Anda di halaman 1dari 14

RINGKASAN DISERTASI

DDC: 306.4
KELANJUTAN TRADISI LISAN MADDOJA BINE DALAM
KONTEKS PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT BUGIS

THE CONTINUATION OF MADDOJA BINE TRADITION IN THE


CONTEXT OF BUGIS SOCIETY SOCIAL CHANGE

A. Sulkarnaen
Lembaga Sensor Film
Email: andisulkarnaen99@gmail.com

Disertasi dalam Bidang Kajian Tradisi Lisan, Program Studi Ilmu Susantra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia.Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka Senat Akademik pada Hari Selasa tanggal 4
bulan Juli tahun 2017 di Kampus Universitas Indonesia, Depok

ABSTRAK
Tulisan ini membahas kelanjutan tradisi maddoja bine dalam konteks perubahan sosial masyarakat
Bugis. Secara harfiah maddoja berarti ‘begadang atau berjaga, tidak tidur’; bine berarti ‘benih.’ Petani yang
melaksanakan maddoja bine akan berjaga di malam hari menunggui benih padi yang diperam, sebelum
ditabur di persemaian keesokan harinya. Untuk mengisi waktu berjaga-jaga tersebut, diadakan massureq,
yaitu pembacaan Sureq La Galigo dengan berlagu (resitasi). Maddoja bine merupakan salah satu tradisi
La Galigo yang dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan kepada Sangiang Serri (dewi padi). Dalam
epos/mitos La Galigo diceritakan bahwa Sangiang Serri merupakan puteri Batara Guru. Pada mulanya
pelaksanaan maddoja bine merupakan bagian dari ritual komunal dalam satu wanua (kampung). Pada
saat itu pranata adat masih ada dan berfungsi. Perubahan sosial masyarakat Bugis berpengaruh terhadap
pelaksanaan tradisi maddoja bine. Dari penelitian ini, didapatkan empat cara pelaksanaan maddoja bine di
kalangan petani Bugis, yaitu 1) dilaksanakan secara perorangan disertai dengan massureq, 2) dilaksanakan
secara perorangan dengan memasukkan unsur agama Islam (barzanji) dan tanpa disertai dengan pembacaan
Sureq La Galigo, 3) dilaksanakan secara perorangan tanpa disertai dengan pembacaan Sureq La Galigo,
4) dilaksanakan secara kolektif atau komunal dengan disertai pembacaan Sureq La Galigo. Munculnya
empat cara pelaksanaan maddoja bine ini tidak terlepas dari konteks sosial budaya masyarakat tempat
dilaksanakannya tradisi tersebut. Keberlanjutan tradisi dipengaruhi oleh elemen-elemen eksternal dan
internal (sistem pewarisan). Kebertahanan tradisi merupakan cerminan kebermaknaan dari praktik budaya
bagi komunitas pendukungnya.
Kata kunci: Bugis, kelanjutan tradisi, maddoja bine, perubahan sosial
ABSTRACT
This research examines the continuation of maddoja bine tradition in the context of Bugis society
social change. Literally maddoja means staying up or waking, not sleeping; Bine means seed. Farmers
who carry out maddoja bine will be waking at night watching the seeds of the rice, before sowing in the
field on the next day. To fill the waking time massureq is held. It is the recital of Sureq La Galigo in song.
Maddoja bine is one of La Galigo’s traditions which is performed as a tribute to Sangiang Serri (goddess
of rice). It is told in the epic / myth of La Galigo that Sangiang Serri is the daughter of Batara Guru.In the
beginning, the implementation of maddoja bine was part of communal ritual in one wanua (kampung),
when the customary institutions still remained and functioned. The social changes of Bugis society affect
the implementation of maddoja bine tradition. This research finds four ways of the implementation of
maddoja bine among Bugis farmers: 1) conducted individually accompanied by massureq, 2) carried
out individually by incorporating elements of Islamic religion (barzanji) and without accompanying the
reading of Sureq La Galigo, 3) carried out individually without accompanying the reading of Sureq La
Galigo, 4) executed collectively or in communal accompanied by the recital of Sureq La Galigo.The
emergence of four ways of implementing maddoja bine is inseparable from the socio-cultural context of the
community in which the tradition is carried out. The sustainability of the tradition is influenced by external

261
and internal elements (inheritance systems). berbagai aktivitas yang memungkinkan para petani
The survival of the tradition is a reflection of mendapat rasa aman dari berbagai intervensi
the meaningfulness of cultural practice for its makhluk-makhluk gaib yang mungkin kurang
supporting community. bersahabat. Selain itupara petani mengadakan
Keywords: Bugis, tradition sustainability, ritual sebagai bentuk penghormatan kepada dewi
maddoja bine, social change. padi (Sangiang Serri). Karena itu, bila seorang
akan mulai turun sawah, mereka mengadakan
persembahan kepada Dewata dalam bentuk ritual,
PENDAHULUAN sehingga petani pun akan mendapat imbalan hasil
Maddoja bine merupakan salah satu tradisi panen yang baik.
pertanian yang biasa dilaksanakan petani Bugis Tradisi maddoja bine merupakan salah satu
sebagai bentuk penghormatan kepada Sangiang tradisi La Galigo yang dilaksanakan petani Bugis.
Serri (dewi padi menurut orang Bugis). Dalam Eksistensi tradisi La Galigo sangat erat kaitannya
bahasa Bugis maddoja berarti ‘begadang atau dengan keberadaan kerajaan-kerajaan Bugis
berjaga, tidak tidur’; bine berarti ‘benih.’ Ritual yang memiliki pranata adat. Ketika itu, galung
maddoja bine adalah berjaga di malam hari arajangE(sawah adat yang dikuasai oleh kerajaan)
menunggui benih padi yang diperam, sebelum masih ada dan menjadi pusat pelaksanaan ritual
ditabur di persemaian keesokan harinya.Untuk pertanian. Setiap musim tanam baru atau saat akan
mengisi waktu berjaga-jaga tersebut diadakan menuai padi biasanya selalu diawali di galung
massureq, yaitu pembacaan Sureq La Galigo arajangE. Ketika sistem kerajaan menghilang dan
(sebuah karya sastra, dengan satuan kaki matra berganti dengan sistem pemerintahan Republik
berupa lima atau empat suku kata membentuk Indonesia, kelangsungan ritual agrarismulai
larik, yang menceritakan kisah asal usul atau memudar. Terhapusnya sistem kerajaan juga
proses awal keberadaan manusia Bugis di diikuti dengan menghilangnya pranata adat dan
dunia). Pembacaan dilakukan dengan cara aset-aset kerajaanikut meredupkan tradisi. Ritual
berlagu (resitasi). Massureq menjadi medium yang dulunya dilaksanakan secara komunal
untuk menghibur dan mengiringi keberangkatan kemudian menjadi ritual individu.
Sangiang Serri ke tempat persemaiannya. Selain Kebijakan pemerintah juga berpengaruh
sebagai hiburan, massureq dalam ritual maddoja terhadap keberadaan tradisi, seperti di awal
bine, juga menjadi media transmisi pengetahuan pemerintahan orde baru yang memperkenalkan
dan petuah-petuah dari orang tua. program revolusi hijau atau intensifikasi pertanian.
Pelaksanaan maddoja bine merupakan upaya Intensifikasi pertanian dengan tujuan peningkatan
membujuk Sangiang Serri bahwa esok hari produksi pangan (padi) memperkenalkan teknologi
ia akan dilepas kepergiannya tapi diharapkan baru, pupuk serta benih padi hasil rekayasa.
segera kembali dengan baik saat panen tiba. Keberadaan benih padi hasil rekayasa dengan
Petani melepas kepergian Sangiang Serri seraya umur tanam yang singkat menggusur padi lokal
mendoakan agar Sangiang Serri sehat selamat yang relatif berumur tanam lama. Akibatnya siklus
dan kembali dengan jumlah yang banyak dalam tanam juga berubah. Perubahan siklus tanam ini
waktu tidak terlalu lama. Pada saat itulah bulir- secara langsung mempengaruhi jadwal dan masa
bulir benih padi mendapat iringan sesaji dan pelaksanaan maddoja bine. Dengan menggunakan
pembacaan mantra. Dengan massureq, Sangiang benih padi varietas lokal, maddoja bine biasa
Serri diingatkan maksud diturunkannya ke dunia dilaksanakan dalam masa 5-7 hari. Karena ketika
untuk mengemban tugas menjadi sumber energi diperam, varietas lokal ini membutuhkan waktu
kehidupan manusia. Sebaliknya Sangiang Serri yang lama untuk berkecambah. Berbeda halnya
pun meminta diperlakukan dengan baik dan dengan benih padi hasil rekayasa yang hanya
mengingatkan masyarakat agar selalu menjaga membutuhkan waktu 1-2 hari untuk berkecambah.
keharmonisan sosial di antara mereka. Oleh Jadi ketika petani melaksanakan maddoja bine
karena itu Sangiang Serri hanya akan datang dengan menggunakan varietas baru, maka waktu
tinggal menetap pada masyarakat (petani) yang pelaksanaannya menjadi singkat. Proses massureq
memuliakannya dan berperilaku baik. pun menjadi berkurang waktunya sehingga tidak
Dalam aspek pertanian padi sawah, ritual semua episode cerita La Galigodapat dibacakan.
dapat ditafsirkan sebagai upaya mensahkan

262 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


Selain kebijakan pemerintah seperti yang Determinasi eksternal dan limitasi internal
telah disampaikan di atas, faktor agama juga (sistem pewarisan) ikut mempengaruhi kelanjutan
mempengaruhi keberadaan tradisi maddoja bine. tradisi dalam masyarakatnya. Kelanjutan sebuah
Paradigma agama Islam oleh sebagian kalangan, tradisi merupakan wujud dari pemaknaan tradisi
sering menganggap maddoja bine sebagai tersebutoleh masyarakat pendukungnya. Hal
perbuatan sesat dan bertentangan dengan ajaran ini berkaitan erat dengan fungsi tradisi bagi
Islam yang dianut sebagian besar masyarakat masyarakatnya, apakah masih fungsional atau
Bugis.Interpretasi agama demikian merupakan tidak. Jika suatu tradisi tetap bertahan berarti
elemen eksternal yang memiliki andil dalam tradisi itu masih berfungsi, meskipun strukturnya
mendorong memudarnya keberadaan tradisi. berubah. Pemaknaan tradisi kini dan di sini (dalam
Akibatnya beberapa petani kemudian tidak lagi konteks sekarang dan konteks ruang, tempat atau
menjalankan tradisi maddoja bine. Sebagian daerah) memberikan gambaran dinamika sebuah
kalangan petani lainnya tetap melaksanakan tradisi dalam berinteraksi dengan faktor lain di
maddoja bine dengan memasukkan unsur Islam sekitarnya. Berdasar hal tersebut, pertanyaan
seperti mengganti pembacaan Sureq La Galigo utama yang diajukan dalam penelitian ini ialah:
dengan Al Quran dan barsanji. Bagaimana kelanjutan tradisi lisan maddoja
Meskipun demikian tradisi maddoja bine bine dalam konteks perubahan sosial masyarakat
sebagai benang merah kesinambungan tradisi La Bugis?
Galigo, masih dipraktekkan oleh sebagian petani Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
Bugis.Ritual maddoja bine merupakan bagian kualitatif yang menggunakan pendekatan
dari kepercayaan (religi) petani Bugis terhadap etnografi (interviewing and observation) dalam
apa yang disebut sebagai Dewata SeuwaE(Tuhan pengumpulan data. Sebagai penelitian kualitatif,
Yang Esa). Dengan maddoja bine manusia Bugis penelitian ini menekankan pada pemahaman
tetap menghidupkan religi lokal mereka. Hal ini secara mendalam terhadap suatu gejala atau dalam
juga menunjukkan bahwa kepercayaan (religi) terminologi Weber disebut verstehen, dengan
orang Bugis yang terwujud dalam berbagai tradisi mengikuti cara pandang emik. Cara pandang
hingga kini masih menjiwai dan mempengaruhi demikian adalah cara pandang yang berusaha
hasrat sosial budaya masyarakat Bugis. Bagi untuk memahami, mengerti pikiran dan tindakan,
pendukungnya, tradisi yang mereka lakukan hanya perilaku dari pelaku dari sudut pandang si pelaku.
mengikuti apa yang telah dijalankan oleh orang Tradisi maddoja bine masih dipraktikkan
tua mereka sebelumnya. Pelaksanaan maddoja sebagian kecil petani Bugis di beberapa daerah
bine sebagai bagian dari noetic, yakni menjadi di Sulawesi Selatan. Peneliti melakukan
alat pengingat, cara menyimpan, mengawetkan, pengumpulan data di daerah BuloE, Kabupaten
dan menyampaikan segala pengetahuan (kearifan Wajo; Mangempang, Kabupaten Barru; Lejja,
lokal) manusia Bugis. Kabupaten Soppeng; Amparita, Kabupaten
Kelanjutan sebuah tradisi tidak terlepas Sidrap; dan di Komunitas Adat Karampuang
dari pengaruh perubahan sosial masyarakat (KAK), Kabupaten Sinjai. Di tempat itulah
pendukungnya, karena tradisi sepertimaddoja peneliti melakukan perekaman, observasi, dan
bine tidak berada dalam ruang hampa.Sebuah wawancara mendalam dengan beberapa informan,
tradisi berinteraksi, berhadapan, dan dipengaruhi termasuk para passureq.
oleh beberapa faktor disekitarnya seperti agama
dan politik. Tradisi bukan semata-mata sesuatu
TRADISI LISAN DALAM KERANGKA
KONSEPTUAL
yang diwariskan secara turun temurun, melainkan
sesuatu yang dibentuk, dikonstruksikan, Ada sejumlah konsep yang diharapkan dapat
dinegosiasikan yang sarat dengan berbagai membantu memahami dan menganalisis sejumlah
kepentingan. Ia tidak serta merta given, diterima fenomena yang dijumpai di lapangan. Tidak ada
begitu saja oleh generasi berikutnya. Tetapi akan teori tunggal yang lengkap yang dapat memahami
selalu dinegosiasikan oleh generasi pewarisnya atau menjelaskan semua gejala secara memadai.
sesuai dengan konteks zamannya dan di tempat Berikut disampaikan beberapa konsep yang
mana tradisi itu bertumbuh (pemaknaan tradisi digunakan dalam penelitian ini.
kini dan di sini).

Kelanjutan Tradisi Lisan Maddoja Bine........(A. Sulkarnaen) │ 263


Tradisi Lisan tradisi lisan terkandung fakta sejarah, sistem
geneaologi, sistem kosmologi dan kosmogoni,
Finnegan dalam bukunya Oral Poetry (1977)
filsafat etika, moral, sistem pengetahuan, dan
menjelaskan bahwa tradisi lisan pada praktiknya
kaidah-kaidah kebahasaan dan kesusastraan.
diartikan sebagai sebagian dari khasanah
budaya yang berbentuk lisan telah ada secara Abdullah (2012) mengatakan bahwa dengan
turun temurun, alami, dan milik masyarakat. pemahaman yang mendalam tentang tradisi lisan,
Finnegan menggunakan istilahturun temurun maka bukan saja berbagai makna dari tradisi
yang menandakan adanya pewarisan dari satu yang masih hidup lebih mungkin dipahami atau
generasi ke generasi berikutnya dan masih asal usul adat istiadat diketahui, bahkan lebih
dipraktekkan oleh masyarakat pemiliknya dari itu pandangan hidup dan sikap kultural
hingga saat ini. Menurut Finnegan sesuatu yang komunitas pemiliknya pun semakin dimengerti
disebut tradisi lisan jika memiliki beberapa ciri, pula. Dengan pemahaman ini, latar belakang
yaitu 1). Verbal atau 2). Tidak tertulis, 3). Milik sistem perilakunya pun lebih mungkin pula
masyarakat, biasanya berkonotasi masyarakat untuk dipahami. Ketika dihadapkan pada pesan
tidak berpendidikan, tidak elit, dan/ atau 4). terselubung dari naskah-naskah tertulis, maka
Mendasar dan bernilai yang ditransmisikan atau pengetahuan yang didapatkan dari berbagai corak
diwariskan lintas generasi. tradisi lisan ini pun bukan saja memperkaya
pemahaman akan perilaku kesejarahan yang
Sementara Pudentia (2007), mengatakan
dialami masyarakat pemiliknya tetapi juga asumsi
bahwa tradisi lisan sebagai segala wacana yang
dasar dalam menghadapi berbagai tantangan.
diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun
Dengan demikian memahami maddoja bine bukan
meliputi yang lisan dan yang beraksara, yang
saja memahami suatu tradisi lisan, melainkan
semuanya disampaikan secara lisan. Akan tetapi,
juga dapat menjadi jembatan untuk memahami
modus penyampaian tradisi lisan ini seringkali
masyarakat Bugis masa lalu. Oleh karena itu,
tidak hanya berupa kata-kata, tapi juga gabungan
tradisi lisan maddoja bine menjadi the mirror of
antara kata-kata dan perbuatan-perbuatan tertentu
historymanusia Bugis, menjadi cerminan sejarah
yang menyertai kata-kata. Dengan demikian
dinamika masyarakat Bugis.
karakteristik tradisi lisan dapat bersifat verbal,
nonverbal, atau mungkin kombinasi keduanya. Ritual dan Mitos
Tradisi lisan dalam konteks ini dapat diartikan
Ritual diartikan sebagai sistem aktivitas atau
sebagai “segala wacana yang diucapkan” atau
rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau
“sistem wacana yang bukan aksara” yang
hukum yang berlaku dalam masyarakat yang
mengungkapkan kegiatan kebudayaan suatu
berhubungan dengan berbagai macam peristiwa
komunitas. Lebih lanjut, Roger Tol dan Pudentia
tetap yang biasanya terjadi dalam masyarakat
(Warta ATL, 1995, 2) menjelaskan bahwa
yang bersangkutan. Biasanya dalam suatu ritual
tradisi lisan mencakup berbagai pengetahuan
atau upacara religi terdapat tindakan-tindakan
dan adat kebiasaan yang secara turun-temurun
atau laku. Tindakan tersebut merupakan rangkaian
disampaikan secara lisan. Dikatakan juga bahwa
atau kombinasi dan gabungan dari satu, dua atau
tradisi lisan tidak hanya berupa cerita rakyat, mite,
beberapa laku seperti doa, bersujud, bersaji,
dan legenda tetapi juga sistem pengetahuan seperti
berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi,
sejarah, hukum adat, pengobatan, teknologi
berprosesi, berseni drama suci, berpuasa, bertapa
tradisional.
dan bersamadi (Koentjaraningrat dkk, 1984, 190).
Menurut Morrison (2000, 4-5), tradisi
Ritual merupakan tindakan simbolik yang
lisan memiliki cakupan yang luas. Tradisi lisan
memperlihatkan cara bagaimana suatu komunitas
biasanya mencakup semua aspek kehidupan dari
mengaktualisasikan apa yang dikatakan oleh sistem
satu komunitas di masa lampau - legenda, epik,
pengetahuan dan keyakinan komunitasnya. Ritual
mitos, peribahasa, teka-teki, ungkapan – semua
sering disebut sebagai upacara yang mempunyai
merupakan budaya lisan dari suatu masyarakat.
nilai keramat atau “sacred value”, dan dilakukan
Tradisi lisan dapat dijadikan sebagai sumber
secara khidmad atas dasar getaran jiwa yang
informasi untuk melihat dan meneropongmasa
biasa disebut dengan emosi keagamaan. Biasanya
lampau dari suatu komunitas karena di dalamnya
dalam suatu upacara terdapat persembahan berupa
banyak mengandung fakta. Sebagaimana yang
sesajen yang diperuntukkan kepada kekuatan gaib
dikatakan oleh Sedyawati (1996, 6) bahwa dalam

264 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


dan supranatural. Dengan persembahan sesajen masyarakat di mana tradisi tersebut dilaksanakan.
itu diharapkan terjalin kerjasama antara manusia Dinamika sosial masyarakat sangat berpengaruh
dengan kekuatan gaib tersebut. Sajian atau offering terhadap keberadaan dan pelaksanaan tradisi.
kepada para dewa atau kepada para makhluk halus Pada mulanya pelaksanaan maddoja bine
pada umumnya mempunyai fungsi sebagai suatu merupakan bagian dari ritual komunal dalam satu
pemberian untuk mengukuhkan suatu hubungan wanua (kampung). Ketika itu galung arajangE,
antara si pemberi dan si penerima. Tindakan ini yakni sawah adat sebagai pusat pelaksanaan
merupakan symbols for communication. ritus-ritus pertanian (agraris) masih ada.
James Dananjaya (2003) mengungkapkan Demikian pula dengan keberadaan pranata adat
bahwa mitos adalah cerita prosa rakyat yang sepertimatoa palaongruma (tetua petani) yang
dianggap benar-benar terjadi dan dipandang berperan dalam menentukan jadwal pertanian dan
suci oleh pemiliknya. Mitos dapat dianggap pembagian air irigasi, papananrang(orang yang
sebagai pencerminan sistem ideal masyarakat, memiliki kemampuan menafsirkan gejala alam
yang meliputi sistem pengetahuan, pandangan, dan meramalkan sifat/waktu hujan), passureq
dan kepercayaan suatu masyarakat. Bahkan, (pembaca sureq), dan sandro wanua (dukun yang
Malinowski menyebut arti pentingnya mitos memimpin ritual adat)menjadi pelaku utama
sebagai piagam kepercayaan (charter of belief) ritual pertanian. Ketika sistem kerajaan berganti
bagi komunitas (Lessa, 1979, 248). dengan sistem pemerintahan Republik Indonesia
dan aset-aset kerajaan berupa galung arajangE
Mitos menjadi wadah simbolik yang berfungsi
hilang, berakibat pada meredupnya pelaksanaan
membungkus dan menyimpan makna kultural
tradisi pertanian. Ritus agraris yang dulunya
yang melaluinya masyarakat mengekspresikan
dilaksanakan secara komunal kemudian menjadi
gagasan, pandangan, serta sistem keyakinannya.
ritual individu petani. Karena keberadaan pranata
Mitos biasanya berkaitan dengan fenomena-
adat tidak lagi berfungsi, sehingga beberapa
fenomena religi (sistem kepercayaan). Menurut
tahapan tradisi tidak dapat dilaksanakan. Begitu
Koentjaraningrat (1974) terdapat empat unsur
pun dengan keberadaan sandro wanua yang
penting dalam setiap sistem religi, yaitu emosi
digantikan anreguru (Imam kampung), sehingga
keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan
unsur Islam muncul dalam maddoja bine, seperti
manusia berlaku serba religius; sistem kepercayaan
pembacaan doa secara Islam, pembacaan Alquran
manusia tentang bentuk dunia, alam gaib,
dan barzanji. Bentuk ritualnya pun berubah, dari
maut dan sebagainya; sistem-sistem upacara
ritual komunal menjadi ritual individu petani.
keagamaan yang bertujuan mencari hubungan
Kecuali pada KAK yang masih memiliki pranata
dengan dunia gaib dan kelompok keagamaan
adat dan galung arajangE, pelaksanaan maddoja
(umat penganut agama yang bersangkutan) yang
bine masih dilangsungkan secara komunal.
mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta
sistem upacara keagamaannya. Sementara itu, pelaksanaan maddoja bine
yang tidak dirangkaikan dengan massureq
PELAKSANAAN MADDOJA BINE biasanya disebabkan oleh minimnya passureq.
DAN STRUKTURNYA Sureq La Galigo hanya dihadirkan fisiknya tanpa
Dari penelitian ini, didapatkan ada 4 tipologi dibacakan. Namun, keberadaan sureq dalam
pelaksanaan ritual maddoja bine di kalangan prosesi maddoja bine ini tetap dianggap penting
petani Bugis, yaitu 1) maddoja bine yang walau tidak dibacakan. Keberadaan mitos yang
dilakukan secara perorangan disertai dengan dikategorikan pada tataran kepercayaan (belief)
pembacaan Sureq La Galigo (massureq), 2) telah mempengaruhi tindakan (behaviour)
yang dilakukan secara perorangan dengan komunitas petani dalam memperlakukan sureq
memasukkan unsur agama Islam (barzanji) yang tetap dianggap “sakral dan bertuah”. Arti
dan tanpa disertai dengan pembacaan Sureq La pentingnya mitos dianggap sebagai piagam
Galigo, 3) dilakukan secara perorangan tanpa kepercayaan (charter of belief) bagi komunitasnya.
disertai dengan pembacaan Sureq La Galigo, dan Adanya kepercayaan terhadap mitos tertentu akan
4) dilakukan secara kolektif atau komunal dengan melahirkan kaidah-kaidah tindakan dalam ritual
disertai pembacaan Sureq La Galigo. yang mengisyaratkan cara bagaimana seseorang
Munculnya empat cara pelaksanaan maddoja atau suatu komunitas berhubungan dengan suatu
bine ini tidak terlepas dari konteks sosial budaya objek sakral (totem).

Kelanjutan Tradisi Lisan Maddoja Bine........(A. Sulkarnaen) │ 265


Sebuah tradisi tidak dapat dilepaskan dari ota (daun sirih), pinang, daun paruh, benno
sistem nilai yang dianut oleh masyarakatnya yang (bertih), dupa, sokko (nasi ketan), pallisek
menggerakkan hati mereka untuk melaksanakan (lauk), ittello manuk (telur ayam), minya’ bau,
tradisi tersebut. Sistem nilai yang ada saat ini (minyak kelapa, pucuk daun jati, dan kayu manis
merefleksikan sifat kekinian dalam memaknai yang dicampur dan dimasak), daun mayang,
tradisi oleh komunitasnya, yang pada akhirnya pesse pelleng (pelita lilin dari kemiri). Tahap
akan menentukan corak struktur ritual. Misalnya, pembukaan berupa pembacaan doa atau mantra,
dalam pelaksanaan maddoja bine di daerah Barru, disertai dengan pembakaran dupa kemenyan dan
memasukkan unsur-unsur Islam (barzanji). penyalaan pesse pelleng, serta memercikkan air
Hal demikian menunjukkan orientasi kini ke benih padi.
masyarakat di daerah Barru yang menganut agama Bagian kedua merupakan tahap pembacaan
Islam terhadap tradisi. Ini juga terkait dengan sureq atau barzanji. Sesuai dengan data yang
kreativitas masyarakat dalam mendialogkan diperoleh dari lapangan, sureq yang sering dibaca
kebudayaan mereka dengan ajaran agama yang yaitu Sureq Riuloqna Batara Guru ri Lino yang
diyakininya. Hasil interpretasi akan menentukan berkisah mengenai mula tau, asal usul kedatangan
struktur pelaksanaan maddoja bine. Islam dalam manusia keturunan dewa, yakni Batara Guru
aplikasinya ternyata memiliki ragam-variasi sebagai manusia pertama di dunia dan Sureq
sesuai dengan masa dan tempat/daerah (kini dan Meong Paloe Karellae, yang menceritakan
di sini). pengembaraan Sangiang Serri yang ditemani oleh
Kebertahanan dan kelanjutan suatu praktik kucing belang tiga warna, sang pengawal setianya.
sosial (tradisi) dalam masyarakat merupakan Sangiang Serri mempersyaratkan untuk bersedia
cerminan kebermaknaan dari praktik sosial tinggal di suatu daerah, yang berciri penduduknya
tersebut bagi komunitas pendukungnya. Makna harus hidup rukun dan damai, suka bekerja keras,
dari sebuah praktik sosial, seperti halnya maddoja mempunyai etika, selalu memuliakan dan berseru
bine tidak terlepas dari saling keterkaitan antara kepada dewata (Patotoe) sebagai sang pencipta.
unsur-unsur yang membentuk praktik sosial Adapun bagian ketiga atau penutup berisi
itu sendiri. Berdasarkan strukturnya, maddoja doa keselamatan bersama (doa keluarga). Doa
bine terlihat sekurang-kurangnya ada tiga unsur ini berupa pengharapan agar apa yang akan
internal yang saling terkait, yaitu unsur cerita diusahakan petani bisa memberikan keberkahan
mitologis, praktik ritual, dan komunitasnya. bagi mereka sekeluarga. Pelaksanaan maddoja
Sebagai sebuah praktik sosial maddoja bine bine pada hakikatnya adalah perwujudan rasa
dapat dianggap sebagai teleskopik, yang dapat bakti dan pemujaan masyarakat petani Bugis
menjadi alat untuk melihat bagaimana sistem terhadap Sangiang Serri.
pengetahuan dan keyakinan religius suatu
komunitas masyarakat, khususnya para petani FUNGSI MADDOJA BINE
dan pendukung lainnya yang terlibat di dalamnya. Fungsi utama pelaksanaan maddoja bine adalah
Secara umum struktur pelaksanaan sebagai ritual. Ritual pada umumnya merupakan
maddoja binedibagi menjadi tiga bagian, yakni kegiatan kolektif, ditujukan kepada yang
pembukaanberupa pembacaan doa/mantra oleh gaib, dengan tujuan untuk mendapatkan suatu
sandro wanua, pembacaan sureq (barzanji), kemujaraban dan pertolongan. Ritual biasanya
dan penutup berupa doa untuk keselamatan menggunakan bahasa atau tanda simbolik,
bersama. Bagian pertama yaitu pembacaan doa sesajen, dengan pelaku dan penontonnya yang
dilakukan setelah benih padi yang telah direndam hadir sebagai partisipan. Selain berfungsi sebagai
ditempatkan pada possi bola (pusat rumah/ ritual, maddoja bine juga mengembang beberapa
tiang utama rumah). Beberapa perlengkapan fungsi, di antaranya sebagai berikut.
ritual seperti sesaji, perlengkapan pertanian,
dan perlengkapan tata rias juga di tempatkan di
Fungsi Sosial
possi bola. Penyertaan perlengkapan tata rias Hal ini dapat terlihat saat pelaksanaan maddoja
ditujukan kepada Sangiang Serri. Sebagai seorang bine yang secara komunal/kolektif melibatkan
perempuan, ia dianggap senang berdandan, berbagai lapisan masyarakat karena sebelum
sebagaimana layaknya wanita pada umumnya. melaksanakan maddoja bine, beberapa ritual
Bahan-bahan sesaji yang disiapkan adalah rekko pertanian dilakukan seperti tudang sipulung(duduk

266 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


bersama bermusyawarah). Dengan melakukan Bugis dari masa ke masa. Pada satu masa tradisi
tradisi maddoja bine, masyarakat diingatkan agar maddoja bine menjadi kegiatan ritual komunal
senantiasa menjaga keharmonisan relasi sosial dalam satu wanua (kampung). Pada masa
di antara mereka sebagaimana yang disyaratkan lain tradisi maddoja bine bersentuhan dengan
Sangiang Serri. pengaruh dan kepercayaan (religi) dari luar,
seperti Islam. Tradisi maddoja bine kemudian
Fungsi Edukatif di-Islamkan dan pelaksanaan maddoja bine pun
Maddoja bine dapat menjadi media pendidikan dikombinasikan dengan budaya Arab/Islam,
melalui transformasi nilai-nilai budaya yang seperti dengan pembacaan barzanji, termasuk doa
ada di dalamnya. Di samping itu, dalam tahap atau mantra yang selalu diawali dengan ucapan
pelaksanaan maddoja bine biasanya diawali bismillahirahmanirahim.
dengan mattangak esso (mencari hari baik) Tradisi maddoja bine merupakan sebuah
yang didasarkan pada pengetahuan perbintangan tradisi yang di dalam perjalanannya penuh dengan
(astronomi), keadaan cuaca, peredaran musim. dinamika bagi para pelaku dan pendukungnya
Pengetahuan semacam ini dapat ditemukan dalam (manusia Bugis). Di dalam tradisi maddoja bine,
lontaraq pananrang, yang mengungkapkan dapat dilihat dinamika praktik religi manusia
tentang tanda-tanda hujan dan panas sekaligus Bugis. Dari rangkaian maddoja bine sebenarnya
serta sebab musabab timbulnya gangguan musim. dapat diamati dua titik ekstrem unsur Islam dan
Maddoja bine yang dirangkaian dengan massureq pra-Islam yang terdapat di dalamnya. Tradisi
juga merupakan arena transmisi pengetahuan maddoja bine adalah “residu”, berupa jejak
yang terkandung dalam sureq yang dibacakan. religi manusia Bugis yang mengendap di dalam
Sebagai Sarana Komunikasi tradisi. Tradisi ini juga sebagai alat pengingat
yang diharapkan dapat mentransmisikan nilai-
Maddoja binemenjadi sarana komunikasi ritual, nilai lama. Maddoja bine menjadi media dalam
menempatkan Patotoe (Dewata Seuwae, Tuhan mengabadikan memori kolektif manusia Bugis.
Yang Esa) sebagai pusat pengaturan kosmos.
Narasi sejarah manusia Bugis yang terpendam
Dalam konteks ini, maddoja bine mempunyai
dalam maddoja bine bertambah ketika terjadi
tujuan utama agar manusia dapat menjalin
pemberontakan DI/TII Kahar Musakkar yang
hubungan dengan Patotoe, sang penentu nasib.
berkeinginan menegakkan syariat Islam. DI/
Hubungan yang terjadi, yakni antara manusia
TII melarang pelaksanaan tradisi-tradisi yang
(petani) dengan Patotoe merupakan hubungan
dianggapnya musyrik, seperti maddoja bine.
yang bersifat vertikal, yaitu yang berkuasa
Beberapa perlengkapan tradisi, termasuk Sureq
dan yang dikuasai. Hubungan yang terjalin
La Galigo dibakar oleh pasukan DI/TII. Banyak
dengan baik akan menimbulkan dampak yang
pelaku tradisi disiksa dan dibunuh akibat
baik bagi petani. Begitu pula dengan hubungan
masih menjalankan tradisinya. Padahal, dalam
baik yang tercipta antara petani dengan entitas
masyarakat Bugis, Islam dan tradisi telah sejak
gaib lainnya, akan menghindarkan petani dari
dulu bisa berdampingan. Keberlanjutan maddoja
“gangguan” makhluk gaib/halus tersebut. Selain
bine hingga hari ini, meskipun hanya dilakukan
itu, maddoja bine sebenarnya juga menjadi
sebagian kecil petani Bugis, menjadi narasi dan
sarana komunikasi horisontal dengan sesama
ingatan sejarah. Tradisi lisan dapat dianggap
manusia. Relasi horisontal yang baik pada
sebagai sejarah bagi pemiliknya karena di dalam
akhirnya akan menciptakan keharmonisan sosial
tradisi lisan terdapat endapan-endapan perjalanan
dalam masyarakat. Keharmonisasan sosial
sejarah suatu masyarakat.
yang terbangun dengan baik menjadi prasyarat
Sangiang Serri bersedia tinggal di satu daerah, KELISANAN DALAM MADDOJA
sebagaimana yang ceritakan dalam Sureq Meong BINE
Paloe Karellae. Maddoja bine sebagai tradisi lisan, di
Maddoja Bine Sebagai The Mirror of dalamnya terdapat elemen-elemen kelisanan
History Manusia Bugis berupa pembacaan doa/mantra, barzanji, dan
massureq. Maddoja bine juga memiliki elemen
Tradisi maddoja bine dapat dilihat sebagai keberaksaraan berupa Sureq La Galigo dan kitab
the mirror of history manusia Bugis yang barzanji. Massureq dalam maddoja bine adalah
mencerminkan kondisi sosial budaya manusia

Kelanjutan Tradisi Lisan Maddoja Bine........(A. Sulkarnaen) │ 267


bentuk pelisanan naskah tertulis (recitation). tulisan tidak lagi dipandang sebagai antagonis.
Teks naskah tersebut bersumber dari narasi lisan Keduanya bukan saling meniadakan, tetapi
cerita epik La Galigo yang kemudian dibekukan saling melengkapi. Hubungan keduanya bersifat
dalam tulisan sehingga bentuknya menjadi tetap. relasioner dan bukan reduksioner.
Akibat dibekukannya dalam bentuk tulisan, cerita
di dalamnya telah menjadi baku, yang tidak dapat
MENGABURKAN BAHASA MENGU-
BURKAN TRADISI
diubah lagi saat pertunjukan (massureq). Passureq
kehilangan kebebasannya untuk mencipta Tradisi lisan masyarakat merupakan tempat
komposisi baru. Kebakuan dan kebekuan tersebut bersemayamnya segala bentuk ekspresi, ungkapan
tidak dapat dilepaskan dari kedudukan Sureq La lisan, doa, dan mantra biasanya dilakukan dalam
Galigo yang bersifat sakral dan dikeramatkan. bahasa daerah. Terkadang beberapa kosakata
Karena itu, Sureq La Galigo diperlakukan secara arkhais tidak lagi menjadi kosakata yang umum
istimewa dan tidak boleh dikreasi (tidak boleh digunakan dalam komunikasi sehari-hari sehingga
diubah), baik dalam penceritaannya maupun makna dan artinya terbatas yang mengetahuinya.
dalam penulisannya. Kosa kata tersebut hanya dipakai di dalam
Pembacaan sureq harus dianggap sebagai kegiatan tradisi. Dengan demikian, tradisi menjadi
suatu “teks” yang berdiri sendiri, yang merupakan rumah tempat tinggal bagi keberadaan bahasa
gabungan antara teks tertulis (sureq) dan proses daerah. Jadi, keruntuhan dan kehilangan “rumah”
penyampaiannya. Dengan demikian, setiap akan menyebabkan bahasa daerah kehilangan
pembacaan (massureq) merupakan suatu teks wadah untuk dapat melakukan pewarisan. Dengan
tersendiri yang berbeda dari pembacaan lain di begitu, kehilangan tradisi berarti keterancaman
tempat atau waktu lain, yang disampaikan oleh akan kepunahan bahasa.
pembaca yang sama maupun berbeda. Penonton Pada sisi lain, bahasa daerah menjadi
merupakan faktor yang ikut menentukan “teks” penopang kebertahanan suatu tradisi. Tanpa
tersebut. Setiap pertunjukan (massureq) adalah pemahaman makna bahasa yang digunakan dalam
sebuah pertunjukan yang baru. Tidak ada suatu tradisi, akan berakibat pada pemaknaan
pertunjukan yang sama meski dengan penyaji yang berbeda dalam proses transmisi dan
yang sama. Pudentia (2000, 40-41) menjelaskan sosialisasinya. Interpretasi berbeda pun akan
bahwa sebuah pertunjukan pada dasarnya bersifat muncul, dan perlahan-lahan akan menjauhkan
satu kali (einmalig), yang hanya terjadi pada makna asalnya. Bahasa dengan kosakata lama akan
waktu ia di pentaskan. Meskipun pertunjukan susah dipahami oleh generasi berikutnya. Kondisi
yang sama diulang pada tempat yang sama dengan ini akan menjauhkan generasi berikutnya dari
pemain yang sama, ia tetap menjadi sebuah identitas kebudayaannya. Secara perlahan akan
pertunjukan yang baru. mengikis ingatan kebudayaannya. Kekaburan
Tentu saja dalam konteks pertunjukannya makna bahasa daerah yang menjadi penopang
tidak sama dengan pertunjukan dengan naskah tradisi berdampak terhadap ketidaktertarikan
tertulis yang dibacakan (recitasi). Begitu pula generasi muda untuk mengetahui dan mempelajari
dengan konteks pertunjukan massureq sebagai tradisinya. Dengan kata lain, ketidakpahaman
ritual akan berbeda dengan pertunjukan yang generasi muda akan bahasa daerahnya akan
bersifat profan, sebagaimana garapan para berdampak terhadap pewarisan tradisi. Jadi,
seniman sebagai sebuah karya. Jika sifatnya antara tradisi dan bahasa seperti dua sisi mata
profan maka pertunjukannya bisa berubah- uang koin.
ubah dan selalu tidak sama, karena ada proses PROGRAM INTENSIFIKAS PER-
penciptaan dan kreatifitas seniman. Akan tetapi, TANIAN MEREDUPKAN TRADISI
kalau sifatnya suci/dogma/sakral, pertunjukan AGRARIS
tidak boleh berubah secara subtantif.
Sebenarnya secara tidak langsung pemerintah ikut
Kelisanan tidak hanya dimaknai secara andil dalam kemerosotan maddoja bine dengan
penyajian lisan. Cerita lisan yang kemudian memperkenalkan program intesifikasi pertanian
ditulis dalam bentuk naskah tertulis dan disajikan di awal tahun 1970-an. Dengan program ini
secara resitasi tetap dapat disebut cerita lisan. petani diperkenalkan jenis benih padi baru hasil
Membaca teks (massureq) berarti mengubahnya rekayasa sebagai varietas unggul. Pelaksanaan
menjadi suara. Dalam konteks ini lisan maupun madoja bine yang menjadi singkat tidak terlepas

268 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


dari penggunaan benih padi hasil rekayasa yang manusia Bugis.Pewarisan merupakan tonggak
mempunyai sifat cepat bertunas saat diperam kelanjutan dan kebertahanan suatu tradisi.
(1-2 hari). Lewat dari tiga hari perendaman, Kendala utama yang sering dihadapi pada
maka benih padi yang sudah bertunas akan pelaksanaan maddoja bine adalah sulitnya
membusuk, karena itu harus segera disemai. Hal menghadirkan passureq yang akan massureq
ini berbeda dengan pare riolo (padi varietas lokal) sebagai rangkaian dari maddoja bine. Hal ini
yang membutuhkan 5-7 hari untuk bertunas. disebabkan oleh minimnya orang yang mampu
Selama menunggu benih padi bertunas itulah membaca Sureq La Galigo. Belum adanya
diadakan massureq. Waktu yang panjang tersebut metode pewarisan yang efektif, termasuk secara
memungkinkan banyak episode Sureq La Galigo formal lewat institusi pendidikan berdampak
yang dibacakan. Sementara padi varietas hasil terhadap “deposit” jumlah passureq yang
rekayasa cepat bertunas, sehingga berdampak semakin berkurang. Akibatnya, pelaksanaan
terhadap singkatnya waktu yang tersedia untuk maddoja bine sering tanpa rangkaian massureq.
massureq. Jadi, kesempatan membacakan episode Sebagai gantinya fisik sureq dihadirkan dan
Sureq La Galigo hanya terbatas pada satu atau diletakkan di dekat tumpukan benih padi yang
dua episode. diupacarai di sekitar possi bola.
KELANJUTAN TRADISI MADDOJA DETERMINASI EKSTERNAL (AGA-
BINE MA ISLAM)
Masalah pewarisan dan kelanjutan tradisi Adaptasi budaya Bugis terhadap Islam berjalan
bergantung pada masyarakatnya. Sebuah tradisi sejak adanya pengakuan terhadap pangngaderreng
bisa saja berubah sebagian atau keseluruhan, ditolak (pranata yang menjadi norma sosial dan mengatur
atau diteruskan, bergantung pada pemaknaan tata berperilaku masyarakat Bugis) yang
pemiliknya. Kebertahanan maddoja bine sebagai memasukkan unsursyara(syariat Islam). Islam
bagian dari noetic,yakni sebagai alat pengingat, kemudian menyatu dalam struktur sosial budaya
cara menyimpan, dan menyampaikan segala masyarakat Bugis dan di tempatkan sebagai salah
pengetahuan manusia Bugis. Kelanjutan tradisi satu pilar pranata sosial.Kehadiran Islam di dalam
dipengaruhi oleh elemen eksternal dan internal. kehidupan masyarakat Bugis membawa ajaran
Paradigma modernisasi yang sering menganggap dan nilai baru. Sebenarnya secara substantif,
tradisi sebagai penghalang kemajuan, kebijakan Islam itu di mana saja satu. Namun, ketika Islam
politik negara yang berorientasi monokultural di berjumpa dengan budaya lokal, ekspresi Islam
masa lalu, hegemoni agama resmi, merupakan bisa bermacam-macam (Qomar, 2015).
elemen-elemen eksternal yang ikut mendorong
Masuknya agama Islam ke suatu wilayah
memudarnya tradisi maddoja bine sebagai warisan
akan selalu menjalani proses perjumpaan dengan
budaya. Terabaikannya transmisi kelisanan dari
kebudayaan lokal. Kemudian ekspresi Islam yang
generasi ke generasi sebagai sistem pewarisan
berasal dari persentuhan ajaran Islam dengan
tradisi dalam mengabadikan memori kolektif,
budaya (tradisi) lokal telah melahirkan berbagai
merupakan elemen internal yang mempengaruhi
identitas baru yang melekat pada Islam. Begitu
kelanjutan dan masa depan maddoja bine sebagai
pun yang terjadi dalam masyarakat Bugis.
sumber kearifan lokal.
Pertemuan dua kebudayaan tersebut melahirkan
Limitasi Internal (Pewarisan Massureq) akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Bugis
(tradisi lokal), yang kemudian membentuk suatu
Proses pewarisan sejatinya sebagai bentuk
tatanan nilai tersendiri. Sebagai suatu norma,
transmisi pengetahuan. Transmisi pengetahuan
ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat
merupakan kegiatan pengalihan atau penyebaran
Bugis dalam kehidupan sosialnya. Dalam konteks
pesan dari generasi ke generasi tentang
inilah Islam sebagai agama sekaligus telah
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan
menjadi budaya masyarakat Bugis. Di sisi lain
pengetahuanmasyarakat. Proses transmisi
budaya-budaya lokal yang ada di masyarakat,
mempunyai sarana dalam rangka sosialisasi
tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam.
kepada generasi muda,sebagaimana dalam
tradisimaddoja bine yang menjadi sarana transmisi Namun demikian perjumpaan Islam dengan
atau pewarisan nilai dan sistem pengetahuan budaya masyarakat Bugis telah melahirkan tiga
macam corak religiusitas yang berbeda dalam

Kelanjutan Tradisi Lisan Maddoja Bine........(A. Sulkarnaen) │ 269


penghayatan keagamaan (religi) manusia Bugis. pelaksanaan maddoja bine merupakan sistem
Pertama, adanya komunitas masyarakat Bugis gabungan dari penafsiran komunitas terhadap epos
(Towani Tolotang) yang masih melanggengkan mitos La Galigo dan orientasi komunitas terhadap
agama to riolo(orang dulu) dengan tetap sistem kepercayaan yang mereka yakini.Hasil
memelihara sejumlah tradisi yang berisi elemen- interpretasi pada akhirnya akan menentukan corak
elemen pra-Islam. Kedua, lahirnya tradisi yang struktur pelaksanaan maddoja bine, misalnya
mencampurbaurkan antara ajaran Islam dengan dalam pelaksanaan maddoja bine di daerah Barru,
tradisi sebelumnya. Dengan kata lain, adanya yang memasukkan unsur-unsur Islam (pembacaan
penganut Islam dualisme yang menjalankan Al Quran dan Barzanji). Hal itu menunjukkan
syariat Islam dan juga masih memelihara kondisi orientasi dan interpretasi masyarakat di
sejumlah tradisi yang berisi elemen-elemen daerah Barru yang karakteristik masyarakatnya
pra-Islam. Ketiga, penganut Islam taat, yang begitu kental dengan nuansa Islami. Di Barru
kemudian “mengislamkan” sejumlah tradisi. terdapat pesantren DDI Mangkoso dan menjadi
Dengan demikian, jika ditelusuri seluk beluk menjadi pusat syiar dakwah Islam yang mampu
dan kedalaman kehidupan spiritual manusia melahirkan banyak tokoh ulama terkenal.
Bugis yang tercermin dalam kegiatan religinya, Pesantren sebagai institusi sosial tidak
akan ditemukan kenyataan adanya variasi dan hanya berbentuk lembaga dengan seperangkat
diferensiasi tradisi sesuai dengan penghayatan pendukung seperti masjid, ruang mengaji,
keagamaan (religi). Praktik keagamaan setiap asrama santri, guru, dan kiai, serta kitab-kitab
daerah dapat berbeda-beda sesuai dengan karakter pengajaran agama Islam tetapi merupakan entitas
sosial budaya masyarakatnya. budaya (subkultur) yang berpengaruh terhadap
Pemahaman adaptasi dan harmoni antara kehidupan sosial di sekitarnya. Pesantren bukan
Islam sebagai ajaran agama dengan tradisi hanya menjadi lembaga pendidikan, tetapi juga
Bugis sebagai warisan budaya lama disadari bisa disebut sebagai lembaga budaya, sosial,
akan menimbulkan pemaknaan yang berbeda dan ekonomi dengan segala aktivitasnya di
disesuaikan dengan konteks lokal. Dalam konteks masyarakat.
tradisi maddoja bine, ketika Islam terinternalisasi Dalam konteks tradisi maddoja bine,orientasi
dalam kehidupan masyarakat Bugis, maddoja pelaksanaan maddoja bine berubah, di mana
bine tetap hadir di masyarakat Bugis meski masyarakat Barru tidak lagi memohon kepada
dengan berbagai varian dalam pelaksanaannya. dewata, tetapi memohon kepada Allah SWT.
Munculnya varian dalam pelaksanaannya Perubahan orientasi ini ditunjukkan dengan
bergantung pada corak religiusitas dan pemaknaan pembacaan kitab suci Al-Quran, barzanji
nilai Islam masyarakat Bugis pada suatu daerah dan doa sesuai dengan agama Islam. Hal ini
dalam melihat tradisi. memberikan warna keislaman dalam budaya
Terkait dengan pelaksanaan maddoja bine, lokal. Maddoja bine di Barru menunjukkan salah
secara umum varianyang muncul adalah maddoja satu simbol pertemuan antara tradisi lokal (tradisi
bine yang disertai dengan barzanji, maddoja La Galigo) dan agama Islam. Pada wilayah itulah
bine yang dirangkai dengan massureq, dan sebetulnya berlangsung sebuah proses negosiasi
maddoja bine tanpa barzanji ataupun massureq. dan kompromi, yang kadangkala pada batas-batas
Munculnya varian pelaksanaan maddoja bine tertentu, berujung pada perubahanbentuk atau
ini tidak terlepas dari konteks sosial budaya struktur tradisimaddoja bine. Hal demikian tentu
masyarakat di mana tradisi tersebut dilaksanakan. saja memunculkan karakteristik persenyawaan
Hal ini juga terkait dengan kreativitas masyarakat Islam dengan budaya setempat. Islam dalam
dalam mendialogkan kebudayaan (tradisi) mereka terapannya ternyata memiliki ragam-variasi
dengan ajaran agama yang diyakininya. Keadaan sesuai dengan masa dan tempat (kini dan di sini).
ini memberikan peluang bagi keanekaragaman Ragam-variasi ini merupakan hasil dialektika
interpretasi dalam praktik kehidupan beragama antara Islam dan budaya lokal yang kemudian
dan tradisi di setiap wilayah yang berbeda-beda. menampilkan wajah Islam yang khas dan berbeda
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan Islam di tanah Arab.
struktur ritual adalah hasil dari penafsiran Pembacaan kitab barzanji dalam maddoja
komunitas yang dipengaruhi oleh sistem bine sebagai bentuk transformasi pembacaan
kebudayaan yang ada dalam komunitasnya. Jadi Sureq La Galigo ke kitabbarzanji. Jika menilik

270 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


sejarah awal kedatangan Islam, pembacaanSureq tradisi selalu melibatkan sandro wanua (adat)
La Galigopada tradisi-tradisiritual manusia Bugis dan guru (Islam). Ada pembagian tugas antara
tetap dipertahankan dan juga tetap menyertakan sandro wanua dan guru. Ritual yang berkaitan
pembacaan kitab barzanji. Lama-kelamaan dengan adat merupakan wilayah sandro wanua,
pembacaanbarzanji menggantikan pembacaan sementara guru memiliki tugas terkait dengan
Sureq La Galigo. Hal ini terjadi karena resepsi Islam. Biasanya maddoja bine diawali dengan
masyarakat Bugis melihat adanya kemiripan pembacaan mantra dan pemberian sesaji kepada
di antara keduanya, yakni dari segi konten dan Sangiang Serri oleh sandro wanua, dan akan
estetika. Kemiripan dari segi konten berupa dilanjutkan pembacaan doa secara Islam oleh
adanya tokoh sentral yang dihormati. Dalam Sureq guru.
La Galigotokoh sentralnya adalah Sawerigading Kegiatan maddoja bine di KAK
yang merupakan manusia keturunan Dewa dan memperlihatkan adanya percampuran antara
dianggap seperti sosok nabi. Sementara itu, dalam agama Islam dengan tradisi lokal. Ini merupakan
kitab barzanji, Nabi Muhammad SAW menjadi suatu proses mengislamkan Sangiang Serri
tokoh sentral yang diagungkan. Dari segi estetika, dikalangan petani Bugis. Ketika Islam datang,
Sureq La Galigo dan kitab barzanji, merupakan maka konstruksi lokal pun turut serta membangun
karya sastra yang memiliki nilai seni dengan Islam sebagaimana yang ada sekarang dan
karakter rima sebagai epos dan syair sehingga membentuk sinkretisme. Jadi Islam tidak
keduanya bisa ditembangkan(recitasi). membabat habis tradisi lokal, begitupun kalangan
Transformasi lain dalam tradisi maddoja petani Bugis yang masih memegang tradisi
bine di Barru adalah transformasi orientasi dan tidak menolak kehadiran Islam. Masyarakat
agen kebudayaan. Orientasi teologis yang semula KAK melestarikan tradisi dan kepercayaan
mengarah pada kekuatan spirit lokal (epos mitos yang keberadaannya telah mendahului Islam.
La Galigo) digantikan teologi Islam. Pada sisi Dalam konteks demikian terbentuklah Islam
lain, agen kebudayaan juga berubah dari sandro yang bercorak kolaboratif atau sinkretis, yakni
wanua ke anreguru (Imam/ulama). Anreguru Islam yang bersentuhan dengan budaya lokal,
merupakan pusat agensi transformasi kebudayaan mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan
yang mengggantikan narasumber lokal, yakni dengan Islam atas dasar interpretasi elit-elit
sandro wanua. agama lokal (penyiar agama Islam). Penerimaan
Sementara pelaksanaan maddoja bine bagi masyarakat terhadap Islam tersebut lebih tepat
masyarakat Tolotang Towani sebagai bentuk disebut “adhesi”, yakni konversi ke dalam Islam
praktik kepercayaan (religi) lokal. Dalam konteks tanpameninggalkan kepercayaan dan praktik
ini epos mitos La Galigo menjadi rujukan keagamaan yang lama (Qomar, 2015).
pelaksanaannya. Sistem upacara dengan simbol-
simbol yang memaknainya senantiasa mengacu
pada representasi attoriolong(anutan leluhur) dan
TRANSFORMASI TRADISI KE PER-
TUNJUKAN
pandangan kosmogoni yang memberi kekuatan
pada struktur sosial dan kebudayaan manusia Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat
Bugis. Jadi, dapatlah dikatakan bahwa mitologi La pemilik tradisi akan berpengaruh pada pola pikir
Galigo dengan berbagai ritusnya, seperti maddoja masyarakat dalam melihat dan memperlakukan
bine telah menjadi “agama” tersendiri bagi tradisi. Bukan hal yang aneh bila sebuah tradisi
komunitas Towani Tolotang. Begitu sakralnya (ritus) mengalami transformasi menjadi sebuah
Sureq La Galigo bagi masyarakat Towani seni pertunjukan sebab sebuah tradisi pada
Tolotang, pada setiap maddoja bine selalu dasarnya adalah juga sebuah pertunjukan. Tradisi
dihadirkan meskipun tidak dibacakan karena tidak sebagaimana halnya dengan seni adalah juga
adanya passureq. ekspresi simbolisasi, perwujudan dari rasa dan ide-
Dalam KAK pelaksanaan maddoja bine ide masyarakat.Seiring dengan berjalannya waktu,
secara komunal karena pranata adatnya masih tradisi maddoja bine mengalami pergeseran dan
ada dan berfungsi, misalnya galung arajangE, perubahan. Beberapa kalangan seniman tergerak
rumah adat sebagai tempat pelaksanaan maddoja dan menjadikan maddoja bine sebagai sumber
bine,sandro wanua, guru (Imam). Sejak Islam inspirasi pertunjukan. Adaptasi dengan perubahan
dianut masyarakat Karampuang, pelaksanaan zaman dilakukan dengan melakukan modifikasi

Kelanjutan Tradisi Lisan Maddoja Bine........(A. Sulkarnaen) │ 271


agar sesuai dengan tuntutan zaman. Metode manusia dalam relasinya dengan semesta. Bagi
yang dilakukan adalah dengan memodifikasinya kalangan petani ini, dalam attoriolong, ada sebuah
dalam bentuk seni pertunjukan panggungdengan nilai kepercayaan yang meresap jauh dalam lubuk
menanggalkan unsur ritual magisnya. hati petani tersebut. Seperangkat pengetahuan,
nilai kepercayaan dan keyakinan tersebut
PENUTUP sebagai ideologi kultural yang diekspresikan
Kelanjutan tradisi merupakan cerminan dalam tindakan simbolik berupa ritual. Dengan
kebermaknaan dari praktik sosial budaya bagi kata lain, ideologi kultural sebagai seperangkat
pendukungnya. Sebuah tradisi tidak dapat pengetahuan dan keyakinan yang dikonstruksi
dilepaskan dari sistem nilai yang dianut oleh untuk memenuhi kebutuhan komunitas tertentu
masyarakatnya yang menggerakkan hati mereka untuk membangun tatanan sosial.
untuk melaksanakan tradisi tersebut. Sistem Sebuah tradisi tidak dapat dilepaskan dari
nilai yang ada saat ini merefleksikan orientasi sistem nilai yang menuntun sang petani untuk
kekinian dari suatu komunitas masyarakat, bertindak menggelar apa yang mereka namakan
yang pada akhirnya akan menentukan corak ritual maddoja bine tersebut.Maddoja bine
struktur ritual. Misalnya dalam pelaksanaan dimaksudkan sebagai bentuk penyampaian rasa
maddoja bine di daerah Barru, yang memasukkan syukur kepada Yang Maha Kuasa dan sebagai
unsur-unsur Islam (pembacaan Al Quran dan ungkapan penghargaan terhadap alam lingkungan.
barzanji). Hal demikian menunjukkan kondisi Dengan melakukan tradisi maddoja bine, orang
orientasi kini masyarakat di daerah Barru dalam Bugis mempraktikkan kepercayaan lokal yang
menjalankan ajaran Islam. Ini juga terkait dengan mengungkapkan relasi antara manusia dengan
kreatifitas masyarakat dalam mendialogkan alam dan Pencipta. Namun, kelanjutan tradisi
kebudayaan mereka dengan ajaran agama yang akan dipengaruhi berbagai faktor yang ada di
diyakininya.Hasil interpretasiakan menentukan sekitarnya. Determinasi eksternal (agama dan
struktur pelaksanaan maddoja bine. Islam dalam politik) dan limitasi internal (sistem pewarisan)
terapannya ternyata memiliki ragam-variasi sesuai akan memengaruhi kelanjutan tradisimaddoja
dengan masa dan tempat (kini dan di sini). bine dalam masyarakat Bugis. Kelanjutan
Dalam konteks budaya, kebermaknaan maddoja bine merupakan wujud pemaknaan
sebuah tradisi ritual biasanya berkaitan dengan tradisi bagi manusia Bugis yang menganggapnya
mitos dan sistem kepercayaan (religi). Proses masih fungsional dalam kehidupan mereka
pemaknaan dan perubahan pelaksanaan tradisi meskipun strukturnya mengalami perubahan.
dalam masyarakatnya dilihat sebagai sebuah
dinamika sosial budaya. Perubahan tersebut
PUSTAKA ACUAN
biasanya meninggalkan jejak tentang perjalanan Abdullah, Taufik. (2012). “Kajian Tradisi Lisan:
kehidupan suatu komunitas masyarakat pemilik Dari Pencapaian ke Tantangan.” Makalah
tradisi terkait dengan sistem religi, kosmologi, Seminar Internasional dan Festival Tradisi
dan sistem pengetahuan masyarakat. Lisan VIII, Tanjungpinang 22--25 Mei 2012.
Maddoja bine sebagai tradisi attoriolong Ambo Enre, Fachruddin.(1999). Ritumpanna
(anutan leluhur) menjadi benang merah Welenrennge: Sebuah Episoda Sastra
kesinambungan tradisi spiritual Bugis kuno
Bugis Klasik Galigo: Jakarta: Yayasan Obor
yang menjadi salah satu kekayaan keberagamaan
Indonesia.
budaya Nusantara. Hal ini memberikan gambaran
fenomena kecerdasan emosional dan kecerdasan Danandjaja, James. (2003). Kegunaan Cerita
spiritual orang Bugis serta transformasi Islam Rakyat Sawerigading sebagai Sumber Kajian
dalam budaya Bugis. Sebenarnya attoriolong Sejarah Lokal Daerah-Daerah Sulawesi
masyarakat Bugis ini berisi kearifan lokal (local Selatan Dalam La Galigo Menelusuri Jejak
wisdom), berbagai peraturan tentang hubungan warisan Sastra Dunia. Nurhayati Rahman
antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan dkk (ed.). Makassar. Penerbit Pusat Studi La
manusia, manusia dengan roh nenek moyang dan Galigo Divisi Ilmu Sosial dan Humaniora,
manusia dengan alam beserta isinya. Sejatinya Pusat Kegiatan Penelitian Universitas
pengetahuan dan kearifan masyarakat Bugis Hasanuddin dan Pemerintah Kabupaten
menaruh penghormatan terhadap eksistensi Barru.

272 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


Dundes, Alan, (2005). “Folkloristics in the Chong Guan (ed.). Sejarah Kelisanan di Asia
Twenty-First Century” dalam Journal of Tenggara: Teori dan Metode. Diterjemahkan
American Folklore, Vol. 118, No. 470, oleh R.Z. Leirissa, LP3ES, Jakarta.
Fall 2005 Published by American Folklore Muttaqin, Ahmad. (2016). “Barzanji Bugis”
Society. dalam Peringatan Maulid: Studi Living
Faisal. (2001). “Kisah Meongmpalo Karellae: Hadis di Masyarakat Bugis Soppeng” dalam
Sebuah Mitos dalam Kehidupan Masyarakat Jurnal Living Hadis, Vol. 1, No.1, Mei 2016.
Bugis,” dalam Buletin Bosara: Media Nonci. (2003). Upacara Tudang Sipulung dan
Informasi Sejarah dan Budaya Sulsel No. 19 Mappalili Masyarakat Sulawesi Selatan.
Tahun VIII/20001. Balai Kajian Jarahnitra Makassar. Aksara.
Makassar.
Ong, Walter J. (2002). Orality and literacy: The
Finnegan, Ruth. (1992). Oral Tradition and the technologizing of the word. Edisi II. New
Verbal Arts: A Guide to Research Practices. York: Routledge.
London: Routledge.
PaEni, Mukhlis. (ed.). 1986. Dinamika Bugis-
----------------. (1977). Oral Poetry: Its Nature, Makassar. Makassar: Pusat Latihan
Significance and Social Context. London: Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial.
Cambridge University Press.
Pelras, Christian. (2006). Manusia Bugis.
Halbwachs, Maurice. (1992). On Collective Diterjemahkan oleh Abdul Rahman Abu
Memory. 1925. Ed., Lewis A. Coser (terj.). dkk. Jakarta. Nalar dan Forum Jakarta-Paris
Chicago: University of Chicago Publishing. EFEO.
Ikram, Achadiati. (2008). “Beraksara dalam Pudentia. (2000). Mak Yong: Hakikat dan
Kelisanan” dalam Pudentia MPSS (ed). Proses Penciptaan Kelisanan. Disertasi
Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: di FIB-UI. Perpustakaan Fakultas Ilmu
Asosiasi Tradisi Lisan. BudayaUniversitas Indonesia.
Koentjaraningrat. (1974). Kebudayaan, -----------. (ed.). (2008). Metodologi Kajian
Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi
Gramedia Pustaka Utama. Lisan.
-----------. (1984). Manusia dan Kebudayaan di Qomar, Mujamil. (2015). “Ragam Identitas Islam
Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. di Indonesia dari Perspektif Kawasan.”
Lessa, William A. & Evon Z. Vogt (ed.) (1979). Jurnal Epistemé, vol. 10, no. 2, Desember
Reader in Comparative Religion: An 2015. Pascasarjana IAIN Tulungagung.
Anthropological Approach. New York. Rahman, Nurhayati. (2008). “Agama, Tradisi,
Harper & Row Publisher. dan Kesenian dalam Manuskrip La Galigo”,
Lord, Albert B. (1995). The Singer Resumes The yang diterbitkan dalam SARI: Jurnal Alam
Tale. London: Cornell University Press. dan Tamadun Melayu, 26. Pp 213-220.
----------------. (2000). The Singer of Tales. Second ISSN 0217-2721. Kuala Lumpur: University
Edition. London: Harvard Universty Press. Kebangsaan Malaysia Press.
Malinowski, Bronislaw. (1972). “The Role Saidi, Anas. (2015). “Sepengertian tanpa
of Magic and Religion” dalam William Sepengetahuan: Survival Strategy dan
A Lessa & von Z. Vogt (Penyunting). Makna Simbolik Transmisi Kelisanan
Reader in Comparative Religion: An (Kasus Agama Djawi Sunda, Cigugur,
Anthropological Approach. New York. Kuningan, Jawa Barat).” Disertasi Program
Evanstor, San Fransisco: Harper & Row, Pascasarjana FIB UI.
Publisher, hal 63-72. Sedyawati, Edi. (1996). “Kedudukan tradisi
Morrison, James. (2000). “Perspektif Global lisan dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu
Sejarah Lisan di Asia Tenggara,” dalam budaya”, dalam Warta ATL Edisi II/Maret.
Lim Pui Huen, James H Marrison dan Kwa Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Kelanjutan Tradisi Lisan Maddoja Bine........(A. Sulkarnaen) │ 273


Sweeney, Amin. (2011). Pucuk Gunung Es: Tol, Roger dan Pudentia. (1995). “Tradisi
Kelisanan dan keberaksaraan dalam lisan Nusantara: Oral tradition from the
kebudayaan Melayu-Indonesia. Jakarta: Indonesian archipelago a three-directional
Kepustakaan Populer Gramedia dan majalah approach”, dalam Warta ATL Edisi Perdana,
Horizon. No I/01-Maret 1995. Jakarta: Asosiasi
Teeuw. (1994). Indonesia: Antara Kelisanan dan Tradisi Lisan.
Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya. Vansina, Jan. (1985). Oral Tradition As History.
London: Heinemann

274 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017

Anda mungkin juga menyukai