Anda di halaman 1dari 20

TUGAS BUDAYA LAHAN KERING DAN PARIWISATA

“ KAMPUNG ADAT BENA, KABUPATEN NGADA, FLORES TIMUR,


NUSA TENGGRA TIMUR”

ANGGOTA KELOMPOK 1

RAMBU L.A. PAREMADJANGGA 1609010002


YUDITH E. CH. MAUWALAN 1609010006
KATARINA OA JEBE 1609010008
REYNALDY M. CHRISTIAN 1609010014
THERESIA B. PAULINO 1609010016
ALEXANDRA P. SUNGGA 1609010018
AYU Y. MANAFE 1609010020
MARIA T.K GEO 1609010022
ELSHADA OVELYA HERE 1609010024
NILLA S. NGADI 1609010028
YUSTINA INDRAWATI 1609010030
NOVIE HELEN MANONGGA 1609010032
ANDIANUS F. SURAK 1609010044

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri atas berbagai suku bangsa yang
beranekaragam adat istiadat, kepercayaan, ras, bahasa, kesenian dan budaya. Kekayaan yang
beragam tersebut dijaga secara turun temurun yang tercermin pada bentuk bangunan arsitekur
yang dimiliki oleh masing-masing suku.
Salah satu suku yang masih mempertahankan bentuk bangunan arsitektur interior rumah
adat serta secara bijaksana menerapkan kearifan lokal dalam kehidupan sosial adalah kampung
Bena. Kampung Bena adalah sebuah kampung megalitikum yang terletak di desa Tiworiwu,
kecamatan Jerebu’u, kabupaten Ngada, Flores,Nusa Tenggara Timur.
Secara geografis kampung Bena terletak diperbukitan Jerebu’u. Pada arah timur serta
selatan kampung Bena di kelilingi oleh lembah jurang. Kampung Bena berada pada kaki gunung
berapi Inerie atau dikenal dengan “ibu kampung” pada bagian arah barat kampung. Permukaan
area lahan pada kampung Bena memiliki kontur yang unik, terdapat struktur kontur tanah yang
bertingkat dari permukaan rendah hingga ke permukaan tinggi dan bersifat linier dari arah utara
menuju selatan.
Struktur kampung Bena memiliki kekhasan tersendiri yang menyerupai sebuah kapal
dengan dua baris rumah adat yang saling berhadap-hadapan. Bentuk arsitektur vernakular
merupakan artefak budaya yang lahir dari citra, ekspresi dan pengetahuan dasar dari masyarakat
adat setempat. Hal yang terpenting pada arsitektur vernakular bukan hanya pada aspek bentuk
arsitektur interiornya, melainkan pada nilai, citra, dan soul yang tersimpan didalamnya.
Masyarakat kampung Bena (nua bena ja’o) dikenal sebagai suatu suku adat yang
memiliki pekerjaan sehari-hari dengan cara berladang dan menenun. Konsep garis keturunan
yang dijalankan oleh masyarakat Bena adalah matrilineal. Matrilineal adalah alur garis keturunan
dari pihak ibu. Sistem religi pada masyarakat suku Bena terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan
kosmologi dan katolik. Secara kosmologi kehidupan masyarakat Bena berpegang teguh dengan
keberadaan daya-daya transenden roh leluhur (mori ga’e).
BAB II
PEMBAHASAN

Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis "Cabo de Flores" yang berarti "Tanjung
Bunga". Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebu wilayah paling timur dari
Pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal
Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini
sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan Flora yang dikandung oleh pulau ini. Karena itu,
lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli
Pulau Flores adalah Nusa Nipa (yang artinya Pulau Ular). Dari sudut Antropologi, istilah ini
lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual masyarakat
Flores.
Pulau Flores, Alor dan Pantar merupakan lanjutan dari rangkaian Sunda System yang
bergunung api. Flores memiliki musim penghujan yang pendek dan musim kemarau yang
panjang. Daerah Pulau Flores meliputi enam kabupaten, yakni Kabupaten Manggarai, Ngada,
Ende, Sikka, Flores Timur, dan Lembata.

2.1 Lingkungan dan Masyarakat Flores


Sejarah kependudukan masyarakat Flores menunjukkan bahwa Pulau ini dihuni oleh
berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir hampir eksklusif
sifatnya. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya
dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989; Taum, 1997b).
Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah asal-usul, suku, bahasa, filsafat dan
pandangan dunia. Ditinjau dari sudut bahasa dan budaya, ada enam sub-kelompok etnis di
Flores (Keraf, 1978; Fernandez, 1996). Keenam sub-kelompok etnis itu adalah: etnis Manggarai-
Riung (yang meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong, dan Mbaen). Etnis
Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngada, Nage, Keo, Palue,
Ende dan Lio. Kelompok etnis Mukang (meliputi bahasa Sikka, Krowe, Mukang dan Muhang).
Kelompok etnis Lamaholot (meliputi kelompok bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan
Lamaholot Tengah). Terakhir kelompok bahasa Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau
Lembata bagian selatan). Keenam kelompok etnis di Flores sesungguhnya memiliki asal-usul
genealogis dan budaya yang sama.

2.2 Tata Ruang Kampung Bena


Masyarakat Bena percaya sebagai makhluk mikrokosmos yang hidup dalam dunia
makrokosmos, mereka membawa dan membentuk konsep tentang kosmos ke dalam seluruh
aspek kehidupannya. Keseimbangan kosmologi mengenai relasi yang baik antara ‘wujud
tertinggi’, alam semesta, manusia, dan roh-roh para leluhur membentuk satu kesatuan harmoni
yang menciptakan keselarasan dan keseimbangan.
Konsep kosmologi ini menjadi dasar pola penataan ruang-ruang dalam kampung adat
Bena, yang tersusun oleh ruang terbuka non hijau/ RTNH (kisa loka yang terdiri dari 9 loka /
halaman suku, ngadhu, bhaga, ture Bupati, ture AgoNgadha, ture woe, peo, menhir, dolmen dan
makam), ruang permukiman rumah adat (sa’o), ruang dengan fungsi lain (peribadatan,
perkantoran dan perdagangan dan jasa) serta ruang terbuka hijau/RTH yang mengelilingi
kampung.
Pada dasarnya pola perletakan ruang permukiman kampung adat Bena tidak dipengaruhi
oleh sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang membedakan rank atas (Gae meze), rank
tengah (Gae kisa) dan rank bawah (azi ana). Konsep tradisional yaitu ‘saling melindungi’ juga
mempengaruhi pembagian ruang kampung menjadi tiga bagian besar yaitu ruang terbuka non
hijau/RTNH (kisa loka), ruang permukiman (sa’o), dan ruang terbuka hijau/RTH.
Gambar 1.Tata ruang kampung adat bena
(Sumber : Kadafi, 2018)

Konsep ‘ruang dan waktu’ yang secara vertikal dan horisontal mendasari struktur
pemanfaatan ruang kampung. Dalam struktur ruang kampung pusat kegiatan yaitu pusat
permukiman (sa’o) sebagai wujud dunia tengah dan masa kini, dimana manusia tinggal dan
beraktivitas; pusat budaya (loka) sebagai wujud dunia bawah dan masa lampau dimana terdapat
ngadhu, bhaga, makam, dolmen sebagai simbol-simbol para leluhur; dan pusat lingkungan yaitu
RTH (ota ola) sebagai wujud dunia atas dan masa depan dimana terdapat alam semesta tempat
bermukim manusia.
Peranan para leluhur terhadap pola ruang tercermin pada keberadaan ruang kisa loka,
dimana ruang tersebut merupakan wujud dunia bawah tempat tinggal para leluhur melalui
simbol-simbol adat yaitu ngadhu, bhaga, menhir dan makam, yang selalu hidup berdampingan
dengan generasi penerus melalui nilai-nilai yang diwariskan lewat tradisi dan ritual adat.
Keberadaan simbol-simbol adat secara tidak langsung mempengaruhi pola ruang yaitu pada
ruang kisa loka, dengan semakin banyaknya makam leluhur maka semakin sempit ruang gerak
di dalam kisa loka, sehingga dapat merubah fungsi utama yaitu sebagai ruang komunal
masyarakat Bena menjadi area yang penuh dengan makam leluhur. Namun hal ini dapat diatasi
dengan kebijakan dari para tetua adat dan mosalaki untuk tetap mempertahankan fungsi utama
kisa loka.
Keseluruhan jumlah rumah-rumah pada kampung Bena terdapat 43 rumah adat, dari
keseluruhan rumah terdapat 2 jenis rumah yang memiliki bentuk arsitektur interior yang berbeda
pada umumnya di kampung Bena. Rumah ini memiliki nama Sa’o Saka Lobo yang mewakili
leluhur kaum pria dan Sa’o Saka Pu’u, yang mewakili leluhur kaum wanita. Hanya pada 2 jenis
rumah ini yang memiliki simbol pada struktur bubungan atapnya, konstruksi bangunan, besaran
ruang inti (One) yang berbeda dan tingkatan kesakralan.
Ruang inti (One) pada interior rumah adat Sa’o Saka Lobo dan Sa’o Saka Pu’u memiliki
fungsi sebagai tempat ritual adat, kediaman leluhur, tempat tidur bagi kepala rumah tangga, dan
tempat memasak (Lika). Semua fungsi ini menjadi satu pada One. Ruang inti ini memiliki tingkat
kesakralan yang tinggi dan setiap One pada rumah adat memiliki besaran ruang yang berbeda-
beda.

2.3 Arsitektur Bangunan Rumah Adat Kampung Bena


A. Bentuk Sa’o Saka Pu’u dan Sa’o Saka Lobo
Bentuk arsitektur vernakular merupakan artefak budaya yang lahir dari citra, ekspresi dan
pengetahuan dasar dari masyarakat adat setempat. Hal yang terpenting pada arsitektur vernakular
bukan hanya pada aspek bentuk arsitektur interiornya, melainkan pada nilai, citra, dan soul yang
tersimpan didalamnya. Masyarakat adat secara nyata mengungkapkan pentingnya sebuah rumah
adat dan betapa pentingnya menjalankan aturan-aturan peninggalan leluhur sejak zaman dahulu.
Gambar 2. Kampung Adat Bena
Secara keseluruhan ketersedian material kayu-kayu yang digunakan untuk membangun
arsitektur interior rumah adat Sa’o Saka Pu’u dan Sa’o Saka Lobo ini sangat mudah didapatkan
pada sekitar lingkungan kampung Bena. Terdapat 2 rumah adat inti pada kampung Bena, yaitu
Sa’o Saka Pu’u dan Sa’oSaka Lobo.

Gambar 3. Rumah adat Sa’o Saka Pu’u


(Sumber: Kadafi, 2018)
a. Sa’o Saka Pu’u adalah rumah adat yang berkedudukan sebagai rumah induk atau pusat dari
rumah adat lainnya. Di dalam struktur adat kampung Bena, Sa’o Saka Pu’u berada pada posisi
tertinggi dan menjadi pemimpin dari rumah-rumah adat lainnya. Sa’o Saka Pu’u merupakan
perlambangan dari leluhur kaum wanita dan terdapat sebuah simbol anaie pada bubungan atap
yang memiliki karakteristik menyerupai sebuah arsitektur rumah adat Bena. Anaie merupakan
simbol dari perempuan yang di buat dari kayu Oja dan alang-alang yang berukuran 25x25 cm.
Anaie adalah bentuk dari ruang inti atau one. Dimensi ruang inti atau one pada Sa’o
Saka Pu’u berukuran lebih besar dari jenis arsitektur rumah adat Bena lainnya.

Gambar 4. Rumah adat Sa’o Saka Lobo


(Sumber: Kadafi, 2018)
b. Sa’o Saka Lobo adalah rumah adat yang mewakili leluhur kaum pria. Kedudukan dari Sa’o
Saka Lobo berada diposisi kedua setelah Sa’o Saka Pu’u. Terdapat sebuah simbol pada bubungan
atap yang memiliki karakteristik menyerupai sebuah boneka kayu yang sedang memegang
parang adat pada tangan kanannya dan tombak adat pada tangan kirinya. Simbol ini disebut
dengan Ata atau yang memiliki arti manusia. Dimensi ruang inti atau one pada Sa’o Saka Lobo
berukuran lebih kecil dari yang dimiliki Sa’o Saka Pu’u.
Kedua jenis rumah diatas memiliki bentuk rumah panggung dan material yang digunakan
pada arsitektur interior rumah adat Sa’o Saka Pu’u dan Sa’o Saka Lobo secara keseluruhan
menggunakan material yang ada pada kearifan lokal kampung Bena.
Para orang tua terdahulu mengatakan bahwa rumah adat adalah symbol kehangatan dan bentuk
kecintaan seorang ibu serta sebagai simbol perlindungan dari roh leluhur terdahulu. Sa’o Saka
Pu’u dan Sa’o Saka Lobo selain memiliki fungsi sebagai tempat tinggal keluarga, terdapat fungsi
lainnya sebagai ruang sacral dimana roh para leluhur tinggal dan menjaga para anak cucunya
didalam rumahtersebut.
Bangunan di Bena khususnya rumah mewakili manusia laki-laki dan perempuan. Rumah
yang menggambarkan perempuan disebut Sa’o Saka Pu’u dan rumah mewakili laki-laki disebut
Sa’o Saka Lobo. Pembeda dari kedua rumah ini adalah tanda yang berada di atas atap rumah
tersebut. Symbol pada Sao Saka Lobo disebut Ata, Ata berbentuk mansuia laki-laki yang
memegang parang ditangan kanan dan tombak di tangan kiri. Sedangkan symbol di Sao Saka
Puu disebut Anaye dan berbentuk miniatur rumah adat.
Untuk membangun rumah adat akan melalui beberapa tahapan dan ritual khusus yang harus
dilakukan.
1. Ritual Basa Matakaka
Ritual pertama yang dilakukan sebelum membangun rumah adat. Riyual ini dialkukan
sebelum memeotong bahan kayu untuk material rumah. Pada awalnya dilakukan
pembacaan syair adat (dikenal dengan Sangaza). Dalam ritual ini mengorbankan hewan
babi darahnya kemudian digunakan untuk melumuri setiap peralatan yang akan
digunakan untuk memotong kayu.
2. Tahap kedua adalah pengumpulan material yang bisa menghabiskan waktu sekitar 1
bulan dengan memanfaatkan bahan baku lokal.
3. Tahap ketiga yaitu proses pengeringan material kayu. Terdapat beberapa macam kayu ,
kayu fai menyimbolkan perempuan sedangkan kayu oja menyimbolkan laki-laki
sedanglan kayu lain yang digunakan yaitu kayu dalu dalam one sebagai inti. Proses
pengeringan kayu ini menggunakan waktu 12 bulan atau 1 tahun. Jenis-jenis kayu yang
digunakan adalah kayu dalu (pohon johar, ilmiah: Senna siamea), kayu fai (pohon
sengon, ilmiah: Albizia chinensis), kayu oja (pohon surian, ilmiah : Toona ciliata), kayu
kelapa (pohon kelapa, ilmiah: Cocos nucifera), dan kayu ampupu (pohon ampupu,
ilmiah: Eucalyptus urophylla).

Gambar 5. Pemanfaatan material kayu Oja pada dinding ruang inti One
(Sumber: Kadafi, 2018)

Ruang inti One berbentuk persegi dan pada satu sisi atau dinding terdapat 7 lembar kayu,
yaitu 3 lembar kayu oja dan 4 lembar kayu fai. Ke tujuh papan ini memiliki nama yaitu
Kabe Wisu, Ube Ulu, Kabe, Kedu, Kabe, Ube Ulu dan Kabe Wisu. Kabe merupakan
papan terbesar yang berada di tengah-tengah dibandingkan dengan 6 papan kayu lainnya
Pada umumnya difungsikan untuk sandaran duduk oleh pemilik rumah dan tidak dapat
digunakan oleh orang lain. Dinding yang terdiri dari 7 lembar kayu ini bermakna
mengingat 7 keturunan terdahulu dan 7 keturunan pemilik rumah dimasa mendatang.
4. Selanjutnya babi yang telah dibunuh dimasak dan dimakan bersama.
5. Tahapan berikut adalah wake lado wewa, proses ini adalah merupakan proses
membangun konstruksi atap. Ritual diawali dengan Sangaza atau syair adat dan
mengorbankan hewan babi lalu dimakan bersama seluruh orang yang terlibat dengan
proses pembangunan.

Gambar 6. Kayu ampupu pada kontruksi atap


(Sumber: Kadafi, 2018)

Material kayu ampupu digunakan sebagai konstruksi atap arsitektur interior rumah adat
Sa’o Saka Pu’u dan Sa’o Saka Lobo dan juga digunakan sebagai papan lantai pada Tedha
One atau ruang tengah. Kayu ampupu dipilih karena tergolonkayu kuat dan awet yang
dapat digunakan untuk bahan penopang beban berat bahan bangunan. Penggunaan
material bambu juga diaplikasikan sebagai struktur atap pada bagian ruang luar atau
Tedha Wewa. Bambu yang digunakan biasa digunakan adalah bambu betho, dimensi
bambu ini sangat besar yang berkisar ±15-20cm.
Gambar 7. Material bambu Betho pada Lenga.
(Sumber: Kadafi, 2018)

Gambar 8. Mole Sa’o pada bubungan atap


(Sumber: Kadafi, 2018)

Material bambu juga digunakan untuk mole sa’o. Mole Sa’o adalah simbol
yang berbentuk beberapa benda pusaka adat yakni parang adat dan tombak adat.Simbol
mole sa’o berada pada kedua sisi kanan dan kiri bubungan atap. Makna dari mole sa’o
berdasarkan hasil wawancara dikatakan bahwa benda pusaka adat yang terdapat pada
bubungan atap menandakan kekuatan dan keberanian sang pemilik Sa’o serta berfungsi
sebagai pemecah angin untuk melindungi bubungan atap agar tetap awet dan tidak
mengalami kerusakan akibat terpaan angin (hasil wawancara:Felix, 06-08-2018).
6. Tahap selanjutnya dalah pali wa’i yaitu proses pemasangan batu tangga pertama menuju
ruang luar atau teda wewa. Proses ini diawali dengan ritual syair adat lalu dikorbankan
dengan hewan babi dan darah babi kemudian digosok pada batu tangga pertama dan
kedua ujung sisi. Jika telah selesai dilanjutkan dengan makan bersama.
7. Selanjutnya adalah paja yaitu proses melanjutkan konstruksi atap , proses ini diawali
dengan syair adat dan pengorbanan hewan babi dan makan bersama. Bahan yang
digunakan dalam konstruksi adalah 17 buah bambu. Material bambu bilah digunakan
sebagai penyangga alang-alang sebanyak 27 buah.
8. Tahap berikut adalah wae sao dan ini merupakan tahap yang panjang, wae sao merupakan
proses meletakkan dan menyusun alang-alang diatas konstruksi atap kemudian akan
dilakukan syair adat dan tarian adat Ja’i berkeliling kampung dengan membawa alang-
alang. Lalu memberikan alang-alang yang dipegang penari pada anggota keluarga yang
berada di atas atap.
Material yang digunakan selain kayu dan bambu adalah alang-alang. Material alang-
alang atau biasa disebut oleh masyarakat Bena dengan sebutan keri. Keri dapat
ditemukan pada ladang-ladang masyarakat Bena. Masyarakat Bena membudidayakan
alang-alang pada ladangnya, hal ini berguna untuk persiapan apabila renovasi atap rumah
mereka. Keri merupakan material utama sebagai penutup dari konstruksi atap. Material
alang-alang atau keri ini bertahan hingga 25 hingga 30 tahun. Pada saat musim dingin
tiba ruang dalam pada rumah adat terasa hangat, begitu pun saat musim panas tiba ruang
dalam terasa sejuk.

Gambar 9. Persiapan ritual Wa’e Sa’o di kampung Bena


(Sumber: Kadafi, 2018)
Gambar 10. Pemasangan material keri sebagai pelindung dari cuaca panas dan dingin
(Sumber: Kadafi, 2018)

Material selanjutnya yang digunakan pada arsitektur interior rumah adat Sa’o Saka Lobo
dan Sa’o Saka Pu’u adalah ijuk atau na’o.Pemanfaatan na’o diterapkan sebagai tali
untuk mengikat modul keri pada reng konstruksi atap, pengikat bubungan atap pada
mole, dan sebagai pengikat simbol anaie pada rumah adat Sa’o Saka Lobo .
Gambar 11. Tali ijuk atau na’o
(Sumber: Kadafi, 2018)

9. Masih dalam tahap yang ke-15 yang disebut dengan ana saki mai zia sa’o fai yang berarti
perjalanan suami menuju rumah istri. Kemudian dilakukan makan bersama diruang inti
yaitu one.
10. Kemudian akan kembali ke sao sake lobo atau rumah adat laki-laki dengan menari ja’i
dan membawa atap. Ritual ini disebut wado sao ana saki, pada saat dirumah symbol ata
diberikan kepada anggota keluarga yang berada di atas atap untuk dipasang pada bagian
atap sao saka lobo.
11. Tahap ke 16 merupakan pemberkatan misa , proses ini merupakan akulturasi antara
budaya Bena dan agama Katolik.
12. Ritual atau tahap terakhir adalah ka sao yaitu proses makan bersama yang dihadiri oleh
masayarakat kampung Bena dan masyarakat kampung lain yang memeliki ikatan
persaudaraan dengan tuan rumah. Tuan rumah akan mengurbankan 70 ekor babi , 1 ekor
kuda dan 15 ekor kerbau.
Setiap ritual selalu diikuti dengan syarat menenun, menyisir dan segala kegiatan yang
berkaitan dengan benang harus dihentikan selama proses pembangunan rumah adat karena
masyarakat percaya bahwa akan mendatangkan kesialan bagai masyarakat yang membangun
rumah. Hal lain yang paling krusial adalah memasang tungku api ke rumah adat selesai
dibangun tujuannya agar alang-alang bisa awet sampai 40 tahun.

B. Konstruksi

Gambar 12.
Konstruksi
Rumah Adat
(Sa’o)
(Sumber: Kadafi,
2018)

Konstruksi pada arsitektur interior rumah adat kampung Bena terdiri dari konstruksi
pondasi, konstruksi lantai, kontruksi dinding, dan konstruksi atap. Pada bagian konstruksi
pondasi, terdiri dari Ture Sa’o , yang mempunyai arti tumpukan batu-batu yang disusun pada
depan rumah adat. Berfungsi sebagai penahan erosi dan sebagai tumpuan batu anak tangga (Pali
Wai). Watu Pali Wa’i, yang mempunyai arti batu anak tangga menuju Tedha Wewa. Material
yang biasa digunakan adalah batu nabe. Leke Sa’o, merupakan tiang-tiang kayu besar konsktrusi
pada rumah adat yang di tanam kedalam tanah dan menjadi penyangga bangunan.
Material yang digunakan adalah kayu dalu, jenis kayu ini dipilih oleh masyarakat Bena
karena memiliki kekuatan bertahan hingga ratusan tahun. Konstruksi lantai pada arsitektur
rumah adat Bena terdiri dari Ledha Tedha Wewa, Ledha Tedha One, dan Ledha One, yang
memiliki arti kayu penyangga konstruksi utama lantai pada ruang luar (Tedha Wewa), ruang
dalam tengah (Tedha One) dan ruang inti (One). Material yang digunakan adalah kayu oja. Naja,
material bambu juga digunakan sebagai lantai (Naja) pada bagian ruang luar (Tedha Wewa) dan
ruang inti (One).
Konstruksi dinding terdiri dari dua bagian, bagian ruang luar (Tedha Wewa) dan bagian
ruang dalam (Tedha One dan One) . Perlu diketahui bahwa bagian atap luar ditutupi oleh belahan
bambu yang dibelah menjadi dua (Lenga), penopang dari atap dari belahan bambu bagian ruang
luar disebut dengan Tubo Lenga (Tubo: penopang dan Lenga: atap dari belahan bambu).
Selanjutnya berbicara mengenai ruang dalam (Tedha One dan One) ditutupi
menggunakan alang-alang. Tiang-tiang penyangga ruang dalam ini disebut dengan Deke. Tiang
penyangga ini memiliki ketinggian 240cm dengan material kayu fai. Lalu, terdapat sebuah tiang-
tiang bagian kiri dan kanan seperti kusen pintu pada awal memasuki pintu ke ruang dalam Tedha
One disebut dengan Deke Sa’o. Pada bagian pintu (Pene) menuju ruang inti One memiliki
sistem pintu geser dan memiliki dimensi yang rendah yaitu tinggi ±120-125cm dan lebar ±70-
75cm, ukuran ini biasanya disesuaikan dengan proposi bahu dari tubuh perempuan pemilik
rumah adat. Maka saat kita ingin memasuki One posisi tubuh kita akan menunduk dan
membungkuk. Terdapat suatu pepatah adat yaitu “dheke dere debhe, dhoro doro dogho” yang
memiliki makna, “masuk haru membungkuk, keluar haru merendahkan tubuh”. Ukuran pene
pada ruang inti One dibuat seperti ini bermakna agar kita menghormati dan menghargai pemiliki
rumah serta roh leluhur yang berada didalam ruang inti One (Yosef Rawi;2007).
Pada konstruksi atap rumah adat (sa’o) terdapat beberapa bagian dan jumlah susunan
material yang digunakan. Bagian pertama terdiri dari 2 tiang nok utama yaitu Lado Wewa dengan
material kayu dalu memiliki ketinggian ±400cm - 420cm. Jara Noko atau kuda-kuda rumah adat.
Bali Redhi sebagai siku-siku yang dipasang bersilangan pada rangka atap, agar atap dapat berdiri
tegak, material yang digunakan adalah kayu ampupu.
Bagian kedua terdiri dari 8 penyangga yaitu Soku Dalu dengan material kayu ampupu
yang menghubungkan kedua kuda - kuda (Jara Noko) pada setiap sudut struktur atap. Terdapat
17 buah usuk (Soku Bodha) pada masing-masing 4 sisi struktur atap dengan material bambu
bulat. Terdiri dari 27 buah reng (Soku Paja) pada masing-masing 4 sisi struktur atap dengan
material bambu bilah.
Bagian ketiga pada bagian struktur atap yaitu Nedhu atau alang-alang bagian paling atas
bubungan atap yang menutup kuda-kuda rumah secara menyeluruh. Terdapat 3 buah bambu
berbentuk parang adat dan 2 buah bambu berbentuk Bhuja Kawa atau tombak adat pada bagian
kedua sisi kiri dan kanan bubungan atap. Terdapat sebuah simbol anaie pada bubungan atap yang
memiliki karakteristik menyerupai sebuah arsitektur rumah adat Bena. Anaie merupakan
simbol dari perempuan yang di buat dari kayu Oja dan alang-alang yang berukuran 25x25 cm.
Anaie memiliki bentuk dari ruang inti atau one. Lalu, Terdapat sebuah simbol pada bubungan
atap yang memiliki karakteristik menyerupai sebuah boneka kayu berselimut ijuk yang sedang
memegang parang adat pada tangan kanannya dan tombak adat pada tangan kirinya. Simbol ini
disebut dengan Ata atau yang memiliki arti manusia.

Gambar 13. Konstruksi Ruang Inti (One)


(Sumber: Kadafi, 2018)
Adapaun tiga perabot penting di dalam rumah adat (sao) adalah :
a. Tempat perapian berikut rak diatasnya (lapu lika ne’e kae)
b. Tempat perletakan perangkat adat (mata raga), dimana tombak (bhuja kawai),
bilah bambu (su’a uwi) dan tempat air minum (bhoko), serta parang adat (sau ge’e)
dijaga dan disimpan.
c. Tangga dari teda one menuju one (kawa pere atau kata bewa ).
BAB III

PENUTUP

3.1 SIMPULAN

Kampung ada Bena terletak di Kabuapaten Ngada, Flores, NTT. Sejarah kependudukan
masyarakat Flores menunjukkan bahwa Pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang
hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnis
menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat
anggota masyarakatnya secara utuh. Konsep kosmologi menjadi dasar pola penataan ruang-
ruang dalam kampung adat Bena, yang tersusun oleh ruang terbuka non hijau/ RTNH (kisa loka
yang terdiri dari 9 loka / halaman suku, ngadhu, bhaga, ture Bupati, ture AgoNgadha, ture woe,
peo, menhir, dolmen dan makam), ruang permukiman rumah adat (sa’o), ruang dengan fungsi
lain (peribadatan, perkantoran dan perdagangan dan jasa) serta ruang terbuka hijau/RTH yang
mengelilingi kampung.
Arsitektur rumah adat Kampung Bena terdapat 2 buah rumah adat inti pada kampung
Bena, yaitu Sa’o Saka Pu’u dan Sa’o Saka Lobo. Sa’o Saka Pu’u berkedudukan sebagai rumah
induk atau pusat dari rumah adat. Sa’o Saka Pu’u merupakan lambang dari leluhur kaum wanita
dan terdapat sebuah simbol anaie pada bubungan atap yang memiliki karakteristik menyerupai
sebuah arsitektur rumah adat Bena. Anaie merupakan simbol dariperempuan, Anaie adalah
bentuk dari ruang inti atau one. Sa’o Saka Pu’u berukuran lebih besar dari jenis arsitektur rumah
adat Bena lainnya. Sa’o Saka Lobo adalah rumah adat yang mewakili leluhur kaum pria.
Kedudukan dari Sa’o Saka Lobo berada di posisi kedua setelah Sa’o Saka Pu’u.

DAFTAR PUSTAKA

Kadafi, RM.2018. Bentuk Arsitektur Interior Rumah Adat Kampung Bena,Kabupaten Ngada,
Provinsi Nusa Tenggara Timur.Yogyakarta: Program Penciptaan Dan Pengkajian
Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Sustyarto, Martinus Bambang. 2013. Arsitektur Vernakular, Keberlanjutan Budaya di Kampung


Bena Flores. Bekasi : Presisi Graphic Design.

Tandafatu,CM.2015. Kajian Pola Tata Ruang Kampung Adat Bena Didesa Tiworiwu Kabupaten
Ngada (Tesis).Yogyakarta: Kajian Pola Tata Ruang Kampung Adat Bena Di Desa
Tiworiwu Kabupaten Ngada

Yoseph,TT.2006. Wawasan Kebangsaan Dari Perspektif Budaya Flores.Yogyakarta: Fakultas


Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai