Anda di halaman 1dari 15

Martin Muljana

28917003
Magister Arsitektur Lanskap
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
Institut Teknologi Bandung

Arsitektur dan Masyarakat Vernakular di Kabupaten Kerinci

Sejarah Kerinci dan Asal Usul Masyarakatnya

Kerinci secara administratif tergabung ke dalam Provinsi Jambi. Terletak di bagian paling barat
Provinsi Jambi dan berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat dan Bengkulu.

Gambar 1. Peta lokasi Kabupaten Kerinci

Asal usul nama Kerinci tidak diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa catatan yang
menjelaskan asal usul nama Kerinci. Antara lain:

 Nama ‘Kerinci’ berasal dari kata ‘Kunci’. Kata ini memiliki makna bahwa daerah Kerinci
merupakan daerah yang tertutup dan terkunci. Hal ini dikarenakan masyawakat Kerinci pada
saat itu tidak melakukan interaksi dengan dunia luar ataupun sebaliknya. Faktor penyebabnya
antara lain karena kondisi geografis Kerinci yang dikelilingi oleh pegunungan, bukit barisan,
hutan lebat, dan topografi yang bergelombang sehingga membuat akses dari dan menuju
Kerinci itu susah.
 Catatan lain menyebutkan bahwa nama ‘Kerinci’ berasal dari dua kata, yaitu ‘Kering’ dan
‘Cair’. Menurut legenda bahwa dulu daerah Kerinci merupakan sebuah danau yang sangat luas
dan terdapat pulau kecil di tengah-tengahnya yaitu Tanah Cuguk (gundukan tanah yang
menyerupai bukit). Seluruh daerah di kaki-kaki bukit merupakan daerah rawa basah. Pada saat
musim kemarau rawa-rawa ini mengering sehingga membuat daerah daratan menjadi semakin
luas, sedangkan pada musim penghujan daratan ini kembali basah menjadi rawa.
 Catatan selanjutnya mengatakan bahwa kata Kerinci berasal dari kata ‘Kerin’ yang berarti hulu,
dan ‘Ci’ berarti sungai. Karena posisi Kerinci berada di hulu Sungai Batang Hari.

Seperti halnya kedatangan suku-suku bangsa Indonesia lainnya, Suku Kerinci juga berasal dari Asia
Tenggara. Mereka datang melalui jalur yang melewati Semenanjung Melaka, menyeberangi Selat
Melaka, kemudian menyusuri pantai timur Sumatera hingga ke Selat Berhala, masuk ke Sungai
Batanghari, dan kemudian ke Sungai Batang Merangin dan akhirnya sampai ke hulunya yaitu Danau
Kerinci (Afanti, 2007 dalam Hasibuan, 2014).

Gelombang pertama yang datang berasal dari suku bangsa Proto Melayu yang datang pada zaman
Neolitikum (batu muda) antara 4000 SM sampai 2000 SM. Gelombang kedua berasal suku bangsa
Detro Melayu yang datang pada zaman Perunggu, sekitar 400 SM sampai 100 SM yang lalu.

1
Gambar 2. Suku Kerinci
Sumber: http://collectie.werelculturren.nl/kerintji, April 2018

Pendapat lain menyebutkan bahwa Suku Kerinci diketahui sebagai suku yang lebih tua dari Suku Inca
Amerika dan juga Suku Candiaku yang berasal dari hulu sungai Indragiri. Pada zaman ini diketahui
terdapat sebuah gunung berapi yang sangat tinggi dan terletak di tengah-tengah Pulau Sumatera yaitu
berada di daerah pemukiman dan persawahan yang ada di Kerinci saat ini. Menurut legenda, gunung
berapi tersebut bernama Gunung Beremas dan dimasa inilah adanya kehidupan manusia yang
mendiami daerah di sekitar kaki Gunung Beremas (Afanti, 2007 dalam Hasibuan 2014).

Gambar 3. Peta kontur Kabupaten Kerinci


Sumber: google earth, April 2018

Setelah letusan terjadi, daerah disekitar Gunung Beremas hanya tinggal puing-puing akibat dilanda
lava pijar dan sebagian membentuk lembah-lembah, bukit-bukit dan sungai-sungai baru. Sisa-sisa
suku murni Melayu Tua yang selamat dari bencana alam itu kemudian mendiami lembah Kerinci.
Suku ini kemudian dikenal dengan sebutan ‘Kecik Wok Gedang Wok’. Suku ini memulai sebuah
kehidupan baru mereka yang masih tergolong primitif dan tinggal di gua-gua. Dalam berinteraksi,
secara individu mereka belum memiliki nama hanya sebutan orang yang lebih kecil dipanggil ‘Wok
Kecik’ dan orang yang lebih tua dipanggil ‘Wok Gedang’ (Afanti, 2007 dalam Hasibuan 2014).

2
Selanjutnya Kerinci kedatangan suku bangsa Paleomongoloid gelombang pertama dari tanah Yunan
Cina Selatan. Mereka datang melalui Sungai Mekhong hingga ke Hindia belakang kemudian
melanjutkan perjalanannya ke daerah-daerah lain dan ada yang sampai ke daerah Kerinci (Afanti,
2007 dalam Hasibuan 2014). Berabad-abad kemudian, gelombang berikutnya datang dari suku-suku
yang ada di Indonesia.

Upacara Adat Cupak Gantang Gawe Kerapat

Masyarakat Kerinci memiliki beberapa upacara adat yang masih diwariskan sampai sekarang.
Walaupun disetiap desa terdapat perbedaan tata cara masyarakat dalam melaksanakan upacara adat
tersebut, namun pada prinsipnya upacara adat yang ada mempunyai makna yang sama. Salah satunya
adalah upacara adat Cupak Gantang Gawe Kerapat.

Upacara adat Cupak Gantung Gawe Kerapat berhubungan dengan mata pencaharian dan sosial
kemasyarakatan yang dilaksanakan secara gotong- royong. Upacara adat ini dapat kita lihat pada saat
membangun sebuah rumah yang baru (mulai dari proses mencari kayu di hutan, merendam ramuan
kayu hingga mendirikannya), upacara tolak bala, kenduri sudah tuai (kenduri sesudah panen), dan
upacara menanam benih padi.

Salah satu upacara adat Cupak Gantang gawe Kerapat yang sering dilaksanakan adalah pada saat
membangun rumah baru.Upacara diawali dengan pencarian kayu di hutan yang dipimpin oleh seorang
pawang. Pawang adalah seorang yang memiliki keahlian dalam menentukan pohon yang cocok untuk
digunakan sebagai bahan bangunan. Pada tahap ini, pawang memilih pohon (biasanya yang ditebang
adalah jenis pohon surian atau Toona sureni) untuk tiang tuo (kolom utama, umumnya lebih besar
dibanding kolom-kolom yang lain) di hutan dengan cara mengetuk-ngetuk batang pohon. Pohon yang
terpilih kemudian ditancapkan dengan sebuah kapak. Hari berikutnya dilanjutnya dengan memeriksa
kapak yang telah ditancapkan ke batang pohon kemarin apakah jatuh atau tidak. Jika kapaknya jatuh,
maka pohon tersebut tidak diizinkan oleh penunggu pohon untuk ditebang dan kualitasnya kurang
baik. Sedangkan pohon dengan kapak yang masih menancaplah yang digunakan untuk membangun
rumah. Pohon yang terpilih ini kemudian ditebang secara bersama-sama oleh masyarakat dan diiringi
dengan lagu oleh anak-anak perempuan untuk menambah semangat kerja bagi anak lelaki. Setelah
ditebang, kayu ditarik bersama-sama menuju dusun tempat untuk membangun dengan masih diringi
lagu dan musik.

3
Gambar 5. Serangkaian prosesi membangun rumah

Selama perjalanan menarik kayu dari hutan ke dusun, kayu dihamburi dengan beras, kunyit, dan
bunga-bungaan dengan maksud untuk mengusir penghuni-penghuni kayu yang masih terbawa.
Setelah sampai di dusun, kayu tersebut direndam dalam lumpur selama 6 bulan hingga 1 tahun agar
tahan lama dan kayu tidak berbubuk.

Sebelum pekerjaan membangun rumah dimulai, diadakan sebuah kenduri kecil dengan menyembelih
seekor ayam. Darah ayam ini diserahkan kepada penghuni dengan maksud agar nanti dalam
pembangunan rumah tidak terjadi kecelakaan yang menyebabkan luka dan mengeluarkan darah.
Semua pekerjaan diatur oleh para tukang yang ahli. Pekerjaan ini melibatkan masyarakat banyak
karena dikerjakan secara gotong-royong.

Pada saat membangun rumah, tiang tuo dilubangi lebih dulu bagian bawahnya dan dimasukan sedikit
ramuan berupa emas, ampas besi, timah putih dan timah hitam. Emas maksudnya agar penghuni
rumah banyak rezeki, ampas besi untuk penangkal petir dan timah untuk mengusir atau mencegah
orang lain berbuat jahat terhadap penghuni rumah. Selain itu, pada tiang tuodiikat beberapa tanaman,
antara lain tebu, pisang batu satu tandan, urai pinang dan kelapa. Kesemua tanaman ini memiliki
makna tersendiri. Seperti tebu bermakna agar rumah tersebut sering dikunjungi oleh tamu, pisang
membawa makna agar penghuni rumah banyak rezeki, urai pinang bermakna agar penghuni rumah
memiliki keturunan dan kelapa supaya penghuni rumah selalu dalam keadaan sehat.

Setelah tiang tuo selesai didirikan, anak perempuan dan ibunya datang membawa berbagai peralatan
yang dibutuhkan, seperti keris dan uang Kerinci lama. Anak perempuan bersama pengiringnya dan
seorang pawang mengelilingi tiang tuo sambil menunduk. Sambil membaca mantra, pawang
menggoreskan keris pada ujung jari anak perempuan tersebut dan darahnya dioleskan pada tiang tuo

4
tersebut. Hal ini bermaksud agar tidak terjadi pertikaian antar sesama anggota keluarga tersebut
(Zakaria 1973). Prosesi dilanjutkan dengan mendirikan rumah dan diakhiri dengan menanam kembali
pohon baru yang sejenis di lokasi penebangan tadi sebagai wujud rasa syukur masyarakat terhadap
alam.

Rumah Tradisional Kerinci

Rumah Kerinci merupakan bangunan yang bentuk, struktur, fungsi, ragam hias, dan cara
pembuatannya diwariskan secara turun temurun. Dipakai untuk melakukan aktivitas
kehidupan dan sebagai salah satu identitas serta dapat memberi gambaran tentang tingkat
kehidupan masyarakat Kerinci pada waktu itu.

Konsep rumah berlarik, rumah tradisional suku Kerinci, dapat dibagi berdasarkan konsep
ruang makro, ruang meso, dan ruang mikro. Pola rumah berlarik berjejer memanjang dari
arah timur ke barat sambung menyambung antara satu rumah dengan rumah yang
bersebelahan hingga membentuk larik (deretan).

Tipologi rumah panjang atau larik adalah empat persegi panjang dan berbentuk panggung.
Tidak ada ketentuan khusus mengenai ukurannya karena tergantung dari banyaknya keluarga
yang menghuninya.

Rumah ini menerapkan konsep sumbu vertikal (nilai ketuhanan) dan sumbu horizontal (nilai
kemanusiaan). Sumbu vertikal terlihat dari pembagian ruang menjadi tiga bagian, yaitu:

- bagian bawah sebagai kandang ternak


- bagian tengah untuk tempat tinggal
- bagian atas untuk menyimpan benda-benda pusaka

Sedangkan sumbu horizontal dapat dilihat dari pembagian ruang dalam rumah yang tidak
bersekat dan saling menyatu antara satu rumah dengan rumah di sebelahnya. Rumah larik ini
merupakan tempat tinggal tumbi (keluarga besar) dengan sistem sekat-sekat.

Tatanan lanskap Kawasan Rumah Larik Limo Luhah secara makro dipengaruhi oleh filosofi
hidup masyarakat yang berorientasi kepada alam. Ruang makro terdiri dari ruang hutan,
ruang pertanian, dan ruang permukiman. Masyarakat suku Kerinci menselaraskan kehidupan
mereka dengan lingkungan tempat mereka tinggal.

- hutan berfungsi sebagai daerah resapan dan sumber air bagi pertanian dan
permukiman
- ruang pertanian terdiri dari ladang dan sawah. Ladang yang terdapat di kaki-kaki
bukit berfungsisebagai lahan untuk bercocok tanam dan sebagai lahan cadangan
untuk permukiman baru. Sawah adalah tanah adat berstatus milik pribadi
- ruang permukiman berada dalam area yang disebut “ parit sudut empat”

5
Tatanan lanskap Kawasan Rumah Larik Limo Luhah secara meso adalah kondisi alam dan
kehidupan sosial budaya masyarakat. Larik-larik kemudian dibangun dengan mengikuti arah
matahari terbit dari timur dan terbenam ke barat.

Larik dibangun memanjang menyesuaikan ketersediaan lahan pada saat itu, oleh sebab itulah
terdapat larik-larik yang tidak memiliki panjang yang sama. Kehidupan sosial masyarakat
yang sangat kuat dari segi kekeluargaan dan kemasyarakatan juga ikut mempengaruhi
terbentuknya tatanan lanskap berupa luhah-luhah yang menyatu dalam satu
kesatuan yaitu kawasan Rumah Larik Limo Luhah.

Masyarakat yang tinggal dalam satu luhah berasal dari satu nenek moyang yang sama di
pimpin oleh ninik mamak. Elemen-elemen lanskap yang terdapat dalam sebuah luhah antara
lain yaitu, Rumah Larik, Masjid, Surau, Makam nenek Moyang, Tabuh Larangan, Pemandian
Umum, dan Lapanga terbuka.

Tatanan lanskap Rumah Larik Limo Luhah secara mikro yaitu rumah tempat tinggal
dipengaruhi oleh kepercayaan dan aktivitas keseharian masyarakat. Rumah Larik dibangun
dengan ritual-ritual yang mengandung banyak makna. Pembagian ruang menurut sumbu
vertikal mengandung nilai ketuhanan. Rumah Larik yang memiliki pintu penghubung antara
satu rumah dengan rumah berikutnya merupakan cerminan nilai kemanusiaan yang tinggi.
Makna yang terkandung di dalamnya adalah nilai kekeluargaan, kebersamaan, dan saling
percaya antara satu sama lain.

6
Dalam hal ini, pola permukiman kawasan rumah larik limo luhah yaitu Pola Cluster. Selain
karena kehidupan sosial budaya masyarakat yang sangat kuat tapi juga karena topografinya
yang naik turun. Dimana dengan pola cluster yang tercipta berbasis pada
kemudahan/kenyaman berjalan kaki. Hal ini dibuktikan rumah larik yang ditata berderet
memanjang dan berkelompok.

Rumah larik dibagi menjadi 3 zoning yang berbeda, yaitu: publik, private,service. Pembagian
zoning ini berdasarkan kegiatan yang penghuni lakukan didalam rumah, seperti ruang lah
luaeh, dan ruang bawah merupakan zona publik ; ruang lumeh sebagai zona private; ruang
lah dapeu dan ruang atas (loteng) sebagai zona service.

Dalam pencapaiannya, dari luar menuju ruang dalam yaitu lingkungan sekitar menuju ruang
lah luaeh terjadi hubungan yang tidak langsung, karena harus melewati ruang sirkulasi yaitu
tangga, sedangkan pencapaian dari lingkungan menuju ruang bawah tanah terdapat hubungan
ruang secara langsung.

Pada ruang dalam juga memiliki beberapa hubungan antara lain: antara ruang lah lueh dengan
ruang lah lumeh terjadi hubungan secara langsung karena tidak terdapat sebuah pintu, antara
ruang lah lumeh dengan ruang lah dapeu terjadi hubungan langsung karena tidak memiliki
pintu juga, sehingga didapatkan bahwa antara ruang lah lueh dan ruang lah dapeu terjadi
hubungan ruang secara tidak langsung karena harus melewati ruang lah lumeh terlebih
dahulu.

7
Ruang-ruang yang terbentuk memiliki orientasi yang sejajar dengan orientasi kawasan
dimana ruang dapur ruang lah lumeh dan ruang lah luaeh hanya menghadap satu arah yaitu
menghadap utara atau selatan.

Penamaan dan Pengertian Ruang:


- Ruang Lah Luaeh
Kata Lah Luaeh ini merupakan bahasa kerinci yang artinya tempat ruang tamu.
- Ruang Lah Lumeh (Ruang Tempat Tidur)
Kata Lah Lumeh ini merupakan bahasa kerinci yang artinya ruang tempat tidur atau bagian
rumah untuk tempat beristirahat.
- Ruang Lah Dapeu (Dapur)
Kata Dapeu ini merupakan bahasa kerinci yang artinya dapur atau bagian rumah untuk
tempat memasak.
- Ruang Atas (Loteng) merupakan ruang antara atap dan plafon.
- Ruang Bawah (Kolong) adalah ruangan yang terdapat dibagian bawah bangunan.

Fungsi & Kegiatan Dalam Ruang:


Setiap ruang memiliki fungsi tertentu sesuai ketentuan adat dan kegunaannya. Adapun
kegiatan dalam setiap ruang diantaranya:
- Ruang Lah Luaeh : Ruangan lah luaeh terletak di bagian depan bangunan dan sekaligus
sebagai ruang tamu/ ruang utama. Biasanya Ruang ini digunakan pemilik untuk menerima
tamu dan upacara adat.
- Ruang Lah Lumeh : Ruangan lumeh terletak di bagian tengah yang berfungsi sebagai kamar
tidur. Orang tua dan anak perempuan tidur dalam ruang ini.
- Ruang Lah Dapeu : Ruang lah dapeu terletak di bagian belakang yang berfungsi sebagai
dapur. Dalam ruang ini pemilik rumah melakukan kegiatan memasak, makan bersama, dan
mencuci piring.
- Ruang Atas : Ruangan ini terletak di bagian atas rumah larik yang hampir sama dengan
loteng. Ruangan ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang. Dalam ruang ini pemilik
rumah biasanya menyimpan peralatan kerja dan barang barang keperluan sehari-hari.
- Ruang Bawah : Ruangan ini terletak di bagian bawah rumah larik yang seperi kolong.
Ruangan ini berfungsi sebagai gudang tempat penyimpanan. Pemilik bangunan menyimpan
kayu api dan peramuan rumah di ruang bawah.
- Pada acara Kenduri Sko halaman rumah berlarik dimanfaatkan untuk berbagai aktifitas
pelaksanaan kenduri Sko. Pada hari hari besar keagamaan biasanya pekarangan
dimanfaatkan untuk kegiatan melemang atau memasak dodol (jadeah) khas suku Kerinci.
- Umoh laheik jajou (rumah berlarik berjajar),dibangun sambung-menyambung satu dengan
yang lainnya sehingga menyerupai rangkaian gerbong kereta api, sepanjang larik atau lorong
dusun, dibangun di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan.

Adapun ukuran ruang dijelaskan dalam bentuk gambar kerja sebagai berikut:

8
DENAH
SKALA 1 : 100

POTONGAN B-B
SKALA 1 : 100

9
TAMPAK DEPAN
SKALA 1 : 100

TAMPAK BELAKANG
SKALA 1 : 10

Penamaan dan Pengertian Ruang:


- Ruang lah luaeh
Kata lah luaeh ini merupakan bahasa Kerinci yang artinya tempat ruang tamu.
- Ruang lah lumeh (ruang tempat tidur)

10
kata lah lumeh ini merupakan bahasa kerinci yang artinya ruang tempat tidur atau
bagian rumah untuk tempat beristirahat.
- Ruang lah dapeu (dapur)
kata dapeu ini merupakan bahasa kerinci yang artinya dapur atau bagian rumah untuk
tempat memasak.
- Ruang atas (loteng) merupakan ruang antara atap dan plafon.
- Ruang bawah (kolong) adalah ruangan yang terdapat dibagian bawah bangunan.

5 Ornamen pada rumah larik suku Kerinci:

Bentuk ukiran ini seolah olah berlapis sulur menyulur dalam bentuk garis berhubungan
dan masyarakat setempat menyebutkan “lampit simpea” atau dikenal dengan istilah pilin
berganda. Makna dari lambang ini adalah bahwa segala sesuatu ada hubungan satu dengan
yang lain, semuanya saling kait berkait.

Motif Keluk Paku kacang Belimbing pada bagian bawah bubungan atap atau pada tiangtiang
rumah larik yang mempunyai makna bahwa anak di pangku. Maksudmya adalah bahwa anak
kandung menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari orang tua.

Motibe Bungea Matoharai (Bunga Matahari) banyak digunakan masyarakat kerinci. Motif
dari jenis-jenis tumbuhan tertentu atau rangkaian daun.

11
Motif kemenakan dibimbing relung kangkung yang memiliki filosofisbahwa patah tumbuh
hilang berganti / kerja yang tiada mengenal lelah.

Motiif chorsnat bil hamz berasal dari motif-motif arab yang di tempatkan pada tiang rumah
larik Pada dasarnya semua ukiran pada masa lalu tidak diwarnai, diduga pada saat itu di alam
Kerinci (Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci) belum memiliki bahan bahan zat
pewarna untuk media material bangunan kayu/ papan. Sekarang ini banyak rumah larik yang
sudah diwarnai untuk menambah estetika rumah tersebut.

Pondasi
Konstruksi rumah tradisional suku Kerinci di wilayah Kabupaten Kerinci dan di Kota Sungai
Penuh tidak menggunakan pondasi permanen yaitu hanya menggunakan batu sendai (batu
sendi) yakni memanfaatkan batu alam yang permukaannya telah dipipihkan. Batu sendai ini
merupakan penopang tiang tiang rumah berlarik. Pembangunan rumah berlarik tidak
menggunakan besipaku,hanya mengandalkan pasak dan ikatan tambang ijuk.

Dinding
Dindingnya dulu adalah pelupuh (bambu yang disamak) atau kelukup (sejenis kulit kayu) dan
lantainya papan yang di-tarah dengan beliung. Material-material itu tidaklah memberatkan
rumah. Dinding yang di gunakan terbuat dari papan. Dinding dipasang dalam bentuk
berpetak-petak, persambungan antar ujung papan yang satu dengan papan yang lain memakai
orong-orong, sehingga saling pegang memegang. Pada dinding bagian depan di pasang
setingggi leher orang yang sedang duduk, yaitu sekitar 50-60 cm. Jika orang duduk di lantai,
dapat melihat kebawah. Untuk menutup dinding lowonng di pasang dua buah jendela. Sedang
dinding yang ada di bahagian belakang dan samping di pasang hingga ke alang. Perbatasan
antara ruang lah lueh dan ruang lah lumeh , dibatasi dengang dinding.

12
Pintu/Jendela
Umoh laheik ini merupakan tempat tinggal tumbi (keluarga besar), dengan sistem sikat atau
sekat-sekat seperti rumah bedeng. Setiap keluarga menempati satu “sikat” yang terdiri dari
kamar, ruang depan, ruang belakang, selasar, dan dapur.

Setiap sikat memiliki dua pintu dan dua jendela, yakni bagian depan dan belakang. Material
pintu adalah papan tebal di tarah beliung. Antara sekat sikat terdapat pintu kecil sebagai
penghubung.

Jendela yang disebut “singap/singem/singop” jendela umumnya dibuat memanjang yang


terletak diantara dua tiang rumah bagian depan. sekaligus merupakan ventilasi angin dibuat
tidak terlalu lebar, tanpa penutup seperti layaknya rumah modern saat sekarang, hanya
dibatasi jeruji berukir. Setiap rumah dalam larik biasanya dibangun menempel,bahkan ada
pintu bagian dalam rumah yang menghubungkan dengan rumah lainnya,pintu tersebut dibuka
saat upacara adat tertentu.

Tiang/Kolom
Jumlah tiang yang digunakan dalam pembuatan larik tidak mempunyai ketentuan khusus,
namun disesuaikan dengan besar bangunan. Bentuk tiang yang di gunakan adalah persegi
delapan. Panjang tiang rumah sekitar 3,70m , sedangkan besarnya tidak mempunyai
ketentuan khusus. Salah satu larik yang tertua mempunyai tiang yang berukuran panjang
3,70m dan r= (garis tengahnya 18cm).

Lantai
Lantai Larik tersebut dari pelepuh , yaitu bambu bulat yang telah di pecahkan. Lantai Larik
ini terdiri dari 2 susun yaitu :
1. Lantai utama : lantai yang terdapat di ruang depan dan ruang tengah. Lantai ini dibuat agak
tinggi.
2. Lantai dapur : dibuat agak rendah dibandingan lantai utama. Tinggi antara lantai dapur
dengan lantai utama 1m.

Dibawah lantai terdapat keriau, terbuat dari bambu bulat yang berfungsi sebagai penahan
lantai. Sedangkan dibawah keriau terdapat gelegau atau gelegar yang terbuat dari kayu,
berfungsi sebagai penahan keriau atau lantai.

Bubungan/Atap
Nama bubungan Larik atau rumah panjang di daerah Kerinci , penduduk setempat
menamakannya “potong jeramba” karena bentuknya lurus sama dengan bentuk jeramba dan
mudah disambung. Sebab bentuk ini yg di pergunakan ialah untuk memudahkan dalam
penyambungan rumah , apabila ada penambhana keluarga. Bentuk bubungan larik berbentuk
segitiga, yaitu dari ujung bubungan menurun keara bawah bagian depan dan belakang.

13
Di daerah Kerinci ada 2 jenis penutup atap yang bahan dasarnya dari kayu yang di
pergunakan :
1. Atap yang terbuat dari bambu
2. Atap kulit kayu
Atap dengan material bambu atau kayu ini masih sering di jumpai pada tahun 1920an,setelah
pendudukan belanda atap kayu kemudian di tukar dengan atap yang bermaterial seng.

Tangga
Tangga yang di gunakan untuk naik ke Larik , penduduk menamakannya tangga bana.
Tangga bana adalah tangga yang terbuat dari batang pohon, kemudian diberi tatakan-tatakan,
sebagai tempat berpijaknya kaki. Pada malam hari tangga ini di naikan ke dalam rumah dan
di pasang lagi pada pagi hari. Tangga bana di tempatkan persis di depan pintu masuk. Selain
tangga bana juga terdapat tangga dapeu. Tangga Dapeu ialah tangga yang duganakan untuk
memasuki ruangan dapur.

14
Daftar Pustaka

Djafar Dan, 1989. Arsitektur Tradisional Daerah Jambi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Proyek Inventaris dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Amsikan, Y.G. 2006. Manfaat kearifan ekologi terhadap pelestraian lingkungan hidup. Suatu
studi etnoekologi di kalangan orang Biboki, Akademia. Jurnal Kebudayaan

Aumeruddy, Y. 1994. Shifting from simple to complex agroforestry systems: an example for
buffer zone management from kerinci (Sumatera, Indonesia). Agroforesrty sustem 28

Aumeruddy, Y. 1994. Local representation and management of agroforests on the peripheral


of kerinci Seblat National Park Sumatra, Indonesia. People and Plants Working paper 3.
UNESCO, Paris: 47 hlm.

15

Anda mungkin juga menyukai