Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FILSAFAT TRADISI BUBUR SURO DI


SUMEDANG JAWA BARAT
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Filsafat Timur
Dosen Pengampu: Ramli Harahap, D.Th.

Disusun Oleh:

Delvi Sartika Hutahuruk


Evan Ewaldo Surbakti
Hokkop Linggom Sianturi
Ike Riahen Br. Sembiring
Kiki Emeria Girsang
Raffael Manullang
Selvi Pebiana Br. Kaban

PROGRAM STUDI TEOLOGI SEKOLAH TINGGI TEOLOGI (STT)


ABDI SABDA MEDAN
2022

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas kasih
karunia-Nya dan Rahmat-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik dan tepat waktu, serta yang menjadi pembahasan di dalam makalah
tersebut berjudul “Filsafat Tradisi Bubur Suro di Sumedang Jawa Barat”. sehingga,
tim penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita
lebih banyak lagi, khususnya untuk pendengar dan pembaca dalam memahami
Filsafat Tradisi Bubur Suro di Sumedang Jawa Barat tersebut. Dan kritik serta saran
yang bersifat konstruktif dari para pendengar dan pembaca sangat diharapkan, guna
perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Dan penulis menyampaikan permohonan
maaf jika dalam sistem penulisan terdapat kesalahan ataupun kekurangan di
dalamnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2022

2 1
DAFTAR ISI
JUDUL............................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR..................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................4
1.1. Latar Belakang......................................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah.................................................................................................................6
1.3. Tujuan Pembahasan..............................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................7
2.1. Pengertian Filsafat Bubur Suro.............................................................................................7
2.2. Sejarah Munculnya Filsafat Bubur Suro...............................................................................8
2.3. Prosesi Tradisi Filsafat Bulan Suro......................................................................................9
2.4. Makna Filsafat Bubur Suro Bagi Masyarakat Sumedang.....................................................9
BAB III PENUTUP.....................................................................................................................21
A. Kesimpulan.....................................................................................................................21
B. Saran...............................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................22

BAB I

2 2
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dari berbagai suku bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia salah satu di antaranya
adalah etnis Sunda. Etnis Sunda merupakan salah satu etnis yang berada di wilayah
administratif Jawa Barat yang biasa disebut Sunda atau Pasundan. Masyarakat Sunda secara
administratif hidup di Jawa Barat yang pada dasarnya memiliki tiga jenis topografis, Ketiga
wilayah topografis itu meliputi: daerah dataran rendah yang membentang dari Barat ke Timur
daerah pantai Jawa Barat; dataran tinggi di sepanjang bagian tengah Jawa Barat yang
meliputi Pandeglang, Banten Selatan, Sukabumi, Bogor, Bandung, Sumedang, Majalengka
dan Kuningan; daerah sepanjang pantai Selatan Jawa Barat. Daerah topografi yang berada di
sepanjang bagian tengah Jawa Barat sangat ideal mengembangkan pertanian ladang dan ciri-
ciri kesundaan lebih mungkin dicari di daerah-daerah tengah dan selatan Jawa Barat,
termasuk di dalamnya wilayah Sumedang. Masyarakat Sunda mengungkapkan berbagai nilai-
nilai yang berhubungan dengan atribut kesundaannya melalui bahasa Sunda. menyebut orang
Sunda sebagai manusia Sunda yang dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan nilai-
nilai budaya Sunda.

Masyarakat Sunda dalam kebudayaannya tidak hanya mengenal nama atau


perisitilahan alam, tetapi juga memiliki kemampuan menghayati karakter setiap unsur alam.
Unsur-unsur alam tersebut dijadikan sebagai pelajaran yang kemudian dianalogikan dalam
memandang diri dan manusia lain. Sumedang merupakan salah satu kabupaten yang
mayoritas penduduknya menggunakan bahasa Sunda. Selain itu, Sumedang memiliki potensi
budaya yang cukup besar sebagai sumber daya pembangunan daerah seperti beranekaragam
kesenian, upacara-upacara adat, ilmu pengetahuan serta cerita rakyat.

Mayoritas penduduk Sumedang merupakan masyarakat agraris yang secara langsung


menggantungkan kehidupannya pada hasil-hasil pertanian. Masyarakat di Rancakalong masih
melaksanakan upacara atau tradisi Bubur Suro. Tradisi ini merupakan salah satu upaya dari
masyarakat agraris dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Tradisi Bubur Suro adalah salah satu tradisi yang secara turun temurun dan konsisten
dilangsungkan oleh masyarakat di dusun Cijere Desa Nagarawangi Kecamatan Rancakalong
Kabupaten Sumedang. Tradisi adalah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk

2 3
yang sama. Tradisi ini secara konsisten dilaksanakan secara rutin tiap tahun, dilakukan pada
tanggal 10 Muharam. Tanggal 10 Muharam diyakini oleh sebagian pemeluk agama Islam
dianggap sebagai tanggal yang memiliki banyak peristiwa penting. Tradisi ini juga bertujuan
menekan ketegangan di tengah masyarakat (pengendalian sosial), sehingga masyarakat bisa
hidup berdampingan secara harmonis.

Fungsi lain yang dirasakan oleh masyarakat bahwa tradisi tersebut merupakan upaya
dari masyarakat untuk menjaga identitas kelompoknya dalam menghadapi pengaruh buruk
yang berasal dari kebudayaan luar. Lahirnya tradisi Bubur Suro erat kaitannya dengan upaya
leluhur dalam menghadapi kelangkaan pangan serta upaya mencari bibit padi pada masa
kerajaan Mataram. Nilai-nilai kearifan dalam tradisi Bubur Suro penting diwariskan kepada
generasi muda disaat berbagai krisis muncul pada diri manusia dan lingkungan sekitarnya.
Manusia menempatkan alam sebagai sebuah ekosistem yang saling ketergantungan. Dalam
kondisi seperti ini Supriatna berpendapat bahwa keseimbangan antara manusia dengan alam
sebagai tempat untuk bercocok tanam harus senantiasa dijaga dan dipelihara dengan berbagai
perlakuan dan tindakan yang positif, di antaranya melalui tradisi atau upacara yang dilakukan
secara kolektif. Tradisi lisan yang diakui secara kolektif oleh seluruh warga masyarakat di
Dusun Cijere menjadi identitas dan jati diri bagi kelompoknya yang menganggap memiliki
sejarah yang sama.

Masyarakat tidak memiliki banyak bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan warga
masyarakatnya. Kemudian tokoh masyarakat pada saat itu berinisiatif untuk mengumpulkan
berbagai jenis bahan makanan yang dimiliki warga masyarakat untuk disatukan dan diolah
menjadi bubur, sehingga jumlahnya banyak dan mencukupi kebutuhan masyarakat. Adapun
penggunaan istilah, dan mulai kapan pelaksanaan dari tradisi Bubur Suro, masyarakat tidak
mampu menjelaskannya secara rinci.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari filsafat bubur suro?

2 4
2. Bagaimana Sejarah Munculnya filsafat Tradisi Bubur Suro?
3. Bagaimana Makna Simbolis yang terdapat pada filsafat Tradisi Bubur Suro bagi
Masyarakat sumendang ?

1.3. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui apa itu filsafat bubur suro.


2. Untuk mengetahui tentang sejarah munculnya filsafat tradisi Bubur Suro.
3. Untuk mengetahui makna simbolis yang terdapat dalam filsafat tradisi Bubur Suro
bagi masyarakat sumendang .

BAB II

2 5
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Bubur Suro

Bubur Suro adalah hidangan untuk memperingati 1 Muharam dalam kalender


Hijriah atau hari pertama di bulan Sura kalender Jawa. Hidangan ini terbuat dari
bubur gurih dengan kuah kuning dan sambal goreng pedas. Bubur Suro, yang
merupakan perlambangan rasa syukur atas rezeki dan kesehatan dari Tuhan, harus
dihidangkan bersama tujuh jenis kacang. Tujuh jenis kacang tersebut melambangkan
tujuh hari dalam seminggu pemanjatan rasa syukur.Selain makanan wajib dalam
upacara yang memperingati hari-hari penting, ada pula upacara syukuran untuk
memohon pengampunan dosa, menolak bala, dan untuk mencari jalan berkomunikasi
dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menyertai masyarakat Jawa Tengah dari sebelum
lahir hingga kematian.1 Bulan Suro/ Muharram Setiap tanggal 10 Suro diadakan
tradisi jenang Manggul yang dibuat dari bubur dilengkapi lauk sambal goreng, krecek,
kedelai hitam, kacang tanah, telor, dan kerupuk. Kenduri Jenang Manggul
dilaksanakan sebagai wujud syukur dan pengharapan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa. Maknanya adalah ikhtiar dari generasi penerus untuk menyangga,
menyelamatkan, dan melanjutkan kehidupan dari yang diwariskan generasi tua.
Selanjutnya, harapan agar dijauhkan dari bencana. Dari sumber lain, tradisi pada
bulan Suro disebut dengan Bubur Suran. Akan tetapi makna dari Jenang Manggul
maupun Bubur Suran adalah sama yaitu untuk memperingati jasa Syeh Hasan Husein.
Konon pada jaman dulu saat Syeh Hasan Husein (Nabi Nuh) dan para pengikutnya
terperangkap dalam banjir bandang dan mulai kehabisan persediaan makanan maka
mereka hanya membuat bubur dari semua bahan makanan yang tersisa (bentuk
buburnya seperti Bubur Suran) dan bubur tersebut dapat membuat mereka bertahan
hidup. Bubur Suran dicampur dengan botol (biji kecipir), jagung, kacang gude,
(sejenis kacang-kacangan/kara).

1
Toto Sudargo Dkk, Budaya Makan Dalam Perspektif Kesehatan (Gadjah Mada University Press,
2022), Hal 70-72.

2 6
2.2. Sejarah Bubur Suro

Kata "Suro" merupakan sebutan bagi bulan Muharram dalam masyarakat


Jawa. Kata tersebut sebenarnya berasal dari kata "asyura"" dalam bahasa Arab yang
berarti "sepuluh", yakni tanggal 10 bulan Muharram. Sebagaimana terlihat dalam
pemaparan tentang bulan Muharram di atas, tampak bahwa tanggal 10 bulan
Muharram bagi masyarakat Islam memiliki arti yang sangat penting. Memang dasar-
dasarnya tidak begitu kuat, namun itu telah menjadi tradisi bagi masyarakat
muslim.Yang lebih populer adalah asyura, dan dalam lidah Jawa menjadi “Suro".
Jadilah kata "Suro" sebagai khazanah Islam-Jawa asli sebagai nama bulan pertama
kalender Islam maupun Jawa.

Kata "Suro" juga menunjukkan arti penting 10 hari pertama bulan itu dalam
sistem kepercayaan Islam-Jawa, di mana dari 29 atau 30 hari bulan Muharram, yang
dianggap paling "keramat" adalah 10 hari pertama, atau lebih tepatnya sejak tanggal 1
sampai 8, saat mana dilaksanakan acara kenduri bubur Suro. Namun mengenai
kekeramatan bulan Suro bagi masyarakat Islam-Jawa, lebih disebabkan oleh faktor
atau pengaruh budaya kraton, bukan karena "kesangaran" bulan itu sendiri.2

Kemudian, bubur suro sangat dikenal dikalangan masyarakat muslim di Jawa.


Cerita mengenai bubur suro ini, terdapat dua riwayat, sesuai dengan dua macam
bentuk bubur yang di hidangkan sebagai sedekah. Cerita pertama terkait dengan
syahidnya Sayyidina Husein di padang Karbala. Keluarga ahl al-bayt Nabi dibantai
oleh keluarga Khalifah Yazid bin Mu'awiyyah bin Abi Sufyan, atas perintah Yazid
bin Mu'awi- yah. Untuk mengenang kesyahidan itu, maka dibuatlah sedekah da- lam
bentuk bubur merah dan putih sebagai simbol keberanian Husein membela kebenaran.
Ada juga yang menafsirkan bubur merah dan putih sebagai simbol dari Hasan-Husein
sebagai cucu kesayangan Rasulullah sehingga dalam kenduri yang berhubungan
dengan kela- hiran anak, umumnya kedua macam bubur ini disajikan. Sayyidina
Husein syahid pada tanggal 10 Muharram, termasuk sebagian besar keluarga Nabi,
menjadi korban kebuasan dan kelicikan Yazid yang mewarisi kursi khalifah dari
ayahnya, Mu'awi- yah yang merebutnya dari Ali. Guna mempertahankan kekuasaan
itu, maka strategi politik yang dilancarkan dinasti Bani Umayyah adalah memfitnah
keluarga Nabi, terutama jalur Ali sebagai ancaman laten yang selalu siap

2
Ibid, Hal 83.

2 7
memberontak, sehingga perlu dimusnahkan. Maka pada hari itulah kemudian dinasti
Umayyah menetapkannya sebagai hari kemenangan, yang kemudian dinisbahkan
dengan kemenangan bangsa Israel.

Cerita kedua adalah berhubungan dengan kisah selamatnya Nabi Nuh dan para
pengikutnya, dan keluar dari kapal, setelah terom- bang-ambing dalam badai taufan
dan banjir besar selama 41 hari. Sehingga selama berada dalam kapal, persediaannya
kian menipis, dan mendekati hari-hari terakhir, persediaan makanan hampir habis.3

2.3. Tradisi Bulan Suro

Tradisi menyambut bulan Muharram atau "bulan Suro" merupakan hal yang
sudah menjadi salah satu budaya penting bagi masyarakat muslim Jawa, baik yang
masih berdomisili di Jawa maupun yang sudah hijrah (transmigrasi dan bermukim) di
lain pulau. Hal tersebut disebabkan dua faktor. Pertama, bagi umat Islam tradisional,
bulan Muharram termasuk salah satu bulan suci, di mana oleh Rasulullah, umat Islam
diperintahkan untuk berintrospeksi diri (muhasabah), baik bagi perjalanan amal tahun-
tahun yang sudah lewat maupun dalam kerangka mempersiapkan diri untuk tahun-
tahun mendatang. Ritual mujahadah, doa, bersedekah (di Jawa termasuk selamatan,
kenduri, dan sejenisnya), bertapa dan berpuasa pada bulan tersebut jelas memiliki
akar tegas dalam tradisi keberagamaan Islam yang bercorak Jawa.

Kedua, bagi muslim Jawa, bulan "Suro" merupakan salah satu "bulan
keramat", di samping karena pengaruh Islam, juga karena secara tradisi, bagi
masyarakat Jawa, bulan Suro merupakan bulan penentu perjalanan hidup. Sehingga
bagi masyarakat muslim Jawa pada bulan tersebut disarankan untuk meninggalkan
berbagai perayaan duniawi dan fokus kepada Allah. Jadi, bukan karena "keangkeran"
bulan tersebut. Setiap agama dan kepercayaan pasti memiliki bulan khusus untuk
berintrospeksi, contohnya Islam pada bulan Ramadhan. Agama-agama seperti
Kristen, Hindu, Buddha, bahkan berbagai sekte keagamaan dan kepercayaan juga
memiliki bulan tertentu, yang dikhusus kan melakukan ritual kepada Tuhannya. Nah,
pada konteks Islam-Jawa ini, selain bulan Ramadhan, berdasar kearifan lokal Jawa,
juga memiliki bulan khusus untuk introspeksi dan bertobat kepada Tuhan, yakni bulan

3
Hamisy, catatan tepi) Kitab Hasiyat l'anat al-Thalibin 9 (Jakarta, 2003), Hal. 267.

2 8
Muharram (Asuro atau Suro). 4

2.4. Makna Tradisi Filsafat Bubur Suro Bagi Masyarakat Sumedang

Sebagian besar masyarakat Jawa terbiasa membuat bubur yang hanya khusus

di buat pada bulan Suro, bubur ini melambangkan rasa syukur atas nikmat yang telah

diberikan selama ini kepada manusia. Pelaksanaan Bubur Suro banyak beragam,
setiap daerah mempunyai tata cara dan pelaksanaan yang berbeda-beda, contohnya
yang terjadi pada masyarakat Kampung Cibulakan, Desa Pasirbiru, Kec.
Rancakalong, Kab. Sumedang. Bubur Suro ini telah dilaksanakan secara turun
temurun sebagai warisan budaya setempat. Bubur Suro dimaksudkan untuk mengingat
perjuangan Nabi Nuh saat mengarungi lautan bersama pasukannya berbekal buah-
buahan dan umbi-umbian. Dalam keterbatasan makanan disatukan untuk dijadikan
bubur hingga akhirnya semua pasukan dapat menikmati makanan secara merata. 5

2.5. Fungsi dan Tujuan Tradisi Bubur Suro


Masyarakat menganggap tradisi Bubur Suro juga memiliki fungsi sebagai
sarana dalam mengantisipasi berbagai persoalan yang tidak dikehendakinya, baik
yang datang dari alam seperti bencana alam maupun persoalan hubungan manusia
dengan manusia serta persoalan sosial budaya akibat masuknya pengaruh buruk dari
budaya asing. Seperti yang disampaikan Ekadjati upacara yang dilakukan pada
masyarakat etnis Sunda pada dasarnya untuk menghilangkan pengaruh buruk yang
datang dari roh-roh halus yang menempati tempat-tempat tinggal manusia. Sebagai
masyarakat agraris yang penduduknya beragama Islam, tujuan utama dari tradisi
Bubur Suro adalah sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta, Allah SWT
yang telah memberkati masyarakat serta melimpahkan berbagai keberhasilan
4
K.H. Muhammad Sholikhin, Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa (Yogyakarta: PT. Suka Buku
Kita, 2010), Hal 7-8.

5
Khazanah Pikiran Rakyat (Sabtu 4 Februari 2006) hal. 32

2 9
khususnya dalam bidang pertanian. Wujud syukur itu juga merupakan ungkapan
masyarakat sebagai bentuk ibadah antara manusia dengan Allah (Habluminallah),
sekaligus sebagai bentuk ibadah antara manusia dengan manusia, serta manusia
dengan lingkungan alam (Habluminnanas).

2.6. Nilai-Nilai Kearifan Lokal Tradisi Filsafat Bubur Suro


Bagi masyarakat yang mayoritas penduduknya menggantungkan kehidupan
pada alam, biasanya alam dijadikan bagianpenting dalam perjalanan hidup mereka.
Pengalaman menghadapi berbagai fenomena alam mengantarkan manusia memiliki
banyak pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan oleh alam, bahkan didorong
untuk senantiasa memanfaatkan berbagai potensi yang disediakan oleh alam dengan
bebagai keanekaragaman hayati. Berbagai kebutuhan yang berhubungan dengan
tradisi Bubur Suro seluruhnya didapatkan dari alam sekitar lingkungan tempat tinggal
masyarakat. Bahan utama yang dibutuhkan untuk mengolah bubur jumlahnya harus
seribu macam (sarebu rupa). Konsep sarebu rupa diterjemahkan tidak persis seribu
jenis, akan tetapi dimaknai sebagai jumlah yang banyak. Sarebu rupa merupakan
upaya dari kelompok masyarakat pemelihara tradisi Bubur Suro untuk
melangsungkan kesinambungan (sustainability), termasuk di dalamnya adalah
konservasi atau proteksi terhadap berbagai jenis keanekaragaman hayati (diversitas
hayati). Berbagai jenis bahan yang harus ada seperti beras dan beras ketan yang
berasal dari jenis padi lokal akan menyelamatkan jenis padi lokal dari ancaman
derasnya beras impor. Hal tersebut tercermin dari simbol kersa nyai.6

2.7. Cara Membuat Bubur Suro


Bubur yang khusus dibuat dalam bulan Suro (bulan Muharram Hijriyah). Di
beberapa daerah tanggal 1 Suro dilakukan upacara untuk memperingati tahun baru
islam tersebut. Dalam keluarga, hajatan kecil untuk memperingatinya dibuatkan bubur
Suro. Bubur Suro beragam di tiap daerah, kesamaanya adalah peringatan bulan
Muharamnya dan aneka lauk serta sayur yang ditambahkan dalam bubur tersebut.
Bisa jadi sangat bervariasi di tiap daerah.

Bahan-Bahan:
6
Iskandar.johan, etnobiologi dan keragaman budaya di indonesia, (dalam umbara indonesia jurnal of
anthropolohy 2016) 27-42

2 10
1. Bubur 500 gram beras
2. 1000 It air
3. 500 ml santan dari 1 butir kelapa
4. garam secukupnya
5. pandan wangi secukupnya (jika suka)
6. Lauk
7. kering Tempe
8. 1 batang tempe, iris kecil, goreng
9. 3 siung bawang merah
10. 2 siung bawang putih
11. 2 buah cabai merah
12. gula merah secukupnya
13. 1 sdt garam
14. kecap secukupnya
15. bumbu penyedap secukupnya (jika suka) minyak secukupnya untuk menggoreng
16. Dadar Telur
17. 2 butir telur ayam
18. garam secukupnya
19. minyak untuk menggoreng
20. abon sapi atau cacahan daging Ikan.
Cara membuat:
Bubur: Cuci beras dengan air, lalu masak di atas api sampai nasi menjadi sedikit pa-
dat. Tambahkan santan sambil terus diaduk sampai agak mengental. Tambahkan sedi-
kit garam dan pandan wangi. Aduk terus dan jika bubur sudah dirasa matang dan
kental bisa diangkat. Kering Tempe: Goreng potongan tempe sampai kering. Angkat
dan sisihkan. Haluskan semua bumbu dan gula merah, lalu tumis dalam wajan.
Masukkan potongan tem- pe, aduk, tambahkan kecap lalu aduk sampai rata. Angkat
dan sisihkan. Dadar Telur: Ceplok telur, tambahkan sedikit garam. Kocok sampai
tercampur rata. Goreng dalam wajan datar setipis mungkin. Angkat jika sudah
matang. Gulung telur lalu potong tipis-tipis menjadi bentuk seperti mi lalu Sisihkan.
Hidangkan bubur Suro dalam piring, lalu taburi dengan kering tempe, dadar telur,
abon atau potongan ikan.7

7
Yuyun Alamsyah, Kue Basah dan Jajan Pasar (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), Hal. 299.

2 11
2.8. Pandangan Kelompok Atas Filsafat Tradisi Bubur Suro
Tadisi Bubur Suro ditanggung bersama oleh warga masyarakatnya sesuai
dengan kemampuannya dan tanpa dipaksa. sehingga masyarakat tidak menjadi beban
berat bagi warga masyarakat. Oleh sebab itu warga masyarakat akan memberikan apa
saja yang dimilikinya tanpa ada patokan yang jelas apa dan berapa yang harus
dikumpulkan. Seandainya bahan atau uang tidak ada, warga masyarakat akan turut
berpartisipasi serta bergotong-royong guna membantu pelaksanaan upacara adat.
Kemudian, Gula merah menjadi salah satu bahan penting untuk memberikan rasa
manis.
Tradisi Bubur Suro di Dusun Cijere Desa Nagarawangi Kecamatan
Rancakalong Kabupaten Sumedang merupakan tradisi yang secara turun temurun
dilaksanakan oleh masyarakatnya sebagai peninggalan leluhurnya. kegiatan yang
melibatkan seluruh warga masyarakatnya untuk berpartisipasi secara aktif dan
menjadikan tradisi tersebut sebagai media untuk berkomunikasi dengan warga
masyarakat. baik yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia, Upaya
masyarakat melibatkan generasi muda dalam kegiatan tradisi merupakan langkah baik
untuk melestarikan tradisi Bubur Suro sebagai wujud kesadaran dari masyarakat
tentang manfaat tradisi tersebut terhadap lingkungan. Hasil identifikasi terhadap nilai-
nilai kearifan ekologis dalam tradisi Bubur Suro dapat direkomendasikan sebagai
materi bahan ajar sejarah yang berbasis kearifan lokal.

2 12
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Menurut pandangan kami dari kelompok penyaji filsafat bubur suro setiap
manusia dimanapun berada pasti memiliki kebudayaan atau tradisi yang berbeda-
beda. Kecenderungan perbedaan ini mempunyai ciri-ciri yang menjadi identitas
masing-masing individu masyarakat. Dalam kehidupan manusia, agama mempunyai
peranan yang sangat penting terhadap berjalannya sebuah kebudayaan. tradisi Bubur
Suro adalah untuk mengenang peristiwa Nabi Nuh a.s tepat pada tanggal 10
Muharam. Tradisi ini berupa pencampuran bahan-bahan berupa umbi-umbian dan
buah-buahan yang dibubur. Masyarakat percaya bahwa setelah mereka melaksanakan
tradisi ini, kehidupan mereka akan lebih baik dan merasa sudah melaksanakan sebuah
kewajiban. Yang menyebabkan tradisi bubur Suro ini bertahan karena ada perasaan
bangga telah melestarikan budaya leluhur dan rasa syukur mereka terhadap hasil
pertanian yang dihasilkan.

II. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Apabila ada saran dan kritik yang disampaikan, silahkan memberikan kritik dan saran
kepada kami. Apabila terdapat kesalahan mohon dapat di maafkan dan
memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tidak luput dari salah dan
kesilapan dalam pengerjaan makalah ini. Dan semoga kita sebagai Mahasiswa/I
mampu mendalami filsafat bubur suro dalam iman kristen, karena dalam filsafat
bubur suro juga terdapat pengajaran mengenai tradisi yang dibangun dengan tradisi
acara syukuran dan dosa yang dilaksanakan secara bersama-sama.

III. Daftar Pustaka


Sudargo Dkk Toto, Budaya Makan Dalam Perspektif Kesehatan Gadjah Mada
University Press, 2022

2 13
Hamisy, catatan tepi) Kitab Hasiyat l'anat al-Thalibin 9 Jakarta, 2003
Sholikhin K.H. Muhammad, Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa Yogyakarta:
PT. Suka Buku Kita, 2010

Khazanah Pikiran Rakyat Sabtu 4 Februari 2006

Johan skandar etnobiologi dan keragaman budaya di indonesia, dalam umbara


indonesia jurnal of anthropolohy 2016
Alamsyah Yuyun , Kue Basah dan Jajan Pasar, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2006.

2 14

Anda mungkin juga menyukai