Anda di halaman 1dari 17

Pura Kesuma Dewi [disebut juga Pura Sumadewi atau Pura Mas Medewi] terletak di

Banjar Tegal, Desa Bebalang, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli.


Dari pertigaan yang berada pada ujung selatan Kota Bangli [yang ada bundaran itu],
tepatnya di Desa Bebalang, anda ambil arah jalan ke arah timur.
Sekitar 50 meter darisana akan ada lagi pertigaan, disini anda ambil arah jalan
ke selatan dimana ada gapura atau candi bentar yang cukup besar. Terus saja masuk
ke selatan sekitar 100 meter, anda akan bertemu perempatan dimana ada gedung
balai banjar dari Banjar Tegal. Ini berarti anda sudah tiba di Banjar Tegal yang
merupakan lokasi pura.
Dari perempatan ini anda ambil arah jalan ke selatan, yaitu ke Jalan Mas Medewi.
Jalan ini cukup sempit dan melewati pemukiman penduduk Banjar Tegal yang padat.
Kalau anda naik mobil, agak hati-hatilah melewati jalan ini. Sebab di jalan sempit ini
mobil agak sulit untuk berpapasan, harus mencari bagian jalan yang agak lebar pada
titik-titik tertentu yang memungkinkan agar mobil bisa berpapasan.
Jalan ini lurus saja sepanjang sekitar 200 meter sampai tiba di ujung pemukiman
penduduk Banjar Tegal, nanti disana jalan akan berbelok ke kanan dan menurun.
Jalan menjadi semakin sempit dan pemukiman penduduk tidak ada lagi. Kalau anda
naik mobil ingatlah mengebel di tikungan ini dan hati-hatilah melewati jalan ini,
sebab jalan sempit mobil tidak bisa berpapasan. Di sebelah kanan jalan merupakan
tebing setinggi kira-kira 5 meter disertai rerimbunan pohon, di sebelah kiri jalan
merupakan jurang sedalam kira-kira 5 meter.
Jalan sempit ini tidak sampai 100 meter jauhnya dan anda akan tiba di tempat parkir
dari Pura Kesuma Dewi. Tempat parkir ini tidak terlalu besar, hanya bisa menampung
maksimal 4 mobil, tapi ini bisa menjadi tempat untuk mobil memutar disaat pulang
nanti.

SEJARAH PURA
Pura Kesuma Dewi dibangun dalam 2 [dua] tahap pembangunan dan termuat dalam 2
[dua] naskah klasik.
Tahap 1
Awal mula keberadaan Pura Kesuma Dewi adalah Pathirtan Pangsut, yang mengalirkan
air suci Kesuma Dewi yang sangat sakral dan metaksu. Pangsut sendiri berarti di ujung
jalan yang mentok atau buntu. Sebagaimana yang kita lihat bahwa bahkan sampai
jaman sekarang inipun Pura Kesuma Dewi tetap berlokasi di ujung jalan yang mentok
atau buntu.

Pathirtan Pangsut
Mengenai sejarah keberadaan Pathirtan Pangsut ini termuat di dalam prasasti kuno
yang dikeluarkan Raja Jayapangus [bertahta pada tahun 1178 s/d 1181 Masehi] yang
membahas tentang keberadaan Pathirtan Pangsut di wilayah Tegal Alang-alang di
selatan Kota Bangli, yang sekarang menjadi Banjar Tegal. Prasasti ini sampai sekarang
masih tersimpan di Pura Kehen. Ini berarti sejarah keberadaan Pathirtan Pangsut dan
air suci Kesuma Dewi sudah ada sejak sebelum abad ke-11 M.
Hanya ini sekelumit sejarah yang diketahui, bahwa Pathirtan Pangsut dan air suci
Kesuma Dewi sudah ada pada abad ke-11 M. Sedangkan awal mula sejarah
dibangunnya parahyangan ini pada jaman yang jauh lebih tua tidak diketahui.
Tahap 2
Sedangkan tahap perluasan dari Pura Kesuma Dewi termuat di dalam lontar
Siddhimantra Tattwa, yaitu lontar yang memuat kisah sejarah tentang Danghyang
Siddhimantra [seorang mahasiddha Shiwa-Buddha terkenal dari jaman kuno]
berikut kisah sejarah mengenai keturunan beliau.
Diceritakan bahwa Danghyang Siddhimantra memiliki seorang putra bernama
Danghyang Manik Angkeran. Kemudian dari Danghyang Manik Angkeran garis keturunan
ini terus berlanjut dari generasi ke generasi.
Sampai pada keturunan beliau yang bernama I Gusti Anglurah Tambaan Kancing
Masuwi yang menjadi Anglurah Gelgel dan memiliki puri di Desa Tambahan. Beliau
memiliki empat anak dan salah satunya adalah anak perempuan bernama I Gusti Ayu
Jembung. Anaknya ini dipertemukan [dijodohkan] dan dinikahkan melalui upacara
pawiwahan dengan I Gusti Ngurah Arsa Guwi.

Setelah beberapa waktu dari upacara pawiwahan ini mendadak datang seorang utusan
bernama Ida Pedanda Sakti Gde Mawang yang dikirim oleh Ratu [penguasa] Taman Bali
yang bernama I Dewa Taman Bali.
I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi bersikap sangat hati-hati dengan datangnya
utusan ini, mengingat penguasa Taman Bali sudah memberontak melepaskan diri dari
Kerajaan Bali yang berpusat di Gelgel. Memanfaatkan keadaan pusat pemerintahan
Kerajaan Bali di Gelgel yang sudah hampir runtuh, serta sudah kehilangan kekuatan
dan kekuasaannya.
I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi kemudian keluar dari puri-nya untuk
bertemu dengan sang utusan. Ketika sampai diluar puri dilihatnya Ida Pedanda Sakti
Gde Mawang sedang menunjukkan kesiddhian-nya dengan memegang tetaken yang
diatasnya berkobar nyala api sebesar kepalan tangan bertingkat 1 [satu]. Melihat
pameran kesiddhian ini I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi tetap menyambut
sebagaimana mestinya dan menghaturkan ucapan selamat datang. Sebagai keturunan
langsung dari Danghyang Siddhimantra beliau juga tentunya memiliki kesiddhian yang
tidak sembarangan. Beliau kemudian menghunus keris pusaka pajenengan beliau yang
bernama Ki Baan Kawu-Kawu dan langsung mengeluarkan api sebesar kepalan tangan
bertingkat 21 [dua puluh satu].
Seketika itu juga Ida Pedanda Sakti Gde Mawang merasa kesaktiannya kalah dari I
Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi. Beliau lalu mengajak I Gusti Anglurah
Tambaan Kancing Masuwi untuk duduk berdialog. Disampaikanlah maksud tujuan
kedatangannya sebagai utusan dari I Dewa Taman Bali [penguasa Taman Bali] untuk
melamar I Gusti Ayu Jembung, yang hendak diperistri oleh I Dewa Taman Bali.
Sadarlah I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi bahwa tujuan sebenarnya dari
pengiriman utusan ini adalah untuk memancing peperangan. Sudah tentu I Gusti
Anglurah Tambaan Kancing Masuwi tidak dapat memenuhi permintaan penguasa Taman
Bali tersebut, sebab I Gusti Ayu Jembung sudah dinikahkan dengan I Gusti Ngurah Arsa
Guwi.
Peminangan ini hanyalah taktik dari I Dewa Taman Bali untuk melemahkan setiap
kekuatan yang dirasanya menjadi saingan bagi kekuasaannya. Karena peminangan ini
ditolak, maka penguasa Taman Bali memiliki alasan untuk melakukan penyerangan
dengan alasan merasa terhina dengan penolakan tersebut.
Pada saat itu pasukan Taman Bali sedang berada pada puncak kekuatannya. I Gusti
Anglurah Tambaan Kancing Masuwi sadar akan diserang pasukan yang kuat dan
jumlahnya lebih besar dari pasukannya sendiri. Beliau memutuskan untuk menghindari
pecahnya peperangan dengan cara menyingkir dan bersembunyi. Beliau membawa
seluruh harta dan benda pusaka penting miliknya dan mengajak seluruh keluarganya
melakukan perjalanan menuju utara.
Di wilayah Tegal Desa Bebalang mereka disambut oleh I Pasek Dawan Tegal. Situasi

saat itu sangat genting karena pasukan Taman Bali sudah mengetahui pelarian ini dan
berupaya melakukan pengejaran. I Pasek Dawan Tegal membantu I Gusti Anglurah
Tambaan Kancing Masuwi beserta keluarganya untuk bersembunyi di Pathirtan Pangsut
di tepi sungai kecil yang bernama Sungai Geroh-geroh.

Sungai Geroh-geroh di sisi selatan Pura Kesuma Dewi


Saat itu I Gusti Ayu Jembung sudah dalam keadaan hamil. Disertai oleh I Pasek Dawan
Tegal, I Gusti Ayu Jembung beserta suami dan keluarganya, menyampaikan sebuah
permohonan dan janji kepada para Ista Dewata mahasuci yang malinggih di Pathirtan
Pangsut. Mohon agar dilindungi dari kejaran pasukan Taman Bali, mohon keselamatan
agar tetap bisa hidup dan memperoleh keturunan [yang sedang dikandungnya]. Kalau
permohonan ini terkabul berjanji akan membangun sebuah parahyangan suci
kahyangan jagat di Pathirtan Pangsut yang akan dinamai Pura Kesuma Dewi.
Berkat perlindungan niskala dari para Ista Dewata alam-alam suci mereka semua
selamat dari pengejaran dan pencarian pasukan Taman Bali. Ketika keadaan dirasa
sudah agak aman kemudian I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi beserta
keluarganya, termasuk I Gusti Ayu Jembung yang sedang hamil, melanjutkan
perjalanan menuju Den Bukit [sekarang disebut Buleleng] dan sampai di Bukit Tajun.
Dari Bukit Tajun mereka melanjutkan perjalanan menuju utara dan menetap disana.
Tempat ini kemudian diberi nama Desa Kubu Tambahan. Karena mereka berasal dari
Desa Tambahan dan kemudian membuat kubu [pondok atau rumah tempat tinggal].
Untuk memenuhi janji karena sudah mendapat perlindungan niskala, kemudian
dibangunlah parahyangan suci Pura Kesuma Dewi di Pathirtan Pangsut. Ini berarti
perluasan Pura Kesuma Dewi ini terjadi pada sekitar abad ke-17 M.
Dari beberapa naskah klasik ini bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa Pura Kesuma
Dewi dibangun dalam 2 [dua] tahap pembangunan. Pura Kesuma Dewi sudah ada sejak
sebelum abad ke-11 M dan mengalami perluasan pada sekitar abad ke-17 M.

DRESTA PURA
Di Pura Kesuma Dewi terdapat beberapa dresta yang tentunya wajib untuk kita ikuti
dan tidak kita langgar. Dresta-dresta tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kalau mandi atau melukat tidak boleh mengenakan busana sehelai benangpun.
Mandi atau melukat wajib telanjang bulat.
Menurut cerita masyarakat, kalau dresta ini dilanggar maka akan mengakibatkan mata
air suci Kesuma Dewi di Pura Kesuma Dewi ini berhenti mengalirkan air. Sebagaimana
sudah terbukti berkali-kali pada kejadian-kejadian yang masih diingat sejak 100 tahun
yang lalu. Kalau ada yang mandi atau melukat masih mengenakan busana, walaupun
hanya ditutupi selembar kain perca kecil saja, maka air suci di Pura Kesuma Dewi ini
akan berhenti mengalir. Harus diadakan upacara khusus agar air suci ini dapat
mengalir kembali.
Sehingga masyarakat setempat sangat ketat akan aturan ini. Bagi yang melanggar dresta ini akan
langsung dikenakan sanksi. Juga pengempon pura memasang papan pengumuman mengenai dresta dan
sanksi yang akan dibebankan bagi pelanggar.
Dresta niskala ini merupakan sebuah ujian spiritual, sebuah proses seleksi alam bagi siapa saja yang
datang tangkil, sekaligus menjadi pagar niskala penjaga kesakralan parahyangan suci. Siapapun yang
hendak mandi atau melukat di parahyangan suci yang sakral ini harus sanggup menempuh ujian
spiritual ini, yaitu mandi atau melukat dengan bertelanjang bulat.
Ini tidak saja merupakan sebuah ujian spiritual, tapi sesungguhnya merupakan sebuah pelajaran
spiritual tingkat tinggi. Karena untuk dapat melukat di parahyangan suci ini, kita harus dengan
keikhlasan total, dengan kepolosan pikiran dan terbebas dari ke-aku-an [ego, ahamkara]. Mengalami
keadaan sunia melampaui pikiran, tanpa diri atau tanpa ego. Hanya mereka yang bersedia
menggembleng diri melatih kondisi kesadaran seperti ini yang diijinkan untuk melukat di parahyangan
suci sakral ini, untuk memperoleh karunia para Ista Dewata. Kalau tidak bersedia, sebabnya karena
bathin masih melekat sangat kuat dengan keterkondisian palsu, maka dari itu tidak akan diijinkan.

Tentunya dresta pura ini wajib untuk kita ikuti dan tidak kita langgar. Karena tanpa
mengikuti dresta ini tentunya yang didapat bukannya karunia Ista Dewata, tapi
malahan berdampak kepada sebuah kemunduran secara sekala - niskala.
2. Kalau mandi atau melukat tidak boleh meletakkan pakaian di areal pathirtan.
Artinya kita harus membuka dan meletakkan pakaian di seberang jembatan diatas
sungai, kemudian berjalan sekitar 2,5 meter menuju areal pathirtan. Atau boleh
juga membuka dan meletakkan pakaian di tengah jembatan tersebut.

Jembatan di atas sungai menuju areal pathirtan


3. Pantang untuk mengkomersialkan atau menjual air suci dari Pura Kesuma Dewi ini.
Masyarakat dipersilahkan untuk nunas tirtha disini untuk konsumsi sendiri sebanyak
yang diperlukan. Tapi pantang untuk mengkomersialkan atau menjualnya. Menurut
cerita masyarakat kalau dresta ini dilanggar maka akan mengakibatkan kecelakaan
yang berujung pada kematian bagi yang melanggarnya. Ini sudah berkali-kali terjadi,
termasuk kejadian-kejadian beberapa tahun yang lalu.
Bila kita tangkil ke sebuah pura tentunya semua dresta pura tersebut wajib untuk kita
ikuti dan tidak kita langgar. Di setiap parahyangan suci pastinya tidak lepas dari taksu
dan kekuatan suci. Bila kita tidak mampu dengan rendah hati menghormati dan
mengikuti dresta, taksu dan kekuatan suci sebuah pura, tentu lebih baik kita tidak
datang saja kesana. Tanpa mengikuti sasana ini tentu pencapaian apapun dalam
proses perjalanan spiritual tidak akan diperoleh. Yang terjadi malah sebuah
kemunduran.
Sehebat apapun tingkat spiritual kita, kalau datang ke sebuah pura jangan seperti
"maling" yang mengobrak-abrik dresta sebuah pura, dengan membawa sikap angkuh
dan mementingkan diri sendiri. Sudah tentu itu adalah sebuah sikap yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip dharma sejati. Kita tidak akan memperoleh
karunia spiritual apapun, malah dengan pelanggaran tersebut kita akan mendapat
karma buruk. Kalau kita tidak sanggup untuk mengikuti dan menghormati dresta
sebuah pura, tentu lebih baik kita tidak datang saja kesana.
Selain itu tentunya juga berlaku tata-aturan ke pura yang umum berlaku dimanamana, yaitu datang dan memasuki areal pura wajib memakai pakaian adat Bali /
pakaian sembahyang Hindu. Serta dilarang masuk ke pura dalam keadaan cuntaka,
seperti sedang ada keluarga dekat yang meninggal dunia dan wanita yang sedang
haid [datang bulan].

MANDALA PURA
Keseluruhan Pura Kesuma Dewi terbagi menjadi tiga areal. Yaitu areal utama
Pura Kesuma Dewi, areal Pathirtan Kesuma Dewi [Pathirtan Pangsut] dan areal
Palinggih Taru.
Dari tempat parkir Pura Kesuma Dewi, di depan kita langsung adalah jembatan yang
menuju areal utama Pura Kesuma Dewi.

Di sebelah kiri jembatan ini, di bawah pada sungai, terdapat sebuah batu besar
berwarna kuning keemasan yang unik. Menurut kesaksian langsung Jro Mangku dan
masyarakat sekitar pura, sekitar 50 tahun yang lalu batu ini hanyalah sebesar keben
saja. Entah apa sebabnya batu itu terus bertumbuh membesar sampai sekarang
ukurannya hampir sebesar 2/3 mobil karimun. Selain itu ada kejadian seorang praktisi
spiritual dari Jogja yang sedang menjelajah Pulau Bali mengalami kejadian unik
dengan batu ini. Yaitu dia melihat di kejauhan ada segaris sinar terang mencuat ke
angkasa. Setelah dicari-cari asal dari sinar terang tersebut, ternyata berasal dari batu
ini.

Batu berwarna kuning keemasan yang terus membesar


Memasuki candi bentar pura kita akan memasuki madya mandala pura. Disini terdapat
Palinggih Sanghyang Baruna [Ista Dewata penguasa samudera] dan sepasang Palinggih
Apit Lawang. Selain itu juga terdapat beberapa bangunan sebagai penunjang kegiatan
disaat diadakannya piodalan pura atau upacara besar lainnya.

Candi bentar menuju utama mandala dan sepasang Palinggih Apit Lawang
Melewati candi bentar berikutnya merupakan gerbang masuk menuju utama mandala
pura. Disini merupakan tempat pemujaan utama dari Pura Kesuma Dewi.
Palinggih mulai dari paling barat adalah Palinggih Anglurah Agung sebagai stana
Sanghyang Buddha. Di palinggih ini distanakan arca pratima Buddha Vairocana [salah
satu dari lima Panca Dhyani Buddha], yang merupakan ciri khas Buddha Kasogatan
yang berkembang di nusantara pada jaman kuno dahulu. Pada awalnya pratima kuno
yang ada disini berupa jempana berbentuk teratai. Melalui paruman para panglingsir
dan pengurus pura pada tahun 2007, kemudian diputuskan untuk mengganti pratima
jempana berbentuk teratai dengan arca pratima Sanghyang Buddha. Pratima kuno
berupa jempana berbentuk teratai itu kemudian disimpan di palinggih gedong. Adanya
palinggih Sanghyang Buddha ini kemungkinan memiliki kaitan dengan sadhana spiritual
dari Danghyang Siddhimantra yang melaksanakan ajaran Shiwa-Buddha.

Palinggih Sanghyang Buddha

Di sebelah timur Palinggih Anglurah Agung sebagai stana Sanghyang Buddha adalah
Palinggih Pesamuhan Agung. Yaitu tempat pemujaan bagi seluruh Ista Dewata di
Pura Kesuma Dewi. Ketika diselenggarakan piodalan maka seluruh arca pratima akan
distanakan berkumpul disini.

Persembahyangan di depan Palinggih Pasamuhan Agung


Di sebelah timurnya lagi adalah Palinggih Sanghyang Wishnu, berupa sebuah palinggih
gedong yang tertutup rapat. Di dalam palinggih gedong ini terdapat arca pratima
Sanghyang Wishnu yang terbuat dari uang kepeng. Arca pratima ini memiliki kisah
sejarah yang tidak biasa. Yaitu ketika jaman dahulu [tidak diingat lagi tahunnya] di
palinggih ini belum ada arca pratima. Lalu oleh masyarakat dikumpulkan orangorang wikan untuk diminta petunjuknya. Kemudian disarankan oleh mereka untuk
memohon di palinggih taru. Kemudian terjadilah keajaiban dimana diatas canang yang
dihaturkan di Palinggih Taru tersebut, yang tadinya kosong mendadak diatasnya berisi
banyak sekali uang kepeng. Kemudian uang kepeng inilah yang dijadikan sebagai arca
pratima Sanghyang Wishnu.

Palinggih Sanghyang Wishnu


Di sebelah timur dari jejeran palinggih tadi terdapat palinggih pesimpangan ke
Gunung Agung dan palinggih pesimpangan ke Gunung Lebah [Gunung Batur]. Yang
dalam kosmologi Bali adalah simbolik Purusa dan Predana [Prakriti], yaitu keseluruhan
realitas alam semesta. Serta disebelahnya lagi adalah Palinggih Padmasana sebagai
stana Sanghyang Acintya beserta seluruh manifestasi-Nya.

Palinggih Gunung Agung, Gunung Lebah dan Padmasana


Di sebelah timur pura terdapat satu palinggih gedong untuk pemujaan kepada
Danghyang Manik Angkeran. Di parahyangan ini tidak ada palinggih pemujaan kepada
Danghyang Siddhimantra, karena beliau telah kembali ke Pulau Jawa dan tidak
menetap di Bali.

Palinggih Danghyang Manik Angkeran


Di sebelahnya adalah Palinggih Sanghyang Prajapati. Adanya palinggih Sanghyang
Prajapati ini merupakan manifestasi naungan dan perlindungan dari Ista Dewata
kepada manusia dari marabahaya dan keberlanjutan kehidupan. Ini terkait dengan
kejadian I Gusti Ayu Jembung yang mohon perlindungan dari bahaya dan mohon agar
dapat memperoleh keturunan [yang sedang dikandungnya]. Karena beliau Sanghyang
Prajapati adalah Ista Dewata pemberi kehidupan dan pelindung kehidupan semua
mahluk.

Palinggih Sanghyang Prajapati


Di sebelah selatan pura terdapat Palinggih Sanghyang Ibu Pertiwi atau Ibu Bumi.

Palinggih Sanghyang Ibu Pertiwi


Untuk menuju areal kedua, yaitu Pathirtan Kesuma Dewi [Pathirtan Pangsut], kita
harus keluar dulu dari areal utama Pura Kesuma Dewi. Berjalan sekitar 50 meter
melewati jalan di pinggir jurang Pangsut.
Sebelum sampai di Pathirtan Pangsut kita akan melewati sebuah Palinggih untuk
bendungan subak kuno. Bendungan kuno ini terdapat di bagian bawah, pada Sungai
Geroh-geroh yang bermuara ke Tukad [Sungai] Melangit. Palinggih ini tidak ada
kaitannya dengan Pura Kesuma Dewi dan disungsung oleh krama subak dari daerah
lain, yang leluhurnya membuat bendungan ini.

Palinggih bendungan subak di selatan Pathirtan Pangsut


Areal pathirtan Kesuma Dewi ini terbagi menjadi dua mandala, yaitu jaba tengah dan
jaba sisi.
Di jaba tengah Pathirtan Kesuma Dewi [Pathirtan Pangsut] terdapat kelebutan atau
sumber mata air suci Kesuma Dewi yang sangat disakralkan. Pada sumber mata air suci

ini dilinggihkan arca seorang pandita. Kemudian air suci ini mengalir melewati tiga
pancoran suci. Tiga pancoran suci ini hanya boleh untuk nunas tirtha saja.

Pancoran tiga untuk nunas tirtha


Aliran air suci Kesuma Dewi dari tiga pancoran suci ini kemudian dialirkan menuju
jaba sisi dari areal pathirtan yang juga mengalir keluar melewati tiga pancoran.
Disinilah tempat untuk melukat, mandi atau nunas tirtha.

Pancoran tiga genah melukat, mandi atau nunas thirta.


Untuk menuju areal ketiga, yaitu areal Palinggih Taru kita akan melewati jembatan
yang ada di sisi timur areal pathirtan Kesuma Dewi. Lalu naik ke atas bukit kecil.

Taru [pohon] yang ada disini ada dua yaitu Pohon Taap [yang besar] dan Pohon

Pule [yang kecil]. Taru ini sangat disakralkan oleh masyarakat dan pernah digunakan
sebagai bahan pembuatan tapel sesuhunan Pura Dalem Lagaan.

Palinggih Taru
Demikianlah keberadaan seluruh wilayah parahyangan suci Pura Kesuma Dewi.

SAKRALNYA KEKUATAN SUCI TIRTHA KESUMA DEWI


Pura Kesuma Dewi adalah pura kahyangan jagat dengan nuansa spiritual Bali kuno.
Menurut Jro Mangku pura, kalau pemedek hendak melukat di Pura Kesuma Dewi dan
pertama kali tangkil, hendaknya membawa pejati dan juga mendak Jro Mangku. Nanti
Jro Mangku yang akan mengadakan persembahyangan matur piuning dulu kepada Ista
Dewata yang berstana di Pura Kesuma Dewi. Setelah itu barulah pemedek melukat di
Pathirtan Kesuma Dewi.
Penangkilan-penangkilan selanjutnya dipersilahkan langsung saja melukat dengan
menghaturkan canang di pathirtan. Kita boleh mendak pemangku dan boleh juga
tidak. Kalau kita mendak pemangku nanti kita bisa sembahyang di areal utama
mandala pura. Kalau kita tidak mendak pemangku, kita tidak akan dapat masuk ke
areal utama mandala pura karena gerbang-nya selalu digembok. Kita boleh langsung
saja melukat di pathirtan dengan menghaturkan canang. Ketika melukat janganlah
sama sekali melanggar dresta-dresta yang ada di pura ini.
Bisa dikatakan bahwa Pura Kesuma Dewi adalah salah satu tempat melukat yang
sangat baik, sebab air suci Kesuma Dewi adalah thirta yang sangat sakral dan
metaksu, dengan kekuatan sucinya dalam air sangat kuat, sehingga menjadi salah
satu tempat melukat yang sangat baik.
Secara niskala air suci yang mengalir dari masing-masing pancoran pada pancoran tiga
di jaba sisi ini terlihat memiliki warna yang berbeda-beda dan terasa energi-nya juga

berbeda-beda. Ini berarti masing-masing pancoran memiliki karunia-nya masingmasing. Dan ini tidak hanya secara niskala saja, tapi terbukti juga secara sekala. Yaitu
ketika Pemda Bangli melakukan penelitian mengenai kualitas air suci Pura Kesuma
Dewi. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa tirtha suci dari masing-masing
pancoran pada pancoran tiga di jaba sisi ini ternyata memiliki berat dan kandungan
mineral yang berbeda-beda. Ini secara ilmiah tentu saja cukup membingungkan,
karena sumber mata airnya sama hanya satu saja.
Salah satu dresta di Pura Kesuma Dewi bahwa mandi atau melukat di pancoran
disana tidak boleh memakai busana sehelai benangpun atau wajib telanjang bulat dan
laki-laki perempuan disini mandi campur. Selain itu kalau mandi atau melukat tidak
diperbolehkan meletakkan pakaian di areal pathirtan, sehingga kita harus membuka
dan meletakkan pakaian di seberang jembatan, kemudian berjalan dengan tanpa
busana sekitar 2,5 meter menuju areal pathirtan. Atau boleh juga membuka dan
meletakkan pakaian di tengah jembatan tersebut.

Masyarakat disini biasa-biasa saja, sama sekali tidak ada yang berpikiran kotor.
Sepanjang sejarah tidak pernah ada kejadian pelecehan seksual atau pemerkosaan.
Sebagaimana pengalaman saya ketika melukat disini, walaupun laki-laki perempuan
disini mandi campur tanpa busana, tidak ada pikiran buruk yang muncul di dalam diri.
Pada hari-hari biasa, Pura Kesuma Dewi sering dijadikan tempat pemandian, mencari
air minum dan genah melukat bagi masyarakat sekitarnya.
Menurut Jro Mangku pura, selain masyarakat sekitar, banyak praktisi spiritual yang
datang tangkil ke Pura Kesuma Dewi karena mendapatkan petunjuk niskala. Ada yang
mendapatkan pawisik, ada yang mendapatkan berbagai cihna [pertanda] dan ada juga
ketika sedang tidur mendapatkan pesan simbolik di dalam mimpi untuk tangkil ke
parahyangan suci ini.
Ini termasuk juga para sulinggih dan pejabat yang banyak tangkil ke Pura Kesuma
Dewi. Misalnya seorang sulinggih yang lama mengalami sakit tidak kunjung sembuh,
kemudian di dalam mimpi mendapatkan petunjuk dari leluhurnya untuk melukat
disini. Setelah 3 [tiga] kali tangkil dan melukat sulinggih itu sembuh dan kembali
segar-bugar. Juga seorang pejabat penting di Bali yang mendapat petunjuk melukat ke
Pura Kesuma Dewi. Menurut Jro Mangku pura, para sulinggih, pejabat, beserta para
istrinya juga disini tetap harus ikut dresta melukat telanjang bulat.
Karena secara niskala air suci Kesuma Dewi yang keluar dari ke-3 pancoran di jaba sisi
sudah terberkati berupa tirtha suci mautama. Itu sebabnya mandi atau melukat tidak
boleh memakai busana, karena air yang keluar dari pancoran sudah dengan sendirinya
berupa tirtha suci. Kita tidak boleh menistai kesucian tirtha suci tersebut dengan
pakaian atau busana yang kita pakai. Dan di Pura Kesuma Dewi thirta suci ini
sangatlah sakral dan metaksu.

Dalam pandangan niskala saya, tanpa busana ini juga merupakan sebuah segel, sebuah
penanda [kode] atau simbol-simbol suci dengan tubuh kita. Segel, kode atau simbolsimbol suci ketulusan penyerahan diri kita akan perjalanan garis nasib kita [dalam
segala hal termasuk kemajuan spiritual] kepada beliau dengan penuh rasa bhakti dan
kerelaan. Sebagaimana halnya ketika I Gusti Ayu Jembung dan keluarganya
menyerahkan garis nasibnya kepada para Ista Dewata ketika sedang dalam ancaman
marabahaya. Serta segel, kode atau simbol-simbol suci akan kesadaran mengenai
kepapaan dan kesementaraan kehidupan ini, kita lahir telanjang dan mati juga
telanjang. Kita berharap kepada kemaha-welasihan para Ista Dewata turun membantu
kita. Kita menggunakan tubuh kita untuk menampilkan segel, kode atau simbol-simbol
kosmis alam semesta.
Saran saya anda sebaiknya melukatlah berlama-lama disini, biarkan air suci yang
mengalir dari pancoran lama mengguyur dan mencocor seluruh tubuh kita, karena itu
yang membuat karunia penglukatan disini semakin kuat.
Menurut Jro Mangku pura, selain sebagai parahyangan suci tempat menyucikan diri
yang mautama, Pura Kesuma Dewi juga sebagai tempat melukat nunas kesembuhan
dari penyakit, terutama penyakit kencing batu dan kencing manis.
Masih menurut Jro Mangku pura, selain adanya berbagai karunia spiritual di
Pura Kesuma Dewi, juga ada karunia yang paling banyak diminati masyarakat awam,
yaitu karunia untuk mendapatkan anak bagi pasangan yang sulit mendapatkan
keturunan. Bagi pasangan yang ingin mendapatkan keturunan, pasangan suami-istri
keduanya tangkil dan melukat di Pura Kesuma Dewi paling banyak selama 6 [enam]
bulan setiap rahina purnama dan setiap rahina tilem berturut-turut tanpa putus. Ada
pasangan yang baru 5 [lima] kali berturut-turut sudah bisa hamil, ada pasangan yang
baru 3 [tiga] kali saja sudah bisa hamil dan bahkan ada pasangan dari Gianyar yang
baru sekali saja sudah bisa hamil. Dan walaupun kebanyakan pasangan memerlukan
jangka waktu lebih panjang, yang penting kalau sudah tangkil dan melukat di Pura
Kesuma Dewi selama 6 [enam] bulan setiap rahina purnama dan rahina tilem terus
berturut-turut tanpa putus. pasti bisa hamil. Ini sudah sangat banyak terbukti. Intinya
hanya tekun dan sabar memohon karunia beliau dan melakukan pembersihan diri di
parahyangan suci ini.
Caranya adalah pertama kali tangkil dan melukat pasangan suami-istri datang kesana
harus membawa pejati dan mendak Jro Mangku pura. Kemudian Jro Mangku yang akan
menghantarkan permohonan ini kepada Ista Dewata yang berstana disana. Setelah itu
pasangan kemudian melukat mohon pembersihan dan karunia beliau melalui tirtha
suci Kesuma Dewi. Penangkilan yang berikut-berikutnya tidak usah lagi mendak Jro
Mangku, melainkan langsung saja melukat di pathirtan Kesuma Dewi dengan cukup
menghaturkan canang. Karena tujuan penangkilan sudah disampaikan secara niskala
oleh Jro Mangku kepada para Ista Dewata di kedatangan yang pertama tersebut.

Diposkan oleh Burtax Crot di 19.50


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke Twitter

Anda mungkin juga menyukai