Anda di halaman 1dari 43

METODE PENELITIAN HUKUM

EFEKTIVITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2009


TENTANG POS ATAS KETERLAMBATAN, KERUSAKAN
DAN KEHILANGAN BARANG KIRIMAN KONSUMEN
(Studi di PT Pos Indonesia Sunset Road Bali)

OLEH :

LIA SITI SAWALIAH

2110123045

MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS WARMADEWA DENPASAR
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan dan perkembangan perekonomian, umumnya dan khusunya dibidang

perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilakan berbagai variasi barang dan/atau

jasa yang dapat dikonsumsi. Disamping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung

oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus

transaksi barang/atau jasa melintas batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau

jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.1

Perusahaan jasa adalah suatu unit usaha yang kegiatannya memproduksi produk yang tidak

berwujud (jasa). Perusahaan jasa dapat diartikan juga sebagai suatu perusahaan yang menjual

jasa yang diproduksinya, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan para konsumen dan

mendapatkan keuntungan. Tapi perusahaan jasa pun memerlukan produk fisik atau yang

berwujud untuk melakukan kegiatan usahanya. Misalnya seperti perusahaan transportasi umum

yang menawarkan jasa transportasi kepada konsumen, maka untuk dapat melakukan kegiatan

usahanya perusahaan tersebut memerlukan alat transportasi seperti bus, pesawat atau kapal laut

dan alat transpotasi tersebeut merupakan produk yang berwujud.2

Industri jasa pengiriman barang menjadi suatu hal yang pokok bagi pengusaha yang

menawarkan produknya dimedia online kerena banyaknya Konsumen yang memesan dari

dalam negeri maupun luar negeri. Tentu industri pengiriman jasa ini menjadi incaran banyak

1
Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.h., dan Christine S.T. Kansil, S.H., M.H, 2006, Pokok-pokok
pengetahuan Hukum dagang Indonesia Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 210
2
Ridwan,2010/10/pengirimanbarang http://www.pengertianku.net.co.id/2012/10/pengiriman-
barang_html (diakses pada tanggal 15 Juni 2022 pukul 17:30 WITA)
pihak, karena biaya yang tidak terlalu mahal dan barang sampai pada tujuan. Industri jasa

pengiriman barang di Indonesia merupakan industri yang tingkat pertumbuhannya sangat pesat

tahun demi tahun. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya perusahaan jasa yang terus bertambah

dan berkembang pada saat ini demi memenuhi tuntutan pertumbuhan perusahaan mengalami

kemudahan dalam pengiriman barang. Berkembangnya industri jasa pengiriman barang

memberikan dampak Positif kepada dunia usaha, karena sangat membantu dalam perindustrian

informasi kepada klien Konsumen dengan tingkat ketetapan, kecepatan dan keamanan yang

cukup tinggi.3

Banyak sekali produk baru yang muncul untuk memikat para Konsumen dari

perusahaan-perusahaan dalam negeri baik perusahaan swasta maupun Badan Usaha Milik

Negara atau yang bisa disingkat dengan BUMN. Persaingan ini membuat pelaku usaha

berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas pelayanan pada masyarakat sebagai Konsumen.

Negara sepenuhnya menguasai faktor-faktor penting yang mempengaruhi produksi dalam

negeri dan berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat diberbagai bidang melalui BUMN. PT.

Pos Indonesia merupakan BUMN Indonesia yang bergerak dibidang layanan Pos. Badan Usaha

Pos ini merupakan Perseroan terbatas atau bisa disebut PT. Pos Indonesia.4

PT. Pos Indonesia (Persero) mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha

penyedian jasa pengiriman barang. Masyarakat (Konsumen) dalam hal ini diprioritaskan untuk

memanfaatkan layanan pengiriman barang di daerah Kabupaten, Kota-kota, bahkan luar negeri

sekalipun yang masing-masing telah disediakan oleh PT. Pos Indonesia (Persero) melalui jasa

pengiriman barang produknya yaitu paket Pos.5

3
Tri Yani Akhirina, 2016, “Pemilihan Mitra Jasa Pengiriman Barang”, Disertai, Fakultas
Ekonomi Universitas Indraprasta PGRI, Vol. 2, No.1, ISSN 2460-7041
4
kementerianbumn,2011/10/tentangPos
http://www.bumn.go.id/Posindonesia/2011/10/tentangPos.html (diakses pada tanggal 10 maret 2019
pukul 14:00 WITA)
5
Pos Indonesia, 2012/05/ tentang Pos http://www.Posindonesia.co.id/ (diakses pada tanggal 15
Juni 2022 pukul 20:15 WITA)
Berdasarkan Peraturan Pemerintahan (PP) Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan

Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 Tentang Pos, dijelaskan bahwa Pos adalah layanan

komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik, layanan paket, layanan logistic, layanan transaksi

keuangan, dan layanan keagenan Pos untuk kepentingan umum (Pasal 1 ayat 1). Mengutip dari

pasal 1 ayat (1) Penyelenggaraan Pos merupakan pewujudan Pos dari fungsi pengangkutan,

yaitu memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ketempat lainnya, dengan maksud

untuk meningkatkan daya guna dan nilai antar bangsa. Oleh karena itu, dapat disimpulkan

bahwa dibentuknya PT. Pos Indonesia diarahkan untuk menunjang kebutuhan kepentingan

umum dengan mempererat kerja sama dalam hubungan antar bangsa. PT. Pos Indonesia

dibangun negara bertujuan untuk meningkatkan dan mempercepat pembanguna jaringan

komunikasi antar daerah dan bertujuan untuk menunjang pembagunan nasional demi

kepentingan umum.

Adanya hubungan hukum antara perusahaan penyedia jasa pengiriman barang Pos dengan

masyarakat pengguna jasa tersebut,maka terjadi suatu perikatan antara pihak yang satu dengan

pihak yang lain. Perikatan tersebut didasarkan oleh adanya perjanjian antara PT. Pos Indonesia

dengan Konsumen. Selain itu, masing-masing pihak juga memiliki Hak dan Kewajiban,

dimana Hak dan Kewajiban tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009

Tentang Pos.

Oleh karena itu, dengan adanya Undang-undang tersebut, maka Hak dan Kewajiban

baik itu bagi Konsumen pengguna jasa atau pelaku usaha penyedia jasa tersebut bisa

terlindungi dengan menetapkan aspek standar keamanan pada saat pengiriman, standar

perlindungan Konsumen, standar pengawasan dan penyelesaian sengketa, serta yang

menyangkut tentang kedudukan, Hak dan Kewajiban Konsumen berdasarkan UU No. 38

Tahun 2009 Tentang Pos.


Perjanjian pengiriman barang harus didasarkan pada ketentuan umum Buku II

KUHPerdata,6 ketentuan ini merupakan asas umum mengenai risiko yang hendak dilihat

penerapannya dalam praktek perjanjian pengiriman barang, karena sifatnya sebagai aturan

umum maka harus diperhatikan hubungannya dengan isi perjanjian yang dibuat oleh kedua

belah pihak. Pos Indonesia harus dapat memepertanggungjawabkan atas kerugian uang yang

ditimbulkan baik itu barangnya sampai ditempat tujuan tapi dalam keadaan hilang dan rusak.

Ada beberapa kasus keterlambatan, kerusakan ataupun kehilangan paket barang yang

dikirim Konsumen melalui PT Pos Indonesia Sunset Road Bali, salah satunya keterlambatan

pengiriman makanan menggunakan layanan Express dikirim ke bandung yang seharusnya

sampai 1 hari tetapi 3 hari sampai ditujuan. Kerusakan barang kiriman berupa Accsessories

(barang pecah belah) yang di kirim ke Austaralia melalui layanan Air Mail Namun barang

tersebut dalam keadaan rusak. Dan kasus kehilangan barang kiriman sepatu kulit yang dikirim

ke United State menggunakan layanan Express Mail Service (EMS) antispasi waktu kiriman

sekitar 5-7 hari, namun setelah seminggu barang tidak kunjung sampai ke negara tersebut, dan

PT Pos Sunset Road meyatakan jika barang itu hilang. Dan sebagaimana telah di atur dalam

Pasal 28 Undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang diatur bahwa penguna layanan Pos

berhak mendapatkan ganti rugi apabila terjadi:

a. Kehilangan kiriman;

b. Kerusakan paket;

c. Keterlambatan kiriman; atau

d. Ketidaksesuaian antara barang yang dikirim dan yang diterima

Kejadian keterlambatan, kehilangan dan kerusakan barang pada jasa pengangkutan

khususnya yang tejadi pada PT. Pos Indonesia Sunset Road Bali seperti yang disebutkan diatas,

maka itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di PT. Pos Indonesia Sunset Road Bali.

6
Subekti,2005, pokok-pokok hukum perdata, PT Inter Masa:, Jakarta, h. 22
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, penulis hendak mengkaji dan menelaah tentang

Efektifitas Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 Tentang Pos atas Keterlambatan, Kerusakan

dan Kehilangan Barang Kiriman.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Peran PT POS Indonesia Sunset Road Bali dalam memberikan

perlindungan hukum terhadap konsumen atas Keterlambatan, Kerusakan dan

Kehilangan Barang Kiriman ?

2. Bagaimana Efektivitas UU Nomor 38 tahun 2009 tentang Pos terhadap Konsumen

apabila terjadi Keterlambatan, Kerusakan dan Kehilangan Barang Kiriman ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

adapun tujuan umum yang hendak dicapai dari penulisan metode penelitian ini yaitu

untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan science as a proses (ilmu sebagai

proses). Dengan pradigma ini, ilmu hukumtidak akan mandek dalam penggalian atas

kebenaran terutama terkait efektivitas Undang-undang Nomor 38 taun 2009 dan

hukum tentang perlindungan konsumen.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk Mengetahui dan mengkaji Peran PT Pos Indonesia Sunset Road dalam

memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen atas keterlambatan, kerusakan

dan kehilangan barang kiriman


2. Untuk mengkaji dan memahami bagaimana Efektivitas Undang-undang Nomor 38

tahun 2009 Tentang Pos terhadap konsumen apabila terjadi keterlambtan, kerusakan

dan kehilangan barang kiriman.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis

Adapun yang menjadi manfaat teoritis dalam metode penelitian ini yaitu, menambah

wawasan dan ilmu pengatahuan hukum, khususnya pengetahuan yang terkait dengan

efektivitas Undang-undang nomor 38 tahun 2009 dan hukum perlindungan konsumen.

1.4.2 Praktis

Adapun manfaat praktis yang hendak dicapai dari metode penelitian ini yaitu :

1. Bagi PT. Pos Indonesia penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan

dalam memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen apabila terjadinya

keterlambatan, ketrusakan, dan kehilangan barang kiriman

2. Bagi kalangan masyarakat terutama mahasiswa ilmu hukum penelitian ini diharapkan

dapat menjadi referensi tambahan untuk melakukan penelitian selanjutnya dibidang

hukum perlindungan konsumen.

1.5. Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustaan yang dilakukan, ada beberapa peneltian yang

berkaitan dengan keterlambatan, kerusakan dan kehilangan barang kiriman konsumen yaitu :

Pertama. Skripsi dari Putri Pratiwi Lubis, fakultas hukum univerisats Sumetera Utara

Medan 2017, dengan judul skripsi “ Pelindungan Hukum Bagi Konsumen PT. Pos Indonesia

(Perseroan) Terhadap kerusakan atau hilangnya paket pengiriman barang (studi di Knator Pos
Pematangsiantar), adapun yang menjadi pokok permaslahaan dalam penelitian skripsi tersebut

yakni:

1. Bagaimana hak dan kewajiban PT. Pos Indonesia dan pengguna jasa konsumen ?

2. Bagaimana tanggung jawab PT. Pos Indonesia atas kerusakan atau hilangnya paket

pengiriman barang ?

3. Bagaimana perlindungan Hukum terhadap konsumen PT. Pos Indonesia ?

Hasil pembahasan dalam skripsi ini dapat diketahui bahwa, pertama hak dan kewajiban

PT. Pos Indonesia dan pengguna Jasa konsumen dijamin dalam Undang-undang Nomor 38

thaun 2009 dan undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal

ini tercantum dalam Pasal 18, pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, pasal 30 dan Pasal 31 dan Pasal

32 Undang-undang Tentang Pos. Sedangkan dalam Undang-undang Tentang perlindungan

konsumen tercantum dalam pasal 4, pasal 6, dan pasal 7. Dan kedua, tanggung jawba piha

kantor pos pematangsiantar terjadi saat diterimanya barang kiriman, sampai diserahkannya

kepada penerima barang ditempat tujuan paket kiriman tersebut. Dalam pasal 28 apabila

terjadinya ketidaksesuaian antara barang yang dikirimdan diterima, maka sesuai dengan

bunyoi pasal 28 tentang pos, konsumen dapat melakukan klaim ganti rugi kepada pihak kantor

Pos pematangsiantar. Kegita, bentuk perlindungan yang diberikan pihak PT. Pos Indonesia

Cabang Pematangsiantar kepada pengguna jasa layanan pos atau konsumen adalah dengan

membayar ganti rugi sesuai dengan ketentuan yang telah diatur mengenai ganti rugi dalam

pasal 7 huruf f dan g Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen tentang kewajiban

pelaku usaha, yaitu memberikan kompesensi ganti rugi konsumen beruapa uang atau abarang

seperti semula atas kerugian yang diderita konsumen.

Kedua, penelitian skripsi dari I Gusti Ngurah Krisna Aribhuana Putra, Fakultas Hukum

Universitas Udayana, 2019, dengan judul skripsi “ Tanggung Jawab PT. Pos Indonesia Dalam
layanan jasa pengiriman barang yang mengalami keterlambatan (Studi Pada Pt. Pos Indonesia

cabang Ubud)” adapun yang menjadi pokok permsalahan dalam penelitian skripsi ini yaitu :

1. Bagiamana penyebab keterlambatan layanan pengiriman barang PT. Pos Indonesia ?

2. Bagaimana upaya pencegahan terhadap keterlambatan layanan pengiriman barang PT.

Pos Indonesia ?

Penelitian dalam kaitannya dengan penulisan skripsi ini termasuk jenis penelitian

empiris yang merupakan suatu penelitian yang dilkaukan dengan cara memadukan data

sekunder dan data primer yang didapat melalui observasi atau penelitian yang secara langsung

kelapangan guna mendapatkan kebenaran yang akurat.

Ada dua temuan hasil penelitian skripsi diatas. Yaitu :

1. Penyebab terjadinya keterlambatan layanan pengiriman barang PT. Pos Indonesia

antara lain kurangnya jumlah petugas, masa-masa ramai, alamat tidak lengkap, nama

yang tidak sesuai, tidak mencantumkan nomor yang dapat dihubungi, dan force

majure. Adapun bentuk tanggung jawab PT. Pos Indonesia dalam melakukan kegiatan

usahanya dibidang layanan jasa pengiriman barang terhadap konsumennya berupa

pemberian ganti rugi.

2. Upaya pencegahan terhadap keterlambatan layanan pengiriman barang PT. Pos

Indonesia dimulai dengan 4 proses pola oprasional yakni collecting, prosessing,

transporting, delivery serta mengawasi kinerja para pegawai secara ketat.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Konsep

2.1.1 Konsep Efektivitas Hukum

a. Pengertian Efektivitas Hukum

Kata efektif berasal dari bahasa inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu

yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah popular mendefinisikan efektivitas

sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, efektif adalah sesuatu yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya,

kesannya) sejak dimulai berlakunya suatu Undang-undang atau peraturan.7

Sedangkan efektivitas itu sendiri adalah keadaan dimana dia diperankan untuk memantau.8

Jika dilihat dari sudut hukum, yang dimaksud dengan “dia” disini adalah pihak yang berwenang

yaitu polisi. Kata efektfitas sendiri berasal dari kata efektif, yang berarti terjadi efek atau akibat

yang dikehendaki dalam suatu perbuatan. Setiap pekerjaan yang efisien berarti efektif karena

dilihat dari segi hasil tujuan yang hendak dicapai atau kehendaki dari peruatan itu.

Menurut Hans Kelsen, jika berbicara tentang efektifitas hukum, dibicarakan pula

tentang Validitas hukum. Validitas hukum berarti bahwa norma-norma hukum itu mengikat,

bahwa orang harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum.

Efektifitas hukum berarti bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma

hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan

dan dipatuhi.

7
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, Jakarta, Balai Pustaka. H.284
8
Ibid.
b. Fakor-Faktor Efektivitas Hukum

Efektivitas merupakan tingkat keberhasilan dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang

telah ditentukan sebelumnya. Dalam sosiologi hukum, hukum memiliki fungsi sebagai a tool

of social control yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang

bertujuan terciptanya suatu keadaan yang sersi antara stabilitas dan perubahan di dalam

masyarakat. Selain itu hukum juga memliki fungi lain yaitu sebagai a tool of social engineering

yang dimaksudnya adalah sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat

berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke

dalam pola pemikiran yang rasional atau modern. Efektivitas hukum merupakan proses yang

bertujuan supaya hukum berlaku efektif

Ketika kita ingin mengetahu sejauh mana efektivitas dari hukum, maka pertama-tama harus

dapat mengukur sejauh mana hukum itu ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran

ketaatannya, kita akan mengatakan bahwa aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif.

Namun demikian, sekalipun dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi kita tetap masih

dapat mempertanyakan lebih jauh derajat efektivitasnya karena seseorang menaati atau tidak

suatu atauran hukum tergantung pada kepentingannya.9

Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH.,MA faktor yang mempengaruhi efektifitas

hukum dibagi menjadi 5 bagian, yaitu :

1. Faktor Hukumnya sendiri;


2. Faktor Penegak Hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum;
4. Faktor masyarakat;

9
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interprestasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta: Kenacana.
h.375
Faktor kebudayaan.10

1. Faktor hukumnya sendiri

Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik

penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum

keadilan. Kepastian hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat

abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan Undang-

Undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu

permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum

tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, masih banyak aturan-aturan yang

hidup dalam masyrakat yang mampu mengatur kehidupan masyarakat. Jika hukum tujuannya

hanya sekedar keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif, sangat

tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing orang.

2. Faktor Penegak Hukum

Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum atau law

enforcement. Bagian-bagian itu law enforcement adalah aparatur penegak hukum yang mampu

memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaat hukum secara proporsional. Aparatur penegak

hukum menyangkup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya)

penegak hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti sempit dimulai dari kepolisian,

kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan petugas sipil lembaga permasyarakatan. Setiap

aparat dan apartur diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing, yang

10
Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegak Hukum, Penerbit PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.5
meliputi kegiatan penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian,

penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pembinaan kembali terpidana.

Sistem peradilan pidana harus merupakan kesatuan terpadu dari usaha-usaha untuk

menanggulangi kejahatan yang sesungguhnya terjadi di masyarakat. Apabila kita hanya

memakai sebagiaan ukuran statistik kriminalitas, maka keberhasilan sitem peradilan pidana

akan dinilai berdasarkan jumlah kejahatan yang sampai alat penegak hukum. Beberapa banyak

yang dapat diselesaikan kepolisian, kemudian diajukan oleh kejaksaan ke pengadilan dan

dalam pemeriksaan di pengadilan di nyatakan bersalah dan dihukum. Sebenarnya apa yang

diketahui dan diselesaikan melalui sistem peradilan piadana hanya puncaknya saja dari suatu

gunung es. Masih banyak yang tidak terlihat, tidak dilaporkan (mungkin pula tidak diketahui,

misalnya dalam hal “kejahatan dimana korbannya tidak dapat ditentukan” atau “crimes without

victims”) dan karena itu tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya kepada sistem peradilan pidana.

Karena tugas sistem ini adalah terutama menyelesaikan kasus-kasus yang sampai padanya.

Secara sosiologis, setiap aparat penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan

(status) dan peranan (role). Kedudukan (social) merupakan posisi tertentu di dalam struktur

kemasyarakatan. Kedudukan tersebut merupakan peranan atau role, oleh karena itu seseorang

yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya mempunyai peranan. Suatu hak merupakan

wewenang untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.

Suatu peranan tertentu dapat di jabarkan dalam unsur-unsur sebagai berikut :

1. Peranan yang ideal/ ideal role

2. Peranan yang seharsnya/ expected role

3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri/ perceived role

4. Peranan yang sebenarnya dilakukan/ actual role


Penegak hukum dalam menjalankan perannya tidak dapat berbuat sesuka hati mereka juga

harus memperhatikan etika yang berlaku dalam lingkup profesinya, etika memperhatikan atau

mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Dalam profesi

penegak hukum sendiri mereka telah memiliki kode etik yang telah ditetapkan dan disepakati

itu masih banyak di langgar oleh para penegak hukum. Akibat perbuatan-perbuatan para

penegak hukum yang tidak memiliki integritas bahkan dapat dikatakan tidak beretika dalam

menjalankan profesinya, sehingga mengakibatkan lambatnya pembangunan hukum yang

diharapkan oleh bangsa ini, bahkan menimbulkan pikiran-pikiran negative dan mengurangi

kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum.

Aturan para aparat dan aparatur penegak hukum dijabarkan sebagai berikut :

1. Kepolisian, kekuasaan polisi/polri adalah merupakan sebagai perwujudan istilah yang

mengambarkan penjelmaan tugas, status, organisasi, wewenang dan tanggung jawab

polisi. Secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian di atur dalam Undang-

undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI.

2. Kejaksaan, secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-

undang Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI

3. Kehakiman, secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Hakim.

4. Lembaga permasyarakatan, secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian

diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Permasyarkatan.

Menurut Soerjono Soekanto hambatan maupun halangan penegak hukum dalam

melakukan penegakan hukum tersebut dapat diatasi dengan cara mendidik, membiaskan diri

untuk mempunyai sikap-sikap anatara lain: sikap terbuka, senantiasa siap menerima perubahan,

peka terhada masalah yang terjadi, senantiasa mempunyai informasi yang lengkap, orentasi ke
masa kini dan masa depan, menyadari potensi yang dapat dikembangkan, berpegang pada suatu

perencanaan, percaya pada kemampuan iptek, menyadari dan menghormati hak dan kewajiban,

berpegang teguh pada keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang

mantab.

3. Faktor Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai

tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor

pendukung. Fasilitas pendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil,

organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan sebagainya.

Jika fasilitas pendukung tidak terpenuhi maka mustahil penegak hukum akan tercapai

tujuannya. Kepastian dan kecepatan penyelesaian perkara tergantung pada fasilitas pendukung

yang ada dalam bidang-bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan.

Peningkatan teknologi deteksi kriminalitas, mempunyai peranan yang sangat penting

bagi kepastian dan penanganan perkara-perkara pidana, sehingga tanpa adanya sarana atau

fasilitas tersebut tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya

dengan peranan yang aktual, maka untuk sarana atau fasilitas tersebut sebaiknya dilakukan

dengan cara sebagi berikut :

1. Yang tidak ada maka diadakan yang baru betul;

2. Yang rusak atau salah maka diperbaiki atau di betulkan;

3. Yang kurang seharusnya di tambah;

4. Yang macet harusnya dilancarkan

5. Yang mundur atau merosot harus dimajukan atau ditingkatkan.


Faktor ketiga yaitu faktor sarana atau fasilitas yang membantu penegakan hukum, menurut

Soerjono Soekanto sendiri menyatakan bahwa tidak mungkin penegak hukum akan

berlangsung dengan lancar tanpa adanya sarana atau fasilitas yang memadai. Fasilitas atau

sarana yang memadai tersebut, antara lain: mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan

terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seturusnya.

Kalau hal itu tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Kita

bisa bayangkan bagaimana penegakan peraturan akan berjalan sementara aparat penegaknya

memiliki pendidikan yang memadai, memiliki tata kelola organisasi yang buruk, ditambah

dengan keuangan yang minim. Akan tetapi hal itu bukanlah segala-galanya kalau aparatnya

sendiri masih buruk, karena sebaik apapun sarana atau fasilitas yang membantu penegakkan

hukum tanpa adanya aparat penegak hukum yang baik hal itu hanya akan terasa sia-sia. Hal itu

dapat kita lihat misalnya pada insatasi kepolisian, dimana saat ini hampir bisa dikatakan dalam

fasilitas pihak kepolisian sudah dapat dikatakan mapan, tapi berdasarkan survey yang

dilakukan oleh Lembaga Transparency Internasional Indonesia menyatakan bahwa intansi

terkorup saat ini ada di tubuh kepolisian dengan indeks suap sebesar 48%, bentuk korupsi yang

terjadi di tubuh kepolisian, itu contohnya saja seperti korupsi kecil-kecilan oleh polisi lantas

yang mungkin sering dialami oleh pengendara, sampai ke tingkat yang lebih tinggi semisal

tersangka kasus korupsi susno. Begitu juga dalam lingkup pengadilan dan kejaksaan pun tidak

jauh berbeda dengan apa yang terjadi di institus kepolisian.

4. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian

didalam masyarakat. Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum.

Masyarakat Indonesia mempunyai pendapat mengenai hukum sangat berpareasi antara lain :

1. Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan;


2. Hukum diartikan sebaga disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan;

3. Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan perilaku pantas yang

diharapkan;

4. Hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif tertulis) ;

5. Hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat;

6. Hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa;

7. Hukum diartikan sebgaai proses pemerintahan;

8. Hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik;

9. Hukum diartikan sebagai jalinan nilai;

10. Hukum diartikan sebagai seni;

Berbagai pengertian tersebut di atas timbul karena masyarakat hidup dalam konteks yang

berbeda, sehingga yang seharusnya dikedepankan adalah keserasiannya, hal ini bertujuan

supaya ada titik tolak yang sama. Masyarakat juga mempunyai kecenderungan yang besar

untuk mengartikan hukum dan bahkan mengindetifikasi dengan petugas (dalam hal ini adalah

penegak hukum sebagai pribadi).

Salah satu akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola

perilaku penegak hukum itu sendiri yang merupakan pendapatnya sebagai cerminan dari

hukum sebagai struktur dan proses. Keadaan tersebut juga dapat memberikan pengaruh baik,

yakni bahwa penegak hukum akan merasa bahwa perilkaunya senantiasa mendapat perhatian

dari masyarakat.

Permasalahan lain yang timbul sebagai akibat anggapan masyarakat adalah mengenai

penerapan Undang-undang yang ada/ berlaku. Jika penegak hukum menyadari dirinya

dianggap hukum oleh masyarakat, maka kemungkinan penafsiran mengenai pengertian

Perundang-undangan bisa terlalu luas atau bahkan terlalu sempit. Selain itu mungkin timbul
kebiasaan untuk kurang menelaah bahwa Perundang-undangan kadangkala tertinggal dengan

dengan perkembangan di dalam masyarakat. Anggapan-anggapan masyarakat tersebut harus

mengalami perubahan dalam kadar tertentu. Perubahan tersebut dapat dilakukan melalui

penerangan atau penyuluhan hukum yang bersinambungan dan senantiasa dievaluasi hasil-

hasilnya untuk dikembangkan lagi. Kegiatan-kegiatan tersebut nantinya akan dapat

menempatkan hukum pada kedudukan dan peranan yang semestinya.

5. Faktor Kebudayaan

Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan.

Kebudaayan menurut Soerjono Soekanto, mempunyi fungsi yang sangat besar bagi manusia

dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak,

berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan

demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perilakuan yang menetapkan peraturan

mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

2.1.2 Konsep Konsumen

a. Pengertian Konsumen

Konsumen sebagai istilah yang sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari yang

perlu untuk diberikan batasan pengertian agar dapat mempermudah pembahasan tentang

perlindungan Konsumen. Berbagai pengertian tentang “Konsumen” yang dikemukakan baik

rancangan Undang-Undang perlindungan Konsumen, sebagai upaya kearah terbentuknya

Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, adalah sebagai berikut: 11

11
Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, h.19
Pengertian konsumen dalam rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang

diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu :

Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang bersedia dalam masyarakat, bagi

kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk

diperdagangkan kembali.12

Sebagai akhir dari usaha pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu

dengan lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang di dalamnya dikemukakan

pengertian Konsumen dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlidungan Konsumen adalah sebagai berikut :

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk

hidup lain dan tidak untuk diperdagangkaan.

Penjelasan mengenai pengertian Konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 2 Menurut

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya ynag berjudul Hukum Perlindungan

Konsumen, disebutkan bahwa :

Dalam kepustakaan ekonomi dikenal akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir
adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara
adalah konsumen yang menggunakan suatu produk bagian dari proses produksi suatu
produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen
akhir. Dapat diketahui pengertian konsumen dalam UUPK lebh luas daripada
pengertian konsumen pada rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen,
karena UUPK juga meliputi pemakian barang untuk kepentingan makhluk hidup lain.
Hal ini berarti bahwa UUPK dapat memberikan perlindungan kepada Konsumen yang
bukan manusia (hewan, maupun tumbuh-yumbuhan). Pengertian yang luas seperti itu

12
Yayasan Lembaga Konsumen, Perlindungan Konsumen Indnesia, suatu sumbangan
Pemikiran Tentang Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Yayasan Lembaga
Konsumen, 1981), h.2
sangat tepat dalam rangka memberikan perlindungan seluas-luasnya kepada
Konsumen.13
Menurut Az. Nasution menegaskan batasan tentang Konsumen, yakni :

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk

tujuan tertentu

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa untuk

digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan

komersial)

c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang

dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau

rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).14

Sehubungan dengan hal tersebut, Menurut Hans W.Miklitz, secara garis besar dapat

dibedakan dua tipe konsumen yaitu :

1. Konsumen yang terinformasi (well informed) yang memiliki cirri-ciri sebagai berikut:

a. Memiliki tingkat pendidikan tertentu

b. Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam

ekonomi pasar bebas

c. Lancar berkomunikasi

2. Konsumen yang tidak terinformasi yang memiliki cirri-ciri :

a. Kurang berpendidikan

b. Termasuk kategori ekonomi kelas menengah ke bawah

13
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT.
Rajawali Pers, h.4-6
14
Az. Nasution, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit
Media, h. 13
c. Tidak lancar berkomunikasi.15

b. Pengertian Perlindungan Konsumen

Pengertian perlindungan dalam Bahasa Inggris adalah Protection. Sedangkan menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan Perlindungan adalah tempat berlindung.16

Pemaknaan kata perlindungan secara kebahasan tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan

unsur-unsur, yaitu :

1) Unsur tindakan melindungi

2) Unsur pihak-pihak yang melindungi

3) Unsur cara-cara melindungi

Pengertian Perlindungan Konsumen menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-undang

Pelindungan Konsumen/UUPK), yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum

untuk memberi perlindungan kepada Konsumen.

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-

undang Perlindungan Konsumen tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala

upaya menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadikan

tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan

perlindungan Konsumen.17

15
Sidharta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo Edisi
Revisi, h. 3
16
Suharto dan Iryanto, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, PT.
Grasindo, h.19
17
Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Perlindungan Konsumen,
Bogor,Ghalia Indonesia, h. 9
Tujuan yang ingin dicapai dalam perlindungan Konsumen umumnya dapat dibagi dalam

tiga bagian utama, yaitu :

a. Memberdayakan Konsumen dalam memilih, menentukan barang dan/atau jasa


kebutuhannya, dan menuntut hak-haknya
b. Menciptakan sistem Perlindungan Konsumen yang memuat unsur-unsur kepastian
hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk mendapatkan informasi
c. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai perlindungan Konsumen sehingga
tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab.18

Pada hakikatnya, perlindungan Konsumen menyiarkan keberpihakan kepada kepentingan-

kepentingan (hukum) Konsumen. Adapun kepentingan Konsumen menurut Resolusi

Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/284 Tentang Guidelines for Consumer Protection,

sebagai berikut :

a) Perlindungan Konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya


b) Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi Konsumen
c) Tersedianya informasi yang memadai bagi Konsumen untuk memerikan
kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan
pribadi
d) Pendidikan Konsumen
e) Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif
f) Kebebasan untuk membentuk organisasi Konsumen atau organisasi lainnya yang
relavan dan memberikan kesempatan pada organisasi tersebut untuk menyuarakan
pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan
mereka.19

18
Adrian Sutedi, ibid, h.9
19
Celina Tri Siwi Krisyanti, 2009, Hukum Perlindungan konsumen, Jakarta, Sinar Grafika,
h.115
C. Prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen

Prinsip-prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam

hukum perlindungan Konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak-hak Konsumen,

diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab seberapa

jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Secara umum bahwa

prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Prisip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability)

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability

principle).

3. Prinsip praduga tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of Nonlability

Principle)

4. Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability).

5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle)20

Adapun penjelasan dari prinsip-prinsip tanggung jawab :

1. prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based

on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Prinsip

ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada

unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai pasal

tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu :

1. Adanya perbuatan

2. Adanya unsur kesalahan

3. Adanya kerugian yang diderita

20
Andi Sri Rezky Wulandari, S.h.,M.H, dan Nurdiyana Tadjuddin, S.H., M.H, 2018, Hukum
Perlindungan Konsumen, Mitra Wacana Media; Jakarta, h. 39
4. Adanya hubungan kuasalitas antara kesalahan dan kerugian

Kesalahan disini adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Prinsip tanggung jawab

ini dapat diterima karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi

pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti

kerugian yang diderita orang lain.21

Pembagiannya dalam beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan pasal 163

Herziene Indonesische Reglement (HIR) atau Pasal 283 Rechtsreglement Buitengwesten

(RBG) dan Pasal Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Disitu dikatakan, barang siapa yang

mengakui mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (actorie

incumbit probatio). Ketentuan ini juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni

asas audi et altern partem atau asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang berpekara.

Disini hakim harus member para pihak beban yang seimbang dan patut sehingga masing-

masing memiliki kesempatan yang sama memenangkan perkara tersebut.

Perkara yang perlu diperjelas dalam prinsip ini, yang sebenarnya juga berlaku umum untuk

prinsp-prinsip lainnya adalah definisi tentang subjek pelaku kesalahan (pasal 1367

KUHPerdata). Dalam doktrin hukum dikenal asas vicarious liability dan coporate liability

vicarious liability (atau disebut juga respondeat superior, let the master answer), mengandung

pengertian, majikan bertanggung jawab atas kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang-

orang karyawan yang berada dibawah pengawasannya (captaian of the ship doctrine).

Penerapan prinsip ini adalah berdasarkan Konsumen hanya melihat semua dibalik dinding

suatu korporasi itu sebagai suatu kesatuan. Ia tidak dapat membedakan mana yang

berhubungan secara organic dengan korporasi dan mana yang tidak. Doktrin yang berakhir ini

disebut ostensible agency. Maksudnya, jika suatu korporasi memberi kesan kepada

21
Andi Sri Rezky Wulandari, S.h.,M.H, dan Nurdiyana Tadjuddin, S.H., M.H, 2018, Hukum
Perlindungan Konsumen, Mitra Wacana Media; Jakarta, h. 41
masyarakat, orang yang bekerja disitu adalah karyawan yang tunduk dibawah

perintah/koordinasi korporasi tersebut, maka sudah cukup syarat bagi koporasi itu untuk wajib

bertanggung jawab secara vicarious terhadap konsumen.

2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of

liability principle). Dalam hukum pengangkutan, khusunya pengangkutan udara, prinsip

tanggung jawab ini pernah diakui, sebagaimana dapat dilihat dalam pasal 17, 18 ayat (1), pasal

19 jo. Pasal 20 konvensi warsawa 1929 atau pasal 24,25,28jo.

Berkaitan dengan prinsip bertanggung jawab, dalam hukum pengangukatan adalah :

1. Pengangkutan dapat membebaskan diri dan tanggung jawab kalau ia dapat

membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal diluar kekuasaannya.

2. Pengangkutan dapat membebaskan diri dan tanggng jawab jika ia dapat membuktikan,

ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk meghindari timbulnya kerugian

3. Pengangkutan dapat membebaskan diri dan tanggung jawab jika ia dapat membuktikan,

kerugian yang timbul bukan karena kesalahnnya.

4. Pengangkutan tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh

kesalahan/kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu barang yang diangkut tidak

baik.

Prinsip pembalikan beban pembuktian adalah sesorang dianggap bersalah, sampai yang

bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum

praduga tidak bersalah (presumpation of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Maka

dari prinsip ini konsumen berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak

pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini harus mempunyai bukti-bukti dirinya tidak bersalah.

Tentu saja Konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi
Konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat dibalik oleh pelaku usaha, jika ia

gagal menunjukan kesalahan si tergugat.

3. Prinsip Praduga Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu

bertangungjawab (presumpation Non liability principle) hanya dikenal dalam bentuk transaksi

Konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasannya demikian biasanya secara common sense

dapat dibenarkan. Contohnya dalam penerapan prinsip ini adalah dalam hukum pengangkutan.

Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan

diawasi oleh si penumpang (Konsumen) adalah tanggung jawab dan penumpang . dalam hal

ini, pengangkutan (Pelaku usaha) tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikan dengan prinsi

tanggung jawab absolute (absolute liability)

Meskipun demikian, pada dasarnya strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang

menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-

pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dan tanggung jawab tanpa kesalahan dan

tidak ada pengecualiannya.

Biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapakan kareana :

1. Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan

dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks

2. Produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas

kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada

harga produknya.

3. Prinsip ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati


Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan Konsumen secara umum

digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang yang merugikan

Konsumen. Produsen wajib bertanggungjawab atas kerugian yang diderita Konsumen atas

penggunaan barang/jasa yang dimiliki pemilik usaha. Gugatan ini dapat dilakukan berdasarkan

tiga hal, yaitu :

• Melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai

dengan janji yang tertera dalam kemasan produk

• Ada unsur kelalaian (negligence)

• Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability)

Dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak pada risk liability. Dalam risk liability,

kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan resiko adanya

kerugian itu, namun, penggugat (Konsumen) tetap dibebankan pembuktian.

5. prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan

Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan (limitation of liability principle). Prinsip

ini menguntungkan para pelaku usaha karena mencamtumkan klausul eksonerasi dalam

perjanjian standar yang dibuatnya.

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat merugikan konsumen bila

ditetapkan secara sepihak menentukan klausula yang merugikan Konsumen, termasuk

membatasi maksimal tanggung jawab. Bila ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada

Peraturan Perundang-Undangan.22

Sebagaimana diketahui bahwa Peraturan Perundang-undangan mengatur beberapa

kewajiban yang harus dipatuhi oleh perusahaan pengangkutan dalam menjalankan usahanya.

Apabila dalam melaksanakan kewajibannya itu terjadi pelanggaran maka tentu saja tanggung

jawab sepenuhnya menjadi milik pihak perusahaan pengangkutan, yaitu :

22
Ibid, h.46
1. Bertanggung jawab atas barang yang hilang/dicuri dan memberikan ganti kerugian

yang diderita pemilik barang

2. Bertanggung jawab terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan

sopir/pekerjanya23

2.2 Landasan Teori

Teori berasal dari kata Theoria yang berarti perenungan, dan kata theoria itu sendiri

berasal dari kata thea yang dalam Bahasa Yunani berarti cara atau hasil pandang. 24 Teori

merupakan informasi ilmiah yang diperoleh dengan meningkatkan absttaksi pengertian-

pengertian maupun hubungan-hubungan pada proposi. Teori yang kompleks biasnaya

merupakan rangkaian yang logis dari beberapa proposisi. Teori merupakan abstatrkasi dari

pengertian atau hubungan dari proposisi dalil.25 Menurut masri Singarimbun dan Sofian

Efendi, Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, definisi, dan proposisi untuk

menerangkan suatu fenomena social secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan

antar konsep.

Berdasarkan definisi diatas, maka teori mengandung tiga hal Yaitu:

1)Teori adalah serangkaian proposisi antar konsep-konsep yang saling berhubungan;

2)Teori merupakan secara sistematis suatu fenomena social dengan cara menentukan

hubungan antar konsep;

23
Gulto,2016,Tanggungjawabperusahaan http://www.gultomlawconsultants.com/tanggung-
jawab-perusahaan-jasa-pengankutan-dalam-pengangkutan-barang-dalam-hal-terjadinya-hilang-
dicurinya-barang_html (diakses pada tanggal 28 Juni 2022 pukul 13:15 WITA)
24
Soetandyo Widnyosoeebroto, 2001, Hukum Paradigma Metode dan Dinamika Salahnya,
Esam dan Huma, Jakarta, hal. 184
25
Ishaq, 2017, Metode Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis serta Dosertasi, Alfabeta,
Bandung, hal. 62.
3)Teori menerangkan fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep mana yang

berhubungan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk hubungannya.

Teori sebagai pisau analisis yaitu teori digunakan untuk dijadikan panduan dalam

melakukan analisis, dengan memebrikan penelitian (Preskripsi) terhadap temuan fakta atau

peristiwa hukum yang ada sesuai dengan teori atau tidak. Fungsi teori dalam penelitian ini

adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala

yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini meruakan penelitian empiris, artinya……..

2.2.1 Teori Efektivitas Hukum

Kata efektif berasal dari bahasa inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu

yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah popular mendefinisikan efetivitas sebagai

ketepatan pengunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia, efektif adalah sesuatu yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) sejak

dimulai berlakunya suatu Undang-undang atau peraturan.26

Sedangkan efektifitas itu sendiri adalah keadaan dimana dia diperankan untuk

memantau.27 Jika dilihat dari sudut pandang hukum, yang dimaksud dengan “dia” disini adalah

pihak yang berwenang yaitu polisi. Kata efektifitas sendiri berasal dari kata efktif, yang berarti

terjadi efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan. Setiap pekerjaan yang efisien

berarti efektif karena dilihat dari segi hasil tujuan yang hendak dicapai atau dikehendaki dari

perbuatan itu.

Pada dasarnya efektivitas adalah pengukur dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan

yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam sosiologi hukum, sasaran atau tujuan yang telah

ditentukan sebelumnya. Dalam sosiologi hukum, hukum memiliki fungsi sebagai a tool of

26
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, Jakarta, Balai Pustaka. H.284
27
Ibid.
social control yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang

bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan didalam

masyarakat. Selain itu hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai a too of social

engineering yang maksudnya adalah sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum

dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyrakat dari pola pemikiran yang

tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional atau modern. Efektivikasi hukum merupakan

proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif.

Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama-

tama harus dapat mengukur sejauh mana hukum itu ditaati oleh sebagian besar target yang

menjadi sasaran ketaatannya, kita akan mengatakaan bahwa aturan hukum yang bersangkutan

adalah efektif. Namun demikian, sekalipun dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi kita

tetap masih dapat mempertanyakan lebih jauh derajat efektivitasnya karena seseorang menaati

atau tidak suatu aturan hukum tergantung pada kepentingannya. Sebagaimana yang telah

diungkapkan sebelumnya, bahwa kepentingan itu ada bermacam-macam, diantaranya yang

bersifat compliance, identification, internalization.

Faktor-faktor yang mengukur ketaatan terhadap hukum secara umum antara lain28 :

a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang

yang menjadi target aturan hukum secara umum itu.

b. Kejelasan rumusan dari subtansi atuan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target

diberlakukannya aturan hukum.

c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.

d. Jika hukum yang dimaksud adalah Perundang-undungan, maka seyogyanya aturannya

bersifat melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang bersifat

28
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Inteprestasi Undang-undang (Legisprudence). Jakarta, Penerbit
Kencana, h.375
melarang (prohbitur) lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat

mengharuskan (mandatur).

e. Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu harus dipidanakan dengan sifat aturan

hukum yang dilanggar tersebut.

f. Berat ringannya sanksi yang diancam dalam aturan hukum harus proporsional dan

memungkinkan untuk dilaksanakan.

g. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap

aturan hukum tersebut, adalah memang memungkinkan, karena tindakan agar yang

diatur dan diancamkan sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati,

oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan,

penyidikan, penuntutan dan penghukuman).

h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relative akan jauh

lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang

dianut oleh orang-orang yang menjadi target diberlakunya aturan tersebut.

i. Efekif atau efektifnya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal

dan professional tidak aparat penegak hukum untuk menegakan aturan hukum tersebut.

j. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya

standar hidup sosio-ekonomi yang minimal didalam masyarakat.

Berbeda dengan pendapat dari C.G. Howard & R.S Mumnresyang

berpendapat bahwa seyogyanya yang dikaji, bukan ketaatan terhadap hukum pada umumnya,

melainkan ketaatan terhadap antara hukum tertentu saja. Achmad ali sendiri berpendapat

bahwa kajian tetap dapat dilakukan terhadap keduanya :29

a. Bagaimana ketaatan terhadap hukum secara umum dan faktor-faktor apa yang

mempengaruhinya;

29
Ibid. h. 376
b. Bagiamana ketaatan terhadap suatu aturan hukum tertentu dan faktor-faktor apa yang

mempengaruhinya.

Jika yang dikaji adalah efektivitas perundang-undangan, maka dapat dikatakan bahwa

tentang efektifnya suatu Perundang-undangan, banyak tergantung pada beberapa faktor, antara

lain :

1. Pengetahuan tentang subtansi (isi) perundang-undangan


2. Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
3. Intitusi yang terkait dengan ruang lingkup Perundang-undangan didalam
masyarakatnya.
4. Bagaimana proses lahirnya suatu Perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan
secara tergesa-gesa untuk kepentingan instan (sesaat), yang diistilahkan oleh
Gunnar Myrdall sebagai sweep legislation (Undang-undang sapu), yang memiliki
kualitas buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.30

Jadi, Achamd ali berpendapat bahwa pada umunya faktor yang banyak mempengaruhi

efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesionl dan optimal pelaksanaan peran,

wewenang dan fugsi dari penegak hukum, baik di dalam penjelasan tugas yang dibebankan

terhadap diri mereka maupun dalam penegakan perundang-undangan.31

2.2.2 Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat martabat, serta pengakuan terhadap

hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari

kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu

hal dari lainnya. Berkaitan dengan Konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan

30
Ibid. h. 378
31
Ibid. h. 379
terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhnya hak-hak

tersebut 32

Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana Perlindungan Hukum ada dua macam, yaitu

1. Sarana Perlindungan Hukum Preventif

Pada perlindungan hukum preventif ini, subjek hukum diberikan kesempatan untuk

mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat

bentuk yang definitive. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum

preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan

bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong

untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di

Indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.

2. Sarana Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum yang Represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa

penanganan perlindungan hukum oleh pengadilan umum dan pengadilan administrasi di

Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap

tindakan pemerintah bertampu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan

perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lainnya

konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan

kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip

kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip

negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi

32
Philipus M. Hadjon , 2005, Perlindungan Bagi Rakyat di Indonesia, Citra Aditya
Bakti:,Bandung, h.1-2
manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama

dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum33

Keadilan dibentuk oleh pemikiran yang benar, dilakukan secara adil dan jujur serta

bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Rasa keadilan dan hukum harus ditegakkan

berdasarkan hukum Positf untuk menegakan keadilan dalam hukum sesuai dengan realitas

masyarakat yang menghendaki tercapainya masyarakat yang aman dan damai. Keadilan harus

dibangun sesuai dengan cita hukum (Rechitdee) dalam negara hukum (Rechtsstaat), bukan

negara kekuasaan (Machtsstaat). Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan

manusia, penegakan hukum harus memperhatikan 4 unsur :

a. Kepastian hukum (Rechtssicherkeit)

b. Kemanfaat hukum (Zeweckmassigkeit)

c. Keadilan hukum (Gerechtigkeit)

d. Jaminan hukum (Doelmatigkeit)34

Sedangkan dalam permasalah ini adalah mengenai perlindungan hukum Konsumen

menurut Undang-undang Perlindungan Kosumen menyatakan bahwa, Perlindungan

Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan kepada Konsumen. Perlindungan Konsumen mempunyai cakupan yang luas,

meliputi perlindungan Konsumen terhadap barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan

untuk mendapatkan barang dan jasa hingga sampai akibat-akibat dari pemakaian barang

dan/atau jasa tersebut

Cakupan perlindungan Konsumen itu dapat dibedakan dalam dua aspek, yaitu :

1. Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada Konsumen tidak

sesuai dengan apa yang telah disepakati

33
Philipus M. Hadjon, Op Cit, h. 30
34
Ishaq, 2009, dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika; Jakarta, h. 43
2. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil kepada

Konsumen35

Keinginan yang hendak dicapai dalam perlindungan Konsumen adalah menciptakan rasa

aman bagi Konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidup. Terbukti bahwa semua perlindungan

Konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen memiliki sanksi pidana.

Singkatnya, bahwa segala upaya yang dimaksud dalam perlindungan Konsumen tersebut tidak

saja terhadap tindakan preventif, akan tetapi juga tindakan represif dalam semua bidang

perlindungan yang diberikan kepada Konsumen. Maka pengaturan perlindungan Konsumen

dilakukan dengan :

1. Menciptakan sistem perlindungan Konsumen yang mengandung unsur keterbukaan

akses informasi, serta menjamin kepastian hukum

2. Melindungi kepentingan Konsumen pada khusunya dan kepentingan seluruh pelaku

usaha

3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa

4. Memberikan perlindungan kepada Konsumen dari praktik usaha yang menipu dan

menyesatkan

5. Memasukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan Konsumen

dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya36

35
Dr. Zulham, S.H.,M.Hum, 2016, Hukum Perlindungan Konsumen, Prenadamedia Group;
Jakarta, h. 22
36
Dr. Zulham, S.H.,M.Hum, 2016, Hukum Perlindungan Konsumen, Prenadamedia Group;
Jakarta, h. 23
2.3 Kerangka Pikir

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan


Konsumen

Undang-undang Nomor 38 tahun 2009 Tentang Pos

PP Nomor KD.128/DITRAKET/016/ Tentang Jaminan Ganti Rugi

Efektivitas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 Tentang Pos atas


Keterlambatan, Kerusakan dan Kehilangan Barang Kiriman Konsumen
(Studi di Pos Indonesia Sunset Road Bali)

Peran Pos Indonesia Sunset Road Bali Efektivitas Uu No. 38 Tahun 2009
dalam Memberikan Perlindungan tentang Pos terhadap konsumen apabila
hukum terhadap konssumen atas terjadinya keterlambtan, kerusakan dan
keterlambatan, kerusakan dan kehilangan barang kiriman
kehilangan barang kiriman

Teori Efektivitas Hukum Teori Perlindungan Hukum

Efektivitas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 Tentang Pos Atas Keterlambatan,


Kerusakan dan Kehilangan Barang Kiriman Konsumen
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Secara umum, metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan

rencana yang sudah disusun tercapai secara optimal.37 Sedangkan menurut Soerjono Soekanto,

Metode adalah suatu cara atau jalan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dengan

menggunakan alat-alat tertentu. Sedangkan Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan,

mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa, usaha mana

dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.38

Berdasarkan metode tersebut diatas, maka metode penelitian berisi segala sesuatu yang

dilakukan oleh peneliti mulai dari persiapan, pelaksanaan dan akhir daei sebuah penelitian.

Bagian metode penelitian berisi teknik pengambilan data, cara atau teknik pengelohan data,

sample, alat, tempat dan waktu penelitian.

Penelitian hukum ada dua jenis yaitu penelitian hukum empiris dan penelitian hukum

normative. Penelitian hukum empiris adalah penelitian yang menggunakan studi hukum

empiris berupa prilaku masyarakat.39 Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan

sebagai perilaku nyata (actual behavior) sebagai segala sosial yang sifatnya tidak tertulis, yang

dialami oleh setiap orang dalam hubungan hiidup masyarakat, sumber data penelitian hukum

empiris tidak bertolak pada hukum Positif, melainkan hasil observasi di lokasi penelitian.40

37
Wina Sanjaya, 2008, Strategi Pembelajaraan Berprientasi Stadard Proses Pendidikan,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.147
38
Soerjono Soekanto, 2013, Penelitian Hukum: Suatu Tinjuan Singkat, PT Raharja Grafindo
Persada, Jakarta, h.14
39
Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. I, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, h.40.
40
Ibid, h. 54
Penelitian hukum normative adalah penelitian yang ditujukan untuk mengkaji kualitas

dan norma hukum sendiri, sehingga sering kali penelitian hukum normative diklasifikasikan

sebagai penelitian kualitatif. Studi kasus hukum normatif berupa produk perilaku hukum,

misalnya mengkaji rancangan Undang-Undangan. Pokok kajiannya adalah hukum yang

dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan

perilaku setiap orang.41

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris

dimana bertujuan untuk melihat hukum dalam arti nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya

hukum dilingkungan masyarakat terkait dengan hal-hal mendasar terhadap Efektivitas

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 Tentang Pos atas Keterlambatan, Kerusakan, dan

kehilangan barang kiriman Konsumen.

3.2 Pendekatan Masalah

Dilihat dari sifatnya, penelitian ini menggunakan dua metode Pendekatan yaitu :

1. Pendekatan Fakta yaitu pendekatan yang mengamati dan melihat kenyataan-kenyataan

yang terjadi dalam masyarakat, khusunya yang berkaitan dengan keterlambtan,

Kerusakan dan Kehilangan barang kiriman di PT Pos Indonesia Sunset Road Bali.

2. Pendekatan Sosiologis yaitu pendekatan yang melihat gejala-gejala dan prilaku

masyarakat serta langsung menyikapi suatu kejadian tertentu, khusunya tentang

Efektifitas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 Tetntang Pos atas Keterlambtan,

Kerusakan dan Kehilangan Barang Kiriman.

41
Ibid, h. 52
3.3 Sumber Data

Sumber data adalah satu yang paling vital dalam penelitian. Kesalahan dalam

menggunakan dan memahami serta memilih sumber data, maka data yang diperoleh akan

meleset dari yang diharapkan. Oleh karenanya peneliti harus bisa memahami sumber data yang

mesti digunakan dalam penelitiannya itu.42 Sumber data merupakan tempat dimana dan

kemana data dari suatu penelitian diperoleh. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah :

1. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama

yaitu data yang diperoleh langsung melalui wawancara dan observasi dilapangan dengan

informan, informan yang dimaksud adalah Manager Operasional Pos Indonesia dan Karyawan

Loket Sunset Road. 3 orang Responden pengguna layanan Pos Indonesia.

2. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan dokumen, peraturan

perundang-undangan, laporan, arsip, literature dan hasil penelitian lainnya. Data sekunder di

bidang hukum ditijau dari ketentuan mengikatnya dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-undang

Nomor 38 Tahun 2009 Tentang Pos, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen dan KUHPerdata.

b. Bahan Hukum Sekunder

42
Bambang Sunggono, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, Radja Grafindo, Jakarta, h.43
Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan penulis

menggunakan hasil karya ilmiah para sarjana dan hasil-hasil penelitian, seperti: buku-

buku yang berhubungan dengan Perlindungan Konsumen, hasil penelitian, jurnal, dan

makalah. Serta bahan-bahan dari internet, baik dari media cetak ataupun media

Elektronik dan bahan-bahan kuliah penunjang.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder, seperti: Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum

dan Ensiklopedia Hukum.

3.4 Lokasi

Lokasi yang diperuntukan dalam penelitian ini adalah Kantor Pos Sunset Road Bali

yang beralamat di Jl. Sunset Road Kav 8c Badung-Bali

3.5 Analisis

Analisis bahan hukum dilakukan untuk memecahkan masalah yang tertuang dalam

rumusan masalah dengan menggunakan analisis data deskritif kualitatif yaitu menggambarkan

suatu keadaan atau suatu fenomena dengan kata-kata atau kalimat kemudian dipisahkan

menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.43

43
Suharsimi Arikanto, 2006, Prosuder Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Cipta Jakarta, h.
26
DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Ali, Achmad 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence) Termasuk Inteprestasi Undang-undang (Legisprudence). Penerbit


Kencana, Jakarta.

Arikanto, Suharsimi 2006, Prosuder Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Cipta


Jakarta.
Hadjon, Philipus M 2005, Perlindungan Bagi Rakyat di Indonesia, Citra Aditya

Bakti:,Bandung.

Ishaq, 2009, dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika; Jakarta.

Kansil, C.S.T, S.H., dan Christine S.T. Kansil, S.H., M.H, 2006, Pokok-
pokok pengetahuan Hukum dagang Indonesia Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
Krisyanti, Celina Tri Siwi 2009, Hukum Perlindungan konsumen, Sinar Grafika,
Jakarta.
Miru, Ahmadi 2011, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di

Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.

Miru, Ahmadi, dan Sutarman Yodo 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.

Rajawali Pers, Jakarta.

Muhammad, Abdul Kadir 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. I, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung
Nasution, Az. 2011, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit
Media, Jakarta.

Sanjaya, Wina 2008, Strategi Pembelajaraan Berprientasi Stadard Proses


Pendidikan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Sidharta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo Edisi
Revisi. Jakarta.
Subekti,2005, pokok-pokok hukum perdata, PT Inter Masa:, Jakarta.

Soekanto, Soerjono 2007, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegak Hukum,

Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono 2013, Penelitian Hukum: Suatu Tinjuan Singkat, PT Raharja

Grafindo Persada, Jakarta.

Suharto dan Iryanto, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta,


PT. Grasindo
Sunggono, Bambang 2003, Metodologi Penelitian Hukum, Radja Grafindo,
Jakarta.
Sutedi, Adrian 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Perlindungan Konsumen,

Ghalia Indonesia, Bogor.

Wulandari, Andi Sri Rezky, S.h.,M.H, dan Nurdiyana Tadjuddin, S.H., M.H, 2018,

Hukum Perlindungan Konsumen, Mitra Wacana Media; Jakarta.

Zulganef, 2008, Metode Penelitian social dan Bisnis, Graha ilmu, Yogyakarta.

Zulham, S.H.,M.Hum, 2016, Hukum Perlindungan Konsumen, Prenadamedia


Group; Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 Tentang pos

PP Nomor KD.128/DITRATKET/016 Tentang Jaminan Ganti Rugi

INTERNET, JURNAL, DAN KAMUS

Brosur Kiriman PT. Pos Indonesia Sunset Road 80361CK


Gulto,2016,Tanggung jawab perusahaan
http://www.gultomlawconsultants.com/tanggung-jawab-perusahaan-jasa-
pengankutan-dalam-pengangkutan-barang-dalam-hal-terjadinya-hilang-dicurinya-
barang_html (diakses pada tanggal 25 Juni 2022pukul 13:15 WITA)
http://www.bumn.go.id/posindonesia/halaman/30/. Diakses pada 15 Juni 2022
Pukul 18:35 WITA.
http://www.Pos Indonesia.co.id/index-php/wesel-pos. (dikases pada 15 Juni 2022
pukul 18:50 WITA)
PosIndonesia,2010,TentangPos, http:www.bumn.go.id/posindonesia/halaman/41/.
(diakses tanggal 15 Juni pukul 18:45 WITA)
PT Pos Indonesia,2017/07/Tentang pos,
http://www.posindonesia.co.id/index.php/p-kilat-khusus, (diakses pada tanggal 28 juni
2022 pukul 16:45 WITA)
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, Jakarta, Balai Pustaka.

kementerianbumn,2011/10/tentangPoshttp://www.bumn.go.id/Posindonesia/2011/10/tentang
Pos.html
(diakses pada tanggal 28 Juni 2022 pukul 14:00 WITA)
Pos Indonesia, 2012/05/ tentang Pos http://www.Posindonesia.co.id/ (diakses pada

Anda mungkin juga menyukai