Anda di halaman 1dari 7

Widya Katambung:Jurnal Fisalfat Agama Hindu Vol.12 No.

2 2021
Website Jurnal : https://ejournal.iahntp.ac.id/index.php/WK
E-ISSN : 2797-3603
DOI: https://doi.org/10.33363/wk.v12i2.753

PEMUJAAN SANGIANG SERRI DI TANAH BUGIS


Ni Wayan Sri Rahayu1, Ni Kadek Tuti Sri Devi2
The Hindu Center Of Indonesia1,2

Abstrak
Pemujaan terhadap Dewi Padi atau Sanghyang Serri sangat terkenal di beberapa
wilayah di Indonesia. Seperti Nyai Pohaci Sanghyang Asri dalam bahasa Sunda, Dewi
Sri dalam bahasa Jawa serta Sanghyang Sri dalam bahasa Bali. Pemujaan terhadap
Sangyang Serri di Indonesia tidak terlepas dari keberadaan wilayah Indonesia yang di
kenal sebagai Negara agraris, begitu pula halnya dengan masyarakat Bugis yang berada
di Provinsi Sulawesi Selatan. Sebagaimana petani yang terdapat di daerah lain, para
petani Bugis juga masih sangat memegang teguh tradisi-tradisi leluhur yang berkaitan
dengan aktivitas pertanian. Seperti melakukan upacara adat sebelum memulai aktivitas di
sawah maupun mencari hari baik untuk terjun ke sawah. Hal ini juga tidak terlepas dari
kepercayaan masyarakat Bugis terhadap Sangiang Serri yang di anggap sebagai penentu
dari keberhasilan aktivitas pertanian. Dalam Lontara I La Galigo, Sangyang Serri di
katakan sebagai anak dari Bhatara Guru yang di anggap sebagai leluhur masyarakat
Bugis dan sekaligus sebagai raja pertama di Kerajaan Luwu. Dalam melakukan pemujaan
terhadap Sangiang Serri masyarakat Bugis melakukan suatu upacara yang disebut dengan
Mapalili atau komando turun sawah. Upacara ini di pimpin oleh Pendeta Bugis atau yang
disebut dengan Bissu dan di laksankaan dengan sangat meriah. Melalui upacara ini
masyarakat Bugis meyakini bahwa hasil panen yang mereka peroleh akan berlimpah
karena telah di restui oleh Sangiang Serri dan para Dewata.

Kata Kunci : Sangiang Serri, Bugis, Tradisi

I. PENDAHULUAN masyarakat Bugis yang di Provinsi


Bercocok tanam menjadi suatu Sulawesi Selatan. Aktivitas pertanian
kegiatan yang telah di kenal sejak lama menjadi salah satu mata pencarian utama
oleh sebagaian besar masyarakat bagi masyarakat yang berada di Provinsi
Indonesia. Hal ini di sebabkan oleh Sulawesi Selatan. Sebagaimana petani
wilayah Indonesia yang terkenal sebagai yang terdapat di daerah lain, para petani
Negara agraris. Curah hujan yang Bugis juga masih sangat memegang
teratur, banyaknya aliran sungai serta teguh berbagai tradisi-tradisi leluhur
tanah yang subur menjadi faktor yang yang berkaitan dengan aktivitas
sangat penting dalam kegiatan bercocok pertanian. Seperti halnya melakukan
tanam di wilayah Indonesia. upacara adat sebelum memulai aktivitas
Berdasarkan data arkeologis yang telah di sawah maupun mencari hari baik
di temukan menunjukan bahwa kegiatan untuk terjun ke sawah. Berbagai upacara
bercocok tanam telah di kenal sejak adat tersebut di lakukan dengan maksud
zaman prasejarah dengan teknik yang untuk memelihara hubungan yang baik
masih sangat sederhana (Irwanto, 2016). dengan para leluhur maupun kepada para
Kegiatan bercocok tanam menjadi Dewata.
salah satu aspek yang hampir dapat di Budaya agraris yang begitu kuat
temukan pada suku-suku yang terdapat yang di miliki oleh masyarakat Bugis
di Indonesia. Begitu pula halnya juga tercermin dari struktur rumah

63
Pemujaan Sangiang Serri di Tanah Bugis
Ni Wayan Sri Rahayu, Ni Kadek Tuti Sri Devi

Bugis. Pada rumah tradisional Suku dan Bali) adalah sebuah entitas spiritual
Bugis, ruang sakral (suci) secara struktur yang tidak terlihat dan memiliki
vertikal berada pada Rakkeang. kekuatan supranatural dalam mitologi
Rakkeang merupakan ruang yang berada Nusantara kuno. Entitas spiritual ini
di atas badan rumah mulai areal plafon adalah para leluhur atau yang kemudian
sampai dengan kemiringan atap (Naing, berkembang menjadi para Dewa. Dalam
dkk, 2019). Pada bagian atas tersebut istilah Nusantara moderen, Hyang
akan di gunakan sebagai tempat adalah sebutan untuk para Dewa, Dewata
penyimpanan padi serta hasil pertanian atau Tuhan yang saat ini banyak di
lainnya. kaitkan dengan pengaruh masuknya
Penghormatan masyarakat Bugis ajaran Hindu di Indonesia.
terhadap padi telah berlangsung sejak
zaman Bugis Kuno. Mitologi mengenai Namun, istilah ini sebenarnya
keberadaan padi sangat melekat pada memiliki asal usul yang lebih tua.
kehidupan masyarakat Bugis sebagai Irwanto (2016) menjelaskan bahwa
nilai luhur yang harus tetap dijaga. penyebutan kata Hyang yang saat ini
Dalam Lontara I La Galigo, Dewi Padi ditemukan di Indonesia merupakan
disebut dengan Sangiang Serri, mitilogi berasal dari kepercayaan masyarakat
ini di anggap sebagai sesuatu yang sakral penutur Austronesia yang mendiami
dan hingga saat ini masih melekat dalam kepulauan Nusantara. Konsep pemujaan
kehidupan masyarakat Bugis. leluhur ini adalah asli dan di
Kata Hyang atau Sang Hyang kembangkan oleh pribumi di Nusantara.
merupakan sebuah entitas spiritual yang Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa
tidak terlihat dan memiliki kekuatan sesungguhnya penduduk asli Nusantara
supranatural dalam mitologi Nusantara telah memiliki entitas spiritual yang kuat
Kuno (Irwanto, 2016). Kata Sang Hyang sejak zaman kuno.
Serri atau Dewi Sri maupun Sangiang Mereka juga percaya bahwa
Serri merupakan sebuah sebutan yang nenek moyang atau leluhur mereka tidak
sangat terkenal di beberapa daerah di pergi atau hilang sepenuhnya. Roh
Nusantara seperti Nyai Pohaci leluhur dapat memperoleh kekuatan
Sanghyang Asri dalam bahasa Sunda, spiritual seperti Dewa dan masih terlibat
Dewi Sri dalam bahasa Jawa serta dalam urusan duniawi keturunan
Sanghyang Sri dalam bahasa Bali. mereka. Itulah mengapa pemujaan untuk
Dalam ajaran agama Hindu menghormati leluhur merupakan elemen
pemujaan terhadap Dewi Padi penting dalam sistem kepercayaan
merupakan suatu kegiatan yang sangat kelompok suku pribumi, seperti Nias,
lazim di lakukan. Mengingat pentingnya Dayak, Batak, Toraja, Papua Bugis dan
pemujaan terhadap Sanghyang Serri di banyak kelompok suku lainnya di
Nusantara, pemujaan terhadap Sangiang Nusantara.
Serri yang di lakukan oleh masyarakat
Bugis menjadi suatu yang sangat
2.1 Sangiang Serri Dalam Lontara I La
menarik untuk di bahas guna memahami
Galigo
secara mendalam mengenai pemujaan
Sanghyang Serri di Nusantara Lontara I La Galigo menjadi
khususnya pada kehidupan masyarakat salah satu dokumen tertulis yang dimiliki
Bugis. oleh masyarakat Bugis sebelum
masuknya agama Islam di wilayah
II. PEMBAHASAN Sulawesi Selatan (Rahman, 2006).
Hyang atau di personifikasikan Penulisan La Galigo ke dalam sebuah
sebagai Sang Hyang (Kawi, Jawa, Sunda naskah bermula pada abad ke-19 ketika
64
Widya Katambung:Jurnal Fisalfat Agama Hindu Vol.12 No.2 2021
Website Jurnal : https://ejournal.iahntp.ac.id/index.php/WK
E-ISSN : 2797-3603
DOI: https://doi.org/10.33363/wk.v12i2.753

pemerintahan Belanda membuat La Galigo koleksi dari H.A Abdullah


kebijakan untuk menerjemahkan Alkitab Petta Torang sebagaimana dikutip dari
ke dalam bahasa-bahasa Nusantara. yakni:
Sasaran pertama mereka selain Na lilu keteng We
menerjemahkan Alkitab ke dalam Saunriwu; Na tellu keteng
Bahasa Nusantara, yaitu untuk babuwanna; Nari puppunna
mempelajari bahasa dan kebudayaan cero datue; Na pitumpuleng
setempat termasuk sastra-sastra dalam pegammuwana babuwana;
berbagai naskah. Pada saat itu Benjamin Najaji tau; Napitumpenni
Frederik Matthes yang merupakan muwa jajinna; Sesu We
utusan dari Pemerintah Belanda Oddanriwu; Le na
mendapat wilayah tugas di Sulawesi mapaddeng
Selatan pada tahun 1848 dengan tujuan banampatinna; Nari
utama untuk menerjemahkan Alkitab ke sappareng alek karaja; Tenri
dalam Bahasa Bugis atau Makassar. suwiyye; Naritarowang
Selama Matthes bertugas di Sulawesi gossali senri; Panrem malilu
Selatan di samping mengkaji dan tatawengenna
mempelajari naskah-naskah Bugis dan banampatinna; Natellum
Makassar ia juga memiliki perhatian penni muwa
khusus terhadap Lontara I La Galigo, matena; Nacabbengngiwi; Aruddaninna
sehingga ia memiliki misi untuk manurungnge ri jajianna; Le
mengumpulkan dan menyalin kembali nassaliweng maka ri
naskah I La Galigo. gossalinna
sebbukatinna; Napoleiwi
Di Kalangan masyarakat Bugis, makkapareng ase; Ridiye
khususnya di wilayah Luwu naskah I La engka maeja engka padi
Galigo menjadi kitab suci yang bernilai maridi; Engka mapute engka
sangat sakral. Di dalamnya berisi banyak malotong; Engka magau; Ala
episode-episode cerita supranatiral. engkaga lompok
Kitab ini biasanya akan di bacakan malowang; Tanete malampe
ketika sedang di lakukan upacara di bulu matanre; Tenna
Tanah Bugis, bahkan isi kitab ini di pennnoi ase ridiye; Kerem
percaya sebagai mantra untuk pulunna
menyembuhkan penyakit, menolak bala, manurungnge; Tenre alena
sebagai mantra pada upacara selamatan tuju nyilik I; Le
serta kegiatan yang lainnya. Secara makkappareng ase
umum Lontara I La Galigo ridiye; Natijam muwa Batara
menceritakan mengenai kehadiran Guru; Mampaeriwi le tarau
manusia pertama di Bumi yang disebut we; Naolai menrek ri
dengan Bhatara Guru dan hingga saat ini bottillangi; Natakkadapi
dipercaya sebagai leluhur dari sennek; Lolangeng ri Ruwa
masyarakat Bugis. Lette; Arekga sia puwang
Kehadiran Bhatara Guru di kuwae; Le
Bumi kemudian memiliki beberapa makkappareng; Engka
anak, salah satunya yakni Sangiang Serri maridi engka
yang di katakan sebagai putri yang malotong; Engka maeja
sangat cantik. Kehadiran Sangiang Serri engka magauk; Ala engkaga
di Tanah Bugis tertuang dalam Lontara I tanete malampe; Lompok
LA Galigo sebagaimana dalam Lontara I malowang tenna
65
Pemujaan Sangiang Serri di Tanah Bugis
Ni Wayan Sri Rahayu, Ni Kadek Tuti Sri Devi

pennoiwi; Kuwa adanna ada padang yang


PatotoE; Iya na ritu panjang; Semua
anak; Riyaseng di penuhinya; Adapun ucapan
Sangiasserri; Anakmu ritu Dewa PatotoE; Itulah
mancaji ase. anak; Di namai Sangiang
Serri; Anakmu yang menjadi
padi.
Terjemahan: (http://kebudayaan.kemdikbud.go.id).
Secara ringkas dalam Lontara I
Maka hamillah We Saunriwu;
La Galigo Sangiang Serri merupakan
Dan tiga bulan
seorang putri yang merupakan jelmaan
kehamilannya;
Di upacarakanlah sang janin; dari seorang bayi perempuan bernama
Dan tujuh bulan persis We Oddanriwu yang setelah meninggal
kandungannya; Maka menjelma kembali menjadi berbagai
lahirlah; Dan hanya tujuh jenis tanaman padi. Bayi perempuan
malam; Dan lahirlah We tersebut merupakan putri Bhatara Guru
Oddanriwu; Lalu ia dari istrinya yang bernama We Saunriwu.
meninggal; Lalu di carikan Sedangkan Bhatara Guru sendiri dalam
hutan belantara; Yang belum Lontara I La Galigo di katakan sebagai
terjamah; Lalu dibuatkan anak sulung dari Dewata PatotoE yang
pusaranya; Tempat merupakan Dewata atau penguasa dari
peristirahatan dunia atas atau yang disebut dengan
terakhirnya; Dan tiga hari Boting Langi. Bhatara Guru juga
dari kematiannya; Dia dikatakan sebagai manusia pertama di
menangis; Merindukan Bumi dikarenakan pada saat bumi masih
anaknya yang meninggal; Ia kosong Dewata PatotoE menugaskan
pun pergi ke pusara anak sulungnya untuk turun ke Bumi
anaknya; Di dapatinya penuh agar Bumi tidak kosong.
padi; Kuning ada yang Bagi masyarakat Bugis,
merah dan ada kuning; Ada Sangiang Serri di percaya sebagai Dewi
yang putih dan ada yang yang menguasai ranah dunia bawah
hitam; Ada yang
tanah juga bulan. Perannya mencakup
biru; Seluruh lembah yang
segala aspek Dewi Ibu, yakni sebagai
luas; Padang yang panjang,
pelindung kelahiran dan kehidupan. Ia
gunung yang
tinggi; Di penuhi dengan padi juga dapat mengendalikan bahan
yang menguning; Berdiri makanan di bumi terutama padi yang
bulu romanya Manurung; merupakan bahan makanan pokok
Gemetar badannya masyarakat Indonesia. Selain itu
menyaksikan; Penuh dengan Sangiang Serri juga dipercaya sebagai
padi yang menguning; mengatur kehidupan, kekayaan, dan
Berdirilah Bhatara kemakmuran.
Guru; Meraih Berkahnya terutama panen padi
pelangi; Di laluinya naik ke yang berlimpah dan di muliakan sejak
petala langit; Dan sampailah dia; masa kerajaan kuno di pulau Jawa seperti
Di negeri Ruwa; Apa Majapahit dan Pajajaran. Karena
gerangan wahai Sangiang Serri merupakan simbol bagi
paduka; Memenuhi padi, sehingga Sangiang Serri juga di
tempat; Ada yang kuning pandang sebagai Ibu kehidupan.
ada yang hitam; Ada yang Seringkali ia di hubungkan dengan
merah ada yang biru; Tidak tanaman padi dan ular sawah. Selain itu,
66
Widya Katambung:Jurnal Fisalfat Agama Hindu Vol.12 No.2 2021
Website Jurnal : https://ejournal.iahntp.ac.id/index.php/WK
E-ISSN : 2797-3603
DOI: https://doi.org/10.33363/wk.v12i2.753

Sangiang Serri dalam kehidupan masyarakat menganggap bahwa hal


masyarakat Bugis juga disebut dengan tersebut terjadi karena tidak di
Datunna Ase (Ratu Padi). lakukannya upacara adat Mapalili.
Dengan kesadaran tersebutlah beberapa
Bissu yang bersembunyi kembali
2.2 Mapalili Sebagai Upacara melakukan upacara Mapalili walaupun
Penghormatan Kepada Sangiang dengan cara yang sederhana dan tidak
Serri melalui upacara besar-besaran seperti
sebelumnya (Untara & Rahayu, 2020).
Mapalili merupakan sebuah
bentuk tradisi yang telah di lakukan sejak
lama dan masih berjalan hingga saat ini
pada kehidupan masyarakat Bugis. Hal
ini dapat dilihat pada upacara Adat
Mapalili yang di laksanakan oleh
masyarakat Segeri di Kabupaten
Pangkep. Mapalili berasal dari kata
Palili yang mengandug arti menjauhkan
hal-hal yang akan mengganggu atau
merusak tanaman padi (Anwar, 2007). Gambar.1 Upacara Adat Mapalili yang
Pada masa lalu khususnya pada di Pimpin oleh Bissu (Pendeta Bugis)
masa kejayaan kerajaan di Sulawesi
Selatan, kegiatan upacara Adat Mapalili Pada gambar di atas merupakan
akan melibatkan 40 Bissu (Pendeta proses kegiatan upacara adat Mapalili
Bugis) atau yang disebut dengan Bissu yang di laksanakan di Kecamatan Segeri
PattappuloE dan dilaksanakan selama Kabupaten Pangkajene Kepulauan
40 hari 40 malam dengan ritual yang (Pangkep). Upacara adat Mapalili yang
sangat meriah dan hikmat (Rahayu, terdapat di Kecamatan Segeri di lakukan
2020). Namun dalam perjalanan sejarah secara terun temurun dan di yakini oleh
di Sulawesi Selatan khususnya yang sebagian petani sebagai pedoman untuk
menyangkut mengenai peradaban Bugis memulai musim tanam padi. Walaupun
Kuno, upacara adat Mapalili sempat masih tetap di pertahankan, upacara adat
mengalami kemerosotan yang sangat Mapalili yang berada di Kecamatan
panjang. Kegiatan upacara Mapalili Segeri memiliki perbedaan dengan
yang di pimpin oleh Bissu di anggap upacara adat Mapalili yang dilakukan
sebagai suatu kegiatan menyembah oleh Suku Bugis pada masa lalu. Pada
berhala, tidak sesuai dengan ajaran zaman dahulu ketika pemerintahan di
agama Islam dan mengakitbatkan pegang oleh raja, Bissu di percayakan
feodalisme. Pada kondisi tersebut, tidak menjadi pemimpin upacara adat tersebut,
sedikit alat-alat upacara adat serta termasuk menentukan dan penetapan
pelakunya di beratas. Perlengkapan hari pelaksanaannya. Namun seiring
upacara di bakar dan di tenggelamkan ke perubahan sistem pemerintahan,
laut. Selain itu banyak Sarno (dukun) penetapan hari upacara adat Mapalili
dan Bissu di bunuh dan di paksa harus sudah mendapat campur tangan dari
bekerja keras (Aryadharma, 2016). pihak pemerintah. Setelah ada usulan
Namun pada saat tidak di penetapan Mapalili para Bissu harus
laksanakannya upacara-upacara adat menunggu kesiapan pejabat pemerintah
khususnya upacara adat Mapalili, melalui lurah, Camat hingga Bupati
banyak masyarakat mendapatkan hasil untuk menyetujui di laksanakan upacara
panen yang tidak memuaskan. Sebagian
67
Pemujaan Sangiang Serri di Tanah Bugis
Ni Wayan Sri Rahayu, Ni Kadek Tuti Sri Devi

tersebut serta menetapkan hari upacara Ahli antropologi sepakat bahwa


adat di laksanakan. kebudayaan memiliki wujud
Dalam setiap tahunnya upacara kebudayaan, dan Kontjaraningrat sendiri
Mapalili akan diadakan di Bola Arang menyebutkan ada tiga wujud
(Istana atau rumah kebesaran). Upacara kebudayaan, yaitu ide atau gagasan,
Mapalili di Bola Arajang dari tahun- aktivitas dan benda-benda hasil karya
tahun sebelumnya biasanya digelar manusia. Maka, dari cerita dalam I La
selama lima hari lima malam, namun Galigo tentang Sangiang Serri
seiring dengan perkembangannya demi kemudian melahirkan wujud
ke efesiensian waktu dan biaya upacara kebudayaan masyarakat Bugis berupa
Mapalili di laksanakan selama tiga hari. ide dan pemahaman masyarakat Bugis
Pada hari pertama, upacara akan bahwa padi merupakan sebuah bahan
di awali dengan pengambilan air suci makanan yang harus di perlakukan
atau yang disebut dengan Mallekko Wae berbeda dan istimewa, karena
yang kemudian di lanjutkan dengan merupakan penjelmaan anak perempuan
Mappanok Sesaji atau manurung pertama di bumi, yaitu Batara
mempersembahkan berbagai sesajian Guru.
kepada para Dewata, setelah
mempersembahkan sesajian kepada III. KESIMPULAN
leluhur dan para Dewata, upacara akan Sulawesi Selatan menjadi salah satu
dilanjutkan dengan Matteddu Arajang wilayah yang menerapkan sistem
atau prosesi membangunkan Arajang bercocok tanam pada kehidupan
yang berupa bajak sawah kerajaan. masyarakatnya. Selain keadaan musim
Arajang tersebut kemudian akan serta kondisi tanah yang mendukung,
dimandikan dan siap untuk diarak kegiatan bercocok tanam menjadi
keliling kampung, Hal tersebut sebuah kegiatan yang telah dilakukan
menandakan bahwa kegiatan turun sejak zaman dahulu oleh leluhur
sawah sudah dapat di mulai. masyarakat Suku Bugis di Sulawesi
Masyarakat Bugis saat itu Selatan. Hal ini dapat dilihat dari
meyakini tanpa diadakannya upacara pemujaan terhadap Sangyang Serri pada
Mappalili panen raya mereka dapat kehidupan masyarakat Bugis. Bagi
tergannggu. Selain itu, berdasarkan masysrakat Bugis Sangyang Serri
tatacara kerajaan peran Bissu sangat dianggap sebagai dewi yang sangat
dominan pada saat upacara adat cantik yang memberikan kemakmuran
Mappalili atau turun ke sawah. Para bagi masyarakat Bugis hal ini di
Bissu (Pendeta Bugis) akan bertugas simbolkan dalam bentuk padi yang
dalam pembacaan mantra selama tujuh menjadi makanan pokok masyarakat
hari tujuh malam. Bagi masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan.
Bugis, upacara adat Mapalili dilakukan Penghormatan terhadap Sangyang Serri
sebagai bentuk rasa syukur serta dapat dilihat melalui ritual adat yang
memohon restu kepada Sangiang Serri dilakukan oleh masyarakat Bugis yakni
untuk memulainya kegiatan pertanian. upacara adat Mapalili atau di kenal
Masyarakat Bugis percaya bahwa sebagai upacara komando turun sawah
melalui restu dari Dewata para petani dan sekaligus sebagai bentuk rasa syukur
dan masyarakat dapat memperoleh hasil masyarakat Bugis terhadap hasil panen
tanam yang baik. Oleh karena itu, acara yang telah di peroleh. Hingga saat ini
ritual Matteddu Arajang di pandang kegiatan upacara adat Mapalili menjadi
sakral oleh masyarakat tradisional Bugis. sebuah upacara adat yang rutin
dilakukan oleh masyarakat Bugis di
Sulawesi Selatan.
68
Widya Katambung:Jurnal Fisalfat Agama Hindu Vol.12 No.2 2021
Website Jurnal : https://ejournal.iahntp.ac.id/index.php/WK
E-ISSN : 2797-3603
DOI: https://doi.org/10.33363/wk.v12i2.753

DAFTAR PUSTAKA
Anandamurti, Shrii Shrii. (1991). Yama-
Anwar, Idwar. 2007. Ensiklopedi
Kebudayaan Luwu. Komunitas
Kampung Sawerigading:
Makassar.
Aryadharma, Ni Kadek Surpi. (2016).
Hindu di Tanah Bugis: Surabaya:
Paramita.
Irwanto, Dhani. 2016. Atlantis: Kota
Yang Hilang Ada di Laut Jawa.
Bogor. Indonesia: Hydro.
Morris D.F. Van Braam. 2007. Kerajaan
Luwu: Catatan Gubernur Celebes
1888, terjemahan H.A.M.
Mappasanda. Makassar: toACCAe
Publishing.
Naing, N., Hadi, A. K., & Djamereng, A.
(2019). Makna Ruang Sakral pada
Tata Ruang Dalam Rumah
Panggung Tradisional
Bugis. Jurnal Permukiman, 14(2),
62-72.
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis.
Jakarta:Nalar bekerjasama dengan
Forum Jakarta Paris, EFEO.
Rahayu, N. W. S. (2020). BHATARA
GURU DALAM TRADISI
BUGIS KUNO (Perspektif
Lontara I La Galigo). Widya
Genitri: Jurnal Ilmiah Pendidikan,
Agama Dan Kebudayaan
Hindu, 11(2), 71-82.
Rahman, Nurhayati. 2006. “Cinta Laut
dan Kekuasaan dalam Epos La
Galigo: Episode Pelayaran
Sawerigading ke Tanah Cina
Perspektif Filologi dan Semiotik”
Laporan Penelitian Makassar: La
Galigo Press.
Untara, I. M. G. S., & Rahayu, N. W. S.
(2020). Bissu: Ancient Bugis
Priest (Perspective On The
Influence Of Hindu Civilization In
Bugis Land). Vidyottama
Sanatana: International Journal of
Hindu Science and Religious
Studies, 4(2), 243-249.
69

Anda mungkin juga menyukai