USULAN PENELITIAN
OLEH
1. Penelitian Terdahulu
Obyek wisata berkembang pesat di Bali. Selain itu, keinginan yang semakin besar di
kalangan wisatawan untuk mendapatkan pengetahuan langsung tentang budaya dan tradisi
spiritual Bali sebagai salah satu kearifan lokal mengharuskan adanya identifikasi dan
perencanaan objek wisata yang relevan di Bali untuk tujuan pendidikan dan pertukaran budaya.
Objek wisata yang diutamakan, tentu saja yang bersifat berkelanjutan; melibatkan masyarakat
local, menyeimbangkan kebutuhan masyarakat local dan wisatawan, melibatkan pemangku
kepentingan dan pihak lain, memberikan kemudahan untuk pengusaha local, membangkitkan
bisnis lain dalam masyarakat, bekerjasama dengan operator penjual paket wisata, namun tetap
memperhatikan peraturan/perundang-undangan sehingga dapat menjamin keberlanjutan dalam
prinsip optimalisasi, lengkap dengan monitoring dan evaluasi untuk menjaga keterbukaan
penggunaan sumber daya alam dan peningkatan keterampilan sumber daya manusia agar tercipta
quality of life, quality of opportunity, dan quality of experience (Agustina, 2021; Arida, n.d.;
Jayandi, 2021; Pemayun, 2018). Griya, sebagai salah satu pemukiman pendeta Bali dan beberapa
keturunannya (griya = grëha, tempat tinggal pendeta, yang berhubungan dengan ritual, teologi,
filsafat, metafisika dll), belum umum digunakan sebagai area wisata budaya hingga masa kini.
Suasana keluarga yang menetap di Griya, budaya tata krama di Griya, kegiatan sehari-hari
maupun berkala, upakara-upakara yang dilaksanakan di Griya, dan sebagainya merupakan
kumpulan budaya Bali. Secara keseluruhan, Griya memainkan peran penting dalam poros
budaya dan spiritual Bali.
Sama seperti keberadaan Puri yang sudah biasa dijadikan obyek wisata budaya, Griya juga
letaknya tersebar diseluruh Bali. Griya, secara historis, ada yang terletak didekat maupun di
dalam kompleks Puri, mengingat, hubungan Griya dan Puri pada jaman dahulu sangat erat.
Sesuai dengan hakikat Griya sebagai pemukiman pendeta Bali, dimana pada jaman dahulu setiap
raja memiliki bagawantha (pendeta kerajaan/purahita) untuk berperan sebagai penasehat
kerajaan. Namun hal tersebut juga tidak menutup letak Griya di lokasi lain, seperti di dekat
sumber air (pancuran atau beji suci), berhubung Griya sebagai pemukiman pendeta selalu
memerlukan air suci untuk keperluan ritual atau pemujaan. Semakin berkembangnya waktu,
letak Griya sudah berjalan selaras dengan perkembangan jaman, dimana terdapat transportasi
yang dapat mempermudah perjalanan ke sumber air.
Selama ini, sebagian besar Griya, walaupun sejatinya adalah sebuah pemukiman, juga
terbuka untuk masyarakat umum di Bali. Masyarakat Bali pergi mengunjungi sebuah Griya
untuk berbagai keperluan, terutama keperluan upakara agama Hindu Bali. Keperluan tersebut
berupa seperti memohon pendeta untuk memimpin sebuah upacara agama, dimana upacara
agama di Bali terhitung sangatlah banyak. Keperluan lain seperti bekerja dan belajar mengenai
budaya Bali juga dilakukan di Griya. Masyarakat umum dapat bekerja di sebuah Griya, dari
bekerja sebagai asisten rumah tangga seperti yang dibutuhkan rumah tangga pada umumnya
hingga pengerajin banten untuk upacara agama Hindu Bali.
Hooykaas melakukan beberapa penelitian perintis pada tahun 1964. Di mana ia menyatakan
griya sebagai gudang dari ratusan teks tentang Hindu Bali. Ratusan tulisan yang berasal dari
griya atau greha, tempat tinggal pendeta, yang berhubungan dengan ritual, agama, filsafat,
metafisika, dan subjek lainnya, pada saat itu telah tersedia bagi para penyalin MSS Palmleaf
(sekarang Gedong Kirtya) di Singaraja. Dalam karyanya tersebut, Hooykaas juga menambahkan
bahwa Pendeta brahmana akan melafalkan doa setiap hari di bale pawedaan, atau seperti yang ia
sebutkan dalam karyanya sebagai “paviliun berdoa”. Hooykaas juga menambahkan bahwa dalam
usahanya mencari lontar mengenai Hindu Bali, Purohita dari kerajaan Karangasem, provinsi
paling timur di Bali, yang tinggal di Budakeling, pemukiman perbukitan yang menganut agama
Hindu-Buddha, cukup murah hati untuk menyalin sebagian besar isi sebuah lontar dari kertas
ayahnya yang sudah sebagian termakan tikus (Hooykaas, 1964). Penelitian ini, membuktikan
bahwa sejak dulu, Griya memang merupakan sebuah ruang sebagai tempat tersimpannya lontar
ataupun teks ajaran agama Hindu Bali. Pada tahun-tahun berikutnya (1969) Hooykaas juga
kembali menulis tentang “An Exorcistic Litany from Bali”, dimana ia menunjukkan ketertarikan
terhadap prosesi yang disebut mecaru dan melukat yang sampai masa kini masih biasa
dilaksanakan di lingkungan Griya (Hooykaas, 1969). Penelitian-penelitian tadi juga diikuti oleh
karya Vickers pada tahun 1989 yang berjudul “A Balinese Illustrated Manuscript of the
Śiwarātrikalpa”. Karya ini tentu menambah bukti bahwa terdapat ketertarikan besar dari
masyarakat asing mengenai budaya Hindu Bali. Dalam karya tersebut, Vickers juga menyatakan
bahwa manuskrip sebagai objek penelitiannya ia dapatkan dari salah satu Griya di Kabupaten
Klungkung, sebagai hunian purohita terdahulu dari Raja Klungkung, yang dulunya adalah
Maharaja Bali. Hal ini Kembali mendukung pernyataan bahwa Griya adalah sumber ataupun
Gudang penyimpanan teks pedoman mengenai agama Hindu Bali (Vickers, 1982). Penelitian
lain oleh Kurniawan & Puspitorini yang berjudul “Uttaraśabda in Java and Bali” juga
mendukung pernyataan tersebut. Dalam karyanya, mereka menyatakan bahwa lontar yang
mereka kaji berasal dari salah satu Griya di Mengwi. Selanjutnya, naskah Uttarasabda dibuat
dalam dua kategori skriptorium: griya dan puri. Konsep griya telah lama diasosiasikan dengan
kependetaan dalam peradaban Bali yang mengakui warna sebagai struktur pemisah dalam posisi
sosial (brahmana). Griya adalah tempat di mana pendeta (pedanda dalam bahasa Bali) dulu
tinggal dan di mana kegiatan, khususnya sastra, diadakan. Kita dapat menduga bahwa jenis atau
genre karya sastra yang dihasilkan dalam sebuah griya disesuaikan dengan kebutuhan kelompok
pendeta. Dalam griya, genre tekstual seperti tutur, mantra, babad, atau cerita tentang sosok
pemuka agama, serta buku-buku tentang etika kependetaan dihasilkan (Kurniawan & Puspitorini,
2018).
Karya Suyoga yang cukup berani (2019), menunjukan adanya minat penelitian terhadap
rumah bangsawan tradisional Bali. Dalam studi kualitatif ini, teori struktur generatif Bourdieu
dan relasi pengetahuan-kekuatan Foucault diterapkan pada analisis data primer yang
dikumpulkan di lapangan, serta wawancara dengan informan yang dipilih secara purposive
sampling dan berdasarkan data sekunder. Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa, menurut
Foucault, menggunakan nama tempat tinggal bangsawan tradisional Bali adalah artikulasi baru
yang telah mendisartikulasikan klaim kebenaran sebelumnya yang telah mapan selama kurang
lebih enam abad. Dalam perspektif Bourdieu, perebutan kapital yang beragam, dengan berbagai
bentuk konversinya, juga merupakan perebutan identitas dalam ranah perjuangan sosial,
sebagaimana terlihat melalui ranah pemukiman masyarakat Bali saat ini. Suyoga memandang
masyarakat tradisional Bali terbagi menjadi tiga golongan wangsa: Brahmana keturunan
Danghyang Nirartha, Ksatrya, yaitu keluarga Dalem Klungkung (raja raja Bali) dengan golongan
Arya yang berasal dari Majapahit, dan Wesia (menteri dan pegawai bawahan kerajaan) dan
sekelompok warga Bali kuno yang dianugerahi kebangsawanan oleh Dalem Klungkung.
Sementara itu, keturunan Sapta Rsi (Brahmana Bali Kuno) yang diyakini telah kalah dalam
konflik, diturunkan strata sosialnya (patita wangsa) sebagai rakyat jelata, termasuk masyarakat
Bali Kuno lainnya yang nyineb wangsa (menyembunyikan pangkatnya). Ketiga tempat tinggal
Griya, Puri, dan Jero dikenal dengan istilah Jeroan (tempat tinggal dalam), tetapi tempat tinggal
suatu kelompok dikenal sebagai Umah dan diyakini berada di luar, atau jaba, dan penghuninya
dikenal sebagai jaba wangsa, yang secara politik setara dengan Sudra. Akibatnya, ada perbedaan
yang jelas antara jeroan-jaba dan, dalam konteks tempat tinggal, Griya, Puri, Jero, dan Umah.
Penamaan tipe hunian dan standar arsitektur tradisional berdasarkan stratifikasi sosial
masyarakat tradisional Bali dipandang sebagai artikulasi dalam terminologi Foucault.
Tampaknya ada sekelompok orang yang telah menemukan pengetahuan tersembunyi di balik
wacana desain berbasis tri wangsa-jaba wangsa sebagai kekuatan yang menarik untuk dikaji
dengan pendekatan Cultural Studies, untuk mengungkap berbagai pergulatan identitas, resistensi
identitas, dan perebutan modal di Konsepsi Bourdieu melalui ranah hunian masyarakat Bali.
Wacana-wacana tersebut merupakan landasan bagi praktik membangun rumah-rumah di Bali
setelah terbukti bahwa perubahan pemahaman catur warna menjadi catur kasta efisien dalam
praktik pengendalian stratifikasi masyarakat tradisional Bali (Suyoga, 2019). Penelitian ini
menunjukan mulai adanya pergeseran budaya penamaan hunian tempat tinggal di Bali yang
penamaannya tidak sesuai dengan makna sebenarnya. Maka dari itu, diperlukan pelestarian dan
pengenalan jenis-jenis pemukiman tradisional Bali agar menghindari terjadinya berbagai
pergulatan identitas maupun resistensi identitas.
Selain sebagai Gudang informasi mengenai ajaran Hindu Bali, kehidupan sehari-hari di
keluarga sebuah Griya juga beberapa kali menjadi sorotan. Banyak penelitian-penelitian bertema
kehidupan social utamanya dengan pendekatan feminis yang diyakini dipicu dengan munculnya
novel-novel atau karya sastra yang menceritakan tentang kehidupan didalam Griya. Penelitian di
area ini mendapat pengaruh besar dari karya-karya novel Oka Rusmini. Salah satunya yang
berjudul “Tarian Bumi” pada tahun 2004. Windiyarti (2008) mengkaji tingkat dan diskriminasi
gender dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Perbedaan tindakan, status, dan posisi
antara tingkat brahmana dan sudra, serta antara karakter pria dan wanita, dapat terlihat baik
dalam urusan rumah tangga dan publik, yang menunjukkan diskriminasi tingkat dan gender.
Penindasan tingkat yang lebih rendah (sudra dan perempuan) oleh tingkat yang lebih kuat
(brahmana dan laki-laki) adalah manifestasi dari ketidaksetaraan dalam tindakan, status, dan
posisi. Artikel ini mengambil metode feminis untuk menyelidiki tingkat diskriminasi gender
novel (Windiyarti, 2008). Hal serupa juga menjadi subyek yang menarik Dwipayana & Artajaya
(2018) dalam menulis artikelnya yang berjudul “Hegemoni Ideologi Feodalistis dalam Karya
Sastra Berlatar Sosiokultural Bali”, namun dalam karyanya, mereka meneliti lebih banyak karya
sastra novel (Dwipayana & Artajaya, 2018). Selain itu, Dewi, Ekasriadi, & Dwipayana juga
menulis mengenai topik ini dalam artikelnya yang berjudul “Polemik Perkawinan Nyerod (Turun
Kasta) dalam Karya Sastra Berlatar Kultural Bali” (Dewi et al., 2021).
Dari sekian banyaknya budaya yang tersimpan di dalam sebuah Griya, belum terdapat
penelitian yang berkaitan mengenai potensi wisata budaya dengan menggunakan Griya sebagai
ruang untuk pelestarian dan pertukaran budaya. Inspirasi di balik desain ini dating dari karya
Jauhari & Sanjeev yang berjudul “Managing Customer Experience for Spiritual and Cultural
Tourism: An Overview” (Jauhari & Sanjeev, 2010), dimana mereka meneliti mengenai
pengembangan wisata budaya berbasis agama di India. Jika berbicara mengenai wisata budaya
dan spiritual di Bali, belum digali adanya potensi wisata tersebut di lingkungan Griya sebagai
salah satu pusat budaya dan spiritual di Bali. Pertanyaan terkait hal ini adalah mengenai
bagaimana cara untuk mengembangkan pariwisata di Bali, utamanya pariwisata budaya, dan
kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai hasil dari pariwisata berkelanjutan.
2. Tinjauan Konsep
a. Daya Tarik Wisata
Segala sesuatu yang dapat menarik wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata
dianggap sebagai daya tarik wisata. Marioti dalam Yoety (1996: 172) membagi daya
tarik wisata menjadi dua kategori: a) objek alam, yang meliputi fasilitas alam seperti
air bersih, udara tropis, konfigurasi lahan dan lanskap, vegetasi langka, kehidupan
liar, taman nasional, kesempatan berburu dan fotografi, dan b) objek buatan, yang
meliputi objek buatan seperti bangunan, jembatan, dan b) spa kesehatan dengan mata
air mineral alami, pemandian lumpur, dan mata air panas. c) barang-barang buatan
manusia seperti artefak bersejarah, budaya, dan keagamaan d) cara hidup, atau
pengaturan hidup konvensional masyarakat, yang mencakup adat dan kebiasaan.
b. Griya
Griya (griya = grha, tempat tinggal pendeta, terkait dengan ritual, teologi,
filsafat, metafisika, dll) adalah salah satu pemukiman pendeta Bali dan beberapa
keturunannya. Suasana keluarga Griya, budaya tata krama, kegiatan sehari-hari dan
berkala, upacara Griya, dan sebagainya merupakan contoh budaya Bali. Griya adalah
bagian integral dari lanskap budaya dan spiritual Bali.
Griya juga dapat ditemukan di seluruh Bali. Karena ikatan yang erat antara
Griya dan Puri pada zaman dahulu, Griya secara historis terletak di dekat atau di
dalam kompleks Puri. Karena sifat Griya sebagai pemukiman pendeta Bali, setiap raja
memiliki bagawantha (pendeta kerajaan/purahita) untuk melayani sebagai penasihat
kerajaan di zaman kuno. Namun hal ini tidak menghalangi Griya untuk ditempatkan
di daerah lain, seperti di dekat sumber air (pancuran atau beji suci), karena Griya
sebagai pemukiman pendeta membutuhkan air suci untuk keperluan ritual atau
peribadatan. Seiring berjalannya waktu, posisi Griya telah berkembang mengikuti
perkembangan zaman, dengan transportasi yang memungkinkan akses mudah ke
sumber air.
Terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar Griya pada dasarnya adalah
sebuah pemukiman, mereka tersedia dan terbuka untuk masyarakat umum di Bali.
Masyarakat Bali mengunjungi Griya karena berbagai alasan, termasuk acara
keagamaan Hindu. Kebutuhan tersebut berupa permintaan seorang pendeta untuk
melakukan ritual keagamaan yang sangat dijunjung tinggi di Bali. Griya juga menjadi
tempat untuk kebutuhan lain, seperti bekerja dan belajar tentang budaya Bali.
Masyarakat umum dapat bekerja di Griya dalam berbagai kapasitas, mulai dari
sebagai asisten rumah tangga hingga menawarkan pengrajin banten untuk acara
keagamaan Hindu Bali.
Dwipayana, I. K. A., & Artajaya, G. S. (2018). Hegemoni Ideologi Feodalistis dalam Karya Sastra
Berlatar Sosiokultural Bal. Journal of Bali Studies, 8(2), 85–104. http://ojs.unud.ac.id/index.php/
Hooykaas, C. (1964). WEDA AND SISYA, RSI AND BHUJANGGA IN PRESENT-DAY BALI. In
Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde (2nd ed., Vol. 2, pp. 231–244).
http://www.jstor.org/stable/27860477
Hooykaas, C. (1969). AN EXORCISTIC LITANY FROM BALI. In Bijdragen Tot de Taal-, Land-
En Volkenkunde (3rd ed., Vol. 3, pp. 356–370). https://www.jstor.org/stable/27861051
Jauhari, V., & Sanjeev, G. M. (2010). Managing customer experience for spiritual and cultural
tourism: An overview. In Worldwide Hospitality and Tourism Themes (Vol. 2, Issue 5, pp. 467–
476). https://doi.org/10.1108/17554211011090094
Kurniawan, A., & Puspitorini, D. (2018). Uttaraśabda in Java and Bali. Cultural Dynamics in a
Globalized World, 531–537.
Pemayun, A. A. G. P. (2018). Ekonomi Kreatif dan Kearifan Lokal dalam Pembangunan Pariwisata
Berkelanjutan di Bali. Universitas Pendidikan Nasional.
Suyoga, I. P. G. (2019). PENGGUNAAN ISTILAH GRIYA, PURI, DAN JERO, SEBAGAI NAMA
KOMPLEKS PERUMAHAN MASA KINI: PERSPEKTIF PERGULATAN IDENTITAS.
Jurnal Patra | 74 JURNAL PATRA, 1(2). https://jurnal.std-bali.ac.id/index.php/patra