlu mengalami
perubahan.
Suku Sunda merupakan salah satu bagian dari kebudayaan tersebut. Karena suku
sunda merupakan suku yang paling dekat dan dapat teramati dengan baik, sudah
seharusnya kita mengetahui tentang kebudayaan suku sunda serta implikasinya terhadap
bentukan arsitektur. Kebudayaan suku sunda terus berkembang dari dulu hingga sekarang,
namun selalu ada nilai-nilai yang tetap dipertahankan dan menjadi perhatian.
Selain itu, studi literatur mengenai arsitektur dan kebudayaan masyarakat sunda masih
jarang ditemukan. Diharapkan dengan penulisan resensi pada buku Menelusuri Arsitektur
Masyarakat Sunda ini, kita dapat lebih memahami kebudayaan masyarakat Sunda dan
pengaruhnya terhadap bentukan arsitektur.

TUJUAN
Penulisan resensi ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas dan guna mengkaji dan
memahami lebih dalam tentang kebudayaan Sunda dan pengaruhnya terhadap Arsitektur.
MANFAAT
Manfaat penulisan resensi agar lebih ringkas dan memudahkan seseorang yang malas
membaca atau malas membeli buku,dengan resensi jadi masih bisa untuk tau inti dari
suatu buku. Melalui sudut pandang penulis,menurut penulis buku ini walaupun fokusnya
arsitektur masyarakat sunda,penulis berharap juga bermanfaat untuk membaca atau
memetakan arsitektur vernacular lain di Indonesia.banyak daerah Indonesia mmpunyai
karakter serupa dengan kasus studi ini,termasuk sangat terbatasnya rujukan tertulis
maupun data empiris. Keterbatasan itu membuat banyak ragam arsitektur di Indonesia
belum dapat diungkap aspek bentuk dan maknanya.
RINGKASAN BUKU
Dalam kajian arsitektur lokal,pemahaman mendalam mengenai budaya masyarakat
setempat merupakan hal yang penting,karena karya arsitektur tidak pernah lepas dari
konteksnya budaya di tempat arsitektur tersebut berada. jika budaya masyarakat
berubah,arsitektur selalu membuka diri pada pengaruh luar.Budaya dan arsitektur dalam
kenyataannya tidak pernah static,tetapi selalu berubah sepanjang waktu,menyesuaikan
diri dengan kondisi kehidupan.
Berangkat dari kenyataan ini,premis yang bisa diajukan tentang arsitektur masyarakat
sunda ialah bahwa arsitektur tersebut senantiasa mengalami perubahan sesuai

perkembangan kondisi kehidupan,sementara tesa-nya ialah bahwa hubungan antara


konsep bentuk dan makna arsitekturnya bukan hubungan static,melainkan dinamik.
Sejauh ini dapat dinyatakan bentuk arsitektur masyarakat Sunda yang otentik dan
abadi tidak ada.Konsep bentuk arsitektur Sunda selalu adaptif terhadap perubahan
budaya dan kehidupan masyarakatnya.purisme kesundaan atau keyakinan adanya
budaya atau arsitektur sunda otentik dan harus dijaga keasliannya merupakan mitos yang
harus dipertanyakan relevansinya.
Mengenai arsitektur Sunda di tiga kampung yaitu Kampung Tonggoh, Kampung
Cigenclang, dan Kampung Palastra. Ketiga Kampung ini telah dipilih menjadi objek
penelitian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Diharapkan, setelah
mengetahui pola kehidupan, tata letak, dan bentukan arsitektur yang menonjol dari tiga
kampung tersebut, kita akan lebih mendalami dan mengetahui tentang Arsitektur Sunda
di tiga kampung tersebut. Ada beberapa ciri yang menonjol dalam arsitektur tradisional
sunda di tiga kampung tersebut, diantaranya :
Pengaruh animisme yang masih kuat di kalangan masyarakat
Hal ini ditandai dengan selalu ditemukannya makam karuhun atau keramat
pada ketiga perkampungan.Masyarakat meyakini bahwa dengan melakukan hal-hal
tersebut, keberkahan akan datang dan kampung akan dijauhkan dari berbagai mara
bahaya. Sedangkan untuk tata caranya, setiap kampung memiliki aturan yang berbeda,
di Kampung Tonggoh, masyarakat hanya diperbolehkan ziarah saat subuh setelah
melakukan ritual tertentu, sedangkan untuk Kampung Cigenclang dan Kampung
Palastra aturan tidak terlalu ketat.
Sebenarnya, kepercayaan terhadap arwah nenek moyang bukan saja
ditunjukkan oleh masyarakat Sunda, namun hampir oleh seluruh masyarakat adat di
seluruh Indonesia, contohnya pada Suku Toraja di Sulawesi Selatan.

Konsep sineger tengah yang melahirkan bentuk persegi panjang pada bentuk
rumah
Masyarakat Sunda percaya bahwa semua hal harus dilakukan secara seimbang,

tidak kurang dan tidak lebih. Konsep seperti ini dikenal dengan nama sineger tengah.
Hal inilah yang mendasari bentukan rumah mereka yang berbentuk segiempat. Pada
semua rumah penduduk, terutama pada imah kuncen yang nilai orisinalitasnya masih
sangat dipertahankan, bentukan rumah diawali dengan bagian tengah yang bisa
dipakai pria dan wanita secara bersama-sama, lalu bergerak ke kanan dan ke kiri

untuk bagian lainnya. Hal ini juga yang menyebabkan tidak terlalu banyak variasi
yang mencolok dalam variasi bentuk rumah di ketiga perkampunga tersebut.
Konsep ini juga yang mendasari masyarakat sunda dalam melakukan kegiatan
yang berhubungan dengan arsitektur seperti membuat rumah. Orang sunda percaya
bahwa manusia dan alam harus senantiasa hidup berdampingan dengan harmonis.
Keharmonisan ini dapat dicapai dengan keseimbangan. Masyarakat Sunda tidak
membangun rumah mereka secara berlebihan dan selalu menjaga kelestarian alam
karena mereka percaya bahwa setiap elemen kehidupan memiliki jiwa.

Pengaruh Islam dengan ditemukannya mushala/masjid di setiap perkampungan


Pengaruh Islam masuk ke pulau jawa kira-kira pada abad ke 14, hal ini juga

yang mempengaruhi pola perkampungan dan pengadaan tempat ibadah atau masjid.
Masjid menjadi unsur yang begitu penting dalam perkampungan, hal ini tercermin
dari hipotesis yang dilakukan Yudistira Garna bahwa kemungkinan, setelah imah
kuncen dan imah baraya, elemen yang kemudian muncul adalah mushala atau masjid.

Pemisahan gender yang terlihat dari pembagian zona dalam rumah


Rumah tradisional sunda memiliki dua pintu masuk, pintu masuk utama untuk

pria, dan pintu masuk samping untuk wanita. Hal ini diikuti dengan adanya zonasi yang
sangat jelas, contohnya saja tepas yang hanya boleh ditempati oleh pria dan pawon yang
hanya boleh ditempati oleh wanita. Tepas selalu berada dekat dengan hawu (tempat
memasak) dan goah (tempat penyimpanan beras), hal ini berkaitan dengan kegiatan
wanita di ketiga perkampungan tersebut yaitu memasak.
Konsep pemisahan gender ini bukan hanya tercermin pada zonasi rumah, namun juga
pengadaan mushala. Di Kampung Tonggoh terdapat dua mushala, yang satu untuk pria
dan satunya lagi untuk wanita. Kedua mushala ini diletakkan di tempat yang
ketinggiannya berbeda, mushala pria ditempatkan lebih atas daripada mushala wanita,
alasannya tak lain karena masyarakat Kampung Tonggoh masih meyakini bahwa lakilaki lebih tinggi derajatnya daripada wanita.
Konsep kaca-kaca yang mempengaruhi batas-batas wilayah
Konsep kaca-kaca adalah pemisahan antara zona yang satu dengan yang lain,
batasnya bisa berupa pagar bambu, kerikil, maupun kontur tanah. Hal ini terlihat sangat
kental di Kampung Tonggoh, dimana ada pagar bambu yang menandai Kampung
Tonggoh Luar yang cenderung terbuka pada pengaruh dari luar dan Tonggoh Dalam
yang lebih tertutup, bahkan tak mengizinkan adanya akses listrik.

Batas-batas

wilayah juga terlihat di pembagian pemukiman, makam karuhun dan ladang. Biasanya

ketiga elemen ini diletakkan di tempat yang agak berjauhan dengan batas yang jelas,
misalnya di Kampung Cigenclang, wilayah makam dan pemukiman ditandai dengan
hutan yang mengelilingi makam.
Konsep batas bukan hanya dikenal oleh masyarakat tradisional sunda, melainkan
sudah dikenal dan diterapkan pada masyarakat modern. Lynch, (1975: 6-8) dalam
bukunya The Image of The City menyebutkan bahwa terdapat 5 elemen dalam
pembentukan sebuah citra kota, yaitu path (jalur), edges (batas, dapat berupa ruang
maupun desain), district (area khusus yang memiliki karakteristik tertentu), nodes (arah
pertemuan), dan landmark (hal yang menarik dan berbeda dalam suatu kota). Kelima
unsur ini menampakkan dalanya batasan yang jelas antara daerah satu dengan yang
lainnya.
Hal ini menunjukkan adanya kemajuan dalam pemikiran masyarakat sunda.
Pola pikir mereka telah terbentuk untuk membuat pola perkampungan menjadi lebih
teratur dengan adanya batas-batas tertentu yang menandai zona berbeda dari setiap
elemen kampung.
Konsep Luhur-handap yang mempengaruhi tata letak perkampungan
Konsep Luhur handap ini merupakan keyakinan mereka dimana apa yang ada
di atas pasti lebih baik daripada apa yang ada di bawah. Hal ini tercermin dari letak imah
kuncen yang dianggap sebagai pemuka adat dan seseorang yang memiliki status sosial
yang tinggi dibandingkan masyarakat lainnya yang berada di atas. Pada kasus Kampung
Tonggoh, mushala punditempatkan di atas, namun pada Kampung Cigenclang dan
Kampung Palastra, konsep ini tak diterapkan pada perletakan mushala dan hanya
didasari keberadaan tanah yang diwakafkan untuk membangun masjid atau mushala.
Konsep luhur-handap ini sebenarnya tidak terlalu terlihat di Kampung Palastra
karena kontur Kampung Palastra yang relatif datar dan lebih menonjol pada kampung
lainnya karena perbedaan kontur yang kontras. Namun pada implementasi bentuknya,
ketiga kampung ini masih menganut konsep ini. Didasarkan pada kepercayaan
masyarakat Sunda, bahwa dunia terbagi tiga yaitu buana larang (handap), buana panca
tengah (tengah-tengah), dan buana nyungcung(luhur). Hal ini dapat terlihat dari
bentukan rumah tradisional mereka yang kebanyakan rumah panggung, dimana mereka
yakin bahwa bagian bawah (area kosong dibawah badan rumah) menginterpretasikan
dunia bawah, tempat dimana binatang berada, sedangkan bagian tengan
menginterpretasikan dunia tengah, tempat hidup manusia dan atap sebagai bagaian atas
yang menginterpretasikan dunia atas yang biasanya diisi oleh benda-benda pusaka.

Konsep Wadah-Eusi yang mempengaruhi pemilihan material


Masyarakat Sunda percaya bahwa setiap benda memiliki jiwa, termasuk alam. Maka
mereka yakin bahwa eksploitasi secara berlebihan dapat membuat jiwa-jiwa itu marah.
Walaupun mereka meyakini bahwa alam tersedia untuk manusia, manusia wajib menjaga
kelestariannya, sehingga meterial yang dipakai biasanya tak jauh dari kayu yang tersedia
di sekitar mereka dan pembangunan yang dilakukan tidak berlebihan.

Kearifan budaya yang tercermin


Hal yang baik yang terlihat jelas pada masyarakat sunda di ketiga kampung

tersebut adalah kesederhanaan. Mereka cenderung tidak mengutamakan diri sendiri dan
bersikap berlebihan. Mereka percaya akan keselarasan yang ditimbulkan dari
keseimbangan (konsep sineger-tengah), sehingga mereka cenderung tidak menonjolkan
diri. Hal ini tercermin dari bentuk rumah yang tidak jauh berbeda.
Cara mereka memperlakukan alam pun harus ditiru, mereka menjaga agar
alam tetap lestari, terlihat dari sikap mereka yang tidak mengeksploitasi alam secara
berlebihan, bahkan mereka menggunakan pasak untuk menyambung rumah mereka
sehingga kayu yang mereka gunakan untuk membangun rumah tidak rusak. Mereka juga
selalu memberikan timbal balik terhadap alam dengan menggarap lahan pertanian dan
hutan secara bijaksana dan tidak berlebihan.
ANALISA
Buku ini merupakan pengantar untuk mengenal arsitektur tradisional sunda secara
umum. Penulis menceritakan tentang orang [urang] sunda dan sunda itu sendiri. cerita
ini semakin baik ketika penulisnya membawa kita ke tiga kampung tradisional sunda:
tonggoh, cigenclang, dan palastra. di bagian ini, kita akan menemukan konsep-konsep
yang mendasari kehidupan orang sunda. biasakanlah diri anda dengan istilahistilah lemah-cai, luhur-handap, wadah-eusi, kaca-kaca, nadran, uga,
pamali, dan sineger-tengah.

sebenarnya, ada 4 kampung adat sunda: kampung pulo di leles, kampung naga di
antara garut-tasikamalaya, kampung kuta di ciamis, dan kampung tonggoh di selatan
garut. kampung tonggoh dipilih sebagai contoh karena, menurut penulis, kampung ini
adalah kampung yang paling kuat memegang adat dan letaknya berada di pedalaman.
sementara kampung cigenclang dipilih karena terletak di tengah perkebunan karet dan
diasumsikan dipengaruhi oleh craftmanship belanda. lalu kampung palastra yang terletak
di daerah pesisir juga dipilih karena diasumsikan terpengaruh oleh budaya cina dan jawa.

dari ketiga kampung yang dijadikan contoh ini, kita bisa melihat bagaimana
arsitektur tradisional tidak statis. di sini kita akan melihat bagaimana kondisi geografis
juga bisa menggeser konsep-konsep dasar dari arsitektur tradisional suatu daerah.
sebagai contohnya, konsep lemah-cai [tanah-air] di cigenclang didesak oleh penguasa
perkebunan karet, sementara itu di palastra, konsep luhur-handap [tinggi-rendah]
menjadi tidak bergema ketika berhadapan dengan lokasi yang cenderung datar. hal-hal
yang tidak akan kita temui di tonggoh yang cenderung berada jauh di pedalaman.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN


Kelebihan buku :
tampilannya yang menarik karena tampil cukup eksklusif dengan
kertas glossy-nya dan kelengkapan grafisnya dan bahasa yang sederhana

sehingga mudah dipahami


tersedianya banyak grafik dan bagan untuk menjelaskan berbagai
hubungan antara bahasan yang satu dengan yang lain sehingga pembaca

lebih mudah mengerti isi dari buku tersebut.


cukup baik sebagai pengantar untuk mengenal arsitektur tradisional sunda

secara umum
kekurangannya :
tidak tersedianya gambar-gambar suasana asli dari ketiga kampung yang
digambarkan sehingga kita tidak dapat memperkirakan suasana yang ada

disana
terdapat pengulangan materi yang sebenarnya sudah dibahas sebelumnya
pada bab terdahulu. Namun secara keseluruhan buku ini sudah cukup
representatif dan menarik untuk dibaca.

KESIMPULAN
Arsitektur tradisional sunda merupakan salah satu bagian yang penting dalam
perkembangan arsitektur nusantara. Banyak kearifan lokal yang dapat kita ambil dan
pelajari dan kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya saja tentang
kesederhnaan, harmonisasi dengan alam, dan gotong royong yang selalu mereka lakukan
dalam menjaga dan melaksanakan kegiatan berarsitektur. Selain itu pengaruh dari lokasi
yang berbeda pun dapat mempengaruhi kebudayaan yang terbentuk, pada Kampung
Tonggoh dan Kampung cigenclang, kebudayaan cenderung lebih statis dibandingkan di
Kampung Palastra karena Kampung Palastra berada di dekat pesisir.

Kebudayaan lokal seperti inilah yang harus kita jaga dan lestarikan karena ternyata
begitu banyak manfaat dari kegiatan arsitektur yang mereka lakukan. Tanpa pengetahuan
yang mencukupi tentang ilmu-ilmu empiris yang berhubungan alam dan tanpa
pengetahuan tentang kerusakan lingkungan yang marak terjadi di sekitar kita di masa
modern ini, mereka telah menjadi agen dari perubahan untuk menjadikan lingkungan
lebih baik dangan selalu menjaga harmonisasi antara manusia dengan alam dan menjaga
alam supaya tidak rusak.
SARAN
Akan lebih baik jika kita meniru dan meresapi nilai yang tercermin dari arsitektur
masyarakat sunda di tiga kampung tersebut, ditambah lagi kita memiliki pengetahuan
dan ilmu yang lebih maju untuk melakukan hal yang lebih besar dalam melestarikan
lingkungan dan menjaga kelestarian budaya lokal Indonesia, khususnya budaya Sunda.
Setelah membaca dan menganalisa, menurut saya buku ini layak untuk di baca dan
di publikasi untuk para pembaca. Banyak yang dapat kita pelajari dalam buku ini.

Anda mungkin juga menyukai