Abstraksi
Permukiman bagian terpenting dari kehidupan manusia. Bentukannya dipengaruhi oleh beberapa
aspek yang diantaranya alam, manusia, rumah, jaringan, kehidupan bermasyarakat dan
keberadaan sebuah artefak budaya. Semua aspek membentuk karakteristik khusus yang
memberikan ciri khas pada permukiman. Dusun Candi Pari Wetan memiliki candi pemujaan
peninggalan kerajaan Majapahit letaknya berada di tengah-tengah permukiman warga. Candi ini
diketahui sebagai candi untuk memuja Dewi Sri (Dewi Kesuburan). Riwayat kesuburan wilayah
diperkirakan menarik manusia untuk bermukim di wilayah tersebut. Penelitian ini menggunakan
metode Kualitatif deskriptif, untuk menganalisa kondisi permukiman saat ini dengan cara studi
literatur dan survey lapangan. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan diketahui bahwa pola
permukiman Dusun Candi Pari Wetan linier dengan jalan dan bercluster kekerabatan.Diawal
pembentukan, permukiman dusun menganut konsep kosmologi yang cukup kental terhadap
keberadaan candi. Terjadi perubahan konsep permukiman dimana ada pengaruh hukum Islam
dan waris yang merubah bentukan permukiman. Permukiman tidak lagi berorientasi pada candi,
melainkan lebih kepada keberadaan jalan dan kekerabatan. Sistem filosofi Jawa masih terlihat
kuat dengan ditandai arah hadap rumah yang mematuhi konsep filosofi Jawa
PENDAHULUAN
Manusia dalam kehidupannya selalu berhubungan dengan tiga hal yaitu Penciptanya, Manusia
Lain dan Lingkungan Alam Sekitar. Ketiga hal ini yang mendasarkan manusia menjadi makhluk
yang memiliki kebutuhan bermukim. Sebuah pemukiman tentu memiliki berbagai macam
persoalan sebagai akibat bersatunya aspek-aspek kehidupan manusia dalam satu wilayah, hal ini
lah yang kemudian disebut sebagai sebuah permukiman masyarakat. Permukiman adalah
sebuah bagian kecil lingkungan hunian yang aspek penyusunnya terdiri dari beberapa
perumahan yang memiliki sarana-prasarana, utilitas umum, daan juga penunjang kegiatan fungsi
lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan (Kementerian Pekerjaan Umum, 2011).
Bermukim adalah bentuk dari adaptasi manusia terhadap lingkungannya dan menghasilkan
budaya dalam jangka waktu yang sangat panjang(Murtiyoso & Suanda, 2007). Dengan bentuk
dan berbagai macam faktor yang membentuknya sebuah permukiman akan memiliki karakter
Jalan setapak desa yang berada Permukiman di samping kiri candi Permukiman di samping kiri candi
di samping kanan candi
Gambar 59.
Candi Pari Tahun 1943.
Sumber : KITLV, 2014
Adanya jalan setapak di samping kanan candi yang merupakan jalan akses menuju hunian. Jalan
ini di identifikasi sebagai jalan yang berada di samping Candi Pari. Pada foto yang lain, ada
rumah yang terletak di samping kiri Candi Pari. Rumah itu dikonfirmasi sebagai rumah milik orang
tua dari Ibu Sri Handayani yang merupakan penduduk asli Dusun. Ibu Sri juga menambahkan
bahwa rumah tersebut dikenal sebagai Rumah Plembang yang merupakan rumah asli warga
dusun. Menurut Bapak Sahroni (Juru Kunci), permukiman di daerah Candi Pari diperkirakan
sudah ada semenjak jaman Kerajaan Majapahit dahulu. Dulu dua candi (Candi Pari dan Candi
Sumur) berada dalam satu komplek. Seiring perkembangan jaman, lahannya didirikan rumah
sehingga dua candi itu terpisah. Terpisahnya dua candi tersebut disebabkan karena
perkembangan jumlah penduduk yang membutuhkan lahan hunian.
METODOLOGI
Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatifdengan mengeksplorasi teori-teori yang
berkaitan dari studi literatur dengan data yang ada. Dari variabel orientasi permukiman, akan
didapatkan dominasi arah hadap permukiman yang dapat dipengaruhi oleh kosmologi, jalan,
sawah ataupun makna yang lain. Kemudian pada observasi tata bangunan akan didapatkan
berbagai macam bentukan tatanan bangunan, arah hadap bangunan, tatanan ruang dalam
bangunan, dan makna yang terkandung didalamnya sehingga diketahui pola bangunannya.Pada
pola penggunaan lahannya, didapatkan dominasi peruntukan lahan dan alasan pembentukannya
sehingga dapat diketahui keterkaitan antara pola permukiman pola tata bangunan dan
peruntukan lahannya. Dari pola permukiman, pola tata bangunan dan pola penggunaan
lahannya, dilihat dengan bentuk pola jaringan jalan yang telah ada. Dilihat juga pada pembentuk
permukiman non fisik yang ada mulai dari pola kekerabatan, pola jaringan sosial dan organisasi
sehingga ditemukan pola pembentuk sosial masyarakatnya.Sehingga dari kesemua itu,
didapatkan pola permukiman Dusun Candi Pari Wetan yang utuh. Dengan analisa kualitatif ini,
data diolah dengan cara menganalisa proses pembentukan candi dengan berbagai faktor yang
mengikutinya, menganalisa pola permukiman terkait dengan keberadaan candi disekitar wilayah
tersebut, menganalisa pola pergeseran permukiman, menganalisa struktur ruang permukiman
warga, menganalisa perilaku bermukim masyarakat, dan juga menganalisa sistem, nilai, norma
dan juga budaya terkait dengan permukiman dan keberadaan candi. Semuanya dianalisa
sehingga didapatkan tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti.
Gambar 60.
Periode Rumah.
Sumber : KITLV, 2014
Rumah Plembang sebagai rumah asli penduduk dusun bertipe rumah kampung. Bentuk
menyerupai rumah kampung dengan atap pelana ditopang pilar di bagian depan dan belakang
rumah. Dinding terbuat dari anyaman bambu dengan konstruksi utama dari kayu. Penutup atap
menggunakan daun tebu yang dikeringkan dan lantai masih berupa tanah. Daun tebu sebagai
penutup atap karena tebu merupakan tanaman yang banyak ditanam warga. Dahulu Sidoarjo
merupakan lumbung gula yang ditandai dengan tersebarnya ladang tebu dan pabrik gula disudut
wilayah Kabupaten Sidoarjo. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan keberadaan bahan
bangunan akan mengikuti potensi yang dimiliki daerah tersebut.
Perletakan Rumah Plembang melebar dari Barat ke Timur dengan arah hadap Selatan atau
Utara. Orientasi Selatan atau Utara ini mengandung makna kosmologis Jawa. Warga dusun
merupakan warga keturunan Jawa yang syarat memaknai tradisi dan juga aturan berperilaku.
Arah Selatan atau Utara merupakan arah yang paling baik sementara arah Timur khusus
dipergunakan untuk rumah bangsawan. Arah Barat bukan merupakan yang baik karena ada
anggapan bersinergi dengan kematian oleh sebab itu arah hadap Rumah Plembang lebih banyak
yang menghadap arah Selatan atau Utara. Saat ini, keberadaan Rumah Plembang sudah tidak
diketemukan lagi, semua rumah di dusun ini sudah berganti dengan bentuk dan pola yang baru.
Hanya ada satu rumah yang masih memperlihatkan sisa-sisa jejak Rumah Plembang meskipun
bahan materialnya sudah diperbaharui.
Gambar 61.
Rumah Plembang
Sumber : KITLV, 2014
Dengan berkembangnya penduduk desa dan juga kemajuan jaman, terjadi pergeseran bentuk
rumah dan tata letak bangunan di Dusun Candi Pari Wetan. Dulu rumahmelebar dari Barat ke
Timur, saat ini rumah memanjang dari Utara ke Selatan. Hal ini disebabkan adanya pembagian
lahan dan warisbagi keturunan dari pemilik rumah. Hubungan kekerabatan akhirnya membentuk
permukiman di wilayah ini. Saat ini mudah ditemui adanya hubungan kekerabatan antar satu
rumah dengan rumah yang lain. Antara kerabat, rumahnya saling bersebelahan. Selain
perubahan perletakan bangunan terjadi pula perubahan material bangunan dan juga bentuk
rumah.
Gambar 62.
Ilustrasi Kondisi Dusun Candi Pari Wetan Dahulu dan Sekarang
Saat ini, bentuk rumah yang ada didominasi oleh rumah berciri khas perdesaan dengan material
bangunan berupa batu bata untuk dinding dan genteng tanah liat sebagai penutup atapnya.
Bentuk atap ada yang berupa pelana dan ada perisai. Bentuk teras depan hampir seragam
dengan 3 atau 4 penopang yang terbuat dari kayu atau beton. Tidak ada pembatas pagar antara
rumah satu dengan rumah yang lain. Pembatas pagar yang ada hanya pembatas antara wilayah
permukiman dengan jalan utama.
Gambar 63.
Bangunan Dusun Candi Pari Wetan
Jarak rumah yang satu dengan rumah yang lain cukup lebar. Setiap rumah dipisahkan oleh ruang
yang biasanya digunakan sebagai ruang sirkulasi ataupun lahan kosong. Tidak ditemukan rumah
yang berdempetan dinding dengan dinding karena lahan yang tesedia masih sangat luas.
Kepemilikan lahan oleh warga sangat luas sehingga dalam membangun rumah untuk anak
ataupun saudara tidak membangun dengan dinding yang berdempetan. Dengan adanya ruang
sirkulasi antar rumah, maka pemilik rumah dapat memasuki rumah melalui pintu belakang,
dengan pintu masuk melalui bagian dapur atau sumur. Ruang sirkulasi ini membuat pergerakan
pemilik rumah menjadi efektif karena tidak diperlukan jalan memutar untuk menuju wilayah yang
berada dibelakang atau samping rumah.
f
Keterangan:
a. Ruang Tamu
e b. Kamar Tidur
c. Rumah Tambahan
d
d. Kamar Mandi
e. Dapur
200
0
f. Sumur
cm
b c
Rumah Rumah
Utama Tambahan
800 cm
Gambar 64.
Rumah Bapak Moadi
g Keterangan:
a. Ruang Tamu
f b. Kamar Tidur
e c. Rumah Tambahan
d. Mushola
d
e. Kamar Mandi
1700 cm f. Dapur
g. Sumur
b c
Rumah Utama Rumah Tambahan
1000 cm
Gambar 65.
Rumah Bapak Arbai
Tipe ketiga adalah kerabat tinggal tidak dalam satu rumah, tetapi tinggal dalam rumah yang
masih berdekatan dengan kerabat yang lain. Tipe ini paling banyak ditemukan. Hal ini sebabkan
karena luasnya kepemilikan lahan yang dimiliki dan sistem warisan sehingga orang tua
cenderung membangunkan rumah berdekatan dalam 1 lingkungan. Tidak ada batasan bagi
keluarga dalam membangun hunian baru untuk keluarganya. Selama tanah yang dimiliki adalah
tanah keluarga dan telah disepakati oleh keluarga yang lain. Keluarga baru diperbolehkan
membangun di samping kiri, kanan ataupun belakang rumah asalkan memenuhi aturan filosofi
Jawa.Alasan yang banyak sampaikan adanya pola kekerabatan ini adalah adanya sistem
warisan oleh keluarga. Selain itu, mahalnya harga lahan juga menjadi salah satu penyebab pola
kekerabatan ini.
Keterangan :
Kekerabatan 1 (Moadi, Misari, Bu Sayu, Samianik, BuSri,
Astutik, Sodik)
Kekerabatan 2 (Purwanto, Sujono, Ismantoni)
Kekerabatan 3 (Suparto, Maliki, Heru, Suarlis)
Kekerabatan 4 (Sunama, Rofiin, Dirnojo)
Kekerabatan 5 (Jalal, Yudi, Djumaati, Darsono, Satimo,Eko)
Kekerabatan 6 (Mansri, Mardianto, Suyitno, Tohir, Tutuk)
Kekerabatan 7 (Abdul Gopur, Mahmud, Anang Widodo)
Kekerabatan 8 (Mistun, Darno, Fadoli)
Kekerabatan 9 (Jumadi, Kasmun, Sampun)
Kekerabatan 10 (Suratman, Taman, Taib, Slamet)
Gambar 66.
Pola Kekerabatan
Orientasi rumah tidak mengarah pada satu mata angin tertentu, beberapa rumah banyak ditemui
menghadap arah Selatan, Utara, Barat atau Timur.Berbeda dengan apa yang di adopsi oleh
nenek moyang warga dusun dimana leluhur mereka masih memegang teguh kosmologi Jawa
dalam hal orientasi rumah. Filosofi Jawa lebih banyak diadopsi dalam hal tradisi membangun
rumah untuk menghindarkan diri dari segala bentuk bencana ataupun kesialan hidup. Orientasi
arah hadap rumah sekarang lebih banyak di pengaruhi oleh keberadaan jalan yang menjadi
pusat sirkulasi warga sekitar. Jalan dianggap sebagai akses utama keluar masuk rumah yang
secara ekonomi menguntungkan, sehingga bila rumah menghadap jalan akan mempermudah
aspek kehidupan. Tetapi ada hal-hal khusus yang menyebabkan pemilihan arah hadap menjadi
berbeda terutama terkait dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Seperti keluarga Sri Handayani
dimana rumah mereka harus membelakangi jalan utama. Hal ini disebabkan karena ada
kepercayaan dimana rumah yang bertetangga dengan saudara kandung, tidak diperbolehkan
menghadap searah dengan rumah saudara kandung yang lain sebab menurut kepercayaan
rumah yang seperti itu akan memikul beban berat memangku semua beban kedua
saudaranya.Dalam prakteknya kosmologi Jawa diperlakukan oleh manusia dalam berbagai
macam aspek seperti lingkungan, fungsi ruang dan pedoman berupa perintah, anjuran dan
larangan sebagaimana diatur dalam primbon ataupun tradisi lisan lainnya. Hasilnya adalah
kemampuan menetralisir pengaruh buruk lingkungan, ketenangan dan kemudahan dalam
mencapai tujuan (Aryanti & Juwono, 2014)
Arah Hadap Rumah Ke Utara
Arah Hadap
Rumah Ke
Selatan
Arah Hadap
Rumah Ke
Utara
Gambar 67.
Posisi Rumah Sri Handayani
posisi ruang yang hampir serupaantara yang satu dengan yang lain. Salah satu bangunan rumah
tersebut adalah rumah milik Bapak Latim.
Rumah Pak Latim Keterangan :
Rumah Bu Sayu 1. Pendopo
Keterangan:
d/f 2. Peringgitan
a. Ruang Tamu
f 3. Omah-Njero
b. Kamar Tidur
e a. Sentong Kiwo
c. Mushola
d b. Sentong Tengah
e d. Kamar Mandi
c. Sentong Tengen
e. Dapur
f. Sumur
c c
1500 cm 1700 cm
b b
b b
a
a
600 cm
600 cm
Gambar 68.
Perbandingan Denah Rumah Bapak Latim dan Bu Sayu Dengan Rumah Jawa
sudah tidak lagi sama persis dengan rumah Jawa tetapi prinsip dasar dan fungsi masih memiliki
kesamaan antara rumah khas Jawa dengan rumah warga. Hal ini membuktikan dibawah alam
sadarnya, warga desa masih memegang teguh budaya dan adat istiadat jawa mereka sehingga
membentuk suatu kebudayaan bermukim dan permukiman. Di dalam konsepsi arsitektur Jawa,
setiap ruang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda-beda yang ditentukan oleh
pemikiran alam mikro dan makro kosmos, dengan demikian tentu mempunyai konsekuensi logis
terhadap kegiatan yang dilakukan di dalam ruang tersebut (Hidayatun, 1999)
Pola jaringan jalan berbentuk grid dengan 2 tipe jalan, jalan kabupaten dan jalan lingkungan.
Tata letak bangunan didominasi memanjang ke belakang dengan arah hadap mengikuti jalan
dengan bagian tengah permukiman berupa ruang terbuka hijau yang kosong. Bangunan
mengikuti jalan. Orientasi terhadap jalan dianggap sebagai orientasi yang menguntungkan.
Selain itu terdapat pula jalan sirkulasi yang terbentuk sebagai akibat terpencarnya bangunan
rumah di dusun. Orientasi bangunan tidak mengacu pada arah mata angin. Orientasi bangunan
banyak yang menghadap dan mengacu jalan. Hal ini berarti keberadaan rumah mengikuti jalan
yang ada dan jalan yang sudah terbentuk kemudian bangunan mengikuti jalan yang ada.
Warga dusun masih memegang tradisi Jawa, diantaranya tradisi ruwatan untuk meminta berkah
dan keselamatan desa dari segala macam bencana. Kepercayaan masyarakat atas filosofi jawa
dan primbon Jawa dalam mengatur tata letak rumah dan juga tradisi membangun rumah masih
tinggi. Meskipun memiliki riwayat candi berlatar belakang Hindu, tetapi tidak mempengaruhi pola
pikir dan adat istiadat setempat. Agama Islam masih agama terbesar di wilayah ini. Tradisi
Ruwatan Desa dilaksanakan di bulan ruwah (dua minggu sebelum bulan puasa). Selain tradisi
Ruwatan Desa, acara seperti syawalan, tahlilan, maulud nabi dan barikan (renungan ramadhan)
juga masih sering dilakukan oleh masyarakat sekitar. Tradisi tidakdipengaruhi oleh candi. Hal ini
disebabkan mayoritas penduduk desa sudah memeluk agama Islam sehingga acara yang
berkaitan dengan candi (agama Hindu) tidak nampak. Kalaupun ada, hanya semata-mata
kepentingan pribadi bagi orang yang melakukan. Saat ini, masih ada warga yang melakukan
ritual pribadi meminta berkah dengan cara meletakkan sesaji di dalam candi. Hal ini tampak dari
bekas sesaji dan dupa di dalam bilik Candi Pari. Bagi sebagian orang, batu Candi Pari dipercaya
mampu memberikan berkah bagi pertanian, pertambakan ataupun perdagangan dan apabila
mengambil tanpa meminta ijin maka akan membawa kesengsaraan ataupun penyakit bagi yang
melakukan.
Lahan desa di bagi menjadi 3 yaitu Kawasan Percandian yang terdiri dari 2 candi (Candi Pari dan
Candi Sumur) berada di tengah-tengah permukiman penduduk. Kawasan percandian ini sudah
ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Sidoarjo sebagai kawasan cagar budaya dan wisata
sejarah yang diharapkan dapat menarik para wisatawan untuk mengunjungi wilayah ini.
Penetapan kawasan ini bertujuan untuk memberikan jaminan keseimbangan dan keserasian
lingkungan hidup, serta pelestarian manfaat atas potensi sumber daya alam yang ada sesuai
prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kawasan permukiman
berada di tengah antara lahan persawahan. Kawasan persawahan sebarannya berada di pinggir
selatan wilayah desa dengan luas sebesar 49,8 ha atau 46,27 % dari luas wilayah keseluruhan.
Iklim desa yang berada di kisaran suhu 32c cukup membuat warga desa nyaman untuk tinggal
diwilayah ini. Kondisi ini membuat warga membangun permukimannya tidak saling
berdekatan/berdempetan dalam rangka mempertahankan suhu. Sehingga rumah-rumah yang
ada, terbangun dalam kondisi berjarak (tidak saling berdempetan) dan lebih terbuka antara
rumah yang satu dengan rumah yang lain.
Dugaan awal bahwa Candi Pari mempengaruhi permukiman sekitar ternyata tidak terbukti. Tidak
ada satu bagian pun dari permukiman dusun yang mengarah pada keberadaan candi. Orientasi
bangunan, tata letak dan tata permukiman tidak mencerminkan keberadaan candi yang
disakralkan ini. Dari hasil survey, analisa dan wawancara yang dilakukan ternyata Candi Pari
hanya dimaknai sebagai sebuah peninggalan bersejarah dari masa lampau yang mampu
mendatangkan potensi wisata budaya di wilayah tersebut. Candi Pari hanya dianggap sebagai
bangunan sejarah yang patut dilestarikan keberadaannya tanpa harus mengikuti makna
keberadaannya. Pengaruh Agama Islam yang kuat dan dominan merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan pola pikir warga dusun tidak terpengaruh keberadaan candi.
Gambar 69.
Ilustrasi Dusun Candi Pari wetan
KESIMPULAN
Permukiman Dusun Candi Pari Wetan memiliki bentuk linier dengan keberadaan jalan dan
tersusun atas bangunan rumah yang bercluster kekerabatan. Diawal pembentukan, riwayat
permukiman dusun menganut konsep kosmologi yang cukup kental terhadap keberadaan candi.
Arah hadap rumah plembang (rumah nenek moyang) berorientasi ke arah Candi Pari, letak
rumah melebar dari barat ke timur dan jarak antar rumah berjauhan. Kemudian terjadi perubahan
konsep permukiman dimana rumah berorientasi terhadap jalan. Pengaruh hukum Islam,
kepemilikan lahan dan hukum waris yang merubah bentukan permukiman. Permukiman dusun
saat ini memiliki bentukan rumah yang memanjang disebabkan karena luasnya kepemilikan
lahan dan hukum warisan kepada anak sehingga terbentuk pola kekerabatan dimana antar
tetangga masih memiliki hubungan persaudaraan.Pengaruh filosofi Jawa masih terlihat kuat.
Kepatuhan dalam mengatur arah hadap rumah dalam rangka untuk kesejahteraan keluarga juga
masih terjadi. Adanya rumah mangku menjadi salah satu bukti ketaatan masyarakat dusun
terhadap konsep filosofi Jawa. Dalam hal membangun rumah juga masih memegang teguh adat
Jawa dimana masih memperhitungkan hari baik dan slamatan untuk menghindarkan pemilik
rumah dari bahaya. Tatanan ruang dalam rumah memiliki bentuk yang hampir sama antar rumah.
Candi Pari sebagai faktor utama berdirinya permukiman tidak mempengaruhi pembentukan pola
permukiman. masyarakat memandang candi pari hanya sebagai peninggalan sejarah dan tempat
wisata budaya yang dapat meningkatkan perekonomian warga.
DAFTAR PUSTAKA.
Aryanti, D., & Juwono, S. (2014). Laku Dan Energi Dalam Metafisika Arsitektur Jawa. Proceding
Seminar Nasional Arsitektur Merah Putih. Ruang dan Latar Arsitektur Indonesia. Jogjakarta:
Universitas Kristen Duta Wacana.
Hermanto, M., Iswanto, M., & Wartoyo, F. (2013). Arsitektur Dan Fungsi Candi Pari Dengan
Candi Rimbi Pada Masa Majapahit. Jurnal Genta ISSN 2337-9707 Volume 1.
Hidayatun, M. I. (1999). Pendopo Dalam Era Modernisasi; Bentuk, Fungsi dan Makna Pendopo
pada Arsitektur Tradisional Jawa dalam. Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 27, No. 1, 37-47.
Kementerian Pekerjaan Umum. (2011). UU Nomor 1 Tahun 2011. Kementerian Pekerjaan
Umum.
Murtiyoso, S., & Suanda, E. (2007). Permukiman. Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara.
Rapoport, A. (1969). Housee Forms and Culture. USA: Prentice Hall, Inc Englewood Cliffs USA.