Anda di halaman 1dari 11

POLITIK HUKUM KEPARIWISATAAN NASIONAL DALAM EKSISTENSI

KEPARIWISATAAN BUDAYA BALI DENGAN KONSEP TRI HITA KARANA

(Dosen : Prof. Dr. Drs. I Wayan Wesa Astara, SH.,M.Hum)

OLEH :

NAMA : LIA SITI SAWALIAH, SH

NPM: 2110123045

MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS WARMADEWA

DENPASAR

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Politik kebudayaan dalam penjelasan UUD 1945 adalah kebudayaan yang timbul sebagai
buah usaha budinya rakyat indonesia. Kebudayaan lama dan asli merupakan puncak-puncak
kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, yang kemudian disebut sebagai kebudayaan
bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju kea rah kemajuan adab, budaya dan persatuan,
dengan tidak menolak memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta kemanusiaan bangsa
indonesia1

Pariwisata memilki lingkup yang luas yang menyangkut kepentingan masyarakat


secara keseluruhan sehingga harus di laksanakan secara terpadu antara pemerintah , badan
usaha dan masyarakat sehingga dapat saling mengisi, terkait dan saling mendungkung.
Eksistensi perkembangan Pariwisata Bali memiliki dampak yang negative dan positif baik
secara ekologis dan cultural (Elizabet, 2005). Sesuai Peraturan Menteri dalam Negeri No. 3
Tahun 1997 tentang pemberdayaan dan pelestarian serta pengembangan adat istiadat,
kebiasaan- kebiasaan masyarakat dan lembaga adat di daerah. Pemberdayaan merupakan
rangkaian upaya efektif agar kondisi dan keberadaan adat istiadat, kebiasaan kebiasaan
masyarakat, dan lembaga adat tetap lestari dan masih kukuh, sehingga hal itu berperan positif
dalam pembangunan nasional dan berguna bagi masyarakat yang bersangkutan sesuai dengan
tingkat kemajuan dan perkembangan zaman. Sedangkan pelestarian adalah upaya untuk
menjaga dan memelihara nilainilai budaya masyarakat yang bersangkutan, moral dan yang
merupakan adat istiadat, kebiasaan kebiasaan dalam masyarakat, dan lembaga adat agar
keberadaannya tetap terjaga.

Di Bali pada umumnya pelaksanaan pariwisata dan pengelolaanya dengan konsep


budaya, maka diperlukan usaha untuk mengelola, melestarikan, dan mengembangkan asset
yang dimiliki daerah terutama warisan budaya yang menjadikan obyek dan daya tarik wisata
budya. Untuk itu diperlukan manajemen warisan budaya yang dapat melakukan penataan dan
juga mempromosikan warisan budaya yang dapat melestarkan warisan budaya. Maka dari itu
perlu dikelola dengan baik karena melihat kecendrungan wisatawan yang ingin menikmati
suatu budaya yang masih asli, maka kepariwisataan menjadi salah satu cara paling efektif untuk
melestarikan dan memperkuat budaya. Dalam UU No.5 tahun 1992, disebutkan bahwa benda
cagar budaya dan situs dilindungi dengan tujuan melestarikan dan manfaatnya untuk
memajukan kebudayaan. Perkembangan kegiatan pariwisata di Bali, berdasarkan pada Agama
yang dijiwai setiap aspek dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan Bali menjadi kunci utama
dalam perkembangan pariwisata di Bali, selain faktor alamnya. Kedatangan wisatawan ke Bali
sudah dipastikan akan memberi pengaruh terhadap kehidupan masyarakat Bali

1
Ragam Wacana Bahasa, sastra, dan Budaya, I Wayan wesna Astara, Dinamika Politik Kebudayaan, Hukum,
dan Pariwisata Bali, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal 25-26
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan
Budaya Bali dinyatakan bahwa pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan
didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,
pemerintah, dan pemerintah daerah. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait
dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud
kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat,
sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha. Kebudayaan adalah
keseluruhan gagasan, perilaku dan hasil karya manusia dan/atau kelompok manusia baik
bersifat fisik maupun non fisik yang diperoleh melalui proses belajar dan adaptasi terhadap
lingkungannya. Budaya Bali adalah kebudayaan masyarakat Bali yang dijiwai oleh nilainilai
Agama Hindu. 2

Kepariwisataan Budaya Bali adalah kepariwisataan Bali yang berlandaskan kepada


Kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana sebagai
potensi utama dengan menggunakan kepariwisataan sebagai wahana aktualisasinya, sehingga
terwujud hubungan timbalbalik yang dinamis antara kepariwisataan dan kebudayaan yang
membuat keduanya berkembang secara sinergis, harmonis dan berkelanjutan untuk dapat
memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, kelestarian budaya dan lingkungan. Tri Hita
Karana adalah falsafah hidup masyarakat Bali yang memuat tiga unsur yang membangun
keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan
manusia, dan manusia dengan lingkungannya yang menjadi sumber kesejahteraan, kedamaian,
dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia.

Destinasi Pariwisata Bali merupakan satu kesatuan destinasi pariwisata yang terdiri atas
sejumlah kawasan pariwisata, kawasan daya tarik wisata khusus dan kawasan lainnya yang
mempunyai daya tarik wisata sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali.
Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau
memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam
satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber
daya alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan. Kawasan
Pariwisata adalah kawasan strategis pariwisata yang berada dalam geografis satu atau lebih
wilayah administrasi desa/kelurahan yang di dalamnya terdapat potensi daya tarik wisata,
aksesibilitas yang tinggi, ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas pariwisata serta aktivitas
sosial budaya masyarakat yang saling mendukung dalam perwujudan kepariwisataan. 3

Kawasan Daya Tarik Wisata Khusus yang selanjutnya disebut KDTWK, adalah
kawasan strategis pariwisata yang berada dalam geografis satu atau lebih wilayah administrasi
desa/kelurahan yang didalamnya terdapat potensi daya tarik wisata, aksebilitas yang tinggi,
ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas pariwisata secara terbatas serta aktifitas social budaya
masyarakat yang saling mendukung dalam perwujudan kepariwisataan, namun

2
I Wayan sudiarta, Konsep Tri Hita Karana Dalam Pelaksanaan Budaya Hindu, STAH Negeri Singaraja,
2021, Vol 2
3
I wayan Gde Wiryawan, Inovasi Pelayanan Publik berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi
berdasarkan nilai kearifan local, Jurnal advokasi Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar, 2018.
Vol 8, hal 89
pengembangannya sangat dibatasi untuk lebih diarahkan kepada upaya pelesatrian budaya dan
lingkungan hidup. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan,
keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan
manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Usaha Pariwisata adalah
usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan
penyelenggaraan pariwisata. Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali dilaksanakan
berdasarkan pada asas manfaat, kekeluargaan, kemandirian, keseimbangan, kelestarian,
partisipatif, berkelanjutan, adil dan merata, demokratis, kesetaraan dan kesatuan yang dijiwai
oleh nilainilai Agama Hindu dengan menerapkan falsafah Tri Hita Karana.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat ditarik permasalahannya adalah
bagaimana politik hukum kepariwisataan nasional dalam eksistensi kepariwisataan budaya bali
dengan konsep tri hita karana ?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Politik Kebudayan dan Hukum

Pulau bali secara historis mempunyai sejarah yang cukup Panjang tentang desa adatnya,
pendapat paramitha (2003:15) tentang desa adat tidak terlepas dari pengaruh colonial Belanda
ketika menjajah Bali. Jatuhnya Pulau Bali ketangan Kolonial Belanda terakhir dengan
“Puputan Badung’ Tahun 1906 sehingga secara praktis Belanda mencengkrama system
birokrasi pemerintahannya di Bali. Selanjutnya, berkaitan dengan istilah dan konsep desa adat
dapat disebutkan berawal dari penelitian Liefrinck yang menyatakan bahwa desa di Bali yang
sesugguhnya adalah sebuah republic kecl yang memiliki hukum atau aturan adat dan tradisi
sendiri.4

Sejalan dengan pemikiran Liefrinck, suatu penelitian momuntel muncul dari V.E. Korn,
yaitu hasilnya memberikan litigimasi kepada studi liefrinck mengenai desa bali yang bersifat
otonom. Korn melakukan studi hukum adat di Bali dan menghasilkan buku Het adatrecht van
bali (1932), yang mmebuat desa terkenal dengan hukum-hukum adatnya. Berdasarkan
penelitiannya di desa Tenganan sebagai sebuah republic desa memiliki otonom yang kuat,
yakni dengan ungkapan “De Dopsrepubliek Tenganan Pagrisingan”5

Hukum tata negara dan hukum pemerintah daerah politik kebudayaan normative di Bali
tertuang dalam perda No. 06 Tahun 1986 tentang Desa Adat, dan perda No 3 tahun 2001
tentang Desa Pakraman. Kemudian, ketika perda tersebut di implementasikan dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari akan mengandung makna dimensi empririk. Selanjutnya, politik
kebudayaan normative sebagai bentuk “produkhukum perda Desa adat Nomor : 06 tahun 1986
dan Perda Desa Pakraman Nomor 03 Tahun 2001, kemudian diadakan perubahan berdasarkan
peraturan dareah Nomor 3 tahun 2003. Inti perubahasn itu pada pasal 1 yaitu mengubah
bebrapa ketentuan dalam peraturan daerah provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentnag desa
pakraman yang telah diundangkan dalam lembaran daerah provinsi Bali Tahun 2001 nomor 29
Seri D Nomor 29, yakni sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal 1, angka 3 diubah sehingga seluruhnya berbunyi “kecamatan adalah


wilayah kerja camat sehingga perangkat daerah kabupaten dan daerah kota”
2. Kentuan pasal 9, ayat (6) dihapus6

4
Dr. I Wayan wesana, Pertarungan Politik Hukum Negara dan politik Kebudayaan, Udayana University
Perss, Denpasar-bali, 2010, hal.167
5
Ibid, Hal 168
6
Perda Desa Pakraman nomor 3 tahun 2003. Amandemen perda desa pakraman ini disebabkan
subtansi hukum dalam pasal-pasal perda bertentangan dengan undang-undang. Artinya, asas materi hukum
terhadap materi muatan dapat digolongkan menjadi dua hal. (a) asas tingkatan Hierarki, salah satu asas itu dapat
disebutkan bahwa ketentuan-keetentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatnya tidak mempunyai
kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentnagan dengan perundnag-undangan yang lebih tingkat
tingkatanya. Ketentuan perundnagan yang lebih tinggi tingkatnnya tetap berlaku dan mempunyai kekuatan
Dengan demikian, Politik Kebudayaan “ oleh legislative dan eksekutif (gubernur) Bali
diarahkan untuk menyelamatkan desa adat dalam payung hukum, yakni lahirnya perda desa
adat nomor 06 tahun 1096. Adapun alasannya adalah sebagai berikut :

a. Bahwa desa adat provinsi daerah tingkat I Bali yang tumbuh berkembang sepanjang
sejarah selama yang sangat berharga teradap kelangsungan hidup mamsyarakat,
erjuangan kemerdekaan, dan pembangunan di Provinsi Daerah tingkat I Bali.
b. Bahwa desa adat di Provinsi daerah tingkat I Bali merupakan kesatuan masyarakat
hukum adat yang sangat besar perannya dalam bidang agama, ideologi negara, social
kultural, ekonomi, dan pertahanan kemanan sehingga perlu dilestarikan.
c. Bahwa untuk melestarikan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang
bersumber pada agama Hindu di daerah Tingkat I Bali, maka kedudukan, fungsi dan
perannya perlu diatur
d. Bahwa berhubungan dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan peraturan provinsi
Daerah Tingkat I Bali tentang kedudukan, Fungsi, dan peranan desa adat sebagai
kesatuan masyarakat Hukum adat di Provinsi Bali7

2.2 Pariwisata Budaya Dalam Konsep Tri Hita Karana

Menurut Perda provinsi Bali No.12 Tahun 2012 Tentang Kepariwisataan Bali adalah
kebpriwisataan yang di jiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafal Tri Hita Karana sebagai
potensi utama dengan menggunakan kepariwisataan sebagai wahana aktualisasi, sehingga
terujud hubungan timbale balik yang di names antara kepariwisataan dan kebudayaan yang
membuat keduanya saling berkembang secara sinergis, harmonis dan berkelanjutan untuk
dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, kelestarian budaya dan lingkungan.
Pariwisata telah di sadari sebagai suatu potensi ekonomi yang sangat besar dalam
pembangunan ekonomi bangsa, di samping juga mendukung pelestarian budaya dan lingkunga.
Adapun tujuan pembangunan kepariwisataan budaya Bali bertujuan : (a) melestarikan
kebudayaan Bali yang di jiwai oleh nilai- nilai Agama Hindu, (b) meningkatkan pertumbuhan
ekonomi,(3) meningkaktan kesejahteraan masyarakat,(4) menciptakan kesempatan berusaha,
(5) menciptkan kesempatan berusha (6)melestarikan alam dan lingkungan dan sumber daya,
(6) mengangkat citra bangsa (7) memperkukuh rsa cinta tanah air (8) memperkukuh rasa cinta
tanah air dan kesatuan bangsa (8) memperetat persahabatan antar bangsa. Penyelenggaraan
kepariwisataan. Bali berdasarkan asas manfaat, kekeluargaan, kemandirian, keseimbangan,
keseimbangan, partisipatif, berkelanjutan, adil dan merata, kesetaraan dan kesatuan yang di
jiwai oleh nilai – nilai Agama Hindu dengan menerapkankan falsafah Tri Hita Karana.

Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada
waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di

hukum serta mengikat walaupun diubah, ditambah, diganti atau dicabut oleh perundnag-undangan yan lebih
rendah. (b) undang-undang Tidak dapat diganggu. Liat ronny Sautma Hotma Bako, Pembentukan UU Republik
Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hal 62
7
Perda desa adat nomor 6 tahun 1986, konsideran menimbang: a s.d. e.
Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat
Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat
sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini
berkembang, meluas, dan memasyarakat.

Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita =
sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga
penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan
tuhannya, manusia dengan alam lingkungannya. manusia dengan sesamanya.

Unsur- unsur Tri Hita Karana ini meliputi:

1. Sanghyang Jagatkarana.
2. Bhuana.
3. Manusia

Unsur- unsur Tri Hita Karana itu terdapat dalam kitab suci Bagawad Gita (III.10), berbunyi
sebagai berikut:

Sahayajnah prajah sristwa pura waca prajapatih anena prasawisya dhiwan esa
wo'stiwistah kamadhuk

Artinya : Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda:
dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu

Dalam sloka Bhagavad Gita tersebut ada nampak tiga unsur yang saling beryadnya
untuk mendapatkan yaitu terdiri dari: Prajapati = Tuhan Yang Maha Esa, Praja = Manusia

Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut :8

1. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa Yadnya.
Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta
yadnya.
2. Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia
Yadnya.
3. Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu di Bali dapat dijumpai dalam
perwujudan:
a) Parahyangan
• Parahyangan untuk di tingkat daerah berupa Kahyangan Jagat
• Di tingkat desa adat berupa Kahyangan desa atau Kahyangan Tiga
• Di tingkat keluarga berupa pemerajan atau sanggah
b) Palemahan
• Pelemahan di tingkat daerah meliputi wilayah Propinsi Bali
• Di tingkat desa adat meliputi "asengken" bale agung

8
Dr. I ketut Widia, Desa adat di bali dalam Perspektif Perda Bali nomor 4 tahun 2019, CV. Putra Mas
Mesari, Bali, 2022, hal 86
• Di tingkat keluarga meliputi pekarangan perumahan
c) Pawong
• Pawongan untuk di tingkat daerah meliputi umat Hindu di Bali
• Untuk di desa adat meliputi krama desa adat
• Tingkat keluarga meliputi seluruh anggota keluarga

Dengan menerapkan Tri Hita Karana secara mantap, kreatif dan dinamis akan
terwujudlah kehidupan harmonis yang meliputi pembangunan manusia seutuhnya yang astiti
bakti terhadap Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada kelestarian
lingkungan serta rukun dan damai dengan sesamanya.

Dalam bidang garapan Tri Hita Karana dalam kehidupan bermasyarakat ,adalah sebagai
berikut :

1. Bhuana atau Karang Desa ,Alam atau wilayah teritorial dari suatu desa adat yang telah
ditentukan secra definitif batas kewilayahannya dengan suatu upacara adat keagamaan.
2. Krama Desa Adat, yaitu kelompok manusia yang bermasyarakat dan bertempat tinggal
di wilayah desa adat yang dipimpim oleh Bendesa Adat serta dibantu oleh aparatur desa
adat lainnya, seperti kelompok Mancagra ,Mancakriya dan Pemangku, bersama-sama
masyarakat desa adat membangun keamanan dan kesejahteraan.
3. Tempat Suci adalah tempat untuk menuja Tuhan/Sang Hyang Widhi .Tuhan/Sang
Hyang Widhi sebagai pujaan bersama yang diwujudkan dalam tindakan dan tingkah
laku sehari-hari.Tempat pemujaan ini diwujudnyatakan dalam Kahyangan Tiga .Setiap
desa adat di Bali wajib memilikinya. Kahyangan Tiga itu adalah : Pura Desa, Pura
Puseh,Pura Dalem. Kahyangan Tiga di desa adat di Bali seolah-olah merupakan jiwa
dari Karang Desa yang tak terpisahkan dengan seluruh aktifitas dan kehidupan desa.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Politik hukum kepariwisataan dalam konsep tri hita karana dalam perkembangan dan
pengembangannnnya yang menggunakan kebudayan Daerah Bali yang di jiwai oleh agama
Hindu yang merupakan kebudayaan nasional sebagai potensi yang paling dominan, yang
di dalamnya tersirat satu cita – cita akan ada hubungan timbale balik antara pariwisata
dengan kebudayaan, sehingga keduanya meningkat serasi, selaras dan seimbang.
Pengelolaan pariwisata di Bali dengan mengedepankan konsep pariwisata budaya yaitu
dengan memperdayakan eksistensi masyarakat lokal dengan mengembangkan kearifan
lokal yang sudah menjadi warisan leluhur. Hal tersebut dapat memberikan manfaat dari
segi ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Pariwisata Budaya Bali dengan konsep TRI
Hita Karana.Yaitu konsep keseimbangan dalam menjalan kehidupan antara Tuhan,Manusia
dan Lingkungan (Prahyangan, pawongan, palemahan ) atau tiga penyebab menjadi
kemakmuran, kebahagiaan dan kesejahteraan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal :

Ragam Wacana Bahasa, sastra, dan Budaya, I Wayan wesna Astara, Dinamika Politik
Kebudayaan, Hukum, dan Pariwisata Bali, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005

I wayan Gde Wiryawan, Inovasi Pelayanan Publik berbasis Teknologi Informasi dan
Komunikasi berdasarkan nilai kearifan local, Jurnal advokasi Fakultas Hukum Universitas
Mahasaraswati Denpasar, 2018. Vol 8

Dr. I Wayan wesana, Pertarungan Politik Hukum Negara dan politik Kebudayaan,
Udayana University Perss, Denpasar-bali, 2010.

Liat ronny Sautma Hotma Bako, Pembentukan UU Republik Indonesia, Bandung, Citra
Aditya Bakti, 1999.

Dr. I ketut Widia, Desa adat di bali dalam Perspektif Perda Bali nomor 4 tahun 2019,
CV. Putra Mas Mesari, Bali, 2022.

Peraturan :

Perda desa adat nomor 6 tahun 1986

Perda Desa Pakraman nomor 3 tahun 2003

Anda mungkin juga menyukai