Anda di halaman 1dari 11

ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340

EKSISTENSI ADAT, TANAH ULAYAT DAN PARIWISATA DI KASEPUHAN


CIPTAGELAR, JAWA BARAT

Tri Suyud Nusanto1 dan Nur Widiyanto2


1
Prodi S1 Pariwisata, Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo, Yogyakarta, Indonesia
2
Prodi S2 Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo, Yogyakarta, Indonesia
Email: nwidiyantostipram@gmail.com

ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi berbagai dinamika dari pertemuan antara Islam
dengan tatali paranti karuhun sebagai dasar spiritualitas dan praktek kehidupan masyarakat
adat Kasepuhan Ciptagelar yang menempati kawasan Taman Nasional Halimun Salak, Jawa
Barat. Fokus dari studi ini adalah terkait bagaimana aspek legal dari hak menjalankan
kepercayaan adat dan akses atas tanah ulayat bisa secara bertahap didapatkan melalui
keterlibatan dalam pengembangan pariwisata. Spiritualitas dan kehidupan sehari-hari warga
kasepuhan bersumber dari kepercayaan Sunda Pra-Islam, dan dikenal sebagai bagian dari
kepercayaan Sunda Wiwitan. Seperti halnya berbagai kepercayaan adat lain di Indonesia,
Sunda Wiwitan tidak dikategorikan sebagai agama resmi oleh negara. Pada sisi lain,
meskipun telah menempati wilayah adat secara turun temurun, namun setelah ditetapkan
sebagai bagian dari taman nasional, penduduk Ciptagelar sempat dianggap sebagai penghuni
ilegal di kawasan hutan konservasi. Hal ini menjadikan adanya dua tekanan sekaligus bagi
warga kasepuhan, yaitu keleluasan untuk menjalankan spiritualitas yang berakar dari ajaran
nenek moyang dan terpinggirnya atas hak tanah adat dari sisi legal. Pada saat yang sama,
Ciptagelar juga memiliki berbagai sumberdaya wisata budaya yang bersumber dari keaslian
tradisi Sunda, serta wisata alam di kawasan pegunungan. Untuk itu, studi ini memberikan
sudut pandang baru tentang bagaimana hadirnya pariwisata dapat menjadi jalan tengah bagi
upaya memperkuat identitas budaya Kasepuhan Ciptagelar serta mendapatkan pengakuan bagi
hak atas tanah ulayat. Riset etnografi dengan participant observation untuk pengumpulan data
ini memperlihatkan bahwa pariwisata ternyata dapat memediasi berbagai kebuntuan dari
dinamika antara Islam, adat dan upaya memperkuat akses untuk menempati tanah ulayat yang
telah ditetapkan sebagai bagian dari hutan negara.
Keywords: Kasepuhan Ciptagelar, Islam, adat, pariwisata, identitas

ADAT, CUSTOMARY LAND AND TOURISM IN KASEPUHAN CIPTAGELAR, WEST


JAVA.

ABSTRACT
The article aimed at understanding the dynamics within the encounter between Islam and
tatali paranti karuhun, the local religion as the central source of spirituality and cultural
practices of Kasepuhan Ciptagelar living on the Halimun Salak National park, West Java.
The tradition is rooted in Pre-Islamic Sundanese culture that is often placed as the part of
Sunda Wiwitan belief, which is, as the other local beliefs in Indonesia, not being recognized
as the official religion. On the other hand, although have been inhabiting the area for

http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index
ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340

hundred years the establishment of national park have placed the people as the illegal settler
within the state’s forest. Thus, there are two pressures for the people; the freedom to practice
their local tradition rooted in a local belief which is different from the majority group and the
limited legal access toward their customary land. Fortunately, Kasepuhan Ciptagelar is
blessed by various tourism resources, both in the term of eco-tourism and cultural tourism
rooted in the authenticity of Sundanese culture. In this case, the study offers new insight that
the arrival of tourism has given the opportunity for the people to strengthen their cultural
identity and the legal access toward the customary land. The ethnographic research through
participant observation to gather the primary data reveals that tourism has effectively
mediated the encounter between Islam, local belief and the struggle to re-claim the customary
land.
Keywords : Kasepuhan, Islam, adat, tourism, identity

Copyright ©2021. UHN IGB Sugriwa Denpasar. All Right Reserved

I. PENDAHULUAN adat sebagai kelompok animisme atau bahkan


“sesat”.
Masyarakat adat sering disebut sebagai
salah satu kelompok yang paling Di Jawa Barat, Kasepuhan Ciptagelar,
termarginalkan di Indonesia, baik dari sisi adalah salah satu kelompok masyarakat adat
politik, ekonomi, hak menjalankan agama Sunda yang masih menjalankan cara hidup dan
hingga pelayanan atas berbagai hak sebagai praktek budaya sesuai dengan masyarakat
warga negara. Meski demikian, dalam beberapa Sunda pra-Islam. Berbagai kegiatan sehari-hari
dekade terakhir masyarakat adat juga dianggap yang dilakukan oleh penduduk Ciptagelar
mulai menemukan jalan untuk memperkuat mengikuti aturan adat yang bersumber dari
identitas budayanya. Kebangkitan adat di tatali paranti karuhun atau ajaran dari nenek
Indonesia tersebut tidak lepas dari empat hal moyang (Adimiharja, 1992). Hal ini sering
yang mendukung; pengaruh gerakan menjadi dasar dari beberapa pihak untuk
internasional atas hak masyarakat adat, menyebut bahwa praktek budaya Kasepuhan
demokratisasi politik di Indonesia pasca Orde Ciptagelar sebagai Sunda Wiwitan. Disinilah
Baru, dan sejarah panjang eksistensi titik awal munculnya berbagai perbedaan dan
masyarakat adat serta berbagai strategi bertahan ketegangan dengan masyarakat Sunda
yang dibangun (Henley and Davidson, 2008). disekitarnya yang sudah menganut kepercayaan
dan praktek Islam (Widiyanto, 2019).
Selama masa penjajahan Belanda,
Kasepuhan Ciptagelar secara
berbagai pandangan negatif terhadap
adminisratif terletak di Desa Sirnaresmi,
masyarakat adat disematkan dengan tujuan
Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
untuk memperkuat kontrol terhadap mereka
Area pemukiman dan tanah adat kelompok ini
(Peluso and Vandergeest, 2001). Hal yang sama
bersinggungan dengan kawasan konservasi
juga dilanjutkan oleh pemerintahan Indonesia
Taman Nasional Halimun Salak. Masyarakat
setelah kemerdekaan dengan motif untuk
setempat meyakini bahwa sejarah kasepuhan
memperkuat ambisi pertumbuhan ekonomi,
berakar sejak tahun 1368, dimana seren taun,
dimana kelompok masyarakat tradisional sering
salah satu upacara adat paling penting di
ditempatkan sebagai penghambat kemajuan
Ciptagelar dimulai. Penduduk Kasepuhan
(Dove, 1985; Li, 2000). Lebih jauh, kehidupan
Ciptagelar berjumlah sekitar 150 KK, dan
budaya dan spiritualitas masyarakat adat yang
tinggal di Ciptagelar sebagai “lembur jero”,
berbeda dengan ajaran agama resmi, terutama
atau “kampung dalam” sekaligus sebagai pusat
Islam atau Kristiani sering menjadi dasar untuk
kebudayaan dari Kesatuan Adat Banten Kidul
menempatkan berbagai kelompok masyarakat
yang lebih luas dan dipimpin oleh seorang
kepala adat yang disebu Abah. Ciri khas secara

38 http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index
ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340

fisik dari kampung inti ini terletak pada “menyimpang”, termasuk di Kasepuhan
pemukiman yang tersusun dari bangunan Ciptagelar.
tradisional dari kayu yang beratap ijuk, berbeda Pada sisi lain, paper ini menggunakan
dengan “kampung luar” yang menggunakan ide utama bahwa kelompok minoritas tidak
bahan beton dengan atap dari bahan lebih pasif dalam menghadapi berbagai tekanan dari
modern. Lebih jauh, anggota keseluruhan dari luar. Sebaliknya, mereka secara aktif
masyarakat kasepuhan diukur dari pengakuan membangun strategi untuk bertahan dengan
terhadap Abah sebagai pemimpin adat berbagai taktik untuk menjawab permasalahan
mencapai sekitar 30.000 orang dari 569 desa di penting yang diajukan; bagaimana pariwisata
Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak di berperan dalam upaya penduduk Kasepuhan
Provinsi Banten. Ciptagelar mempertahankan identitas budaya
Dalam beberapa dekade terakhir, yang berakar pada ajaran leluhur serta
Kasepuhan Ciptagelar telah terkoneksi dengan menguatkan pengakuan atas tanah ulayat ?.
kegiatan wisata dengan tujuan untuk Dalam paper ini teori dramaturgi dari Goffman
memperkuat identitas budaya kasepuhan, (1990) digunakan untuk mempelajari resistensi
sekaligus sebagai salah satu alternatif masyarakat kasepuhan, baik terhadap tekanan
memperkuat akses dibidang ekonomi. Upaya dari sisi keagamaan maupun berkurangnya
ini tidak lepas dari berbagai tekanan terhadap akses serta pengakuan terhadap tanah ulayat.
kasepuhan, terutama terkait dengan hat atas Disinilah, teori “frontstage” dan “backstage”
tanah adat serta keleluasan untuk menjalankan dari Goffman akan menjadi kunci untuk
spiritualitas yang bersumber dari ajaran menjawab tujuan penulisan artikel ini yaitu
karuhun atau leluhur. Dari sisi tanah adat, menemukan keterkaitan antara pengembangan
penetapan kawasan Gunung Halimun sebagai pariwisata di Kasepuhan Ciptagelar dengan
taman nasional pada 26 Februari 1992 menjadi upaya memperkuat identitas budaya kasepuhan
titik balik dari ketidakjelasan hak atas tanah serta akses legal terhadap tanah ulayat yang
adat bagi kasepuhan dari sisi legal aspek, telah menjadi bagian dari kawasan taman
dilanjutkan dengan perluasan kawasan taman nasional.
nasional pada tahun 2003 yang memasukkan
seluruh area pemukiman, persawahan dan hutan
KAJIAN PUSTAKA
adat kasepuhan ke dalam kawasan konservasi
tersebut. Kasepuhan Ciptagelar sering
Selain tanah adat sebagai sumber ditempatkan sebagai bagian dari kelompok
spiritualitas masyarakat kasepuhan, keleluasan masyarakat Sunda di Jawa Barat yang masih
untuk menjalankan praktek beragama sesuai mempraktekkan cara hidup tradisional pra-
dengan tradisi leluhur juga mendapatkan Islam dan beberapa pihak menyebutnya sebagai
tekanan. Meskipun secara administratif bagian dari kelompok Sunda Wiwitan. Studi
beragama Islam, namun beberapa praktek Islam Mutaqqin (2014) menunjukkan bahwa
yang mendasar diartikan secara berbeda di kelompok Sunda Wiwitan lain di Kuningan,
kasepuhan. Hal ini memunculkan anggapan Jawa Barat yang dikenal sebagai Agama Djawa
kuat dari masyarakat di sekitar Ciptagelar yang Sunda (ADS) juga mengambil strategi non-
mayoritas beragama Islam bahwa praktek konflik dengan memeluk Islam, namun di
“Islam” di Kasepuhan Ciptagelar dianggap belakang praktek adat tetap menjadi dasar
tidak sama, Islam yang tidak shalat atau masih spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari.
bercampur dengan animism (Widiyanto, 2019; Sementara, dalam setting social masyarakat
93). Pada saat yang sama, dari sisi legal aspek, Jawa, relasi antara praktek adat Jawa dengan
UU No.1/PNPS/1969 yang menegaskan bahwa kedatangan ajaran Islam memunculkan
hanya 5 agama resmi yang diakui oleh negara segmentasi dari masyarakat Islam-Jawa yang
menjadikan praktek spiritualitas kelompok adat merujuk kepada penerimaan terhadap
rentan disebut sebagai ajaran yang sinkretisme sebagai salah satu dasar dari
spiritualitas masyarakat Jawa (Susilo, 2016).

http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index 39
ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340

Pada sisi lain, studi Picard (1996) dan dengan masyarakat Badui di Provinsi Banten.
Nordholt (2007) di Bali menunjukkan bahwa dan alat analisis utama adalah interpretasi
pada satu sisi pariwisata bisa menjadi jalan bagi terhadap berbagai simbol dan makna yang
penguatan identitas adat dan budaya muncul dalam keseluruhan interaksi selama
masyarakat Bali, dengan konsekuensi pada fieldwork (Spradley, 1997).
akhirnya antara budaya, agama dan pariwisata Data primer dikumpulkan dengan
menyatu dan dikenal dengan istilah “budaya participant observation, termasuk wawancara
pariwisata”. Demikian juga studi Widiyanto mendalam selama melakukan field work berseri
dan Agra (2019) di Sabah, Malaysia yang dari tahun 2016 hingga 2019, dilengkapi
menunjukkan bahwa berkembangnya dengan data arsip dari berbagai sumber.
pariwisata di Gunung Kinabalu menjadi jalan Informan dipilih dengan teknik snowball,
terhadap “half-hearted revivalism” dari dimana infoman kunci dipilih berdasarkan
Momolianism, agama lokal masyarakat Dusun representasi serta kedekatan terhadap isu yang
beserta berbagai konsekuensi yang muncul, diteliti. Sementara, observasi difokuskan pada
termasuk memudarnya budaya agraris karena aktifitas sehari-hari, baik individu maupun
berpindah ke berbagai aktifitas yang terkait kelompok serta berbagai kegiatan komunal
dengan kegiatan pariwisata. Disini, keterlibatan yang terkait dengan adat, agama maupun
masyarakat adat dan kelompok minoritas ke pariwisata. Hasil observasi tersebut
dalam kegiatan pariwisata tidak hanya terkait ditindaklanjuti dengan wawancara mendalam
dengan kepentingan untuk mendapatkan akses untuk mengklarifikasi beberapa aspek yang
terhadap benefit ekonomi dari pasar pariwisata, dianggap memiliki relevansi kuat dengan isu
melainkan juga sebagai sarana untuk penelitian yang dipilih.
memperkuat identitas budaya tertentu yang
terpinggirkan oleh kelompok dominan. II. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sementara, studi tentang masyarakat
Kedatangan Islam di Tanah Sunda
Kasepuhan Ciptagelar dalam beberapa dekade Kedatangan ajaran Islam di nusantara
terakhir didominasi oleh isu tentang disebut terjadi setelah sekian lama Hindu dan
keberhasilan pola pertanian tradisional,
Buddha hadir dan bercampur dengan berbagai
ketahanan pangan dan upaya memperkuat tradisi lokal sehingga proses perpindahan ini
pengakuan terhadap hak ulayat (Kusdiwanggo, disebut tidak lengkap (Ricklefs, 2012).
2016; Darjanto, 2015). Disinilah paper ini ingin Sementara, Islam sendiri hadir ke nusantara
melengkapi studi tentang bagaimana dinamika bersamaan dengan merebaknya berbagai jalur
antara agama resmi, praktek adat yang perdagangan dimana Kepulauan Indonesia
bersumber dari tradisi leluhur serta kegiatan adalah salah satu perlintasan dagang penting
pariwisata di Ciptagelar telah menjadi jalan dimasa lalu (Pringle, 2010: 29). Sementara itu,
bagi transformasi masyarakat adat untuk di Jawa Barat yang dikenal dengan landscape
terkoneksi dengan modernitas. budaya Sunda-nya, kehadiran ajaran Islam
tidak lepas dari pergeseran kekuasaan politik
METODE dari Majapahit ke Demak Islam di pesisir utara
Studi ini menggunakan metode etnografi Jawa Tengah di era 1400 an (Reid, 1993). Hal
untuk mendalami bagaimana perpektif dari ini disebut sebagai menjadi titik awal dari
masyarakat di Kasepuhan Ciptagelar dalam proses Islamisasi secara keseluruhan di Pulau
merespon berbagai tekanan terkait aspek Jawa dimana peran “wali sanga”, kelompok
keagamaan maupun hak atas tanah adat. Lokasi perintis penyebaran Islam melalui jalur politik
penelitian adalah di Kasepuhan Ciptagelar, menjadi salah satu kuncinya.
yang masuk wilayah Desa Sirnaresmi, Kehadiran Islam di Jawa Barat terjadi
Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, pada saat Pakuan-Pajajaran, kerajaan dengan
Jawa Barat. Wilayah ini adalah pusat dari corak adat Sunda masih eksis di era 1500-an.
kelompok masyarakat adat Kasepuhan Banten Periode kejatuhan Pajajaran tidak lepas dari
Selatan yang masih terhubung secara kultural menguatnya Islamisasi di pesisir Jawa Barat

40 http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index
ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340

yang ditandai dengan munculnya Kesultanan berbeda dengan Islam mayoritas di luar wilayah
Banten serta Cirebon yang terhubung dengan kasepuhan. Ki Amil, salah satu tetua adat yang
Demak (Achmad, 2017). Aliansi Banten dan lahir sekitar 1940-an menyatakan bahwa secara
Demak berkontribusi penting dalam kejatuhan administratif sejak kecil sudah memeluk Islam.
Pajajaran yang ditandai dengan direbutnya Meski demikian, berbagai ritual mendasar
Sunda Kelapa oleh kekuatan Islam dari pantai seperti shalat dan puasa tidak dilakukan secara
utara. Kejatuhan Sunda Kelapa di tahun 1527- rutin seperti dengan penganut Islam yang lain.
an menjadikan pusat kekuatan Pajajaran Pada sisi lain, ajaran leluhur serta berbagai
terpecah. Sebagian pengikut Pajajaran bergerak ritual berdasarkan adat justru menjadi praktek
ke Priangan dan mendirikan Sumedang Larang, yang secara individual maupun komunal rutin
sementara sebagian lain Pajajaran bergerak ke dijalankan. Berbagai ritual tersebut terutama
pedalaman Gunung Halimun. Sumedang yang terkait dengan siklus pertanian padi secara
Larang sendiri pada akhirnya “jatuh” dan tradisional yang setiap tahapan akan ditandai
menjadi vassal dari Mataram Islam di era dengan upacara adat tertentu. Hal inilah yang
Sultan Agung. Kelompok terakhir inilah yang kemudian memicu berbagai stigma terhadap
kemudian menjadi cikal bakal masyarakat spiritualitas masyarakat di Kasepuhan
Badui dan kelompok Kasepuhan Banten Ciptagelar, sekaligus memunculkan berbagai
Selatan, termasuk di Ciptagelar yang sering upaya “pemurnian” praktek beragama oleh
disebut sebagai penjaga adat dan tradisi berbagai kelompok Islam dari luar.
masyarakat Sunda dari masa Pajajaran. Dinamika Islam dan Adat
Jatuhnya Pajajaran, diikuti Sumedang Meskipun secara administratif warga
Larang memberikan jalan bagi proses kasepuhan memeluk Islam, namun dalam
Islamisasi secara bertahap di wilayah Jawa praktek sehari-hari mereka lebih untuk
Barat saat ini secara keseluruhan. Setelah menjalankan ajaran nenek moyang yaitu tatali
kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, wilayah paranti karuhun. Oleh beberapa pihak dari luar,
Jawa Barat kemudian dikenal sebagai wilayah ajaran spiritualitas ini sering ditempatkan
masyarakat Sunda dengan budaya Islam yang sebagai bagian dari Sunda Wiwitan, yang
kental sebagai hasil proses Islamisasi yang secara harfiah diterjemahkan sebagai
sudah dimulai sejak jatuhnya Pajajaran. Di era kepercayaan Sunda awal sebelum bercampur
Indonesia pasca kemerdekaan, gelombang atau digantikan dengan agama dari luar.
kedua proses “agamanisasi” berbagai Kepercayaan leluhur ini juga sering disebut
kepercayaan berbasis adat muncul dengan sebagai “agama karuhun” dan bertumpu kepada
diterbitkannya UU.No 1/PNPS/1969 dimana keyakinan bahwa dunia terbagi menjadi macro-
hanya ada lima agama resmi yang diakui oleh cosmos (dunia besar) dan micro-cosmos (dunia
negara. Berbagai agama lokal dan kepercayaan kecil) serta dunia sakral serta fana. Dunia sakral
adat yang menjadi kunci berbagai kehidupan yang tidak terlihat dan dunia fana saling terkait
spiritual dan budaya kelompok adat hanya satu sama lain sehingga prinsip hidup yang
ditempatkan sebagai “kepercayaan”. Hal ini dipraktekkan adalah dengan menjaga harmoni
mendorong migrasi besar-besaran penganut serta keseimbangan antara manusia, arwah
agama adat untuk memeluk salah satu agama leluhur (karuhun), berbagai makhluk hidup
resmi karena tanpa memiliki “agama resmi” baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat
pemenuhan berbagai hak sebagai warga negara serta dengan lingkungan tempat hidup mereka
juga akan menemui hambatan. Di Jawa Barat, (1992: 36). Pandangan inilah yang menjadi
sebagian besar penganut adat kemudian dasar dari praktek kehidupan sehari-hari yang
memeluk Islam meskipun sebagian kecil ada terus dijaga di Kasepuhan Ciptagelar, sehingga
yang menjadi Katholik seperti para penganut hampir seluruh awal untuk kegiatan pertanian,
Madraism di Kuningan (Steenbrink, 2005). membangun rumah, melakuka upacara adat
Sementara, di Kasepuhan Ciptagelar, hingga bermain bola ke luar kampung harus
Islam telah dipilih sebagai agama administratif dimulai dengan ijin dari sesepuh adat serta
meskipun praktek beragama yang dilakukan ritual untuk meminta “ijin” dari karuhun.

http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index 41
ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340

Disini, praktek agama leluhur ini Ciptagelar yang memiliki prinsip hidup
kemudian termanifestasi ke dalam kehidupan “menjaga keseimbangan” tidak pernah secara
sehari-hari dalam berbagai bidang kehidupan, terbuka dan dengan kekerasan menolak
sehingga tidak memerlukan ritual tertentu kedatangan kelompok pendakwah tersebut,
seperti yang biasa dilakukan dalam Islam. melainkan tetap diterima meskipun juga tetap
Secara singkat, tatali paranti karuhun dapat konsisten untuk mempraktekkan Islam dengan
ditempatkan sebagai bagian dari kepercayaan cara sendiri.
Sunda Wiwitan, sekaligus sebagai penanda bagi Disinilah, teori panggung atau
masyarakat Sunda yang masih mempraktekkan dramaturgi dari Goffman `digunakan untuk
ajaran leluhur atau belum sepenuhnya menjelaskan bagaimana relasi praktek adat dan
berpindah ke agama dunia yang datang dari Islam dijalankan secara bersamaan di
luar seperti Islam atau Kristiani. Sementara, Kasepuhan Ciptagelar. Selain secara
istilah Sunda Wiwitan sendiri muncul dari administratif memeluk Islam, berbagai simbol
Pangeran Djatikusuma, pemimpin ketiga dari Islam juga hadir di Ciptagelar; mushola, anak-
kelompok Sunda Wiwitan di Kuningan Jawa anak mengaji juga beberapa ritual adat
Barat yang awalnya ditujukan untuk keluar dari termasuk Tutup Nyambut untuk merayakan
dominasi budaya Jawa yang ada di dekat akhir masa tanam yang menggunakan doa
daerah tersebut (Mutaqin, 2014: 2). dalam dua bahasa sekaligus; Sunda dan Arab.
Mengikuti cara hidup leluhur yang Hal ini mirip dengan yang dilakukan oleh
dekat dengan lingkungan sekitar, menjaga penduduk Kendahe di Kepulauan Sangihe,
tradisi tertentu agar tidak berubah seperti rumah Sulawesi Utara yang menggunakan doa
beratapkan ijuk, bertanam padi secara menurut Islam sebagai pembukan acara
tradisional dengan masa panen setahun sekali komunal, dan menutup acara dengan doa sesuai
adalah aplikasi dari ajaran tatali paranti ajaran Kristiani (Widiyanto, 2012). Dalam
karuhun. Hal ini oleh Bird David (1999) struktur adat kasepuhan selain ada Ki Karma
disebut sebagai relational epistemology yang selaku dukun adat, terdapat Ki Amil, salah satu
berarti memberlakukan lingkungan hidup pembantu Abah, pemimpin adat yang bertugas
seisinya baik benda mati maupun benda hidup mengurusi masalah yang terkait dengan agama.
sebagai mahluk yang setara, dan menjadi dasar Beberapa bukti ini menunjukkan
hubungan harmonis antara masyarakat adat kecenderungan untuk menjaga harmoni atau
dengan lingkungan hidup. Di Ciptagelar, keseimbangan, tidak hanya dengan alam
praktek ini termanifestasi ke dalam berbagai sekitar, namun juga dengan masyarakat di luar
ritual untuk menghormati leluhur, adat serta negara.
berterimakasih kepada Dewi Pohaci (Dewi Pada sisi lain, meski Islam dan berbagai
Padi) sebagai sumber penghidupan serta simbolnya hadir dalam kehidupan sehari-hari di
meminta keselamatan dalam hidup bagi Kasepuhan Ciptagelar, namun upaya untuk
masyarakat lebih luas (Suganda, 2013; 55). memastikan bahwa hal tersebut tidak
Kedekatan dengan lingkungan sekitar mengganggu eksistensi adat juga terasa kuat.
berupa hutan, sungai, makam dan situs leluhur, Mang X, salah satu pemuda Ciptagelar dengan
pemukiman serta praktek pertanian tradisional tegas menyatakan bahwa perbedaan antara
melalui berbagai ritual ini kemudian menjadi Ciptagelar dengan beberapa kampung luar
dasar bagi sebagian penganut Islam di luar adalah bahwa warga Ciptagelar sebagai lembur
Kasepuhan Ciptagelar untuk menganggap jero adalah pemeluk adat, sedangkan yang
bahwa praktek Islam mereka bercampur dengan diluar lebih dominan agama (Islam). Sebagai
animism, atau lebih jauh hanya sebagai kedok. Muslim, anak-anak di Ciptagelar biasanya tetap
Lebih lanjut, hal ini diikuti oleh berbagai akan belajar shalat dan mengaji di mushola,
tindakan tertentu dengan mengirimkan namun saat akil baligh biasanya hal tersebut
sekelompok pendakwah ke Ciptagelar untuk sudah tidak dilakukan lagi. Tidak ada shalat
“meluruskan” praktek Islam yang dianggap berjamaah yang secara rutin dilakukan oleh
menyimpang. Pada sisi lain, masyarakat orang dewasa, termasuk shalat Jumat sehingga

42 http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index
ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340

mereka yang ingin melaksanakan Shalat Jumat pemukiman, pertanian dan hutan adat masuk
harus berjalan ke kampung lain. dalam klaim hutan negara (Widiyanto 2019;
Demikian juga apabila secara 101). Pada sisi lain, tanah adat berperan penting
bersamaan ada ritual atau acara adat yang dalam tumbuhnya berbagai praktek budaya
bersamaan dengan waktu shalat makan yang pada masyarakat agraris seperti Kasepuhan
diikuti adalah ritual adat. Tradisi upacara Ciptagelar, sehingga pada saat akses terhadap
perkawinan juga menjelaskan bagaimana adat tanah ulayat berkurang, praktek hidup dan
berperan cukup dominan, dimana setelah spiritualitas berlandaskan tatali paranti
menjalani serangkaian ritual menurut tata cara karuhun juga akan terancam. Bisa dikatakan,
Islam dan negara, pengantin yang disahkan adat tumbuh diatas tanah ulayat, tanpa tanah
oleh penghulu dari Kantor Urusan Agama adat pelan-pelan adat juga akan lenyap.
(KUA) harus mendapatkan restu dan Sejak tahun 2004, berbagai upaya telah
“pengesahan” dari abah selaku pemimpin adat dilakukan oleh warga kasepuhan untuk
untuk benar-benar dianggap sah sebagai suami- menegaskan eksistensi ada maupun
istri. Perkawinan merupakan salah satu fase memperkuat akses terhadap tanah adatnya.
penting dalam kehidupan adat di Kasepuhan Bergabung ke dalam kelompok sipil
Ciptagelar karena syarat untuk dapat masyarakat adat, Aliansi Masyarakat Adat
mengerjakan sawah sendiri dan melakukan Nusantara (AMAN) pernah dipilih oleh
praktek pertanian mandiri adalah pada saat pemimpin adat sebelumnya, Abah Anom,
seseorang telah menikah (Asep, 2018). Hal ini sebagai sarana untuk memperjuangkan
secara jelas menunjukkan bagaimana pengakuan atas tanah ulayat Kasepuhan
kecenderungan untuk menempatkan ajaran adat Ciptagelar secara legal sampai beliau
sebagai prioritas daripada praktek agama Islam meninggal dunia pada tahun 2007. Strategi ini
yang secara administrative dipeluk oleh warga dianggap tidak terlalu efektif serta tidak
Ciptagelar. Penerimaan Islam di Ciptagelar mencerminkan sikap “menjaga harmoni”
diyakini telah berlangsung ratusan tahun dan dengan berbagai pihak, termasuk negara yang
merupakan “identity construction” dari hasil selama ini menjadi prinsip hidup warga
interaksi dengan kelompok Islam yang kasepuhan. Hal ini dibuktikan dengan belum
dominan sejak runtuhnya Pajajaran karena adanya kemajuan hingga tahun 2015-an, dan
menguatnya Kesultanan Banten dan Demak, warga kasepuhan tetap ditempatkan sebagai
hingga proses “menjaga keseimbangan” serta penduduk illegal di kawasan konservasi.
hubungan baikan dengan kelompok Islam Pada sisi lain, berbagai praktek adat
mayoritas yang tinggal di sekitar Ciptagelar yang tetap terjaga ternyata menarik banyak
(Widiyanto, 2019;138). Lebih jauh, mengacu orang untuk datang ke Ciptagelar, selain untuk
Goffman, menampilkan simbol Islam di menikmati alam pegunungan yang tersembunyi
panggung depan, dan tetap menjaga adat di dari hirup pikuk kota. Awalnya kedatangan
belakang merupakan strategi non-kekerasan orang luar ke Ciptagelar adalah karena alasan
untuk tetap menjaga eksistensi tatali paranti spiritual dimana Abah Anom, pemimpin adat
karuhun itu sendiri. sebelumnya juga dikenal sebagai guru spiritual
Pariwisata Sebagai Jalan Tengah serta memiliki kedekatan dengan beberapa
Tekanan yang datang terhadap public figure dari Jakarta maupun Bandung.
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tidak Berawal dari kedatangan para tamu “generasi
hanya terkait dengan spiritualitas yang pertama” ini kemudian kabar tentang adanya
bertumpu pada ajaran leluhur saja, namun juga “surga tersembunyi” dibalik pegunungan
pada hak atas tanah ulayat yang bersinggungan Halimun juga mulai tersebar dari mulut ke
dengan wilayah konservasi Taman Nasional mulut. Tidak hanya alam yang masih asri,
Gunung Halimun-Salak sejak pertama kali budaya Sunda yang masih terjaga melengkapi
ditetapkan pada 1992. Terlebih, saat perluasan cultural landscape Ciptagelar sebagai sumber
kawasan taman nasional dari 40.000 ha menjadi daya pariwisata.
113.000 ha pada 2003, hampir seluruh wilayah

http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index 43
ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340

Sumberdaya wisata budaya yang dengan micro-hydro bisa diterima selama tidak
menjadi dayatarik pengunjung dari luar selain merusak adat serta memberi manfaat kepada
image tentang adanya kelompok masyarakat masyarakat kasepuhan. Menjaga adat agar tetap
Sunda yang tinggal di pegunungan Halimun sesuai tatanan selain menjadi kunci bagi
serta mengenakan pakaian dan tinggal rumah eksistensi masyarakat adat, juga bisa menjadi
tradisional juga karena menyimpan padi di kapital bagi berbagai pengembangan kegiatan
leuit (lumbung padi) dari kayu dan beratapkan wisata budaya di Kasepuhan Ciptagelar.
ijuk menjadi ciri khas dari Kasepuhan Merujuk MacCannel (1973), keaslian atau
Ciptagelar. Hal ini melengkapi berbagai otentisitas budaya adalah tulang punggung
upacara adat yang terhubung dengan siklus wisata budaya sehingga hilangnya keaslian bisa
pertanian padi huma kemudian ditempatkan akan diikuti oleh lenyapnya modal terpenting
sebagai sarana bagi masyarakat Jawa Barat di dari daya tarik atau kegiatan wisata budaya.
perkotaan untuk mempertautkan diri dengan Salah satu upacara adat yang kemudian
akar budaya Sunda yang sudah mulai saat ini berkembang menjadi kegiatan wisata
menghilang di kawasan urban. Inilah yang penting tidak hanya bagi warga kasepuhan,
menjadikan Kasepuhan Ciptagelar tiba-tiba namun juga pemerintah daerah adalah Seren
menjadi magnet baru bagi pengunjung baik dari Taun. Upacara ini adalah salah satu ritual
dalam maupun luar negeri untuk datang karena terpenting untuk menutup siklus menanam padi
dipicu oleh berbagai alasan budaya, fotografi, huma secara tradisional bagi masyarakat
wisata alam hingga untuk keperluan penelitian. kasepuhan sekaligus untuk mengucapkan rasa
Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata setiap terimakasih syukur dan persembahan kepada
minggu ada sekitar 50 pengunjung yang datang Dewi Pohaci, sang dewi padi. Diselenggarakan
dan menginap di Kasepuhan Ciptagelar, dan satu tahun sekali, ritual ini tidak hanya dihadiri
terdistribusi ke beberapa rumah warga selain di warga kasepuhan di lembur jero Ciptagelar,
Imah Gedhe, rumah besar tempat tinggal namun juga perwakilan dari warga kasepuhan
pemimpin adat. dari lembur luar yang tinggal beberapa wilayah
Pada sisi lain, prinsip hidup yang cukup kabupaten sekitarnya, termasuk di Provinsi
“akomodatif” terhadap masuknya hal baru dari Banten. Pesta panen ini biasanya berlangsung
luar, termasuk menerima Islam secara selama beberapa hari dengan menampilkan
administratif juga ditunjukkan oleh Kasepuhan beberapa atraksi kesenian tradisional seperti
Ciptagelar terhadap datangnya kegiatan wayang, jaipong hingga pentas musik modern
pariwisata. Meskipun beberapa warga, yang kemudian ditutup dengan ritual sakral
termasuk pemimpin adat, Abah Ugi secara untuk memasukkan padi hasil panen ke
tegas menyatakan bahwa Ciptagelar bukanlah lumbung komunal yang dikeramatkan; Leuit Si
destinasi wisata ataupun sebuah desa wisata, Jimat.
namun berbagai kegiatan yang dapat dikatakan Ribuan pengunjung baik warga adat,
sebagai wisata tidak dapat dihindari, sampai pedagang berbagai komoditas, wisatawan,
saat pandemik Covids19 membuat kedatangan perwakilan pemerintah, media massa hingga
pihak luar ke Ciptagelar dibatasi. Meski peneliti hadir ke Ciptagelar dan menginap di
demikian, seperti halnya strategi menerima rumah tradisional penduduk yang ditunjukan
Islam secara administratif di panggung depan serta menjadi semacam “homestay” dadakan.
dan mempraktekkan adat dalam kehidupan Di sini, meskipun tidak ada “tarif” resmi yang
sehari-hari sebagai prioritas, kedatangan ditetapkan, namun seperti halnya fungsi
pariwisata serta wisatawan ke Ciptagelar tetap industri akomodasi pendukung pariwisata, para
dalam koridor dibawah kontrol otoritas adat pengunjung yang menginap akan memberikan
sehingga eksistensi aturan adat tetap terjaga. Ini pengganti uang makan dan menginap bagi tuan
tercermin dalam pernyataan Abah Ugi sebagai rumah. Secara ekonomi, aktifitas “wisata”
pemimpin adat bahwa hal baru, termasuk selama Seren Taun maupun kedatangan
kegiatan wisata, teknologi informasi, pengunjung secara regular di hari biasa mampu
komunikasi hingga listrik ramah lingkungan memberikan alternatif pendapatan bagi warga

44 http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index
ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340

lokal sebagai penyedia jasa akomodasi, khusus” untuk kegiatan wisata budaya dan
pemandu serta terkadang transportasi untuk pendidikan, sehingga tidak lagi dianggap
antar jemput pengunjung di kota terdekat, sebagai penghuni illegal.
Pelabuhan Ratu atau Cisolok. Pada Beberapa bukti di atas menunjukkan
perkembangnya, kehadiran berbagai souvenir bahwa masyarakat adat, termasuk Kasepuhan
lokal seperti t-shirt dengan motif Ciptagelar, Ciptagelar hanya pasif dalam merespon
kopi maupun berbagai kerajinan lokal berbagai tekanan yang datang dari luar. Di
melengkapi nuansa pariwisata di kampung adat Ciptagelar, pariwisata tiba-tiba hadir sejak
Kasepuhan Ciptagelar. sekitar tahun 2008-an sebagai jalan tengah
Perkembangan aktifitas wisata, baik untuk bernegosiasi dengan tekanan terkait
wisata budaya maupun wisata alam di tradisi berdasarkan adat maupun upaya
Ciptagelar pada titik puncaknya mampu memperkuat klaim atas tanah ulayat yang sudah
memediasi berbagai kebekuan komunikasi ditinggali leluhur kasepuhan sejak ratusan
antara warga kasepuhan dengan pihak luar, tahun silam dan tiba-tiba dinyatakan sebagai
termasuk masyarakat yang selama ini bagian dari hutan negara. Meskipun saat
menganggap bahwa penduduk kasepuhan dikonfirmasi langsung ke kantor balai taman
penganut animisme serta dengan pihak Taman nasional pihak TNGHS menyatakan belum ada
Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). dokumen resmi apapun yang telah terbit untuk
Meningkatnya mobilitas orang luar yang datang mendukung pernyataan pihak TNGHS di tahun
untuk sekedar “melihat” Ciptagelar, mengantar 2016, namun hal tersebut tetap saja merupakan
pengunjung hingga berdagang sedikit mampu kemajuan penting bagi upaya penduduk
membongkar stereotipe kurang baik terhadap Kasepuhan Ciptagelar untuk mendapatkan
warga kasepuhan tersebut. Orang luar akhirnya pengakuan atas tanah ulayatnya serta rasa
melihat bahwa di Ciptagelar juga ada mushola nyaman tinggal di area hutan taman nasional.
bagi siapapun yang ingin bersembahyang atau Disini, meskipun keterlibatan yang semakin
anak-anak mengaji setiap selepas magrib intensif dengan kegiatan pariwisata tentu saja
bersamaan dengan praktek adat yang terjaga. memiliki beberapa konsekuensi yang tidak
Hal ini sedikit banyak mampu diinginkan, namun dengan menunjukkan bahwa
menghadirkan penerimaan tentang apa yang pariwisata berperan menjadi jalan tengah untuk
dipilih dan dijalankan oleh warga kasepuhan. menegosiasikan kepentingan untuk
Peningkatan jumlah pengunjung ke area mempertahankan identitas budaya yang
Ciptagelar, baik di hari biasa dan terutama saat bersumber dari tatali paranti karuhun serta
Seren Taun juga menjadikan Kasepuhan memperkuat klaim untuk tinggal di tanah ulayat
Ciptagelar serta berbagai kegiatan adatnya yang diwariskan oleh leluhur kasepuhan.
salah satu destinasi penting bagi pemerintah
daerah Kabupaten Sukabumi. Seren Taun juga III. SIMPULAN
kemudian dimasukkan ke dalam kalender resmi Eksistensi adat yang bertumpu pada tatali
kegiatan wisata budaya, termasuk berbagai paranti karuhun dan hak atas tanah ulayat yang
upaya untuk mempromosikan kepada pihak telah ditinggali secara turun temurun oleh
luar. Demikian pula pihak Taman Nasional masyarakat Kasepuhan Ciptagelar telah
Gunung Halimun-Salak yang sebelumnya
terancam oleh berbagai upaya pemurnian
sempat menyebut penduduk Kasepuhan agama dari kelompok mayoritas serta
Ciptagelar sebagai warga illegal di kawasan penetapan wilayah adat sebagai bagian dari
konservasi, justru menjadikan Kasepuhan kawasan konservasi. Selain dianggap sebagai
Ciptagelar sebagai aset wisata budaya bagi penghuni illegal di tanah adatnya sendiri,
pihak taman nasional. Lebih jauh, pada saat penduduk Ciptagelar kerap dianggap sebagai
upacara Seren Tahun 2016, perwakilan pihak muslim yang tidak utuh sehingga menjadi
taman nasional yang datang secara langsung target rutin upaya pemurnian Islam oleh
menyatakaan bahwa kawasan Ciptagelar telah kelompok Islam mayoritas.
dimasukkan sebagai “kawasan pengembangan

http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index 45
ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340

Bersamaan dengan kebijakan pemerintah Indonesia. Modern Asian Studies, pp.815-


yang menempatkan pariwisata sebagai sektor 852.
ekonomi strategis, pengembangan wisata di Kusdiwanggo, S. (2016). Konsep Pola Permukiman
Ciptagelar mampu menjadi jembatan sekaligus Spasial di Kasepuhan Ciptagelar. Jurnal
alat negosiasi terhadap tekanan dari luar Permukiman, 11(1), 29-42.
tersebut. Berbagai kegiatan budaya, khususnya Li, T.M. (2000). Articulating indigenous identity in
ritual Seren Taun justru diterima oleh Indonesia: Resource politics and the tribal
masyarakat luar sebagai atraksi tarik wisata dan slot. Comparative studies in society and
menetralisir segregasi antara Islam dan adat. history, 42(1), pp.149-179.
Lebih lanjut, dianggap memiliki potensi wisata MacCannell, D. (1973). Staged authenticity:
penting, Ciptagelar telah ditetapkan sebagai Arrangements of social space in tourist
area khusus pengembangan wisata dalam settings. American journal of
Sociology, 79(3), 589-603.
kawasan taman nasional. Meski demikian,
dibutuhkan political will dan policy will dari Mutaqin, Z. Z. (2014). Penghayat, orthodoxy and
negara untuk mengakomodir secara legal the legal politics of the state: The survival of
agama djawa sunda (madraisism) in
keberadaan masyarakat adat di kawasan
indonesia. Indonesia and the Malay
konservasi, termasuk Kasepuhan Ciptagelar World, 42(122), 1-23.
selama selaras dengan tujuan dari taman
Peluso, N.L. and Vandergeest, P. (2001).
nasional yaitu konservasi, edukasi serta
Genealogies of the political forest and
pengembangan wisata. customary rights in Indonesia, Malaysia, and
Thailand. The Journal of Asian
Studies, 60(3), pp.761-812.
REFERENSI Picard, M, 1996; Bali. Cultural tourism and
Achmad, S. W, 2017; Sejarah Islam di Tanah touristic culture.
Jawa: mulai dari masuk hingga Pringle, R, 2010; Understanding Islam in
perkembangannya. Araska Publisher. Indonesia: politics and diversity. University
Adimihardja, K, (992; Kasepuhan yang tumbuh di of Hawaiʻi Press.
atas yang luruh: pengelolaan lingkungan Reid, A, 1993; Southeast Asia in the age of
secara tradisional di kawasan Gunung commerce 1450–1680: Volume 2: Expansion
Halimun, Jawa Barat. Tarsito. and crisis. New.
Bird-David, N. (1999). “Animism” revisited: Ricklefs, M. C, 2012; Islamisation and its
personhood, environment, and relational opponents in Java: A politic al, social,
epistemology. Current cultural and religious history, c. 1930 to the
anthropology, 40(S1), S67-S91. present. Singapore: NUS Press.
Darjanto, B, 2015; Pola Tanam Padi dan Saepudin, A, 2018; Agama dan Kedaulatan
dampaknya terhadap Ketahanan Pangan Pangan: Memaknai Ulang Praktik Pertanian
Pokok (Studi pada Masyarakat Adat Banten serta Hubungan antara Manusia dan
Kidul Kasepuhan Ciptagelar di Desa Lingkungan (Studi Kasus Masyarakat
Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok Kabupaten Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat), Doctoral
Sukabumi), Doctoral dissertation, dissertation, Universitas Gadjah Mada.
Universitas Gadjah Mada. Schulte Nordholt, H. G. C, 2007; Bali an Open
Dove, M., 1985; Peranan kebudayaan tradisional Fortress 1995-2005. Regional autonomy,
Indonesia dalam modernisasi. Yayasan Obor electoral democracy and entrenched
Indonesia. identities.
Goffman, E.,1990; The presentation of self in Spradley, J. P., Elizabeth, M. Z., & Amirudin.
everydaylife. London:Harmondsworth.(Repr ,1997; Metode etnografi. Tiara Wacana
inted, London: Penguin Books 1990). Yogya.
Henley, D. and Davidson, J.S. (2008). In the name Steenbrink, K. A. (2005). A Catholic sadrach: the
of adat: regional perspectives on reform, contested conversion of Madrais adherents
tradition, and democracy in in West Java between 1960-2000. Een
vakkracht in het koninkrijk, 286-307.

46 http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index
ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340

Suganda, Ugis, Komunitas Adat Ciptagelar:


Membangun Posisi Tawar Hak Atas Hutan
Adat in Emilianus Kleden, Liz Chidley, and
Yuyun Indradi (eds), 2013; Hutan Untuk
Masa Depan; Pengelolaan Hutan Adat di
Tengah Arus Perubahan. Jakarta: Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) and
Down to Earth.
Susilo, J, 2016; Spiritualitas dalam Khazanah
Budaya Jawa: mencari jalan suci dalam Serat
Centhini. Research Report, 671-677.
Widiyanto, N., & MA, P. 2012; Berlindung di
Balik Mitos: Mitos Maslihe dan Adaptasi
Kultural Penduduk Kendahe, Kepulauan
Sangihe Terhadap Bahaya Letusan Gunung
Awu (Master thesis, Universitas Gadjah
Mada).
Widiyanto, N., 2019; Indigenous Religion and
Tourism Development in Indonesia and
Malaysia, Doctoral dissertation, Universitas
Gadjah Mada.
Widiyanto, N., & Agra, E. (2019). Tourism
Development and the New Path of Migration
in Sabah, Malaysia. Borneo Research
Journal, 13, 81-97.

http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index 47

Anda mungkin juga menyukai