Menuju ke arah sebelah barat Kota Boyolali sampailah kita
di Daerah yang bernama Kecamatan Cepogo, cerita tentang Kyai Petruk sudah lama dikenal oleh masyarakat ditempat tersebut. Siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan Kyai Petruk tersebut, nama Kyai Petruk yang kita kenal selama ini adalah sebagai seorang tokoh dalam dunia pewayangan atau abdi dari Satria Pandawa namun ternyata yang dimaksud Kyai Petruk diatas bukanlah seperti yang telah diuraikan dan tidak ada hubungannya dengan cerita tokoh wulu cumbu (abdi) Raden Arjuna dalam pewayangan.
Semasa pemerintahan Kerajaan Majapahit (Prabu Brawijaya
terakhir) hampir berakhir karena terdesak oleh kekuasaan puteranya sendiri yaitu Adipati Demak yang sebenarnya antara Kerajaan Majapahit dan Demak telah ada persetujuan perdamaian, meskipun demikian karena ada salah seorang diantara keluarga atau keturunan Raja Majapahit masih menganut keyakinan lama (Agama Hindu), sedangkan penguasa baru Kerajaan Demak (Raden Patah) beragama Islam maka seseorang keluarga atau keturunan Raja Majapahit itu meneruskan keyakinannya dengan menempati sebuah tempat baru yaitu dilereng sebelah timur Gunung Merapi dan pemukiman baru ini dinamai dengan Tegalsruni (sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Selo).
Adapun yang paling dituakan dari keluarga tersebut adalah
benama Kyai Patradita yang menurunkan anak bernama Kyai Mentawiji sampai pada akhirnya nanti Kyai Patradita meninggal dan dimakamkan di Desa Tegalsruni, Kyai Mentawiji menurunkan dua orang anak yakni yang pertama Kyai Wirogati meninggal dan dimakamkan di Desa Bulu (Kecamatan Selo), sedangkan anak yang kedua adalah Kyai Wirodita. Kyai Wirodita menurunkan anak bernama Kyai Reksayuda I (Kyai Dahlan), setelah Kyai Wirodita meninggal ia dimakamkan di Desa Tunggulsari Kecamatan Cepogo. Kyai Reksayuda I adalah seorang tokoh prajurit mataram dengan nama pemberian dari Raja Mataram, Kyai Reksayuda lalu mempersunting putrid dari Kyai Ragasasi yang juga salah satu keturunan kerabat Kerajaan Mataram, selanjutnya Kyai Reksayuda menurunkan empat orang anak yaitu Kyai Reksayuda II, Kyai Prawirayuda, Kyai Wirayuda dan Suladi dan Suladi inilah yang kemudian disebut dengan nama lain dengan garis keturunan Handakakusuma ini disebut dengan nama Mbah Petruk, mengapa ia dipanggil dengan sebutan Mbah Petruk? Badan tinggi atau jangkung membuatnya mendapatkan julukan tersebut seperti tokoh Petruk dalam pewayangan. Diceritakan bahwa Handakakusuma semasa kecil ikut dengan saudara tuanya yakni Kyai Reksayuda II. Handakakusuma memiliki sikap aneh lain sekali dengan sifat dan perbuatan saudara-saudaranya yang lain, ia tidak suka mandi bahkan tidak pernah mandi, tidak mau bekerja atau membantu pekerjaaan orang tuanya yaitu bertani atau menggembalakan ternak, suka bepergian tidak jelas arah, maksud dan tujuannya dan terkadang kepergiannya sampai berbulan-bulan, suka menyusuri Kali (sungai) Gandul mulai dari hulu yaitu di daerah sidapeksa yang merupakan pangkal dari Kali Gandul, namun ia memiliki kesaktian yaitu setiap perkataan yang ia ucapkan selalu benar (titis dalam Bahasa Jawa). Akibat dari kelakuannya yang aneh tersebut, Handakakusuma kerap mendapatkan marah dari orang tuanya yaitu Kyai Reksayuda namun Handakakusuma tidak peduli dengan semuanya ia hanya mengikuti kata hatinya.
Pada suatu saat setelah Handakakusuma menjelang
dewasa, kakaknya Kyai Reksayuda II merencanakan khitanan untuk sang adik dengan berbagai macam kelengkapan sudah disiapkan termasuk didalamnya adalah sepotong baju baru untuk upacara khitanan tersebut, barang tentu sebagai syarat memakainya si pemakai haruslah mandi terlebih dahulu dan hal tersebut adalah pantangan bagi sang adik. Maka dengan susah payah Kyai Reksayuda II berhasil membawa paksa sang adik ke Kali Gandul untuk dimandikan. Namun apa yang terjadi pada diri Handakakusuma setelah masuk ke air Kali Gandul? Tiba- tiba ia lenyap dari pandangan mata semua keluarga yang mengantarkannya.
Semua orang bingung mencari dan semua anggota keluarga
berusaha menemukan Handakakusuma kembali dengan mencarinya di sepanjang Kali Gandul, bahkan sampai ke tebing-tebing curam dicari mungkin ia ada disitu, tapi apa daya Handakakusuma tetap tidak dapat ditemukan kembali. Sangat sedihlah hati Kyai Reksayuda II karena rasa kehilangan, segala cara termasuk selamatan diupayakan agar sang adik bungsu tersebut dapat kembali namun tidak membawa hasil. Teringat akan kelakuan sang adik yang aneh dan hilangnyapun dengan cara yang tidak wajar.
Ketika Kyai Reksayuda II sedang merenungi nasib adiknya
tiba-tiba terdengar suara gaib demikian, “Kakang Reksayuda, aja susah-susah ngupaya aku, aku wis ora bakal kumpul maneh lawan kakang ing salawas-lawase. Samengko aku dedunung mengkoni Gunung Merapi ana ing alam kaalusan” (Kakak Reksayuda janganlah bersusah payah mencari aku, aku sudah tidak bisa berkumpul lagi dengan kakak untuk selama-lamanya. Sekarang aku berada menguasai Gunung Merapi di alam gaib)…………”Dono menawa kakang ketemu karo aku ana sarate, sesajia wedang bubuk gula jawa lan jadah bakar, yen selametan memulo aja lali tumpeng sega gunung panggang buta, lan aja lali genepana sesajen pohung bakar. Yen ana pepeteng atimu kakang, dalah satedhak turunmu uga sarana sesajen iku, aku bakal rerewang bisaa oleh pitulungan pepadhang.” (Kalau kakak ingin menemui aku ada syaratnya, sajikanlah minuman kopi dengan gula jawa dan jadah bakar, kalau selamatan kebaktian, jangan lupa tumpeng nasi jagung dengan lauk tempe bungkil yang dibakar, dan jangan lupa genapnya sesaji dengan ubi kayu yang dibakar. Apabila kakak sedang dilanda kesusahan, demikian juga dengan anak cucu kakak, dengan sesaji demikian, aku akan membantu agar didalam kegelapan mendapatkan pertolongan terang), maka berserahlah Kyai Reksayuda II atas segala takdir yang menimpa adiknya karena yang didengarnya baru saja memang suara adiknya- Handakakusuma yang telah berada di alam gaib. Pesan adiknya itu tengiang dan tertanam dalam benak sang kakak meresap menjadi kepercayaaan sampai turun temurun, setiap kali timbul masalah Kyai Reksayuda selalu mengadakan sesaji seperti apa yang diberitahukan sang adik. Kepercayaan tersebut akhirnya menyebar sampai daerah Cepogo dan lereng Gunung Merapi bagian timur. Sampai saat ini jika masyarakat sekitar wilayah tersebut menyelenggarakan upacara penikahan, mendirikan rumah dan sebagainya, orang tidak akan lupa untuk menyiapkan sesaji seperti apa yang telah diuraikan diatas, hal ini dilakukan semata-mata masyarakat yang bersangkutan ingin agar mendapatkan pertolongan dari Kyai Petruk, yang sekarang sudah menjadi penghuni alam gaib dan memerintah makhluk halus Gunung Merapi.
Sebagai contoh beberapa cerita tentang kepercayaan
terhadap Kyai Petruk, pada waktu daerah cepogo masih menjadi daerah Ondernening yang dikuasai oleh Belanda, Ngabehi Singawerdaka mengadakan upacara sajian untuk Kyai Petruk, namun Administratur Belanda tidak percaya, menertawakannya, mencemoohnya bahkan menolaknya. Kemudian Ngabehi Singawerdaka memohon petunjuk serta nasehat kepada Kyai Petruk, tidak berselang lama terjadilah banjir lahar dingin yang menghancurkan kebun Ondernening tersebut, hingga memaksa penguasa Belanda saat itu pindah dari wilayah Cepogo mencari tempat yang dianggap aman. keajaiban lainnya yaitu pada waktu Ngabehi Singawerdaka terjun dalam kancah peperangan pada jaman geger Serang, atas permintaannya Kyai Petruk juga membantu secara gaib sehingga memperoleh kemenangan dengan gemilang. Kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan Kyai Petruk sebagai penguasa alam gaib di Gunung Merapi tidak hanya sampai disini sebagai contoh lagi pada saat terjadi kecelakaan pendakian Gunung Merapi, seorang anak anggota regu pendakian sangat sulit ditemukan, akhirnya seseorang yang masih keturunan Kyai Petruk mengadakan upacara adat dan memohon untuk dapat menemukan kembali pendaki tersebut. Regu penolong kembali mencari dan korban dapat dengan mudah ditemukan.
Hingga sekarang jika akan terjadi musibah akibat Gunung
Merapi, maka tempat yang akan terkena musibah tersebut terlebih dahulu mendapatkan firasat atau pesan dari Kyai Petruk dengan cara mendatangi salah seorang warga.