SEDEKAH BUMI
Cetakan Pertama, Oktober 2023.
148 x 190 mm; v + 241 halaman.
PENYUNTING/ Sucipto
TIM PENULIS/ Kun Muhammad Delvin, Nella A. Siregar,
Marcellius, M. Arif Budiman.
DESAIN GRAFIS DAN TATA LETAK/ Ilham Fatkhur Rahman,
Dimas Mulya Raharja
Studio Berbahagya
GRAPHIC RECORDS/ Yehezkiel Cyndo
GAMBAR SAMPUL/ Gegerboyo
/DAFTAR ISI
PENGANTAR
Sedekah Bumi,
Sebuah Gerbang
oleh A. Khairudin*
Sedekah Bumi di Sekararum dan banyak juga di desa-desa lain di Rembang ter-
masuk cukup persisten terhadap proses modernisasi Islam yang telah banyak
mengikis tradisi yang dianggap bertautan dengan kepercayaan pra-Islam, mis-
alnya jika kita bandingkan dengan fenomena yang terjadi di sekitar Kecamatan
Lasem, Rembang. Menariknya keberadaan Sedekah Bumi menandakan konsepsi
keberagamaan yang agak longgar yang agak membedakannya dengan orang-
Hal yang ingin dilihat adalah bagaimana dan mengapa warga Dusun
Sekararum masih mempertahankan tradisi ini, tidak hanya mempertah-
ankan tetapi juga keinginan aktor-aktor desa untuk terlibat dalam mer-
ekonstekstualisasi keberadaan Sedekah Bumi sekaligus mengaktivasi
warga untuk terlibat dalam proses pembentukan desa. Ketika kemudian
tema ini penulis angkat dalam sub tema kuratorial Pekan Kebudayaan
Nasional tahun 2023, sedekah bumi ditarik ke fenomena lebih umum
bagaimana tradisi-tradisi memberi pada ekosistem ini dimaknai para
pelakunya, sebuah tindakan yang tidak banyak mengharapkan manfaat
ekonomi secara massif namun tetap dilakukan karena faktor kecintaan,
berderma, pengabdian dan lain-lain. Namun dalam tulisan ini penulis
hanya akan sedikit menyorot pada ritual-ritual terkait kesuburan tanah,
memberi pada ekosistem dan lingkungan hidup yang dimaknai ulang
Ada lima sub tema yang kemudian ingin dilihat dan ditawarkan
yakni 1) konservasi, 2) menemukenali sumber daya, 3) pemba-
caan kritis, 4) rekontekstualisasi, dan terakhir 5) agensi atau
potensi aktor. Kelima tema itu telah dijelaskan lebih mema-
dai dalam seri tulisan lain jadi penulis tidak akan berpanjang
lebar mengulas hal ini. Pada konteks sedekah bumi, salah satu
ritual yang tak boleh ditinggalkan adalah doa bersama yang
dikenal dengan selametan atau doa memohon keselamatan.
Jika sebelumnya Geertz2 melihat selametan ini sebagai bagian
dari praktik agama Jawa yang lazim dipraktekkan oleh kaum
petani yang masih menganut animisme, Woodward melalui
Andrew Beatty dalam “Adam and Eve and Vishnu: Syncretism in the
Javanese Slametan”3 justru melacaknya sebagai tradisi keraton
PENGANTAR
/06
Aspek lain dalam Sedekah Bumi yakni ngunjung yakni memberikan makanan
matang kepada sanak kerabat dan orang yang dianggap tidak mampu. Akar dari
kesalehan ini juga adalah sedekah yang juga banyak kita temukan dalam budaya
di Jawa. A. G. Muhaimin dalam “The Veneration of Wali and Holy Men: Visits to the
SEDEKAH BUMI
/07
Penelusuran tekstual ini akan melacak berbagai silang pendapat mengenai asal
usul sedekah bumi dalam konteks yang lebih luas, namun penulis juga ingin mem-
beri penekanan bagaimana warga memaknai itu semua. Data yang pernah digali
sebelumnya ritual sedekah bumi di Sekararum justru lebih dekat dengan keper-
cayaan mengenai dewi kesuburan
DAFTAR PUSTAKA
1/
Beatty, Andrew. Adam And Eve And Vishnu: Syncretism
In The Javanese Slametan Author(S).
The Journal Of The Royal Anthropological Institute.
Royal Anthropological Institute Of Great Britain And
Ireland.
2/
Geertz, C. 1960. The Religion Of Java.
Chicago: University Of Chicago Press.
3/
Ricklefs, M.C. 2013. Mengislamkan Jawa, sejarah Isla-
misasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai
sekarang. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
4/
Woodward, Mark R. The “Slametan”: Textual Knowledge
And Ritual Performance In Central Javanese Islam.
The University Of Chicago Press.
5/
Wong, Deborah And René T. A. Lysloff. Threshold To The
Sacred: The Overture In Thai And Javanese Ritual Perfor-
mance. Source: Ethnomusicology , Autumn, 1991, Vol. 35,
No. 3 (Autumn, 1991), Pp. 315-348.
PENDAHULUAN
/10
PENDAHULUAN
Melihat Potensi
Sedekah Bumi
Sebagai Gerbang
Kesadaran
Barangkali, salah satu kekayaan Indonesia yang jarang dimiliki oleh
negara-negara lain di dunia adalah puspa-ragam kebudayaannya.
Posisi geografis Indonesia yang diapit oleh dua samudra dan dua
benua—samudera Hindia dan Pasifik, benua Asia dan Australia—
serta lanskap alamnya yang berupa sebaran pulau besar maupun
kecil mAembuat penghuni negeri ini secara asali diberkahi dengan
ekspresi kebudayaan yang beragam. Pusparagam kebudayaan dari
berbagai pulau dan daerah ini, untungnya, diikat dalam satu kesatuan
nasional yang oleh Soekarno disebut Taman Kebudayaan Nasional
Indonesia. Legasi atau warisan kebudayaan inilah yang hingga saat
ini menjadi ‘harta karun’ yang belum banyak dimanfaatkan dalam
konteks pembangunan Indonesia sekarang.
dikenal dengan nama lain seperti “Sedekah Tanah,” “Sedekah Laut,” “Masiweh
Pare Gumboh,” “Sedekah Desa,” “Gegunungen” atau lainnya adalah sebuah tradisi
yang telah ada dalam masyarakat Indonesia sejak ratusan atau bahkan ribuan
tahun lalu. Tradisi ini mencerminkan konsep bahwa tanah dan laut adalah karunia
dari Tuhan yang harus dihormati.
Ketika diangkat dalam sub tema kuratorial Pekan Kebudayaan Nasional tahun
2023, sedekah bumi ditarik ke fenomena lebih umum, yaitu bagaimana ‘tradisi-
tradisi memberi pada ekosistem ini’ dimaknai para pelakunya, sebuah tindakan
yang tidak banyak mengharapkan manfaat ekonomi secaca massif namun
tetap dilakukan karena faktor kecintaan, berderma, pengabdian dan lain-lain.
Untuk mengetahui praktik kebudayaan ini lebih detil, ada lima sub tema yang
akan dijadikan acuan dan dielaborasi, yakni konservasi, identifikasi sumber
daya, pembacaan kritis, rekontekstualisasi, dan agensi atau potensi aktor dalam
penyelenggaraan tradisi sedekah bumi. Kelima sub tema tersebut dipakai untuk
‘membaca’ berbagai praktik tradisi ini di dua puluh titik yang dipilih dimana
sepuluh titik berada di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, dan sepuluh titik
lainnya tersebar di luar Pulau Jawa.
SEDEKAH BUMI
/13
Selain proses produksi dan reproduksi pengetahuan lokal, Sedekah Bumi pada
dasarnya adalah medium untuk membangun kesadaran tentang kedaulatan
pangan di tingkatan lokal. Narasi tentang kedaulatan pangan ini tidak
mendapatkan penekanan cukup besar dalam penyelenggaraan ritual sedekah
bumi meskipun secara substansial sudah terpacak dengan jelas. Dalam konteks
perubahan iklim yang menjangkau hampir setiap sudut dunia, salah satu bahaya
besar yang mengintip para penghuni bumi ini ada dua, yaitu ketersediaan air
dan pangan. Bahaya dari perubahan iklim ekstrem yang berpotensi menghambat
atau mengacaukan proses produksi bahan pangan—yang menjadi material inti
dari penyelenggaraan tradisi Sedekah Bumi—ini kemudian bertemu dengan
perkembangan geopolitik terbaru selama lima tahun terakhir. Perang Rusia-
Ukraina dan resiko perang AS-Tiongkok menyingkap kepalsuan tentang keamanan
pangan bagi penduduk dunia, termasuk Indonesia yang secara geografis berada
di kawasan yang rentan terkena dampak konflik regional tersebut.
Berkaitan dengan ketahanan pangan nasional, misalnya, hingga saat ini Indonesia
masih mengalami ketergantungan impor beras dan bahan pangan lainnya. Realita
ini terasa ironis karena lestarinya kepercayaan bahwa negeri ini ‘gemah ripah
SEDEKAH BUMI
/17
dipakai untuk penyelenggaraan tradisi ini juga menjadi momen yang tepat bagi
mereka untuk menengok ke dalam diri, mengkalibrasi ulang relasi dirinya dengan
Tuhan, arwah para leluhur, sesama manusia, dan lingkungan alamnya sembari
mengidentifikasi masalah dan mencari solusi bersama.
Intervensi yang dilakukan Negara dalam proses kebudayaan ini sebenarnya
menarik, yaitu bagaimana caranya produk kebudayaan tradisional ini secara
kreatif juga bisa dimanfaatkan sebagai salah satu penggerak roda perekonomian
yang punya kontribusi ekonomi langsung bagi masyarakat sendiri maupun bagi
Negara lewat sektor pajak dan pariwisata. Dari sinilah kemudian Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mencoba mengkombinasikan produk-produk
kebudayaan dengan ekonomi lewat jalur pengembangan pariwisata berbasis
khazanah kebudayaan lokal.
***
SEDEKAH BUMI DALAM
PEMBACAAN
TEMA KONSERVASI
hasil bumi, atau upacara tolak bala yang lazim digunakan untuk
meminta pertolongan dan keselamatan dari Yang Maha Kuasa. Selain
konteksnya yang mengandung keselarasan pada alam, Sedekah Bumi
ini menjadi sarana masyarakat untuk memaknai hidupnya dalam
relasi antar sesama atau lingkungan tempatnya berada. Ritus, tradisi
adat, maupun ritual kampung sebagian dari tradisi dan adat istiadat
merupakan kekayaan lokal yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan
untuk membangun kehidupan bersama dalam masyarakat.
mencegah kehilangan tradisi ini. Hilangnya tradisi ini sudah sempat dirasakan
oleh Desa Sumber Kabupaten Rembang. Sejak adanya pertikaian antar kelompok
karena perbedaan keyakinan pada prosesi Sedekah Bumi, sejak tahun 2000-an
tradisi ini sudah tidak lagi diadakan. Dampaknya adalah desa kehilangan budaya
setempat dan lupa akan cikal bakal kehidupan tempat tinggalnya. Lebih parahnya
lagi, generasi yang lahir di tahun 2000 keatas sudah tidak tau menahu soal tradisi
ini. Tradisi yang erat kaitannya dengan alam ini juga mencakup elemen-elemen
yang menekankan pentingnya menjaga lingkungan dan keseimbangan ekologi.
Pada kasus ketidakseimbangan alam juga terjadi di Desa Sumber. Embung yang
merupakan potensi desa, bertahun-tahun mati karena tidak adanya perhatian
dan rasa prihatin dari masyarakat setempat. Cekungan tadah hujan yang tadinya
menjadi sumber pengairan warga lama kelamaan kering dan tidak lagi mengaliri
air. Desa menjadi krisis air dan hal tersebut menjadi isu baru bagi tempat tinggal
mereka. Sebenarnya tradisi ini dapat berperan dalam pendidikan dan kesadaran
lingkungan, serta membantu masyarakat untuk lebih peduli terhadap pelestarian
alam. Kemungkinan inilah yang kemudian dibaca oleh pemuda Desa Sumber.
Mereka menyelipkan narasi soal krisis air dalam permainan ketoprak yang
dipentaskan saat prosesi Sedekah Bumi. Ternyata, isu ini terangkat ke permukaan
dan menjadi perbincangan lanjut oleh warga desa. Perlahan warga sadar bahwa
embung mereka adalah sumber penghidupan sehingga perlu untuk dirawat dan
diaktivasi.
Sedekah Bumi terhadap generasi muda dianggap relevan dengan isu tersebut.
Dengan melibatkan generasi muda dalam pelaksanaan tradisi ini adalah cara
untuk memastikan bahwa pengetahuan dan nilai-nilai yang terkait dengan hasil
alam diturunkan kepada generasi berikutnya. Selain membantu mempertahankan
tradisi, anak-anak zaman sekarang yang dirasa lebih memiliki pengetahuan
luas diharapkan mampu memberdayakan hasil desanya dengan cara yang lebih
relevan saat ini. Di Desa Sekarsari, tradisi Sedekah Bumi tidak hanya sebagai
ritual keharusan tiap tahunnya. Melalui gelaran acara tersebut mereka mampu
memberdayakan komunitas lokal. Tradisi ini menjadi ruang yang cair untuk
pemajuan ekonomi dan sosial masyarakat desa. Beberapa kelompok kesenian,
musik, tampil dan perlahan mendorong ekonomi lokal serta perdagangan yang
berkelanjutan. Ternyata, Sedekah Bumi adalah salah satu praktik kebudayaan
yang luas dan penting untuk dihormati keberadaannya. Upaya masyarakat dalam
menjaga tradisi dan memperbarui tradisi ini juga perlu didukung, termasuk
mengadopsi elemen-elemen modern seperti teknologi informasi. Dalam
menghadapi perubahan zaman, tradisi ini mungkin perlu beradaptasi agar tetap
relevan. Mengkonservasi Sedekah Bumi dan tradisi lainnya yang ada di Nusantara
adalah tanggung jawab bersama masyarakat, pemerintah, dan pihak-pihak yang
peduli. Dengan upaya bersama, tradisi ini dapat terus hidup, bertahan, dan
berkembang, sambil juga menjaga nilai-nilai budaya dan ekologi yang penting.
IDENTIFIKASI SUMBER DAYA
DALAM TRADISI
SEDEKAH BUMI
andil besar dalam membangun desa dan para danyang atau “penunggu” yang
menjaga desa atau lahan pertanian. Para leluhur ini biasanya memiliki darah
keratonan, penyebar agama, ataupun orang biasa yang memiliki kekuatan sakti
yang dihormati oleh warga dan untuk mengenangnya dibuatkan monumen
ataupun tempat yang terlihat biasa namun disakralkan, biasanya berupa pohon
beringin besar, sumur, batu besar, laut, Sungai, kawah gunung, ataupun objek
lain yang erat kaitannya dengan para leluhur ini (masyarakat Jawa menyebutnya
punden). Tempat-tempat yang disakralkan ini menjadi tujuan akhir (jika adanya
arak-arakan desa) atau tempat berkumpul dalam sebuah prosesi dari tradisi
sedekah bumi.
pelaksanaan tradisi, dan berapa hari tradisi ini akan dilaksanakan. Pembentukan
panitia ini dilakukan untuk menentukan siapa saja orang yang terlibat di dalam
pelaksanaan acara. Kepanitiaan tersebut biasanya diisi oleh perangkat desa, ketua
RW dan RT, organisasi remaja, dan tetua desa. Aktor-aktor yang tergabung ke
dalam kepanitiaan tersebut memiliki peran masing-masing, seperti perangkat
desa yang akan mengatur perizinan dan pendanaan, ketua RW dan RT sebagai
representasi penggerak warga untuk berpartisipasi dan penyampai saran-saran
warga, organisasi remaja yang menggerakkan remaja di desa dan membantu
dalam pelaksanaan tradisi, dan tetua desa yang biasanya memimpin upacara dan
doa. Dana yang digunakan untuk mengadakan tradisi ini biasanya bersumber dari
dua dana, yaitu dana desa yang diambil hasil usaha desa dan dana iuran warga.
berbeda, tradisi ini memiliki benang merah yang sama yaitu untuk mengucap
syukur kepada Tuhan karena hasil panen yang telah diberikan.
Ada satu orang yang memiliki peran sangat penting dalam pelaksanaan tradisi
ini yaitu modin atau dukun kampung atau moji atau mulukng. Merekalah yang
memimpin tradisi ini supaya bisa berjalan mulai dalam penyiapan sesaji dan
pembacaan doa-doa atau mantra. Bahkan dukun kampung (Desa Lalang) memiliki
keputusan penuh dalam pengambilan keputusan yang berpengaruh ke dalam
tradisi selamatan kampung dan selamatan laut. Pemilihan pemimpin tradisi
ini tidak semata-mata ditunjuk oleh masyarakat tetapi sudah turun temurun
atau melalui upacara peralihan tertentu sehingga ilmu-ilmu, doa, dan adab bisa
dipelajari oleh mereka yang akan menggantikan pemimpin tradisi ini secara
menyeluruh. Berbeda kasus ketika kita pergi ke daerah Desa Ketangi di Rembang
Di bawah semua itu, ada penyokong lain yang membantu dalam melaksanakan
SEDEKAH BUMI
/36
tradisi ini, yaitu para warga sebagai peserta yang memiliki harapan akan
terlaksananya tradisi ini. Mayoritas warga dari desa-desa yang sudah disebutkan
memiliki pekerjaan sebagai pengolah lahan, petani, dan pelaut yang sangat
bergantung pada hasil bumi. Dari keberharapan tersebut, muncul sebuah narasi
bahwa jika tradisi tidak dilaksanakan maka panen akan gagal, muncul bahaya
yang menimpa kampung atau desa, hasil ternak tidak memuaskan, dan lain-lain,
sehingga dari tahun ke tahun, pelaksanaan tradisi ini selalu disokong oleh warga.
.
masing-masing kelompok
masyarakat dan gender memiliki
peran dalam tradisi ini. Laki-laki
misalnya yang berperan untuk
memimpin doa karena memang
harus laki-laki yang mengemban
tugas tersebut yang dibantu oleh
perempuan di belakang layar
dengan tugas asisten pemimpin
ritual (dalam tradisi Ma’acia dan
IDENTIFIKASI SUMBER DAYA
/37
DALAM SEDEKAH BUMI
selanjutnya sedekah bumi ini memiliki kontekstual yang melekat pada kehidupan
masyarakat saat ini perlu dibaca secara kritis.
masalah tertentu yang tidak selalu cocok dengan solusi konvensional. Namun,
penting untuk diingat bahwa efektivitas sedekah bumi sebagai platform untuk
meneropong ulang masalah sosial dapat bervariasi tergantung pada konteks
budaya dan lingkungan tersebut. Selain itu, upaya untuk mengatasi masalah
sosial yang lebih besar biasanya memerlukan lebih dari sekedar satu acara atau
tradisi. Akan tetapi, sedekah bumi dapat menjadi langkah awal yang penting
dalam menginspirasi tindakan lebih lanjut untuk menciptakan perubahan sosial
yang positif.
***
REKONTEKSTUALISASI
SEDEKAH BUMI
Tradisi sedekah bumi menjadi kegiatan rutin yang diadakan setiap tahun oleh
masyarakat desa sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas rezeki berupa
hasil panen yang melimpah serta dilindungi dari bahaya yang akan menimpa
desa. Puncak dari tradisi ini adalah pemberian sesaji di punden atau tempat
yang disakralkan oleh masyarakat setempat yang dipercayai sebagai tempat
bersemayam para leluhur dan pembacaan doa oleh tokoh adat atau modin atau
dukun kampung atau mulukng dengan harapan tahun yang akan datang masih
diberi hasil panen yang melimpah dan dihindarkan dari bahaya. Di sela-sela
itu diberikan hiburan rakyat yang di beberapa desa harus ada seperti ketoprak
yang dilaksanakan semalam suntuk, kemudian ada karnaval dengan mengarak
sesaji hasil kreasi setiap RW, dangdut, perlombaan antar kampung, dan lain-lain.
Tradisi ini juga menjadi sarana bertemu dan berkumpul warga sehingga jalinan
silaturahmi kembali menguat mengingat warga memiliki kesibukannya masing-
masing, bahkan sampai berpindah desa karena mencari pekerjaan atau
SEDEKAH BUMI
//48
Jika melihat tradisi ini lebih dalam lagi, ada makna-makna tersirat di setiap
prosesinya. Mengapa tradisi ini dilakukan setelah panen raya, mengapa
dilaksanakan pada tanggal-tanggal tertentu, mengapa selalu dilaksanakan di
punden atau tempat yang disakralkan, mengapa perlu adanya sesaji di dalam
tradisi ini. Hal-hal tersebut pastinya tidak serta-merta dilakukan, namun ada
maksud khusus yang dilakukan oleh para perancang tradisi ini pada zaman
dahulu sehingga tradisi ini memiliki konteks. Mungkin saja maksud-maksud yang
disebutkan di atas tadi adalah hasil “riset” atau pembacaan dari kondisi sosial
masyarakat yang kemudian diangkat dan dibuatlah tradisi ini oleh orang zaman
dahulu. Hal-hal yang seperti itu harusnya terus dilakukan sehingga pelaksanaan
tradisi ini tidak terjebak pada rutinitas tiap tahun yang harus dilaksanakan, tetapi
ada inovasi-inovasi yang terus dilakukan pada tradisi ini yang membawa isu-isu
masa sekarang seperti urbanisasi warga desa ke kota, globalisasi, pemanasan
global, politik dan lain-lain sehingga makna sedekah bumi ini bisa terangkat dan
warga desa bisa lebih sensitif dalam melihat isu-isu tersebut.
REKONTEKSTUALISASI
/49
SEDEKAH BUMI
Misalnya saja seperti di Dusun Sekararum, Rembang yang selama 4 tahun terakhir
tidak melaksanakan sedekah bumi dari rutinitas tahunan tetapi membawa isu-isu
lain yang sedang terjadi di masyarakat. Dalam balutan event tahunan Nginguk Githok
(dalam Bahasa Jawa, nginguk yang artinya melihat, githok yang berarti tengkuk.
Memiliki makna melihat kembali pada diri sendiri) setiap tahunnya membawakan
tema yang berbeda-beda dengan isu kekinian dengan maksud memaknai ulang
tradisi sedekah bumi ini. Dimulai pada tahun 2018, event Nginguk Githok pertama
dimulai dengan tema Kontak Kebudayaan sebagai bentuk eksperimen Kolektif
Hysteria dengan SKRM Squad yang mewakili warga Sekararum. Dari tahun ke
tahun, event tersebut memiliki tema yang berbeda-beda, seperti Puter Giling
(2019) dengan maksud mengembalikan para perantau ke kampung yang telah
melahirkan dan membesarkannya dengan merujuk kepada ajaran Puter Giling
dengan mengembalikan cinta, Sirnaning Pagebluk (2021) yaitu pemanjatan doa
atas bencana Covid-19 yang mengacaukan kehidupan warga kampung, Sri Rejeki
(2022) dengan mengelaborasi berbagai macam cara warga memenuhi kebutuhan
ekonomi ka rena banyaknya anak muda yang melakukan urbanisasi, Sumingkire
Wisa Raja Kaya (2023) bencana melanda warga kembali dengan datangnya
penyakit mulut dan kuku (PMK) yang menyerang hewan ternak warga dan
menular melalui virus. Event tersebut, bersamaan dengan tradisi sedekah bumi,
membuat acara-acara yang diisi oleh warga lokal maupun tamu-tamu seniman
dan kolektif di beberapa lokasi desa. Hal serupa pernah dialami di Desa Bumi Ayu
yang mengalami perpecahan politik akibat pemilihan kepala desa. Masyarakat
terpecah menjadi dua kelompok dan mereka tidak pernah berkomunikasi sama
sekali, sehingga dalam mengangkat isu tersebut yang bersamaan dengan tradisi
sedekah bedusun, para warga mencoba untuk menyatukan 2 kelompok masyarakat
dengan membuat 2000 batang lemang sehingga masyarakat bisa saling bekerja
sama untuk meredakan ego mereka masing-masing.
SEDEKAH BUMI DALAM
PEMBACAAN TEMA AGENSI
AKTOR
***
TIGA RANGKAIAN
BESEMAH SUKU LAUT DARI
DESA BERAKIT
orang lebih banyak dibanding profesi yang lain. Toponimi atau penamaan Desa
Berakit sendiri berasal dari masyarakat yang melihat rakit di Tanjung Rakit.
Dari penemuan itulah masyarakat kemudian bersepakat untuk menamai daerah
mereka dengan nama Berakit (Abror et al, 2022).
pihak laki-laki untuk bisa membuka kipas yang menutupi wajah mempelai
Perempuan. Ketika kesepakatan didapatkan oleh pihak laki-laki, maka dia bisa
duduk di pelaminan bersama dengan mempelai perempuan yang dilanjutkan
dengan tepuk tepung tawar sebagai pertanda pemberian restu oleh kedua
belah pihak.
Selain Buka Tali Lawe dan Tebus Kipas, Desa Berakit juga terkenal dengan
permainan gasingnya. Jika mainan gasing di daerah lain digunakan sebagai
permainan untuk menghibur diri, di Desa Berakit gasing diaplikasikan sebagai
tradisi yang memiliki makna dan nilai tersendiri. Permainan gasing tidak
hanya digunakan untuk melatih fisik namun juga konsentrasi pemiliknya.
Permainan gasing di Desa Berakit memiliki nilai-nilai luhur dalam masyarakat
seperti kebersamaan, kejujuran, sportivitas, dan nilai positif lainnya. Gasing
diibaratkan seperti hidup manusia, dia terus berputar dan akan berhenti
yang melambangkan ajalnya. Dalam perputaran gasing kehidupan tersebut,
manusia harus mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat dan untuk
mencari rezeki. Dalam permainan gasing terdapat pemangkahan yang
melambangkan permasalahan hidup yang datang dari Tuhan dan merupakan
ujian. Dengan begitu manusia dituntut untuk selalu bersabar dan bijaksana
dalam menjalaninya.
Besemah Suku Laut menjadi tradisi yang masih bertahan hingga sekarang.
Tradisi dilakukan dengan penyerahan sesaji lewat medium tempurung kelapa
yang dihanyutkan ke laut atau sungai sehingga terbawa ke arus laut lepas.
Besemah Suku Laut pada prakteknya memiliki kemiripan dengan sedekah
SEDEKAH BUMI
/65
Semah meminta yang jahat memiliki isi sesaji seperti beras putih,
beras kuning, beras hitam, beras hijau, sirih yang sudah dilengkapi
kapur, gambir, dan buah pinang sebanyak 4 butir, dan telur mentah
sebanyak 4 butir. Misal jika ada warga yang memiliki rasa tidak suka
dengan warga lain, maka semah tersebut dilakukan untuk mencelakai
TIGA RANGKAIAN BESEMAH
/66
SUKU LAUT DARI DESA BERAKIT
hewan yang diagungkan oleh Suku Laut yaitu anjing, ayam, monyet,
dan ikan serindit. Untuk pasang dan surut berpatokan pada ayam
karena waktu berkokoknya ayam menandakan jam waktu pasang dan
surut, yaitu pada pagi dan malam hari. Anjing digunakan oleh suku
laut untuk berburu di daratan karena tidak selamanya mereka berlayar
di laut. Monyet dijadikan panduan untuk memberitahu makanan
Interaksi masyarakat dengan laut sangat erat sekali dengan air, khususnya
laut (untuk mencari makanan SDA laut). Ada wilayah tertentu di laut yang
disakralkan oleh suku laut dan harus beradab, yaitu Pulau Nyiri. Ada sesuatu
hal yang dipantangkan di pulau tersebut karena mereka mempercayai adanya
penghuni yang tidak bisa dilihat (sosok makhluk ghaib). Pantangan tersebut
adalah boleh bermain tetapi tidak mengeluarkan suara yang keras dan buang
hajat sembarangan. Ada kejadian supranatural di luar dugaan saat membawa
crew shooting di pulau tersebut. Saat ingin menaiki perahu, tinggal salah satu
langkah lagi untuk bisa naik ke perahu, pak Abdullah (Daya Desa Berakit) merasa
kakinya ada yang menusuk. Setelah dicek, ternyata tertusuk ikan batu yang
mempunyai racun. Meski terkena racun, orang yang tertusuk tersebut tidak boleh
heboh karena dianggap mengganggu penghuni gaib pulau itu. Bahkan mitosnya
jika orang hamil tertusuk ikan batu di perairan pulau ini, maka sakitnya akan
bertambah sepuluh kali lipat.
***
SEDEKAH BEDUSUN:
WARISAN TRADISI DAN
MEDIA RESOLUSI KONFLIK
Dari sebaran informasi yang bisa diperoleh lewat internet, Desa Bumi Ayu dikenal
dengan situs peninggalan Candi Bumi Ayu yang menjadi bukti kejayaan agama
Hindu di Sumatera Selatan. Peninggalan sejarah ini pertama kali ditemukan oleh
orang Belanda bernama Tombrink pada tahun 1864 di pesisir Sungai Lematang
dan dikenal sebagai Candi Kadebok Udang. Dari bentuknya, situs ini mendapat
SEDEKAH BUMI
/71
pengaruh agama Hindu pada abad ke-9 Masehi. Hal ini dikaitkan
dengan kegiatan perdagangan mengingat saat itu Sumatera menjadi
salah satu titik dari jalur perdagangan internasional yang dilalui oleh
kapal-kapal dagang baik lokal ataupun luar. Selain candi, terdapat
pula beberapa arca di sekitar situs komplek candi yang memiliki
kekhasan tersendiri dengan corak Hindu.
Tidak hanya Candi Bumi Ayu saja yang menjadi bentuk kebudayaan
unggulan dan menjadi peninggalan Kerajaan hindu di Desa Bumi Ayu.
Beberapa tradisi atau kebiasaan masyarakat Bumi Ayu masih lestari
hingga sekarang, diantaranya Aksara Ka Ga Nga, Tari Dundang,
dan Sedekah Bedusun. Tradisi tersebut menjadi cerminan diri dan
SEDEKAH BEDUSUN:
/72
WARISAN TRADISI DAN
MEDIA RESOLUSI KONFLIK
melangir. Dalam prosesi tersebut air yang dibawa oleh tetua adat atau tokoh
agama didoakan pada 2 hari sebelum tradisi Sedekah Bedusun dilakukan.
Kemudian pada hari tradisi dilaksanakan, air tersebut ditaburkan di
seluruh kampung dengan harapan untuk membersihkan atau mensucikan
kampung yg kotor dan pagar untuk tolak bala. Sayangnya tradisi ini sedikit
tertutup sehingga informasi mengenai proses pembacaan doa tidak bisa
terdokumentasikan.
***
MA’ACIA DAN EVALUASI
TAHUNAN KEHIDUPAN
ETNIS BURANGASI
Dalam proses pengenalan budaya tersebut, pihak BPNB (Badan Pelestarian Nilai Budaya)
tertarik untuk meneliti lebih dalam terkait budaya Burangasi. Dipandu oleh penggiat
budaya Kemendikbud, Desa Burangasi diusulkan sebagai salah satu desa pemajuan
kebudayaan. Ada perubahan drastis setelah masuknya program desa pemajuan kebudayaan.
SEDEKAH BUMI
/81
Tradisi Ma’acia adalah salah satu tradisi yang ada di Desa Burangasi yang
memiliki makna sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta
atas hasil panen selama setahun. Tradisi ini sudah memiliki sertifikat
Pencatatan Inventarisasi Kekayaan Intelektual Komunal Ekspresi Budaya
Tradisional dari Kemenkumham. Tradisi ini adalah ritual adat yang
sakral dalam proses ritualnya dan masih dipertahankan hingga sekarang.
Masyarakat Burangasi percaya bahwa tradisi ini bisa mendatangkan
karunia dari Tuhan, namun sebaliknya jika tidak dilaksanakan maka
dipercaya dapat mendatangkan kesulitan bagi masyarakat Burangasi.
MA’ACIA DAN EVALUASI TAHUNAN
/82
KEHIDUPAN ETNIS BURANGASI
Memasuki hari ketujuh yaitu acara puncak tradisi Ma’acia yang dihadiri
oleh masyarakat Burangasi. Dimulai dengan prosesi Batanda kembali
yang dilakukan oleh dua orang Moji dengan iringan tarian Cungka
MA’ACIA DAN EVALUASI TAHUNAN
/84
KEHIDUPAN ETNIS BURANGASI
dan sumpah, terkadang juga kutukan (hal buruk). Batata menjadi media
komunikasi spiritual antara manusia dengan Tuhan. Batata juga bisa menjadi
kontrol sosial untuk mencegah terjadinya kejahatan di masyarakat, menjadi
media pendidikan moral dan karakter untuk mengontrol diri dan menjauhi
perbuatan buruk.
***
FKPM, SEDEKAH BUMI, DAN
KONSOLIDASI SOSIAL-BUDAYA
WARGA KEDUNGASEM
tersebut dengan jangka waktu 5 tahun setelah kesepakatan tersebut. Ketika masa
penggunaan lahan lelang telah berakhir, diadakan proses lelang berikutnya. Luas
dari tanah lelang sudah dipetakan oleh pemerintah desa dan berada di satu titik
dan tidak menyebar ke seluruh desa.
Pekerjaan lain yang dilakukan oleh warga adalah dengan berdagang di Pasar
Kedungasem dan miyang atau melaut. Pasar tersebut hanya buka 3 hari seminggu,
yaitu pada hari senin, rabu, dan sabtu. Warga mengusulkan untuk membuka pasar
setiap hari dengan waktu yang berbeda-beda (pagi, siang, atau malam) tetapi
belum ada tanggapan lebih lanjut dari pemerintah desa. Warga yang menyewa
tempat di pasar tersebut dikenakan kas dan uang sewa dengan menjual hasil
UMKM. Aktivitas melaut hanya dilakukan oleh segelintir orang dengan menjadi
anak buah kapal orang kota atau ABK karena harus mengeluarkan modal dahulu
agar bisa menjadi ABK. Durasi melaut ini berbulan-bulan bahkan hingga setahun.
Untuk bisa berangkat melaut, warga biasanya pergi menuju Pelabuhan Rembang
atau Juanda.
Event-event kreatif digelar oleh organisasi pemuda yaitu Forum Kreatif Pemuda
Majasem di Desa Kedungasem. Event tersebut antara lain adalah Gowes sepeda
dan Pasar Ramadhan. Untuk gowes sepeda sendiri diikuti oleh peserta dari dalam
dan luar desa dengan cakupan wilayah peserta dari luar kota seperti Blora, Cepu.
Tuban, Sidoarjo dan Surabaya. Total dari peserta yang datang bisa mencapai
angka 3500 peserta. Warga yang berpartisipasi dan mendukung acara tersebut
membantu dengan memberikan dana pribadi yang kemudian dikelola untuk
FKPM, SEDEKAH BUMI, DAN
/92
KONSOLIDASI SOSIAL-BUDAYA
WARGA KEDUNGASEM
***
BANGUN, MEMBANGUN,
TERBANGUN: PEMAKNAAN
SEDEKAH BUMI DI KETANGI
perceraian.
Di Kabupaten Rembang, Desa Ketangi menjadi salah satu desa yang memiliki
cekungan penampung air hujan atau sering disebut dengan embung. Embung
ini berfungsi dengan baik dan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat
setempat untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Hingga pada tahun 2001
terdapat program revitalisasi yang ternyata membuat embung ini tidak lagi
mampu menyerap air. Lama kelamaan embung kering dan oleh sebagian warga
dialih-fungsikan menjadi tempat bercocok tanam. Hal ini semakin membuat
parah kondisi embung. Bentuk embung sebagai resapan air sudah tidak lagi
berwujud. Melihat kondisi tersebut, Akid sebagai salah satu penggerak desa
mencoba mengintervensi isu ini melalui kesenian ketoprak yang dimainkan pada
saat prosesi sedekah bumi berlangsung.
yang dianggap penting dan menjadi sesuatu yang relevan pada saat itu. Sebagai
masyarakat yang sebagian besar sumber kehidupannya berasal dari hasil alam,
setiap tahunnya masyarakat di Desa Ketangi masih melakukan tradisi sedekah
bumi. Sedekah bumi merupakan bagian dari bentuk rasa syukur kepada Tuhan
atas limpahan rezeki berupa hasil panen dan dihindarkan dari marabahaya.
Biasanya acara dimulai pada pagi hari dengan berdoa di punden. Punden ini
dipercaya menjadi tempat tinggal seorang danyang yang selama ini menjaga desa
mereka. Dahulu, pada prosesi berdoa lantunan yang diucapkan yakni mantra-
mantra Jawa. Tetapi seiring berjalannya waktu setelah masuknya ajaran Islam,
mereka berdoa secara islami. Hal wajib yang harus ada dalam prosesi sedekah
bumi di Desa Ketangi adalah Tari Tayub. Menurut sesepuh desa, tari ini menjadi
hiburan yang diminta oleh danyang sehingga menjadi keharusan. Berbeda dengan
desa lain, di desa ini tidak ada kirab dan gunungan. Pada siang hingga malam hari
akan dilanjut dengan ketoprak sebagai hiburan bersama warga.
***
MODEL KERJASAMA VERTIKAL DAN
HORIZONTAL DALAM PELESTARIAN
TRADISI DI DESA KRIKILAN
organisasi yang bertanggung jawab menjaga warisan leluhur yang sudah ada
sejak zaman dahulu sehingga ada regenerasi kepada yang muda. Ada kepercayaan
yang hidup di kalangan warga bahwa jika tradisi ini tidak dilakukan maka akan
menimbulkan malapetaka ke depannya. Dengan mempertahankan substansi
bahwa tradisi ini akan membawa keberkahan untuk masyarakat terutama hasil
bumi, transformasi tradisi karena adanya pengaruh globalisasi dan modernisasi
membuat acara ini digelar dengan bermacam variasi seperti karnaval, dangdutan,
kompetisi olahraga, dan ketoprak. Dengan berbagai varian tersebut, warga tidak
meninggalkan nilai utama dalam tradisi ini yaitu penghormatan kepada para
leluhur desa bahkan pada saat masa kritis.
membawa uang seikhlasnya atau wajit, dikumpulkan dan diberikan kepada para
penari dan membawa makanan berupa sesajen dari pemerintah desa. Makanan
dari warga yang dibuat secara individu diberikan ke warga lain saat tradisi
berlangsung untuk disantap atau dibawa pulang.
Punden-punden yang ada di Desa Krikilan disambangi oleh warga pada tradisi
sedekah bumi ini. Setelah masyarakat dan pemerintah desa datang ke punden
pertama yaitu punden dari Mbah Badiyah. Punden kedua, yaitu punden dari Mbah
Golo yang berada di Dukuh Jambu kemudian didatangi hanya oleh pemerintah
desa saja. Punden ketiga yaitu punden dari Mbah Ndoromok juga didatangi oleh
warga. Dahulu punden ini banyak didatangi oleh warga luar desa untuk meminta
pesugihan, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi warga yang datang dan meminta
hal tersebut. Dalam pelaksanaan tradisi Sedekah Bumi setiap punden yang ada di
MODEL KERJASAMA VERTIKAL DAN
/108
HORIZONTAL DALAM PELESTARIAN
TRADISI DI DESA KRIKILAN
Desa Krikilan bergiliran didatangi oleh warga sehingga suasananya sangat ramai
sekali. Sesaji yang selalu dibawa oleh pemerintah desa memiliki isi atau bahan-
bahan lokal seperti Pisang setangkup, telur ayam kampung, bawang merah, cabe
merah, merang yang dikasih garam atau kemenyan yang kemudian dibakar,
gula Jawa, Cikalan, rokok, dan gereh. Punden-punden tersebut menjadi tempat
penghormatan bagi para pembabat desa atau orang yang telah mendirikan desa,
utamanya Desa Krikilan. Setiap tradisi sedekah bumi dilakukan, punden menjadi
tempat terakhir dalam pelaksanaannya, dan sebagai bentuk penghormatan warga
yang diwakili oleh ketua tradisi membacakan doa untuk para leluhur.
Setelah Sedekah Bumi selesai digelar, warga kemudian menikmati hiburan rakyat
sebagai acara penggiring. Ketoprak menjadi hiburan wajib dalam penyelenggaraan
tradisi ini. Menurut keterangan beberapa warga desa, pagelaran hiburan ketoprak
bisa menghabiskan dana sampai Rp 30.000.000. Dana tersebut diambil dari
iuran dan juga pembuatan proposal warga kepada perusahaan yang beroperasi
di wilayah Desa Krikilan sebagai bentuk Corporate Social Responsibility. Ketoprak
digelar dari siang hingga malam. Keesokan harinya diadakan hiburan dangdut
yang dilaksanakan pada malam hari setelah diadakannya ketoprak tersebut.
Tradisi Sedekah Bumi di Desa Krikilan yang digelar meriah menjadi media
pengingat kepada Yang Maha Kuasa karena telah memberikan rezeki kepada
warga dan juga sebagai pagar tolak bala yang akan menimpa warga. Selain itu
tradisi ini menjadi media penghiburan warga setelah melaksanakan aktivitas
Bertani dan berkebun setahun penuh.
SELAMATAN KAMPUNG DAN
SELAMATAN LAUT DARI DESA
PENGHASIL TIMAH
Jika ingin merasakan suasana era kolonial, Desa Lalang yang ada
di Kabupaten Belitung Timur merupakan lokasi yang tepat untuk
dikunjungi. Di desa ini terdapat beberapa bangunan lama yang kental
bersinggungan dengan Belanda. Pada tahun 1823, Pulau Belitung
dikenal memiliki kandungan timah berdasarkan hasil penemuan
asisten residen sekaligus pimpinan tentara kerajaan Belanda, JP.
De La Motte. Melihat potensi alam Belitung Timur, pada 1911 mulai
dibangun pembangkit listrik Electrische Centrale untuk mendukung
kegiatan penambangan timah. Konon, sebagai tumbalnya, sepasang
pengantin Belanda lengkap dengan pakaian pengantinnya ikut
dikuburkan di dalam sebuah ruangan khusus yang berada di bagian
dasar bangunan E.C. Seiring perkembangan zaman, pada tahun 1921
E.C mulai digunakan pula sebagai sumber listrik untuk menerangi
rumah-rumah dan bangunan lain milik perusahaan. Sebagian warga
di perkampungan juga ikut menikmati listrik tersebut. Namun hanya
sebatas bumiputra yang bekerja pada Belanda.
SELAMATAN KAMPUNG DAN
/111
SELAMATAN LAUT DARI DESA
PENGHASIL TIMAH
Ada sebuah cerita berbau mistis tentang E.C ini. Pada saat
berkobar Perang Asia Timur Raya atau lebih dikenal dengan
Perang Pasifik dan salah satunya tujuannya adalah hendak
menguasai Indonesia (termasuk Belitung), Jepang sangat
berambisi menghancurkan segala infrastruktur milik Belanda
yang ada di Belitung, salah satunya adalah Electrische Centrale
ini. Berulang kali pesawat tempur Jepang hendak mengebom
Electrische Centrale. Namun semuanya gagal. Menurut cerita,
saat melakukan serangan udara atas bangunan Electrische
Centrale tersebut, bangunan ini seolah-olah tidak terlihat sama
sekali oleh pilot pesawat Jepang tersebut. Seperti ada kabut yang
menyelimuti diatas Electrische Centrale ini sehingga pilot tidak
bisa melihat dan tidak bisa melakukan penghancuran dengan
menjatuhkan bom.
sekolah elit yang diperuntukkan untuk masyarakat lokal yang setelah lulus akan
langsung bekerja dan ditempatkan di bengkel perusahaan, EC (Pembangkit
Listrik) dan kapal keruk.
Selain sekolah terbuka untuk masyarakat lokal, berlokasi di Dusun Samak Desa
Lalang, ELS (Europeesche Lagere School) atau yang lebih dikenal sebagai SD PN
Timah adalah sekolah dasar pertama di Distrik Manggar yang memiliki sarana
terlengkap. Dahulu tidak semua orang dapat bersekolah disini melainkan hanya
anak-anak dari karyawan perusahaan saja. SD PN Timah ini pernah digambarkan
di dalam film Laskar Pelangi yang memang terlihat sekali fasilitas mewah yang
ada di sekolah ini. Bahkan sekolah ini masih sering dikunjungi oleh orang Belanda
yang dulu masa kecilnya dihabiskan di Bukit Samak Desa Lalang ini. Setelah
perusahaan mengalami masa sulit aset ini diberikan kepada pemerintah daerah
dan berganti nama menjadi SDN 29 Manggar, kemudian berubah kembali menjadi
SDN 23 Manggar hingga sekarang. Bangunan ini sudah mengalami rehabilitasi
beberapa kali tanpa merubah bentuk aslinya. Hanya terdapat beberapa material
yang ditambahkan ketika melakukan rehabilitasi. Hingga sekarang bangunan ini
masih kokoh berdiri dan terus beroperasi.
dakwah. Memang fungsi religi sangatlah kental dari kesenian ini yang bisa
didengar melalui syairnya yang berisikan shalawat bagi nabi Muhammad
SAW. Kemudian kesenian Hadrah juga berfungsi sebagai pengiring pengantin
dalam prosesi adat pernikahan melayu di Belitung yang disebut dengan “ngarak
penganten”. Terkait kostum, sebagai kesenian yang bernafaskan islam maka
pakaian yang digunakan haruslah menutup aurat dan memakai peci sebagai
identitas muslim melayu di Belitung.
Di Desa Lalang sendiri terdapat sanggar hadrah tertua yang ada di Pulau Belitung
yang bernama Sanggar Hadrah AN NUUR. Salah satu bukti eksistensinya adalah
satu set gendang yang dimiliki oleh sanggar ini yang telah diwariskan secara
turun menurun dan telah berusia hampir 150 tahun yang masih tersimpan dan
dimainkan hingga sekarang. Kesenian Hadrah di Pulau Belitung khususnya
Desa Lalang masih tetap dipertahankan dan dimainkan dalam ritual prosesi adat
perkawinan Belitung dengan istilah "Ngarak Penganten". Hadrah Maindi lebih
sering dipertunjukkan ketimbang Hadrah Bedungguk pada prosesi adat "Ngarak
Penganten" di Desa Lalang. Para pemain Hadrah di Desa Lalang, khususnya
Sanggar Hadrah AN-NUUR, kini sudah memasuki generasi terakhir dan belum
memiliki generasi penerus yang sedang menjadi perhatian khusus bagi Sanggar
Hadrah An-Nuur Desa Lalang.
seperti di tahun 1900-an, saat ini masyarakat Desa Lalang lebih banyak berprofesi
sebagai nelayan. Untuk mencerminkan rasa hormat mereka sebagai nelayan
terhadap laut, para nelayan di Desa Lalang memiliki ritual yang Bernama
Selamatan Laut. Prosesi Selamatan Laut atau biasa disebut dengan
Muang Jong dilaksanakan ketika musim angin selatan (angin kencang)
yang membuat para nelayan tidak akan turun melaut untuk mencari
nafkah. Dipimpin oleh tetua adat yang dipanggil Dukun Kampung,
prosesi ini akan dimulai dengan pembuatan sesajen yang berbentuk
perahu nelayan kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa di tepi
pantai. Setelah selesai pembacaan doa, sesajen atau masyarakat Belitung
biasa menyebutnya dengan Jong ini akan dipikul bersama-sama untuk
dibawa menggunakan kapal nelayan yang telah disiapkan. Setelah
berada di atas kapal, dukun kampung akan ikut untuk melarungkannya
di tengah laut dan masyarakat akan ikut menggunakan perahu lain di
***
MEMBANGUN PARIWISATA
BERBASIS KOMUNITAS LEWAT
MESIWAH PARE GUMBOH
Banyak sekali potensi adat yang ada di Desa Liyu seperti Mesiwah
Pare Gumboh atau tradisi sedekah bumi yang masuk dalam Kharisma
Event Nusantara 2023, yaitu ritual masyarakat yang diadakan setelah
selesai panen padi yang dilaksanakan pada Bulan Juli. Kharisma Event
Nusantara merupakan program yang digalang oleh Kemenparekraf
untuk membangkitkan potensi pariwisata yang ada di Indonesia
dengan mengedepankan budaya setempat. Dalam pelaksanaannya,
Kemenparekraf bekerja sama dengan pemerintah daerah dan
seluruh stakeholder pariwisata untuk menaikkan citra pariwisata
dan pembangkit sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Tradisi
Mesiwah Pare Gumboh merupakan event wajib tahunan pasca panen
sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang telah diberikan kepada
masyarakat Desa Liyu. Tradisi ini digelar selama dua sampai tiga hari
bersama dengan masyarakat desa tanpa memandang latar belakang
agama. Didukung oleh wisata alam dan kerajinan untuk souvenir,
acara ini dimeriahkan dengan hiburan dan permainan tradisional.
Untuk menggelar dan menyukseskan tradisi ini, pada musyawarah
desa dan lembaga adat desa dibentuklah panitia acara. Mesiwah
Pare Gumboh sendiri memiliki makna pesta panen syukuran secara
massal satu desa. Ritual ini dimulai dengan masyarakat membawa
berbagai hasil panen mereka (Nengkuat Mulukng) untuk diberikan
kepada tokoh adat Dayak Deah (Penyoyokng) yang kemudian
mempersembahkannya kepada Sang Pencipta.
SEDEKAH BUMI
/123
Nengkuat Mulukng atau hasil panen terdiri dari hasil kebun dan
hasil ternak seperti kambing kemudian ditempatkan di depan para
pemimpin adat. Hasil persembahan tersebut dibacakan mantra-mantra
oleh pemimpin adat atas rasa syukur dan berdoa untuk keberkahan,
keberuntungan, dan keselamatan masyarakat Dayak Deah. Semua
masyarakat Dayak Deah juga membacakan mantra atau doa. Setelah
***
SEDEKAH BUMI DAN PROSES
PEWARISAN SEMANGAT
LELUHUR DI MEGULUNG
kafan dibuka, bagian kepala jenazah terlihat masih utuh. Begitu pula
bagian badan hingga kaki. Suhartono mengungkapkan warga yang
menggali kubur keheranan, karena selama ini tidak pernah menemui
kejadian semacam itu. Setelah kejadian tersebut, suara mengenai
temuan jasad utuh semakin menyebar luas. Muncullah pro-kontra
dan silang pendapat. Ada sebagian kalangan menghendaki makam
***
DARI BUMI KEMBALI KE BUMI:
MODEL PEMBIAYAAN SEDEKAH
BUMI DI DESA PELEMSARI
bumi didatangi sebagai tempat terakhir dalam rangkaian acara tradisi sedekah
bumi. Punden-punden tersebut, demi keberlangsungan tradisi, disambangi dan
dilakukan bersih-bersih di sekitar punden.
Tradisi Sedekah Bumi di Desa Pelemsari dilaksanakan dua hari dengan rangkaian
hari pertama dilakukan pembacaan doa oleh modin di Punden Mbah Nyah pada
malam hari. Doa bersama ini dilakukan oleh warga desa tanpa menggunakan
sesaji. Mereka memanjatkan doa dengan maksud untuk memohon pada Tuhan
agar leluhur yang sudah berjuang mendirikan desa mendapatkan tempat terbaik
disisi-Nya. Warga yang ikut dalam pembacaan doa terhitung banyak. Setelah itu
warga menghibur diri dengan hiburan seperti campursari yang dilaksanakan di
punden. Warga bisa menyumbang lagu dalam pertunjukan campursari ini.
Punden-punden yang ada di Desa Pelemsari berupa pohon jati besar dan ada
pohon beringin dengan sumur yang berjarak sekitar 20 meter. Sumur tersebut
masih digunakan oleh warga untuk kebutuhan sehari-hari seperti memasak dan
untuk minum hewan ternak. Jika musim hujan tiba, sumur tersebut digunakan
untuk saluran irigasi lahan pertanian warga dengan memakai pompa, jika
sedang musim kemarau, air dari sumur tersebut diambil oleh warga dengan
menggunakan jerigen. Dalam tradisi sedekah bumi itu sendiri, sumur tersebut
digunakan sebagai media berdoa.
Hari utama penyelenggaraan tradisi sedekah bumi diawali pada pagi hari dengan
tari-tarian tradisional, barongan, sedekah bumi itu sendiri, dan tawur sego.
Sebelum menuju ke punden sebagai tujuan akhir, warga melaksanakan karnaval
DARI BUMI KEMBALI KE BUMI: MODEL
/135
PEMBIAYAAN SEDEKAH BUMI
DI DESA PELEMSARI
***
DUA PULUH DUA EKOR LELA,
AYAM JANTAN DAN BUNGA SEDAP
MALAM DARI PONDOKREJO
ini memerlukan banyak tenaga pribumi. Hanya kalangan khusus yang pada saat
itu mampu untuk mendirikan joglo. Seiring berjalannya waktu, orang-orang
Belanda di kampung ini berkurang sehingga nama Pondok Londo diubah menjadi
Pondokrejo. Menurut warga, perubahan nama itu diinisiasi oleh Haji Ngabdini
yang dipercayai sebagai tetua desa.
Apabila ditelisik lebih dalam, ratusan rumah adat Jawa Tengah di desa ini masih
terus lestari. Uniknya, warga di desa ini bahkan tidak terpengaruh kemajuan
zaman yang seolah mengagungkan rumah tembok. Bahkan ketika membangun
rumah baru, tradisi turun temurun warga untuk membuat joglo terus dilestarikan.
Kepala Desa Pondokrejo menyebutkan, kira-kira 300 dari 470 rumah warganya
merupakan rumah joglo, sedangkan sisanya adalah rumah limasan dan tembok.
Jenis joglo yang ada beragam mulai dari Joglo Lanangan, Joglo Bekuklulang,
Joglo Barongan, Joglo Gonjo Pipilan, Joglo Tumpang Sari 3, Joglo Tumpangsari
Singkup, Joglo Katek, dan Jolgo Dompal. Dengan rata-rata 70 persen rumah di
Desa Pondok Rejo adalah joglo, di tahun 2012 ketika diadakan lomba rumah Joglo
se-Jawa Tengah, desa Pondok Rejo meraih juara 1, dan di Tahun 2008 dinobatkan
sebagai Desa Pelestari Joglo Nasional.
Desa ini bahkan memiliki peraturan desa yang mengatur pelestarian dan
perlindungan rumah joglo berusia ratusan tahun. Peraturan itu mampu
menekan penjualan joglo kuno yang merupakan benda cagar budaya. Kepala Desa
Pondokrejo mengatakan bahwa Peraturan Desa Nomor 3 Tahun 2007 tentang
pelestarian dan Perlindungan Rumah Joglo per tanggal 20 November 2007 tersebut
DUA PULUH DUA EKOR LELA, AYAM
/143
JANTAN DAN BUNGA SEDAP MALAM
DARI PONDOKREJO
Sebagai desa dengan mayoritas penduduk beragama Islam, setiap bulan Ramadhan
desa dimeriahkan dengan pertunjukan kesenian Tong-tongklek. Kesenian ini lahir
dari tradisi warga saat membangunkan sahur. Biasanya anak-anak dan kawula
muda akan Bersiap mulai jam 1 hingga jam 3 malam untuk menyemarakkan
lingkungan. Mereka membentuk kelompok bahkan komunitas-komunitas khusus
untuk membangunkan sahur. Pada tiap tanggal 27 di bulan puasa, kesenian ini
diakomodir dalam gelaran yang lebih besar, yakni Festival Tong-tongklek. Dalam
festival ini komunitas maupun kelompok akan diperlombakan, dan menariknya
setiap 5 tahun sekali akan diadakan penganugerahan dengan beberapa nominasi.
Di antaranya kelompok paling menarik, kelompok terbaik, dan sebagainya. Saat
ini kesenian Tong-tongklek ini masih terus dipertunjukkan dan pada tahun ini
sudah memasuki putaran ke -9.
Selain Tong-tongklek, kesenian rebana tempo dulu atau yang sering disebut
hadrah masih bisa dijumpai di Desa Pondokrejo. Kesenian ini dimainkan dengan
alat musik kendang turun temurun hingga sekarang. Hadrah akan dimainkan
ketika seseorang memiliki hajat atau nazar tertentu. Kelompok pemain hadrah
adalah biasanya orang-orang yang sudah berusia tua. Pembeda lainnya dengan
rebana pada umumnya yakni syair yang dilantunkan. Sebagian besar syairnya
berisi tentang seni dalam mengagumi Nabi Muhammad SAW serta mengingatkan
manusia untuk beribadah.
Pada musim kemarau pun, aliran air tetap stabil dan debit airnya
tidak pernah berkurang. Di dekat Goa terdapat Sungai dengan lebar
sekitar 3 meter. Kini sungai tersebut menjadi pasokan air irigasi
utama pertanian setempat. Waktu tempuh ke goa itu sekitar 10 menit
dari kantor desa dengan kendaraan kemudian dilanjutkan berjalan
kaki sekitar 15 menit. Akses menuju goa berupa area persawahan
yang disambung dengan tebing bebatuan menurun. Pada awalnya,
Goa Kopong merupakan tempat dilakukannya ritual adat dan tempat
persembahan terhadap makhluk gaib yang menjaga daerah Kopong.
SEDEKAH BUMI
/150
Inovasi baru yang dikembangkan oleh Kelompok Batik yaitu mengolah pewarna
alam yang bisa dijadikan sebagai pewarna batik. Selain itu, Bahan pembuatan cap
batik yang biasa dipakai adalah limbah kayu yang didapatkan dari gudang potong
kayu di sekitar lokasi, sehingga biaya produksi bisa ditekan seefisien mungkin. Di
Pringgasela Selatan penggunaan pewarna alam kain merupakan warisan budaya
turun temurun dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan di sekitar desa. Proses
pewarnaan dilakukan dengan cara fermentasi dari sari pewarna tumbuhan. Pada
zaman dahulu sebelum berkembangnya benang pabrikan di masyarakat, benang
kapas menjadi komoditas utama untuk pembuatan kain tenun Pringgasela. Kain
kapas inilah yang kemudian diwarnai menggunakan pewarna alam yang didapat
dari tumbuhan alam di sekitar Desa Pringgasela, di antaranya pohon tarum yang
memiliki warna dasar Biru Navy, kulit pohon banten yang memiliki warna dasar
coklat, buah pinang memiliki warna dasar Merah, buah mengkudu memiliki
warna dasar hijau, dan lain-lain.
yang dirakit sedemikian rupa menjadi alat tenun sederhana yang disebut
alat tenun gedogan.
Hingga saat ini kain tenun yang dibuat oleh Lebai Nursini masih tersimpan
sebagai pusaka leluhur Desa Pringgasela yang disebut Reragian. Di samping
itu terdapat umbul-umbul/penjor pertama dan tertua di Indonesia yang
berumur sekitar 288 tahun dan terbuat dari rajutan potongan kain tenun
yang disebut Tunggul. Kata Tunggul disarikan dari kata Tunggal/Satu/Esa
yang dihubungkan dengan nilai dan norma agama bahwa Tuhan Yang Maha
Esa itu hanya satu, yaitu Allah SWT. Tunggul yang panjangnya sekitar 35
meter pernah didirikan pada tahun 1974 dalam upacara perkawinan yang
disebut acara “Boteng Tunggul Gawe Desa”. Oleh masyarakat Pringgasela
kedua benda pusaka ini dianggap mempunyai kekuatan magis dan
dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Sampai saat
ini kedua benda pusaka itu masih tersimpan rapi sebagai Pasek Desa dan
induk dari semua kain tenun yang dibuat para pengrajin.
pesta rakyat, ruang kohesi sosial dan edukasi regenerasi. Semua itu
dilakukan masyarakat di kaki Gunung Rinjani yang kaya sumber
air dan vegetasi hutan hijau. Setiap kali Festival Dongdala digelar,
turut tampil pula Tari Tenun yang menggambarkan tentang proses
produksi tenun masyarakat setempat. Biasanya penari terdiri dari
5 orang wanita yang membentuk pola gerakan kombinasi yang
teratur mengikuti irama music tradisional. Dimulai dari gerakan
merangkai benang, aktivitas ketika menenun dan memperagakan
hasil tenun yang sudah menjadi lembaran kain. Tarian ini dikreasi
untuk memperkenalkan tenun Pringgasela Selatan ke dunia luar dan
diharapkan mampu memotivasi generasi muda agar lebih menekuni
tenun tradisional mereka.
***
SKRM SQUAD: LASKAR PENANAM
RASA CINTA PADA KAMPUNG
Acara inti dari tradisi sedekah bumi adalah ritual hajatan di punden
yang ada di desa Sudo dengan membawa sesaji dan menampilkan penari
dan gamelan di lokasi. Terdapat tiga punden yang ada di Desa Sudo
yaitu Punden Kusumo Jati, Punden Mbah Jenggot, dan Punden Mbah
Saribut (Sari Bumi Pertiwi). Tradisi sedekah bumi sendiri dipusatkan
di satu punden, yaitu punden Mbah Saribut, dan dihadiri oleh semua
elemen masyarakat. Dalam acara tersebut, dihadirkan sesajen dengan
berbagai macam buah dan bahan lain seperti pisang (gegedangan) yang
memiliki makna harapan masyarakat bisa mendapatkan keselamatan
dan terhindar dari bala, bunga tiga rupa (minimal dari tujuh rupa)
memiliki makna cerminan keindahan, dan tikar asli daun pandan
dan daun salam. Daun salam memiliki makna selamat, diharapkan
warga dan desa mendapatkan keselamatan, daun sirih memiliki
makna sumurupo nganti ketemu rasane, kita dituntut untuk mengetahui
berbagai hal atau ilmu dan bisa mengimplementasikan ilmu tersebut.
Atribut yang lain ada kendi (kendali ning diri) memberikan makna
untuk melihat diri dan pengendalian diri supaya terjaga dari hawa
nafsu.
***
KEBANGKITAN TRADISI
DI TANAH MERAH PUTIH
Sebagai desa dengan warisan tradisi yang kuat dan percaya akan
leluhur, masyarakat desa hendak mengadakan sedekah bumi tahunan
dengan melakukan rembuk bersama terlebih dahulu di balai desa.
Dalam rembuk ini dihadirkan seluruh kelompok, baik abangan
KEBANGKITAN TRADISI
/173
DI TANAH MERAH PUTIH
maupun putihan. Akan tetapi obrolan ini tidak berjalan dengan baik dan terjadi
konflik di antara keduanya. Bahkan hingga melukai satu sama lain. Hal ini
dipicu ketidaksepahaman antara kelompok abangan dan putihan. Kelompok
putihan berpendapat bahwasanya sedekah bumi adalah bagian dari musyrik dan
tidak relevan dengan kehidupan saat ini. Di lain sisi, warga sebagai penduduk
asli sangat tidak terima dengan pernyataan tersebut. Sedekah bumi dipercayai
oleh mereka sebagai bentuk penghormatan terhadap lelakoning urip. Sebagai
masyarakat yang hidup di atas tanah subur dengan hasil tani melimpah, kita patut
berterima kasih kepada alam melalui sedekah bumi. Kejadian tersebut hingga
saat ini dikenal dengan perang abangan putihan. Tidak adanya hasil mufakat
bersama justru berujung pada kegaduhan di desa. Sejak saat itulah sedekah bumi
tidak lagi diadakan.
Wandi dan Suharmono di tahun 2000-an membaca keprihatinan atas apa yang
terjadi di desanya. Desa yang tadinya nyaman, guyub, dan rukun tidak lagi mereka
rasakan. Atas keprihatinan tersebutlah mereka berinisiatif untuk mengaktivasi
kegiatan yang menarik didatangi oleh siapapun. Harapan mereka hanyalah
menyatukan kembali rasa persaudaraan antar sesama penduduk Desa Sumber.
Pemuda ini berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain dengan membawa
ember untuk mengumpulkan dana seadanya. Dengan dana tersebut, mereka
mendatangkan layer tancep atau yang sering disebut dengan video orog-orog.
Pada era itu, hiburan seperti ini sangat menyenangkan untuk dinikmati bersama.
Warga yang tadinya memisahkan diri satu sama lain perlahan mulai berbaur
dan berinteraksi kembali. Tentu, upaya penyatuan ini tidak terjadi dalam satu
SEDEKAH BUMI
/174
Sejak sedekah bumi tidak lagi dilakukan, kondisi punden memprihatinkan. Karena
lama tidak terjamah warga, punden ini hampir tertutup oleh sampah plastik yang
terbawa oleh air kemudian tertimbun belasan tahun. Akses menuju punden pun
semakin sempit dan tidak mudah untuk dilewati. Anak-anak yang lahir pada
generasi 2000an ke atas bahkan tidak mengerti bahwa di desanya terdapat punden
yang merupakan cikal bakal tempat tinggalnya berdiri.
Punden ini memiliki sendang yang menurut tetua desa merupakan penghidupan
desa di zaman dulu. Apabila ditelisik lebih jauh, penamaan desa sumber berasal
dari istilah sumberan yang berarti sumber mata air. Dahulu desa sumber
memiliki pepohonan yang terkenal rindang dengan aliran air deras dan jernih.
KEBANGKITAN TRADISI
/175
DI TANAH MERAH PUTIH
bumi hanya boleh didapat dari warga mereka saja, itupun dalam bentuk
hasil bumi. Berbeda dengan desa-desa lain yang ada di Kabupaten
Rembang, sedekah bumi di Desa Sumber perlu dikonsep ulang dengan
pembacaan yang netral. Hal ini agar tidak memancing kembali memori
lama warga soal perang abangan putihan. Irul dan teman-teman secara
sederhana menyampaikan, bahwa sedekah bumi ini menjadi penting
untuk diadakan kembali karena beberapa tempat bersejarah yang ada
di desa memberikan manfaat secara umum dan apabila dibiarkan terus
menerus akan menjadi tidak bermanfaat, seperti salah satunya sumber
mata air (sendang).
***
MENJAGA HIDUP DALAM
ATURAN DI ULUMANDA
Keempat Mattuju, yaitu akhir dari panen padi ladang. Dan terakhir
Mappadiloko, yaitu penyimpanan hasil panen padi lumbung/loko.
Prosesi sakka pariama dilakukan oleh so’bo atau orang yang dianggap
paling mengetahui hubungan vertikal manusia dengan alam semesta
dan juga pembuat keputusan kapan dimulainya proses pertanian.
***
SEDEKAH BUMI DAN
PENGHORMATAN TERHADAP AIR
DI DESA TANJUNG
Potensi kultural yang dimiliki oleh Desa Tanjung adalah adanya makam
kyai yang di haul setiap tahun, yaitu makam Kyai Ronggo dan Kyai Ab-
dul Latif yang terletak di Dusun Kajen. Kedua kyai tersebut merupakan
tokoh agama penyebar agama Islam di Kabupaten Rembang dengan
wilayah penyebaran Kecamatan Sulang dan meluas ke Kecamatan
Sumber dan Kecamatan Kaliori. Kedua kyai tersebut merupakan kakak
beradik sedarah. Peziarah yang datang ketika haul berasal baik dari
Desa Tanjung dan maupun dari luar desa. Makam lain yang ada di
Desa Tanjung dan dinilai penting juga adalah makam Mbah Ronggo
Joyo, yaitu tokoh pembabat desa.
Potensi budaya lain yang terus dilestarikan adalah Sedekah bumi yang
dilakukan di bulan Selo (penanggalan jawa) setelah bulan Syawal.
Sedekah Bumi di Desa Tanjung hanya dilakukan dalam sehari dengan
rangkaian acara tahlilan dan ketoprak saja. Pada tradisi tersebut di-
adakan bancakan (tahlilan) di Sumur Serut di siang hari setelah adzan
dzuhur dan diadakan di masjid. Banyak warga yang datang pada tahl-
ilan yang dilakukan dalam prosesi sedekah bumi, namun lebih banyak
warga yang datang di sumur karena hal tersebut sudah dilakukan sejak
zaman dahulu. Warga yang datang membawa nasi berkat dari rumah
masing-masing yang kemudian ditukarkan kepada warga yang datang
MENJAGA HIDU
/186
DALAM ATURAN
DI ULUMANDA
pada acara tahlilan tersebut. Nasi berkat yang dibawa oleh warga
berisikan telur, ayam, ikan, jajanan dan nasi. Nasi berkat tersebut
dikumpulkan di satu titik dan ditutup dengan daun pisang supaya
tidak dihinggapi oleh lalat dan tetap steril. Warga kemudian duduk
bersila sambal melakukan pembacaan doa yang dilakukan oleh tokoh
masyarakat. Isi dari nasi berkat tersebut berasal dari hasil bumi dan
belanja. Tahlilan atau pembacaan doa dilakukan oleh Mbah Waras,
tokoh masyarakat yang dituakan di Desa Tanjung.
Selain Sumur Ganggeng, dua mata air lain yang ada di Desa Tanjung
dan terkait dengan acara tahlilan ini adalah Sumur Kates dan Su-
mur Serut. Penamaan sumur-sumur tersebut diambil berdasarkan
tanaman-tanaman yang hidup berdekatan dengan sumur tersebut.
Fungsi dari adanya sumur tersebut adalah untuk kebutuhan se-
SEDEKAH BUMI
/187
Acara sedekah bumi ini juga hasil dari rembug warga tanpa adanya
kepanitiaan. Acara tersebut hanya diumumkan di speaker masjid,
kemudian warga berkumpul di Sumur Serut dan masjid untuk
melakukan pembacaan doa. Pelaksanaan doa di masjid dilakukan
oleh modin dan tokoh agama. Dalam tradisi ini banyak warga yang
terlibat seperti tokoh masyarakat, termasuk yang dituakan, warga,
dan perangkat desa seperti kepala desa dan seluruh jajaran perangkat
desa. Peran dari warga sendiri adalah untuk menjaga kebersihan
dengan mengambil sampah yang berserakan di sekitar lokasi tahlilan
dan mempersiapkan tenda di sumur.
***
GEGUNUNGEN DARI BANTARAN
SUNGAI LAE CINENDANG
tarekat, serta banyak terlihat bungki (sejenis perahu kecil) yang ter-
tambat di jamban atau dermaga kecil terbuat dari kayu.
Tetapi dibalik kesamaan tersebut, Desa Tanjung Mas memiliki ciri khas
yang berbeda dengan desa-desa Suku Singkil lain, khususnya dalam hal
dialek, kesenian, serta praktik kultural lainnya. Perbedaan ini muncul
karena secara historis Singkil dan Subulussalam dulunya merupakan
wilayah dari 16 kerajaan yang berdaulat. Pada masa itu, masyarakat
tunduk di bawah aturan yang berbeda, sehingga menyebabkan mun-
culnya perbedaan dan persamaan dalam praktik kultural pada Suku
Singkil seperti yang kita lihat sekarang. Jadi wajar saja jika saat ini
Desa Tanjung Mas masih memiliki khazanah budaya tersendiri yang
tidak dimiliki oleh desa lain di sepanjang sungai Cinendang.
besar lain yang ada di seluruh wilayah Aceh. Tidak ada inskripsi yang
menyebutkan nama jasad yang terkubur di dalamnya. Hal ini dimaknai
sebagai suatu sikap tawadhu atau rendah hati dari seorang ulama, yang
dimaksudkan agar setelah ia meninggal tidak ada yang menyembah
kuburnya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Arab pada
masa sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW (Jahiliyah).
***
KITA YANG BEKERJA
TETAPI BERKAT DATANG
DARI ATAS
Potensi adat lain berupa tradisi lisan yang dimiliki oleh Desa Waela-
na-lana adalah Bahasa Buru yang menjadi identitas masyarakat un-
tuk berkomunikasi. Dalam kesehariannya, masyarakat melestarikan
Bahasa Buru meski ada perbedaan bahasa di wilayah pesisir yang
menjadi daerah masuk dan keluarnya pendatang. Hal tersebut berefek
kepada memudarnya bahasa asli karena terjadinya akulturasi bu-
daya bahasa-bahasa pendatang dan efek globalisasi dengan adanya
media sosial. Namun beruntungnya bagi masyarakat desa, mereka
masih memegang dan menggunakan Bahasa Buru dalam percakapan
sehari-hari. Berdasarkan hasil perhitungan dialektometri, isolek Ba-
hasa Buru merupakan bahasa dengan persentase perbedaan sebanyak
***
DOKUMENTASI
PROSES KEKARYAAN
SENIMAN
SEDEKAH BUMI 2023
PROSES
KEKARYAAN
Gegerboyo
/PROFIL
mengerjakan bentuk lain seperti gambar, lukisan, batik, instalasi media campu-
ran dan seni pertunjukan.
DOKUMENTASI
PROSES KEKARYAAN
210
GEGERBOYO
/KONSEP KARYA
'Mata Tenggelam'
Instalasi dari besi, toren air, umpak temuan dari Rembang, batik, dan video.
2023.
Fokus bahasan yang akan kami angkat adalah tentang situasi embung
yang semakin terpuruk di era modern ini. Keterpurukan tersebut meli-
DOKUMENTASI
PROSES KEKARYAAN
212
GEGERBOYO
Karya Gegerboyo akan berisi rekaman data yang kami dapatkan saat ke Rembang
bertemu narasumber dan melihat langsung situasi embung di sana. Data dan hasil
penelitian tersebut akan kami presentasikan dalam sebuah instalasi karya yang
terinspirasi dari bentuk tower air dikombinasikan dengan karya batik dan video.
Karya instalasi tersebut adalah representasi dari sebuah punden, yang dalam
pengertian umum adalah sebuah tempat yang dihormati, bisa berupa makam
sampai tempat untuk melakukan ritual pemujaan. Konsep ini selaras dengan tema
embung yang akan kami jadikan tema karya.
Embung di Rembang hari ini mati seperti di pemakaman, tapi di saat yang sama
masih ada semangat untuk merawat dan menghormati.
SEDEKAH BUMI
213
Dok. Gegerboyo.
DOKUMENTASI
PROSES KEKARYAAN
214
GEGERBOYO
Dok. Gegerboyo.
PROSES
KEKARYAAN
Hananingsih
Widhiasri
/PROFIL
KONSEP KARYA
'Jalan Selamat'
Instalasi tenda kanvas & stensil cahaya.
2023.
Cultural Resource (sumber daya budaya) adalah objek fisik atau tempat kegia-
tan manusia di masa lalu, seperti situs bersejarah, benda-benda, lanskap, struk-
tur, atau bahkan fitur alam yang penting bagi sekelompok orang yang secara
tradisional terkait dengannya. Contoh-contoh seperti itu dapat mencakup situs
arkeologi, bangunan atau jalan-jalan kuno, situs desa prasejarah, inskripsi batu,
dan medan pertempuran. Sumber daya ini seringkali memberikan informasi unik
tentang masyarakat dan lingkungan masa lalu yang penting bagi masyarakat saat
ini.
Keterkaitan Sedekah Bumi dengan cultural resource terletak pada bagaimana hal
ini dapat memengaruhi struktur dan dinamika sosial dalam masyarakat. Misal-
nya, di Sekararum, Rembang, seringkali ada pertunjukan tayuban dan ketoprak
DOKUMENTASI
218 PROSES KEKARYAAN
HANANINGSIH WIDHIASRI
sebagai bagian dari perayaan Sedekah Bumi. Penentuan ini dapat bergantung
pada kesepakatan warga atau bahkan mungkin dipengaruhi oleh tradisi turun
temurun.
Pertunjukan dan upacara adat ini sering menjadi faktor pendorong bagi sebagian
orang untuk peduli terhadap pelestarian budaya desa. Namun, kadang-kadang
kebudayaan yang dihadirkan bukan berasal dari penduduk asli setempat, tetapi
merupakan akomodasi budaya dari luar daerah yang ditampilkan karena tidak ada
sumber daya manusia yang sesuai untuk menjalankan tradisi serupa.
Karya instalasi ini bertujuan untuk menghadirkan aneka perayaan atau cultural
resource sedekah bumi di komunitas Desa Sekararum, Rembang dan Desa Lalang.
DOKUMENTASI
220 PROSES KEKARYAAN
HANANINGSIH WIDHIASRI
Keduanya dipilih karena sama-sama berada di pesisir laut jawa, dan memiliki
komunitas juga kebudayaan sedekah bumi yang sangat berbeda dan unik.
Melalui stensil cahaya dan lukisan kanvas, karya ini merayakan kekayaan wari-
san budaya dan menginspirasi pemirsa untuk menghargai beragam sumber daya
budaya yang merupakan bagian penting dari identitas manusia. Penggunaan
pencahayaan yang terarah menyoroti elemen budaya dalam stensil cahaya. Insta-
lasi ini mengajak pemirsa untuk merenungkan nilai budaya yang kita warisi dan
bagaimana kita dapat menjaga dan mengaitkannya dalam pemecahan berbagai
permasalahan dalam kehidupan berkelompok, identitas politik, dan banyak aspek
lain yang dianggap penting.
Seniman memiliki hasrat untuk menjelajahi gaya ilustrasi dekoratif dalam pem-
buatan karyanya. Selama ini, seniman telah sering mengandalkan sketsa untuk
merepresentasikan cerita dalam karyanya. Namun, seniman merasa bahwa
dengan menggunakan ilustrasi dekoratif, dapat memberikan sentuhan seni rupa
yang lebih luas pada karya karyanya.
Perempuan
Pengkaji Seni
/PROFIL
PPS awalnya hadir pada tahun 2019, sebagai sebuah kelompok diskusi
untuk mempelajari seni dari perspektif perempuan, tetapi pada tahun
2021, kami menjadi lebih terbuka tentang berbagai kemungkinan, agar
kita tidak hanya belajar seni melalui tulisan tetapi juga dengan berb-
agai cara aktivasi seni, karena begitulah nilai-nilai yang kami tawar-
kan lebih mudah disalurkan ke masyarakat. Kami percaya bahwa seni
adalah sebuah elemen aktif, kreatif, dinamis yang memiliki pengaruh
langsung pada masyarakat.
224
Perempuan Pengkaji Seni (PPS) telah menjadi wadah kajian seni, perempuan
dan masalah gender. Dengan kajian tentang seni, penciptaan seni, dan aktivisme
melalui seni. Keterlibatan PPS sebagai langkah untuk berpartisipasi mengem-
bangkan ekosistem seni yang lebih beragam dan setara di Jawa Timur, pada kon-
teks keadilan gender.
KONSEP KARYA
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki banyak bentuk praktik ritual yang
melekat pada kehidupan masyarakat pesisir. Seperti halnya sedekah laut yang
dipraktikkan pada beberapa daerah, seperti di Pulau Meitara Utara, Desa Berakit
(Riau), Kota Pariaman (Padang), Desa Munjungan (Trenggalek), dan Kebupaten
Pacitan, sebagai bentuk perwujudan meminta keselamatan, persembahan kepada
penguasa laut, juga sebagai bentuk syukur atas panen laut yang melimpah. Dalam
prosesinya, setiap daerah memiliki keberagamannya masing-masing, Sedekah
Laut di Meitara Utara dan Desa Berakit hanya dilakukan oleh kelompok kecil,
yakni tetua adat, dan beberapa nelayan yang akan melaut. Sedangkan di Kota
Pariaman, Desa Munjungan dan Kabupaten Pacitan, sedekah laut menjadi praktik
yang dilakukan secara beramai-ramai dengan melibatkan banyak masyarakat di
beberapa desa lainnya.
Nyatanya, beberapa praktik sedekah laut kini memiliki tantangan dan mendorong
mereka untuk adaptif terhadap masuknya pariwisata. Praktik sedekah laut pada
beberapa daerah dilakukan untuk tujuan spesifik lainnya, yakni ‘branding’ lokalitas
pada ranah komoditas wisata. Masuknya pariwisata lambat laun dapat merubah
Filter Instagram yang
menjadi salah satu
bagian dari karya
Perempuan Pengkaji
Seni.
Dok. Perempuan
Pengkaji Seni.
pola tradisi dan perspektif masyarakat terhadap leluhur. Dalam konteks kebu-
dayaan, foklor atau mitologi tentang penguasa laut dapat menjadi salah satu dasar
dalam struktur sosial, seperti membentuk bagaimana masyarakat harus berpe-
rilaku. Meskipun demikian, di beberapa daerah lain sedekah laut tetap menjadi
praktik yang sakral dan tidak terintervensi pariwisata.
Volcanic
Winds
/PROFIL
KONSEP KARYA
'Institualized Ritual'
instalasi audio dan performa aktor.
2023.
Sebuah penggambaran melalui audio dan ruang dengar tentang ritual yang
dipindahkan konteksnya kepada konteks yang merujuk kepada sistem tertentu
sehingga makna ruang dan waktu berubah. Dalam konteks ritual, pelembagaan
mengacu pada proses di mana suatu ritual menjadi formal, terstandarisasi, dan
dimasukkan ke dalam praktik dan kepercayaan lembaga, komunitas, atau budaya
tertentu.
Ketika suatu ritual dilembagakan, berarti ritual tersebut telah diberi status yang
diakui dan resmi dalam kerangka sosial atau agama tertentu. Hal ini sering kali
melibatkan penyusunan langkah-langkah, tindakan, dan simbol-simbol yang ter-
libat dalam ritual, menetapkan aturan dan pedoman untuk pelaksanaannya, dan
memastikan praktiknya teratur dan konsisten.
Pelembagaan suatu ritual dapat terjadi dengan berbagai cara. Ini mungkin mel-
ibatkan pembuatan teks tertulis, manual, atau kitab suci yang menguraikan
prosedur dan makna ritual. Hal ini mungkin juga melibatkan penunjukan individu
atau peran tertentu yang bertanggung jawab untuk melaksanakan ritual, seperti
pendeta, pejabat, atau penatua
Instrumen yang digunakan Volcanic Winds. Dok. Volcanic Winds.
Dok. Volcanic
Winds.
Dok. Volcanic
Winds.
PROSES
KEKARYAAN
XXLab
/PROFIL
XXLAB adalah sebuah grup inisiatif yang terdiri dari beberapa perem-
puan dengan berbagai latar belakang interdisiplin dan keahlian yang
berbeda serta keanggotaan terbuka. XXLAB berbasis di Yogyakarta,
sebuah kota unik di Indonesia, yang terkenal sebagai kota seni dan
pendidikan. XXLAB terbentuk di tahun 2013, sebagai kelanjutan dari
workshop berseri yang dinamakan Ms. Baltazar ID. XXLab memenang-
kan berbagai penghargaan baik tingkat internasional maupun nasional,
beberapa di antaranya adalah Voelstapine Award Prix Ars Electronica,
yang merupakan penghargaan bergengsi di bidang seni media baru
untuk kategori "next idea". XXLAB juga mengikuti berbagai pameran
seni dan inovasi, serta aktif mengadakan berbagai edukasi non-formal
KONSEP KARYA
'KASAT'
instalasi video.
2023.
ran tanah, menjaga hasil panen dan memelihara nilai-nilai tradisional. Perem-
puan juga banyak dihubungkan dengan berbagai kekuatan-kekuatan yang tidak
nampak seperti Dewi -Dewi yang menjadi simbol hubungan harmonisasi antara
manusia dan alam. Merajut Tradisi dan Budaya: Perempuan sering bertanggung
jawab untuk meneruskan tradisi dan budaya terkait Sedekah Bumi ke generasi
berikutnya. Mereka dapat berperan dalam mengajar anak-anak dan anggota kel-
uarga lainnya tentang makna, tata cara, dan nilai-nilai ritual ini.
XXLab berfoto di salah satu pohon yang dijadikan punden oleh warga.
Dok. XXLab.
238