Anda di halaman 1dari 7

Kawin Cai, Sebuah Tradisi Masyarakat Sunda

Ditulis untuk untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kebudayaan Sunda

Dosen Pengampu : Abdul Hamid, M.Hum

Anggota kelompok :

Aprisa Rayna Lizar 180510180009

Irfan Aulia Azra 180510180022

M Tifal Nawwafin 180510180033

Kenzi Amada 180510180056

Haekal Rizqi Hannie 180510180063

Wajendra Muhammad Satria 180510180053

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kepada Tuhan yang telah memberikan kelancaran dan
rahmat-Nya sehingga kami berkesempatan menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Kawin Cai, Sebuah Tradisi Masyarakat Sunda” walau banyak hambatan
dan masalah dalam pengerjaannya.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah kebudayaan sunda dengan dosen Bapak Abdul Hamid, M.Hum. Makalah
ini kami harapakan juga dapat berperan sebagai media penambah wawasan
tentang Kawin Cai bagi penulis dan juga bagi pembaca.

Dalam penyusunan makalah ini tentu kami membutuhkan dukungan dari


berbagai. Oleh karena itu, kami selaku penulis mengucapkan terima kasih sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membagi pengetahuan, pengalaman, dan
waktunya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah yang kami tulis sangat jauh dari kata sempurna. Kritik dan saran yang
membangun akan selalu sangat terbuka dan kami nantikan demi keparipurnaan
makalah ini. Kami harap makalah ini dapat digunakan dengan bijak dan sebaik-
baiknya dan membawa manfaat untuk banyak orang.

15 April 2020
1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Berdasarkan kajian antropologi, Indonesia terdiri atas lebih dari 500 suku
dan subsuku bangsa dengan ciri-ciri bahasa dan kebudayaan tersendiri
(Indrawardana, 2014). Hal ini menyebabkan masyarakat Indonesia
mempunyai kehidupan berbudaya yang sangat heterogen dalam persatuannya
dan mempunyai tradisi – tradisi berbeda di seluruh lapisan kehidupan
masyarakatnya.
Kebudayaan sendiri adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami
bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Seseorang
menerima kebudayaan sebagai bagian dari warisan sosial, dan pada gilirannya,
bisa membentuk kebudayaan kembali dan mengenalkan perubahan –
perubahan yang kemudian menjadi bagian dari warisan generasi yang
berikutnya (Horton & Hunt, 1984).
Di dalam suatu kebudayaan terdapat praktik-praktik yang
menggambarkan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Praktik ini sudah
menjadi tradisi karena telah menjadi kebiasaan turun-temurun (dari nenek
moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat (KBBI, 2016). Salah
satunya adalah tradisi praktik Kawin Cai yang akan dibahas dalam makalah
ini.

1.2. Rumusan Masalah


Hal – hal yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Pengertian Kawin Cai
2. Sejarah tradisi Kawin Cai
3. Tata cara Kawin Cai
2. PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Kawin Cai

Upacara tradisi Kawin Cai merupakan tradisi yang menjadi bagian


dari masyarakat sunda khususnya di daerah Kuningan. Tradisi ini
dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT serta dijadikan
simbol dalam upaya memelihara lingkungan sekitar. Menurut sesepuh
zaman dulu, di lokasi upacara adat Kawin Cai, di sumber mata air
Tirtayatra merupakan tempat perkawinan Resi Makandria dari Kerajaan
Tirtawulan (Cibulan) dengan Pwah Sanghiyang Sri dari Kerajaan
Kainderaan. Oleh karena itu, prosesi Kawin Cai dilakukan di sumber
mata air yang terdapat batu besar bernama Batu Kawin dengan
mengalirkan air kendi percampuran air Tirtayatra dengan air Cikembulan.

Upacara adat ini dilakukan agar air tetap ada dan subur untuk
masyarakat Babakan dan sekitarnya. Dalam melestarikan upacara adat
ini, maka disebutlah tradisi Kawin Cai. Tradisi ini biasanya dilaksanakan
pada saat musim kemarau, untuk memohon kepada Allah SWT agar
diberi kelimpahan air untuk mengairi lahan pertanian dan sumber
kehidupan lainnya.

2.2. Sejarah Tradisi Kawin Cai


Upacara Adat Kawin Cai merupakan tradisi yang dilakukan oleh
masyarakat di Desa Babakanmulya, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten
Kuningan. Upacara Adat Kawin Cai berawal dari seorang petapa bernama
Resi Makandria yang disebut Sang Kebowulan (Sang Tari Wulan) berasal
dari Cikembulan (Cibulan) bertapa di Talaga Balong Dalem Tirta Yatra.
Ketika bertapa Resi Makandria merasa malu diejek oleh sepasang burung
bernama si Uwur-Uwur dan si Naragati yang bersarang ditempat
pertapaannya. Karena Resi Makandria tidak memiliki istri dan keturunan,
akhirnya Resi Makandria meminta calon istri kepada Resi Guru
Manikmaya di Kerajaan Kainderaan (Kendan). Kemudian Resi Guru
Manikmaya memberikan putrinya yang bernama Pwah Aksari Jabung
untuk dijadikan calon istrinya (Diktat Upacara Adat Kawin Cai)
(Madsari, E, 2002: 14).
Pwah Aksari Jabung yang memiliki paras yang cantik sekali bagaikan
bidadari, begawan Resi Makandria tidak mau menerima sebagai calon
istrinya karena Pwah Aksari Jabung memiliki paras yang cantik. Sebagai
jalan keluarnya Pwah Aksari Jabung menjelma menjadi seekor kidang
(kijang) betina dan Resi Makandria menjelma menjadi seekor kerbau
bule. kemudian mereka memiliki keturunan yang diberi nama Pwah
Bungatak Mangalengale. Setelah dewasa Pwah Bungatak Mangalengale
dipersunting oleh Sang Wreti Kandayun yang mendirikan kerajaan Galuh
(Cerita ini diambil dari cerita Parahyangan) (Madsari, E, 2002: 15).

2.2. Tata Cara Kawin Cai

Prosesi upacara adat Kawin Cai diawali dengan pengambilan air dari
hulu cai atau mata air Tirtayatra Situ Balong Dalem, oleh sesepuh desa
atas restu kuncen untuk dimasukkan ke dalam kendi. Usai itu dilanjutkan
dengan upacara Mapag Cai, yakni kendi berisi air Tirtayatra tadi dibawa
menuju sumber mata air keramat Cikembulan atau yang lebih dikenal
dengan Balong Cibulan di Desa Manis Kidul Kecamatan Jalaksana
Kuningan.

Jarak yang ditempuh dengan cara berjalan kaki itu sejauh lima
kilometer. Setibanya di sumur keramat Cibulan, air Tirtayatra
ditumpahkan di salah satu sumber mata air terbesar dari tujuh sumur
keramat yakni Sumur Kajayaan.

Selanjutnya dua orang ponggawa desa bersama sesepuh desa tadi,


mengambil air dari sumur keramat yang berjumlah tujuh mata air tersebut
ke dalam wadah kendi yang sama. Percampuran air Tirtayatra dan
Cikembulan dalam wadah kendi itu, kemudian dibawa dan diarak kembali
ke Situ Balong Dalem untuk dialirkan bersama di mata air Tirtayatra.

Saat prosesi pengaliran air di hulu Sungai Balong Dalem, mula-mula


air dari sumur Keramat Cikembulan tadi diserahkan kepada sesepuh desa
yang dilakukan di depan Batu Kawin berdekatan dengan hulu sungai.
Diawali dengan dikumandangkan azan dilanjut qomat oleh tokoh agama
desa setempat, proses Kawin Cai dilakukan oleh sesepuh adat Desa
Babakanmulya disaksikan tokoh masyarakat setempat.

Tidak semua air keramat tersebut dialirkan di sumber mata air Balong
Dalem, namun sebagian dipakai siraman kepada beberapa tokoh
masyarakat yang bertugas mengatur pengairan menuju enam desa yang
teraliri sumber mata air Tirtayatra. Sejumlah desa yang teraliri sumber
mata air itu, yakni Desa Babakanmulya, Jalaksana, Sadamantra,
Padamenak, Nanggerang, dan Desa Ciniru.

3. KESIMPULAN

Tradisi kawin cai merupakan tradisi yang berasal dari Desa


Babakanmulya Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan. Tujuan utama dari
tradisi ini adalah untuk memperoleh hasil pertanian yang maksimal dan
menjaga ketersediaan air di daerah tersebut tetap stabil hingga tidak terjadi
kekeringan.

Meskipun di zaman sekarang sudah banyak orang yang meninggalkan


tradisi adat, tetapi hal ini tidak berlaku untuk tradisi kawin cai. Tradisi ini
masih kerap dilakukan oleh masyarakat  Desa Babakanmulya. Mereka masih
melestarikan tradisi ini agar tidak dilupakan dan bisa diturunkan ke generasi
muda.
Sikap yang dilakukan masyarakat Desa Babakanmulya patut untuk
dicontoh masyarakat Indonesia agar tetap melestarikan tradisi dan budaya
yang ada di Indonesia, sehingga tradisi-tradisi tersebut dapat tetap terjaga
kelestariannya (Ciremaitoday, 2019).

Referensi

Ciremaitoday (2019) Mengenal ‘Kawin Cai’, Tradisi Warisan Kerajaan Cibulan


di Kuningan - kumparan.com, Mengenal ‘Kawin Cai’, Tradisi Warisan Kerajaan
Cibulan di Kuningan. Available at:
https://kumparan.com/ciremaitoday/mengenal-kawin-cai-tradisi-warisan-kerajaan-
cibulan-di-kuningan-1sAWrqiGRLh/full (Accessed: 12 May 2020).

Horton, P. B., & Hunt, C. L. (1987). Sosiologi. Jakarta: Erlangga.

Indrawardana, I. (2014) ‘Berketuhanan dalam Perspektif Kepercayaan Sunda


Wiwitan’, Melintas, 30(1), p. 105. doi: 10.26593/mel.v30i1.1284.105-118.

Anda mungkin juga menyukai