Disusun Oleh:
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas kasih
karunia-Nya dan Rahmat-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik dan tepat waktu, serta yang menjadi pembahasan di dalam makalah
tersebut berjudul “Filsafat Tradisi Bubur Suro di Sumedang Jawa Barat”. sehingga,
tim penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita
lebih banyak lagi, khususnya untuk pendengar dan pembaca dalam memahami
Filsafat Tradisi Bubur Suro di Sumedang Jawa Barat tersebut. Dan kritik serta saran
yang bersifat konstruktif dari para pendengar dan pembaca sangat diharapkan, guna
perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Dan penulis menyampaikan permohonan
maaf jika dalam sistem penulisan terdapat kesalahan ataupun kekurangan di
dalamnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
2 1
DAFTAR ISI
JUDUL............................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR..................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................4
1.1. Latar Belakang......................................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah.................................................................................................................6
1.3. Tujuan Pembahasan..............................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................7
2.1. Pengertian Filsafat Bubur Suro.............................................................................................7
2.2. Sejarah Munculnya Filsafat Bubur Suro...............................................................................8
2.3. Prosesi Tradisi Filsafat Bulan Suro......................................................................................9
2.4. Makna Filsafat Bubur Suro Bagi Masyarakat Sumedang.....................................................9
BAB III PENUTUP.....................................................................................................................21
A. Kesimpulan.....................................................................................................................21
B. Saran...............................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................22
BAB I
2 2
PENDAHULUAN
Dari berbagai suku bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia salah satu di antaranya
adalah etnis Sunda. Etnis Sunda merupakan salah satu etnis yang berada di wilayah
administratif Jawa Barat yang biasa disebut Sunda atau Pasundan. Masyarakat Sunda secara
administratif hidup di Jawa Barat yang pada dasarnya memiliki tiga jenis topografis, Ketiga
wilayah topografis itu meliputi: daerah dataran rendah yang membentang dari Barat ke Timur
daerah pantai Jawa Barat; dataran tinggi di sepanjang bagian tengah Jawa Barat yang
meliputi Pandeglang, Banten Selatan, Sukabumi, Bogor, Bandung, Sumedang, Majalengka
dan Kuningan; daerah sepanjang pantai Selatan Jawa Barat. Daerah topografi yang berada di
sepanjang bagian tengah Jawa Barat sangat ideal mengembangkan pertanian ladang dan ciri-
ciri kesundaan lebih mungkin dicari di daerah-daerah tengah dan selatan Jawa Barat,
termasuk di dalamnya wilayah Sumedang. Masyarakat Sunda mengungkapkan berbagai nilai-
nilai yang berhubungan dengan atribut kesundaannya melalui bahasa Sunda. menyebut orang
Sunda sebagai manusia Sunda yang dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan nilai-
nilai budaya Sunda.
Tradisi Bubur Suro adalah salah satu tradisi yang secara turun temurun dan konsisten
dilangsungkan oleh masyarakat di dusun Cijere Desa Nagarawangi Kecamatan Rancakalong
Kabupaten Sumedang. Tradisi adalah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk
2 3
yang sama. Tradisi ini secara konsisten dilaksanakan secara rutin tiap tahun, dilakukan pada
tanggal 10 Muharam. Tanggal 10 Muharam diyakini oleh sebagian pemeluk agama Islam
dianggap sebagai tanggal yang memiliki banyak peristiwa penting. Tradisi ini juga bertujuan
menekan ketegangan di tengah masyarakat (pengendalian sosial), sehingga masyarakat bisa
hidup berdampingan secara harmonis.
Fungsi lain yang dirasakan oleh masyarakat bahwa tradisi tersebut merupakan upaya
dari masyarakat untuk menjaga identitas kelompoknya dalam menghadapi pengaruh buruk
yang berasal dari kebudayaan luar. Lahirnya tradisi Bubur Suro erat kaitannya dengan upaya
leluhur dalam menghadapi kelangkaan pangan serta upaya mencari bibit padi pada masa
kerajaan Mataram. Nilai-nilai kearifan dalam tradisi Bubur Suro penting diwariskan kepada
generasi muda disaat berbagai krisis muncul pada diri manusia dan lingkungan sekitarnya.
Manusia menempatkan alam sebagai sebuah ekosistem yang saling ketergantungan. Dalam
kondisi seperti ini Supriatna berpendapat bahwa keseimbangan antara manusia dengan alam
sebagai tempat untuk bercocok tanam harus senantiasa dijaga dan dipelihara dengan berbagai
perlakuan dan tindakan yang positif, di antaranya melalui tradisi atau upacara yang dilakukan
secara kolektif. Tradisi lisan yang diakui secara kolektif oleh seluruh warga masyarakat di
Dusun Cijere menjadi identitas dan jati diri bagi kelompoknya yang menganggap memiliki
sejarah yang sama.
Masyarakat tidak memiliki banyak bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan warga
masyarakatnya. Kemudian tokoh masyarakat pada saat itu berinisiatif untuk mengumpulkan
berbagai jenis bahan makanan yang dimiliki warga masyarakat untuk disatukan dan diolah
menjadi bubur, sehingga jumlahnya banyak dan mencukupi kebutuhan masyarakat. Adapun
penggunaan istilah, dan mulai kapan pelaksanaan dari tradisi Bubur Suro, masyarakat tidak
mampu menjelaskannya secara rinci.
2 4
2. Bagaimana Sejarah Munculnya filsafat Tradisi Bubur Suro?
3. Bagaimana Makna Simbolis yang terdapat pada filsafat Tradisi Bubur Suro bagi
Masyarakat sumendang ?
BAB II
2 5
PEMBAHASAN
1
Toto Sudargo Dkk, Budaya Makan Dalam Perspektif Kesehatan (Gadjah Mada University Press,
2022), Hal 70-72.
2 6
2.2. Sejarah Bubur Suro
Kata "Suro" juga menunjukkan arti penting 10 hari pertama bulan itu dalam
sistem kepercayaan Islam-Jawa, di mana dari 29 atau 30 hari bulan Muharram, yang
dianggap paling "keramat" adalah 10 hari pertama, atau lebih tepatnya sejak tanggal 1
sampai 8, saat mana dilaksanakan acara kenduri bubur Suro. Namun mengenai
kekeramatan bulan Suro bagi masyarakat Islam-Jawa, lebih disebabkan oleh faktor
atau pengaruh budaya kraton, bukan karena "kesangaran" bulan itu sendiri.2
2
Ibid, Hal 83.
2 7
memberontak, sehingga perlu dimusnahkan. Maka pada hari itulah kemudian dinasti
Umayyah menetapkannya sebagai hari kemenangan, yang kemudian dinisbahkan
dengan kemenangan bangsa Israel.
Cerita kedua adalah berhubungan dengan kisah selamatnya Nabi Nuh dan para
pengikutnya, dan keluar dari kapal, setelah terom- bang-ambing dalam badai taufan
dan banjir besar selama 41 hari. Sehingga selama berada dalam kapal, persediaannya
kian menipis, dan mendekati hari-hari terakhir, persediaan makanan hampir habis.3
Tradisi menyambut bulan Muharram atau "bulan Suro" merupakan hal yang
sudah menjadi salah satu budaya penting bagi masyarakat muslim Jawa, baik yang
masih berdomisili di Jawa maupun yang sudah hijrah (transmigrasi dan bermukim) di
lain pulau. Hal tersebut disebabkan dua faktor. Pertama, bagi umat Islam tradisional,
bulan Muharram termasuk salah satu bulan suci, di mana oleh Rasulullah, umat Islam
diperintahkan untuk berintrospeksi diri (muhasabah), baik bagi perjalanan amal tahun-
tahun yang sudah lewat maupun dalam kerangka mempersiapkan diri untuk tahun-
tahun mendatang. Ritual mujahadah, doa, bersedekah (di Jawa termasuk selamatan,
kenduri, dan sejenisnya), bertapa dan berpuasa pada bulan tersebut jelas memiliki
akar tegas dalam tradisi keberagamaan Islam yang bercorak Jawa.
Kedua, bagi muslim Jawa, bulan "Suro" merupakan salah satu "bulan
keramat", di samping karena pengaruh Islam, juga karena secara tradisi, bagi
masyarakat Jawa, bulan Suro merupakan bulan penentu perjalanan hidup. Sehingga
bagi masyarakat muslim Jawa pada bulan tersebut disarankan untuk meninggalkan
berbagai perayaan duniawi dan fokus kepada Allah. Jadi, bukan karena "keangkeran"
bulan tersebut. Setiap agama dan kepercayaan pasti memiliki bulan khusus untuk
berintrospeksi, contohnya Islam pada bulan Ramadhan. Agama-agama seperti
Kristen, Hindu, Buddha, bahkan berbagai sekte keagamaan dan kepercayaan juga
memiliki bulan tertentu, yang dikhusus kan melakukan ritual kepada Tuhannya. Nah,
pada konteks Islam-Jawa ini, selain bulan Ramadhan, berdasar kearifan lokal Jawa,
juga memiliki bulan khusus untuk introspeksi dan bertobat kepada Tuhan, yakni bulan
3
Hamisy, catatan tepi) Kitab Hasiyat l'anat al-Thalibin 9 (Jakarta, 2003), Hal. 267.
2 8
Muharram (Asuro atau Suro). 4
Sebagian besar masyarakat Jawa terbiasa membuat bubur yang hanya khusus
di buat pada bulan Suro, bubur ini melambangkan rasa syukur atas nikmat yang telah
diberikan selama ini kepada manusia. Pelaksanaan Bubur Suro banyak beragam,
setiap daerah mempunyai tata cara dan pelaksanaan yang berbeda-beda, contohnya
yang terjadi pada masyarakat Kampung Cibulakan, Desa Pasirbiru, Kec.
Rancakalong, Kab. Sumedang. Bubur Suro ini telah dilaksanakan secara turun
temurun sebagai warisan budaya setempat. Bubur Suro dimaksudkan untuk mengingat
perjuangan Nabi Nuh saat mengarungi lautan bersama pasukannya berbekal buah-
buahan dan umbi-umbian. Dalam keterbatasan makanan disatukan untuk dijadikan
bubur hingga akhirnya semua pasukan dapat menikmati makanan secara merata. 5
5
Khazanah Pikiran Rakyat (Sabtu 4 Februari 2006) hal. 32
2 9
khususnya dalam bidang pertanian. Wujud syukur itu juga merupakan ungkapan
masyarakat sebagai bentuk ibadah antara manusia dengan Allah (Habluminallah),
sekaligus sebagai bentuk ibadah antara manusia dengan manusia, serta manusia
dengan lingkungan alam (Habluminnanas).
Bahan-Bahan:
6
Iskandar.johan, etnobiologi dan keragaman budaya di indonesia, (dalam umbara indonesia jurnal of
anthropolohy 2016) 27-42
2 10
1. Bubur 500 gram beras
2. 1000 It air
3. 500 ml santan dari 1 butir kelapa
4. garam secukupnya
5. pandan wangi secukupnya (jika suka)
6. Lauk
7. kering Tempe
8. 1 batang tempe, iris kecil, goreng
9. 3 siung bawang merah
10. 2 siung bawang putih
11. 2 buah cabai merah
12. gula merah secukupnya
13. 1 sdt garam
14. kecap secukupnya
15. bumbu penyedap secukupnya (jika suka) minyak secukupnya untuk menggoreng
16. Dadar Telur
17. 2 butir telur ayam
18. garam secukupnya
19. minyak untuk menggoreng
20. abon sapi atau cacahan daging Ikan.
Cara membuat:
Bubur: Cuci beras dengan air, lalu masak di atas api sampai nasi menjadi sedikit pa-
dat. Tambahkan santan sambil terus diaduk sampai agak mengental. Tambahkan sedi-
kit garam dan pandan wangi. Aduk terus dan jika bubur sudah dirasa matang dan
kental bisa diangkat. Kering Tempe: Goreng potongan tempe sampai kering. Angkat
dan sisihkan. Haluskan semua bumbu dan gula merah, lalu tumis dalam wajan.
Masukkan potongan tem- pe, aduk, tambahkan kecap lalu aduk sampai rata. Angkat
dan sisihkan. Dadar Telur: Ceplok telur, tambahkan sedikit garam. Kocok sampai
tercampur rata. Goreng dalam wajan datar setipis mungkin. Angkat jika sudah
matang. Gulung telur lalu potong tipis-tipis menjadi bentuk seperti mi lalu Sisihkan.
Hidangkan bubur Suro dalam piring, lalu taburi dengan kering tempe, dadar telur,
abon atau potongan ikan.7
7
Yuyun Alamsyah, Kue Basah dan Jajan Pasar (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), Hal. 299.
2 11
2.8. Pandangan Kelompok Atas Filsafat Tradisi Bubur Suro
Tadisi Bubur Suro ditanggung bersama oleh warga masyarakatnya sesuai
dengan kemampuannya dan tanpa dipaksa. sehingga masyarakat tidak menjadi beban
berat bagi warga masyarakat. Oleh sebab itu warga masyarakat akan memberikan apa
saja yang dimilikinya tanpa ada patokan yang jelas apa dan berapa yang harus
dikumpulkan. Seandainya bahan atau uang tidak ada, warga masyarakat akan turut
berpartisipasi serta bergotong-royong guna membantu pelaksanaan upacara adat.
Kemudian, Gula merah menjadi salah satu bahan penting untuk memberikan rasa
manis.
Tradisi Bubur Suro di Dusun Cijere Desa Nagarawangi Kecamatan
Rancakalong Kabupaten Sumedang merupakan tradisi yang secara turun temurun
dilaksanakan oleh masyarakatnya sebagai peninggalan leluhurnya. kegiatan yang
melibatkan seluruh warga masyarakatnya untuk berpartisipasi secara aktif dan
menjadikan tradisi tersebut sebagai media untuk berkomunikasi dengan warga
masyarakat. baik yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia, Upaya
masyarakat melibatkan generasi muda dalam kegiatan tradisi merupakan langkah baik
untuk melestarikan tradisi Bubur Suro sebagai wujud kesadaran dari masyarakat
tentang manfaat tradisi tersebut terhadap lingkungan. Hasil identifikasi terhadap nilai-
nilai kearifan ekologis dalam tradisi Bubur Suro dapat direkomendasikan sebagai
materi bahan ajar sejarah yang berbasis kearifan lokal.
2 12
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Menurut pandangan kami dari kelompok penyaji filsafat bubur suro setiap
manusia dimanapun berada pasti memiliki kebudayaan atau tradisi yang berbeda-
beda. Kecenderungan perbedaan ini mempunyai ciri-ciri yang menjadi identitas
masing-masing individu masyarakat. Dalam kehidupan manusia, agama mempunyai
peranan yang sangat penting terhadap berjalannya sebuah kebudayaan. tradisi Bubur
Suro adalah untuk mengenang peristiwa Nabi Nuh a.s tepat pada tanggal 10
Muharam. Tradisi ini berupa pencampuran bahan-bahan berupa umbi-umbian dan
buah-buahan yang dibubur. Masyarakat percaya bahwa setelah mereka melaksanakan
tradisi ini, kehidupan mereka akan lebih baik dan merasa sudah melaksanakan sebuah
kewajiban. Yang menyebabkan tradisi bubur Suro ini bertahan karena ada perasaan
bangga telah melestarikan budaya leluhur dan rasa syukur mereka terhadap hasil
pertanian yang dihasilkan.
II. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Apabila ada saran dan kritik yang disampaikan, silahkan memberikan kritik dan saran
kepada kami. Apabila terdapat kesalahan mohon dapat di maafkan dan
memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tidak luput dari salah dan
kesilapan dalam pengerjaan makalah ini. Dan semoga kita sebagai Mahasiswa/I
mampu mendalami filsafat bubur suro dalam iman kristen, karena dalam filsafat
bubur suro juga terdapat pengajaran mengenai tradisi yang dibangun dengan tradisi
acara syukuran dan dosa yang dilaksanakan secara bersama-sama.
2 13
Hamisy, catatan tepi) Kitab Hasiyat l'anat al-Thalibin 9 Jakarta, 2003
Sholikhin K.H. Muhammad, Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa Yogyakarta:
PT. Suka Buku Kita, 2010
2 14