Anda di halaman 1dari 9

SAWEN LEMBUR; ELEMEN PROTEKSI UNTUK MEMPERTEGAS TERITORI

PERMUKIMAN KAMPUNG GEDE CIPTAGELAR

Diana Wahyu Pratiwi1 dan Susilo Kusdiwanggo2

1. Mahasiswa Program Sarjana Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya


2. Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
*Email: diana.pratiwi18@gmail.com

ABSTRAK
Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar merupakan salah satu kampung adat Sunda yang masih menjalankan
kehidupan mereka berdasarkan kebudayaan padi. Suatu kebudayaan yang mendorong masyarakatnya untuk
memusatkan kehidupan mereka pada padi yang merujuk antara keseimbangan kehidupan antara manusia dengan
alam. Ritual yang menandai diri mereka sebagai masyarakat budaya padi, yaitu prah-prahan. Ritual ini merupakan
salah satu ritual yang dilakukan untuk menandai teritori mereka sebagai masyarakat berbudaya padi berupa
pemasangan, sawen lembur. Ritual penandaan teritori ini dilakukan di pusat permukimanKampung Gede Kasepuhan
Ciptagelar. Penelitian ini berfokus pada peran sawen yang dijadikan sebagai elemen proteksi lingkungan permukiman
dari warga Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar. Penelitian ini berdasarkan pada pertanyaan, apa makna sawen
lembur bagi teritori permukimandan rumah-rumah dari masyarakat Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar pada
kegiatan prah-prahan? Penelitian ini dirancang secara kualitatif, dengan mengeksplore keunikan budaya padi untuk
menjawab pertanyaan awal dari penelitian ini. Metode utama dari pengambilan data adalah dengan partisipasi
peneliti pada ritual dan observasi, dokumentasi langsung saat ritual berlangsung dilanjutkan dengan dokumentasi
arsitektural. Kemudian divalidasi dengan melakukan wawancara pada rurukan Kadukunan yang ada pada
pemukiman.

Kata kunci: prah-prahan, sawen lembur, elemen proteksi, teritori, ritual

ABSTRACT
Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar is a Sundanese traditional village that still runs their life based on rice culture.
A culture that encourages its people to concentrate their lives on the rice between human life and nature. The ritual
marks them as a cultured society of rice, namely prah-prahan. This ritual is one of the rituals performed to mark their
territory as a cultured society, the installation of sawen lembur. This territorial marking ritual is central to the
Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar settlement. This research depends on the role of sawen, which is used as a
protection element of the residential environment and house building by Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar
residents. This study is based on the question, what is the meaning of sawen lembur for the residential territory of
Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar community in the prah-prahan activities? This research was designed
qualitatively by exploring the uniqueness of rice culture to answer the initial question of this research. The main
method of data recording is with the participation of researchers on rituals and observations, direct documentation as
the ritual takes place continues with architectural documentation. Then validated by conducting interviews on the
rurukan Kadukunan of the existing settlements in the settlement.

Keywords: prah-prahan, sawen lembur, protection elements, territory, rites

yang masih tersisa di Indonesia. Dalam satu siklus


Pendahuluan budidaya padi banyak kegiatan kepercayaan dan
ritual yang diselenggarakan. Salah satunya adalah
Warga Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar ritual, prah-prahan.
masih menjaga kepercayaan mereka terhadap
Dewi Padi hingga saat ini. Mereka dapat disebut Prah-prahan atau sawen lembur merupakan
sebagai komunitas bebasis budaya padi yang kuat ritual keselamatan jiwa (jelema) bagi warga
Ciptagelar, baik di dalam suhunan (rumah) Dari jurnal yang sama, Kusdiwanggo (2014)
maupun lembur (kampung) di seluruh wilayah. Di menyebutkan bahwa, pada komunitas Ciptagelar
dalam penyelenggaraannya terdapat kutipan padi dipercaya sebagai entitas yang memiliki roh
pajak Sapar, yaitu pajak rumah yang dikonversi dan jiwa layaknya manusia. Begitu juga dengan
ke dalam bahan proteksi rumah dan kampung daur hidupnya, dari kelahiran hingga kematian,
(sawen). Pajak Sapar mulai dikutip tiap tanggal serta memiliki bagian-bagian penting. Pernyataan
4 Sapar dan berakhir pada 12 Sapar penanggalan ini didukung oleh jurnal lain yang ditulis oleh,
Ciptagelar. Acara prah-prahan sendiri Jamaluddin et al (2016); Nuryanto et al, (2014)
dilaksanakan di awal kutipan pajak, bertepatan Dwi. A et al (2014) dalam bidang arsitektur,
pada Jumat. Acara sawen lembur – prah-prahan bahwa komunitas Ciptagelar memiliki
diselenggarakan dalam tiga tahap, yaitu kepercayaan dan kehidupan berdasarkan pada
pembuatan sawen, prah-prahan, dan selamatan padi. Dalam sistem kepercayaanya itu, mereka
atas terselenggaranya acara sawen lembur dan mempercayai bahwa Nyai Pohaci Sang Hyang Sri
prah-prahan (Kusdiwanggo, 2015: xxiii, 193). sebagai salah satu dewi yang suci yang menjaga
mereka secara turun menurun. Kepercayaan ini
Dalam rirual prah-prahan, masyarakat terefleksikan pada kehidupan ritual dan sehari-
meletakkan lima sawen lembur di tengah dan hari yang berasaskan budaya padi.
empat penjuru perkampungan. Selain sawen
lembur yang diletakkan pada kawasan Kebudayaan padi yang dipercaya oleh komunitas
permukiman, juga terdapat sawen suhunan yang Ciptagelar merupakan dampak dari kondisi
disematkan di elemen-elemen permukiman, geografis (Knapp, 1997 dalam Kusdiwanggo
seperti rumah, leuit, saung, maupun kendang. 2016). Hal inilah yang menjadikan pnelitian
Sawen dapat disebut sebagai elemen proteksi berdasarkan lokus geografi menjadi penting.
permukiman adat. Karena peran dan Selain itu, Rapoport (1976) menyebutkan bahwa
kedudukannya sebagai protektor, ritual ini permukiman dipengaruhi oleh rona (setting) di
penting untuk dilakukan. Cakupan area proteksi mana permukiman itu mewadahi isinya. Untuk
yang dibangun oleh sawen lembur menjadi itu, kajian tentang kesetempatan dan budaya pada
konsep spasial yang unik di lingkungan komunitas Ciptagelar merupakan hal penting
permukiman adat berbasis budaya padi sebagai dalam memulai penelitian ini. Rekam jejak
bangun arsitekur Nusantara. Konsep proteksi sejarah pada artefak yang sudah ada dan hasil
permukiman di Kasepuhan Ciptagelar ini sudah wawancara awal, membantu dalam memulai
pernah dibahas oleh Kusdiwanggo, et al (2016) penelitaian.
dalam jurnalnya yang berjudul “Sakuren: Konsep
Spasial sebagai Prasyarat Keselamatan Pada umumnya, terbentuknya permukiman Sunda
Masyarakat Budaya Padi”. melalui empat proses. Pertama; diawali dengan
terbentuknya umbulan, yaitu permukiman yang
Sementara itu, dari beberapa jurnal terdahulu, terdiri atas 1-3 rumah. Kedua; dari umbulan
terdapat kesamaan temuan yang berhubungan berkembang menjadi babakan, yaitu kesatuan
dengan Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar. Di permukiman yang terdiri dari 4-10 rumah. Ketiga;
antaranya adalah istilah penyebutan komunitas berkembang lagi menjadi lembur, yaitu kesatuan
alih-alih masyarakat. Masyarakat adat Kampung permukiman yang memiliki antara 10-20 rumah.
Gede Kasepuhan Ciptagelar lebih tepat disebut Keempat; terbentuklah kampung, yaitu kesatuan
sebagai komunitas daripada masyarakat karena permukiman yang memiliki lebih dari 20 rumah
himpunan jejaring kultur keturunannnya yang beserta lingkungannya (Garna, 1984). Merujuk
lebih kuat. (Tuan, 2002 dalam Kusdiwanggo, pada referensi tersebut, ruang lingkup penelitian
2014). Selain itu, penggunaan kata komunitas ini dikategorikan dalam skala kampung karena
juga ditemukan secara langsung dan menjadi memuat lebih dari 20 rumah lebih yang tersebar
sebutan umum seperti pada jurnal Jamaludin dalam area luasan penelitian. Hal ini diperlukan
(2016), et al dan Nuryanto,et al (2014). untuk mengetahui batas wilayah atau teritori
kampung yang akan diteliti.
Dalam kajian perilaku lingkungan (Altman, Tinjauan Kampung Gede Kasepuhan
1975), individu membentuk teritori pada Ciptagelar
lingkungannya karena adanya tekanan untuk
mengontrol situasi. Klasifikasi teritori dibagi Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar saat ini
menjadi tiga (Altman, 1980), yaitu teritori primer, bertempat secara administratif di Desa
sekunder dan tersier. Pembagian ini didasarkan Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi. Kampung ini
pada intensitas perlindugan, waktu dan kondisi juga merupakan bagian dari kampung adat
penggunaan ruangnya. (1)Teritori Primer; Kasepuhan yang tersebar di kawasan Taman
merupakan tempat yang dengan tingkat Nasional Gunung Halimun-Salak. Kampung
personalitas yang tinggi. Teritori ini dimiliki Gede Kasepuhan Ciptagelar saat ini dipimpin
oleh perseorangan atau sekelompok orang oleh seorang kepala adat yang bergelar Abah.
yang juga mengendalikan penggunaan teritori Abah adalah sebutan bagi tetua adat yang
tersebut secara relatif tetap (2)Teritori diangkat oleh masyarakat Kampung Gede
Sekunder;merupakan ruang yang dimiliki Kasepuhan Ciptagelar berdasarkan garis
bersama oleh sejumlah orang yang sudah cukup keturunan dan wangsit. Abah beserta keluarganya
saling mengenal. (3) Teritori Publik;merupakan tinggal di tihang kalapa dan tihang awi. Saat ini
ruang yang terbuka untuk umum dan dapat Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh Abah Ugi.
diakses oleh siapapun. Terkadang teritori publik
dikuasai oleh kelompok tertentu dan tertutup bagi Kampung Ciptagelar disebut sebagai Kampung
kelompok lain. Gede karena merupakan pusat pemerintahan
kasepuhan. Karena kedudukannya itu, Kampung
Batas dari sebuah teritori bisa dikenali melalui Gede Ciptagelar dilengkapi dengan Leuit Jimat.
terjadinya perubahan perilaku dan sifat privasi Leuit Jimat merupakan leuit utama (kasepuhan)
ketika teritori tersebut ditembus (Lang, 1987). sebagai penanda kedudukan kasepuhan. Leuit,
Hal ini menujukkan jika struktur ruang merupakan lumbung penyimpanan padi yang
permukiman dideskripsikan melalui identifikasi dimiliki oleh masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.
tempat, lintasan, dan batas sebagai komponen Leuit Jimat menandai diberlakukannya pola
utama, lalu diorientasikan melalui hirarki dan pertanian campuran, antara pola berhuma dan
jaringan atau lintasan, maka akan muncul bersawah. Leuit JImat akan dibawa serta saat
lingkungan binaan baik secara fisik atau non- kasepuhan berpindah tempat (ngalalakon)
fisik. (Kusdiwanggo, 2016).
Berdasarkan rujukan di atas, untuk menyebut Kampung Gede Ciptagelar memiliki perbedaan
masyarakat Kampung Gede Kasepuhan dengan kampung adat lainya, sehingga memiliki
Ciptagelar, selanjutnya akan digunakan istilah keunikan dan indigenous knowledge tersendiri,
Komunitas Ciptagelar. Sementara itu, teritori serta menjadi aset kekayaan budaya bagi
yang dimaksud adalah lingkup ruang berdasarkan masyarakat Sunda. Kebiasaan, adat-istiadat,
posisi dan lokus sawen lembur itu diletakkan. budaya, aktivitas ritual atau rutin, pola
Cakupan teritori ini muncul sebagai akibat relasi perkampungan maupun arsitektur bangunannya
sistem kepercayaan dan realitas di lapangan. masih dipertahankan oleh komunitas Ciptagelar
dari generasi ke generasi.
Dari berbagai pertanyaan penelitian yang muncul,
tulisan ini fokus pada ritual prah-prahan itu Kasepuhan merupakan himpunan permukiman
sendiri dan juga pemanfaatan sawen pada yang memiliki ikatan kultural, terdiri dari
lingkungan dan bangunan rumah-rumah pada beberapa kampung besar dan kampung kecil
Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar. Fokus (lembur), dipimpin oleh seorang sesepuh atau
tulisan, yaitu mencari makna dan fungsi dari ritual pemimpin adat yang memiliki garis keturunan
(prah-prahan) dan elemen (sawen) yang dimiliki langsung dengan pendiri kasepuhan, dan
oleh masyarakat Kasepuhan Ciptagelar bagi memiliki sistem kepemerintahan sendiri
territorial permukiman mereka. (Kusdiwanggo, 2015: xx)
Leluhur Kesatuan Adat Banten Kidul Kasepuhan pintu dapur; dan (2) sawen lembur, yang
Ciptagelar memiliki kebiasaan memindahkan diletakan di sisi luar atau batas kampung
permukiman kampung gede-nya (pusat Ciptagelar. Keduanya dibuat saat
pemerintahan). Proses memindahkan diselenggarakan prosesi prah-prahan.
permukiman ini disebut ngalalakon. Setiap kali
kasepuhan berpindah ke tempat baru, lokasi Pembuatannya dilakukan di rumah rorokan
kasepuhan lama akan berubah berstatus menjadi Kadukunan dua hari sebelum acara prah-prahan
tari kolot. diselenggarakan. Pembuatannya dilakukan oleh
kaum laki-laki dengan menyusun daun-daunan
Luas ruang budaya Kasepuhan Ciptagelar yang dan akar-akar yang terdiri dari tujuh jenis yang
berada di seputar pegunungan Kendeng, meliputi dilengkapi dengan elemen lainnya untuk
tiga kabupaten, yaitu Sukabumi, Bogor dan memberikan perbedaan antara sawen lembur dan
Lebak dan dua provinsi, yaitu Provinsi Banten sawen suhunan.
dan Jawa Barat.
Sawen lembur disusun pada sebuah batang kayu.
Kasepuhan terkini adalah Kasepuhan Ciptagelar, Dua buah sawen lembur yang terdiri dari tujuh
sebagai kasepuhan yang ke-19 sejak kasepuhan jenis daun dan akar akan ditata menyilang dan
pertama di Cipatat Urug pada tahun 1368 diikatkan pada ujung atas batangnya. Sedangkan
(Kusdiwanggo, 2015: 99). Dari jejak sejarah ujung bawahnya akan ditajamkan karena akan
permukiman menunjukkan bahwa tiap ditancapkan ke dalam tanah di tempat lokasi
permukiman baru yang terbentuk tidak memiliki sawen lembur yang sudah ditentukan. Sawen
kesamaan artefak. Permukiman yang dibangun suhunan yang diletakkan dirumah akan
belakangan, relatif lebih memiliki elemen ditambahkan dengan sebuah ketupat berbentuk
permukiman yang lebih lengkap dan kompleks segitiga yang dibungkus dengan daun bambu.
dari permukiman sebelumnya. Di kasepuhan Ketupat ini akan dibuat oleh kaum wanita dan
yang sekarang (Kasepuhan Ciptagelar) beberapa disatukan dengan sawen lembur yang semuanya
elemen permukiman tari kolot dibawa pindah ke akan di proses dalam ritual prah-prahan.
tempat permukiman yang baru. Dengan demikian
permukiman Kasepuhan Ciptagelar sebagai Prah-prahan merupakan satu ritual tahunan yang
permukiman terkini merupakan permukiman dilakukan oleh komunitas Ciptagelar di
yang memuat dari segala elemen permukiman permukiman dalam upaya menjalankan tradisi
dengan nilai bermukim terlengkap yang budaya padi berdasarkan perhitungan kalender
dibutuhkan Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Ciptagelar. Prah-prahan dilakukan pada waktu
saat ini (Kusdiwanggo 2015). sore hari menjelang terbenamnya matahari,
sekitar pukul 17.00-17.30. Ritual ini dilakukan di
Tinjauan Sawen Lembur alun-alun Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar
atau ditengah kampung yang dipimpin oleh ketua
Sawen lembur adalah himpunan dua kata berbeda rorokan Kadukunan. Rorokan Kadukunan adalah
yaitu sawen dan lembur. Sawen sendiri adalah lembaga yang bertugas menjaga adat
istilah yang digunakan komunitas Ciptagelar (Kusdiwanggo, 2015: xx). Ketua rorokan
untuk sebuah media yang mereka gunakan Kadukunan adalah orang yang dipercaya dan
sebagai penanda rumah adat mereka. Sawen memiliki kemampuan serta pengetahuan dalam
disebutkan sebagai elemen proteksi memimpin dan menjalankan ritual adat yang ada
(Kusdiwanggo, 2016). Sebagai elemen tambahan di Kasepuhan Ciptagelar. Saat ini ketua rorokan
yang dipasang oleh komunitas Ciptagelar dan tari Kadukunan di tempati oleh Aki Karma. Beliau lah
kolot dibawahnya yang masih mengkuti segala yang memimpin ritual-ritual yang diadakan di
adat-istiadat Kasepuhan Ciptagelar. Sawen Kasepuhan Ciptagelar, salah satunya adalah
sendiri terdiri dari dua jenis, yaitu (1) sawen prah-prahan.
suhunan yang di pasang di rumah-rumah warga.
Tepatnya diatas pintu-pintu rumah masyarakat Secara simbolis, tujuan ritual prah-prahan adalah
komunitas Ciptagelar, terutama di bagian atas mendoakan keselamatan lingkungan Kampung
Ciptagelar dan seluruh himpunan lembur dan hubungan manusia dengan manusia lainnya
kampung yang tergabung dalam kesatuan Adat (Ningrat, 2004). Dipandang dari sisi empiric,
Banten Kidul Kasepuhan Ciptagelar. Sementara kebudayaan memiliki sifat yang dinamis,
itu, hasil kutipan pajak Sapar yang dilakukan kebudayaan akan selalu berubah seiring dengan
sebagai proses redistribusi ekonomi masyarakat perkembangan zaman. (Kartika, 1999)
kasepuhan.
Lanskap budaya merupakan istilah yang merujuk
Sawen lembur, merupakan sebuah elemen pada kawasan lanskap yang tersusun dari
simbolis yang digunakan oleh Kasepuhan himpunan budaya manusia. Umumnya istilah ini
Ciptagelar sebagai proses melestarikan kebiasaan lebih mengarah pada ilmu arsitektur yang
leluhur mereka untuk menjaga keberlanjutan dan mengkonsentrasikan diri pada tatanan ruang luar
keselamatan permukiman. Keberlanjutan di sini yang mengahampar luas (Indrawati, 2015).
dimaknai sebagai keseimbangan antara alam dan Karakter dari lanskap umumnya terdiri dari lima
manusia yang tinggal di atasnya. Disebutkan elemen dasar (Mc Harg, 1995) 1) landform, 2)
sebagai di atasnya, karena dalam konteks ini alam Vegetation, 3) Water, 4) Paving, 5) Structure.
divisualisasikan menjadi suatu area bersusun
dengan elemen lain. Lanskap Budaya juga menggambarkan
perjalanan sejarah suatu kawasan budaya yang
Lembur merupakan himpunan beberapa kepala akan menunjukkan perubahan-perubahan yang
keluarga yang tinggal berdekatan menjadi terjadi sebagai bukti sifat dinamis dari
lingkungan permukiman atau kampung kecil. permukiman budaya. Perubahan yang terjadi di
Kampung gede: Kampung yang digunakan dalamnya, dicatat sebagai perubahan peradaban
sebagai pusat pemerintahan kasepuhan. yang terjadi pada manusia yang berada
(Kusdiwanggo, 2015: xx). Kampung Gede didalamnya. Rapoport menyebutnya sebagai
Ciptagelar memiliki beberapa elemen Cultural Landscape yang dilingkupi oleh
permukiman, antara lain adalah imah gede, beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan,
tihang kalapa, dan tihang awi serta. Tihang kunikan dan kepribadian dari lingkungan budaya
kalapa adalah pangcalikan (singgasana) ketua tersebut.
adat Kasepuhan Ciptagelar yang bergelar Abah.
Selain elemen tersebut di permukiman juga Dengan uraian yang ada, lanskap budaya dapat
terdapat Leuit Jimat. Leuit Jimat adalah tanda disebut sebagai bentuk wilayah berupa ruang
kedudukan kampung gede sebagai pusat yang mewadahi aktivitas manusia dalam
pemerintahan kasepuhan (Kusdiwanggo, 2014). menjalankan kebudayaan mereka sesuai dengan
budaya yang mereka anut.

Tinjauan Lanskap Budaya Tinjauan Elemen Proteksi

Budaya merupakan bentukan dari cipta, karya Elemen proteksi, terdiri dari dua perbendaharaan
juga karsa dari manusia yang dilakukan dalam kata berbeda arti yaitu elemen dan proteksi.
usahanya untuk kehidupannya. Munculnya nilai- Elemen dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan
nilai dari sebuah kebudayaan menjadikan sebagai zat sederhana (tunggal) yang dianggap
pedoman yang menata tingkah laku warga sebagai komposisi bahan alam semesta (seperti
pendukung dari kebudayaan yang dianut. udara, tanah, air, api). Pengartian ini merujuk
Pedoman pola laku dari manusia ini setidaknya pada perwujudan fisik dari sebuah benda. Selain
dikenal sebagai adat-istiadat, norma, aturan etika, itu proteksi dalam kamus Bahasa Indonesia
moral, sopan-santun, pandangan hidup, ideologi diartikan sebagai perlindungan. Sehingga
pribadi. Persoalan yang menyangkut terhadap penyatuan dua kata tersebut memunculkan arti
nilai dalam kebudayaan, pada umumnya terdapat sebagai sebuah benda yang dapat memberikan
lima hal, yaitu; 1) makna hidup manusia; 2) perlindungan.
makna pekerjaan; 3) persepsi mengenai waktu; 4)
hubungan manusia dengan alam; 5) dan Dalam tulisan ini, elemen proteksi diruraikan
dalam beberapa jenis. Elemen proteksi secara tentang (1) kepemilikan terhadap kesebendaan
fisik dapat terwujud sebagai banyak benda. dan area tatanan tempat (2) Personalisasi atau
Proteksi diri, bisa berupa pakaian, penutup, topi. penandaan wilayah (3) ekspresi tatanan untuk
Dalam dunia arsitektur, elemen proteksi dapat mempertahankan terhadap gangguan yang
berupa proteksi terhadap kebakaran, berupa mengurasi rasa personalisasi (4) kemampuan
system fire protection dengan perangkat hydrant berfungsi yang meliputi jangkauan kebutuhan
dan sprinkle. Dan merujuk pada elemen proteksi fisik dasar sampai kepuasan kognitif dan
pada permukimanbisa diwujudkan dengan kebutuhan estetika (Lang, 1987 dalam (Ariestadi
system pengamanan berupa CCTV, maupun et al., 2014). Pengartian dari teritori ruang itu
adanya pagar. sendiri meliputi bebetarapa aspek berupa
keamanan, kontrol, personalisasi dan identitas.
Dalam konteks permukiman adat, elemen
proteksi diwujudkan pada benda benda buatan Menurut Altman dalam Porteous (1977),
manusia yang dipercayai mendukung teritorialitas dapat dibedakan menjadi tiga
kepercayaan mereka dalam mengkomunikasikan berdasarkan fungsinya, yaitu teritori primer,
diri dengan alam. Pada permukiman masyarakat teritori sekunder, dan teritori umum.
Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar elemen
proteksi yang dibicarakan berupa elemen yang a. teritori primer
tersusun dari daun-daunan dan akar yang Teritori primer yang di ekspresikan dengan
disatukan dan dilakukan proses ritual yang kegiatan teritorialitas primer merupakan
disebut prah-prahan, sehingga elemen tersebut suatu bentukan ruang yang dimiliki secara
diproses sehingga di sebut sebagai sawen. permanen oleh seseorang atau kelompok
Elemen proteksi ini dipercaya oleh masyarakat tertentu. Untuk menghindarkan diri dari
Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar sebagai gangguang. Gangguan yang berupa gesekan
perlindungan terhadap rumah dan permukiman pada aspek keamanan, control, personalsasi
mereka dari gangguan-gangguan dari dimensi dan identitas. Gangguan terhadap ruang ini
lainnya yang akan menimbulkan kerusakan pada dianggap sebagai penghinaan bagi
alam. penghuninya (contoh:area pribadi berupa
kamar, rumah tinggal, meja pada ruang
Tinjauan Teritori kantor).
b. teritori sekunder
Di dalam kamus besar Bahasa Indonesia teritori Teritori sekunder adalah ekspresi
didapat dari bahasa asing yaitu, territory yang teritorialitas sekunder yang dapat berupa
jika di Indonesiakan menjadi teritori yang berarti bentukan ruang yang dikuasai dan dikontrol
‘wilayah, daerah kekuasaan’. Sehingga istilah oleh seseorang atau kelompok tertentu
teritori di Indonesia sendiri sebenarnya tidak ada namun masih mengijinkan orang/kelompok
dan tidak memiliki pengartian yang memberikan lain untuk mengakses ruang tersebut.
definisi pasti dari kata itu sendiri (Fatimah, 2010). c. teritori umum
Sehingga pada bahasan ini teritori lebih Teritori umum merupakan ekspresi
mengerucutkan diri pada batasan dimana teritorialitas umum berupa bentukan ruang
makhluk hidup dapat menentukan pertahanan yang hanya dapat dikuasai dalam waktu
dari kontrol dalam penandaan ruang secara fisik singkat dan dapat diakses oleh semua orang
maupun simbolik (Altman 1975).
Menurut Robinson dalam prosidingnya yang
Terdapat pula kata teritorialitas yang dapat berjudul Institutional Space, Domestic Space and
diartikan sebagai perilaku yang berhubungan Power relations. Revisiting territorialty with
dengan kepemilikan atau hak seseorang atau space syntax, teritori dapat disejajarkan dengan
sekelompok orang atas suatu tempat atau suatu domain (Robinson, 2001). Teritori dapat
lokasi geografis. Pola perilaku ini mencakup dipisahkan berdasarkan sifatnya, yaitu terdiri
personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari:
dari luar. Karakter dasar dari suatu teritori yaitu
a. intimate domain, Dari satu wilayah ke wilayah lain mereka
b. semi intimate domain, memiliki cara mereka untuk menandai wilayah
c. private domain, mereka.
d. semi private domain,
e. semi public domain Tabel 2.1. Kelompok Teori Teritori
f. public domain Tinjauan
T
E Empiris Nilai
Menurut Suryono dan Carrisa (2015) berdasarkan
R
filosofi teritori masyarakat adat Bali konsep I
Hirarki(Habraken) Sosial Teritori
Sanga Mandala, teritori dapat dipisahkan 1. Fungsi(Altman, 1975) 1. Civitas
T
2. Sifat (Robinson, 2001) 2. Aktivitas
berdasarkan maknanya yaitu: a. makna utama O
3. Makna 3. Nilai
mandala adalah area bermakna suci untuk R
(Burhanuddin,2010) perilaku
I
beribadah, b. makna masya mandala adalah area 4. Artefak
perantara untuk bermukim dan c. makna nista
mandala adalah area kotor untuk tempat hewan Metodologi Penelitian
dan pembuangan.
Dalam menentukan metode dalam penelitian ini,
Sedikit berbeda dengan Burhanudin dengan berdasar pada tulisan Crasswell (2010) yang
filosofi Islam yaitu membagi teritori hanya membagi penelitian dalam tiga hal yaitu; (1)
menjadi dua yaitu: paradigma penelitian, (2) strategi penelitian dan
(3) metode penelitian. Pada dasarnya rancangan
a. teritori sakral penelitian terdapat tiga jenis yaitu: rancangan
b. teritori hunian penelitian kualitatif, rancangan penelitian
kuantitatif dan rancangan penelitian campuran
Aspek teritori yang ada dan berkembang di (mixed).
masyarakat Nusantara diidentifikasi tidak hanya
sebatas pada fisik, akan tetapi terdapat batas Creswell (2010) menyebutkan jika penelitian
simbolik yang diartikan sebagai batasan yang dengan rancangan kualitatif mempunyai ciri-ciri:
didasari oleh persepsi yang dirasakan manusia (1) berusaha untuk memahami deskripsi, (2)
dalam melindungi dirinya dari gesekan pada berorientasi pada eksplorasi, penemuan
aspek keamanan, kontrol, personalisasi dan (discovery oriented) dan (3) dianalisis dengan
identitas mereka yaitu fungsi primer menuju logika induktif pada kasus ini pada teritori
fungsi tersier (Mustivia et al,2016, Sari, et permukiman di Kampung Gede Kasepuhan
al,2015), berdasarkan pembagian gender Ciptagelar. Penelitian ini didasarkan pada
(Fatimah, 2010). Selain batas simbolik, teritori observasi lapangan dan dibantu dengan tinjauan
juga saling berikatan satu sama lain dengan batas pustaka untuk bantuan dalam penulisannya.
secara fisik yang dapat berupa batas yang nyata
terlihat secara visual. Batasan yang secara visual Pada penelitian ini ditemukan tema empiris
terlihat dapat terwujud dari fenomena alam; berupa hirarki teritori dan tema sosial dengan
hutan, sungai, gunung, lautan, danau, lembah, kategori berupa nilai teritori dalam rangka
maupun batas yang diciptakan manusia berupa pembentukan konsep utama untuk membantu
pagar hidup, gundukan gundukan, naik turun dalam mengidentifikasi penyelesaian pada
antar ruang, perbedaaan material, dinding. permasalahan yang ditemukan di lapangan, yaitu:
Teritori.
Jika diperhatikan, batasan simbolik memiliki
keunikan tersendiri. Karena batas simbolik selalu Karena sifat rancangan penelitian ini
menyesuaikan dari lokus yang dimaksudkan. mendasarkan diri pada bentuk deskriptif, maka
Setiap konteks kewilayahan memiliki caranya peneliti bertindak sebagai salah satu instrumen
masing-masing dalam membatasi dan manandai dan kontak langsung di lapangan untuk
wilayahnya. Di Nusantara memiliki keunikan mengambil ikut mengalami dan merasakan
yang membedakannya dengan wilayah yang lain. fenomena yang ada dalam pengambilan data
utama berdasarkan hasil wawancara dan ekspresi masyarakat dalam menjaga
obeservasi langsung. Berdasarkan sifat keseimbangan lingkungan dalam bermukim.
rancangannya, validasi internal dilakukan dengan Sawen lembur dijadikan proteksi permukiman
data yang diambil berupa observasi, pendataan sebagai tanda bahwa mereka adalah masyarakat
dan dokumentasi lapangan. yang berbudaya padi dalam kehidupan sehari-
hari, termasuk dalam budaya bermukim. Dengan
Sehingga berdasarkan tujuannya untuk menjawab dipasangnya sawen lembur maka menandai
pertanyaan dalam permasalahan yang muncul, masyarakat yang memasangnya terikat dengan
penelitian ini menggunakan rancangan penelitian segala aturan yang ada dalam berbudaya padi.
kualitatif yang dibentuk berdasarkan deskriptif Tidak dalam aturan tertulis, akan tetapi dalam
dari hasil wawancara dengan tujuan memahami bentuk keterikatan kebisaan. Kebiasaan turun
(eksploratoris), bukan dibentuk berdasarkan temurun yang kemudian menjadi budaya.
angka dan bersifat menguji seperti pada
rancangan kuantitatif. Keterikatan budaya ini mengikat dalam segala
aspek, begitu juga dalam bermukim. Bagi warga
Hasil dan Pembahasan berbudaya padi. Pemasangan sawen lembur pada
permukiman mereka dapat memberikan satu
Untuk memperjelas peran sawen lembur bagi ketenangan tersendiri karena satu kewajiban
teritori kampung dan banguan rumah-rumah di mereka telah mereka jalankan. Setelah
permukiman masyarakat Kampung Gede pemasangan ini selesai, maka rasa terlindung dari
Kasepuhan Ciptagelar ditandai dengan adanya bahaya yang dapat ditimbulkan entitis metafisik
ritual prah-prahan. Pemahaman tentang cara muncul.
masyarakat Kampung Gede Kasepuhan
Ciptagelar menjaga teritori kampung dan rumah- Daftar Pustaka
rumah yang ada pada lingkungan permukiman
dan bangunan rumah-rumah mereka dengan
elemen penanda berupa sawen lembur menjadi Adimihardjo, Kusnaka. (2004). Pola Kampung
hal penting. dan Arsitektur Rumah Warga
Kasepuhan, Jawa Barat. Warisan
Pemahaman mengenai proteksi teritori mereka Budaya Tradisional.
dijadikan pegangan utama dalam penataan Ahdiat et al. (n.d.). Kajian Pola Kampung dan
permukiman dan juga sebagai pedoman untuk Rumah Tinggal Warga Kasepuhan
menjaga keseimbangan dan keselarasan Kesatuan Adat Banten Kidul di
kehidupan dengan lingkungan. Sehingga dengan Sukabumi Selatan-Jawa Barat .
patuh dan memegang teguh pemahaman Conference: Seminar Nasional FPTK
mengenai proteksi teritori permukiman yang EXPO Universitas Pendidikan
ditandai dengan penempatan sawen lembur dapat Indonesia, At Kota Bandung-West Java
menjadi bukti bahwa dalam kehidupan sehari-hari Province-Indonesia, Volume: 1, 2013.
mereka masih memegang teguh kepercayaan Burhanuddin. (2010). Konsep Teritori dan
mereka terhadap leluhur. Juga sebagai bukti Privasi sebagai Landasan Perancangan
bahwa dalam bermukim yang masih memiliki dalam Islam. Ruang Vol. 2 No. 2 , 1-7.
tradisi untuk berpindah tempat, perpindahan Cresswell. (2003). Research Design: Qualitative,
tersebut tidak akan mengganggu keseimbangan Quantitative, and Mixed Methods
alam, seperti kebanyakan timbulnya permukiman Approaches . Sage Publications, Inc.
yang ada saat ini. Dwi. A et al. (2014). Kajian Ruang Liminal pada
Konsep Teritori Permukiman Adat
Kesimpulan Sunda Cigugur melalui Analisis Ritual
"Ngajayak". Temu Ilmiah IPLBI 2014,
Dalam mematuhi tradisi menjaga kehormatan 73-82.
padi kebiasaan penempatan sawen lembur pada
ritual prah-prahan merupakan satu bentuk
Irwin Altman, Joachim F. Wohlwill. (1980). Creating Architecturak Theory , 145-
Human Behavior and Environtment . 156.
New York : Plenem Press. Laurens, J. M. (2004). Arsitektur dan Perilaku
Jamaludin et al. (2016). Kawung sebagai Manusia. Jakarta: PT Grasindo anggota
Pembentuk Ruang di Kampung Adat Ciptagelar . Ikapi.
Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota Nuryanto et al. (2013). Kajian Pola Kampung
Volume 2, No. 2, 148-152. dan Rumah Tinggal pada Arsitektur
Kusdiwanggo, Susilo, et al. (2016). Sakuren: Tradisional Masyarakat Adat Kasepuhan
Konsep Spasial sebagai Prasyarat Ciptarasa di Kab. Sukabumi-Jawa Barat.
Keselamatan Masyarakat Budaya Padi di Seminar Nasional FPTK EXPO
Kasepuhan Ciptagelar. Panggung Vol. Universitas Pendidikan Indonesia, At
26 No. 3, 310-321. Kota Bandung-West Java Province-
Kusdiwanggo, Susilo. (2014). Fenomena Indonesia, Volume: 1.
Sakuren Komunitas Adat Ciptagelar. Nuryanto. (2008). Ruang Publik dan Ritual
Temu Ilmiah IPLBI (pp. 25-30). Warga Kampung Kasepuhan Ciptagelar
Palembang : Universitas Sriwijaya. di Kabupaten Sukabumi. Teras Vol. VIII
Kusdiwanggo, Susilo. (2016). Konsep Pola No.1 , 48-59.
Spasial Permukiman di Kasepuhan Tuan. (1977). Space and Place The Perspective
Ciptagelar . Jurnal Permukiman Vol. 11 of Experience. London: University Of
No. 1, 43-56. Minnesota Press.
Kusdiwanggo, Susilo. (2015): Pancer- Turner. (1966). The Ritual Process. In Turner,
Pangawinan sebagai Konsep Spasial Symbol, Myth and Ritual Series (pp. 94-
Masyarakat Adat Budaya Padi 203). New York : Cornel University
Kasepuhan Ciptegalar. Buku 1. Press.
Disertasi. Bandung: ITB
Lang. (1987). Privacy, Territoriality and
Personal Space-Proxemic Theory .

Anda mungkin juga menyukai