SEJARAH PURA
Pura Kesuma Dewi dibangun dalam 2 [dua] tahap pembangunan dan termuat dalam 2
[dua] naskah klasik.
Tahap 1
Awal mula keberadaan Pura Kesuma Dewi adalah Pathirtan Pangsut, yang mengalirkan
air suci Kesuma Dewi yang sangat sakral dan metaksu. Pangsut sendiri berarti di ujung
jalan yang mentok atau buntu. Sebagaimana yang kita lihat bahwa bahkan sampai
jaman sekarang inipun Pura Kesuma Dewi tetap berlokasi di ujung jalan yang mentok
atau buntu.
Pathirtan Pangsut
Mengenai sejarah keberadaan Pathirtan Pangsut ini termuat di dalam prasasti kuno
yang dikeluarkan Raja Jayapangus [bertahta pada tahun 1178 s/d 1181 Masehi] yang
membahas tentang keberadaan Pathirtan Pangsut di wilayah Tegal Alang-alang di
selatan Kota Bangli, yang sekarang menjadi Banjar Tegal. Prasasti ini sampai sekarang
masih tersimpan di Pura Kehen. Ini berarti sejarah keberadaan Pathirtan Pangsut dan
air suci Kesuma Dewi sudah ada sejak sebelum abad ke-11 M.
Hanya ini sekelumit sejarah yang diketahui, bahwa Pathirtan Pangsut dan air suci
Kesuma Dewi sudah ada pada abad ke-11 M. Sedangkan awal mula sejarah
dibangunnya parahyangan ini pada jaman yang jauh lebih tua tidak diketahui.
Tahap 2
Sedangkan tahap perluasan dari Pura Kesuma Dewi termuat di dalam lontar
Siddhimantra Tattwa, yaitu lontar yang memuat kisah sejarah tentang Danghyang
Siddhimantra [seorang mahasiddha Shiwa-Buddha terkenal dari jaman kuno]
berikut kisah sejarah mengenai keturunan beliau.
Diceritakan bahwa Danghyang Siddhimantra memiliki seorang putra bernama
Danghyang Manik Angkeran. Kemudian dari Danghyang Manik Angkeran garis keturunan
ini terus berlanjut dari generasi ke generasi.
Sampai pada keturunan beliau yang bernama I Gusti Anglurah Tambaan Kancing
Masuwi yang menjadi Anglurah Gelgel dan memiliki puri di Desa Tambahan. Beliau
memiliki empat anak dan salah satunya adalah anak perempuan bernama I Gusti Ayu
Jembung. Anaknya ini dipertemukan [dijodohkan] dan dinikahkan melalui upacara
pawiwahan dengan I Gusti Ngurah Arsa Guwi.
Setelah beberapa waktu dari upacara pawiwahan ini mendadak datang seorang utusan
bernama Ida Pedanda Sakti Gde Mawang yang dikirim oleh Ratu [penguasa] Taman Bali
yang bernama I Dewa Taman Bali.
I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi bersikap sangat hati-hati dengan datangnya
utusan ini, mengingat penguasa Taman Bali sudah memberontak melepaskan diri dari
Kerajaan Bali yang berpusat di Gelgel. Memanfaatkan keadaan pusat pemerintahan
Kerajaan Bali di Gelgel yang sudah hampir runtuh, serta sudah kehilangan kekuatan
dan kekuasaannya.
I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi kemudian keluar dari puri-nya untuk
bertemu dengan sang utusan. Ketika sampai diluar puri dilihatnya Ida Pedanda Sakti
Gde Mawang sedang menunjukkan kesiddhian-nya dengan memegang tetaken yang
diatasnya berkobar nyala api sebesar kepalan tangan bertingkat 1 [satu]. Melihat
pameran kesiddhian ini I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi tetap menyambut
sebagaimana mestinya dan menghaturkan ucapan selamat datang. Sebagai keturunan
langsung dari Danghyang Siddhimantra beliau juga tentunya memiliki kesiddhian yang
tidak sembarangan. Beliau kemudian menghunus keris pusaka pajenengan beliau yang
bernama Ki Baan Kawu-Kawu dan langsung mengeluarkan api sebesar kepalan tangan
bertingkat 21 [dua puluh satu].
Seketika itu juga Ida Pedanda Sakti Gde Mawang merasa kesaktiannya kalah dari I
Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi. Beliau lalu mengajak I Gusti Anglurah
Tambaan Kancing Masuwi untuk duduk berdialog. Disampaikanlah maksud tujuan
kedatangannya sebagai utusan dari I Dewa Taman Bali [penguasa Taman Bali] untuk
melamar I Gusti Ayu Jembung, yang hendak diperistri oleh I Dewa Taman Bali.
Sadarlah I Gusti Anglurah Tambaan Kancing Masuwi bahwa tujuan sebenarnya dari
pengiriman utusan ini adalah untuk memancing peperangan. Sudah tentu I Gusti
Anglurah Tambaan Kancing Masuwi tidak dapat memenuhi permintaan penguasa Taman
Bali tersebut, sebab I Gusti Ayu Jembung sudah dinikahkan dengan I Gusti Ngurah Arsa
Guwi.
Peminangan ini hanyalah taktik dari I Dewa Taman Bali untuk melemahkan setiap
kekuatan yang dirasanya menjadi saingan bagi kekuasaannya. Karena peminangan ini
ditolak, maka penguasa Taman Bali memiliki alasan untuk melakukan penyerangan
dengan alasan merasa terhina dengan penolakan tersebut.
Pada saat itu pasukan Taman Bali sedang berada pada puncak kekuatannya. I Gusti
Anglurah Tambaan Kancing Masuwi sadar akan diserang pasukan yang kuat dan
jumlahnya lebih besar dari pasukannya sendiri. Beliau memutuskan untuk menghindari
pecahnya peperangan dengan cara menyingkir dan bersembunyi. Beliau membawa
seluruh harta dan benda pusaka penting miliknya dan mengajak seluruh keluarganya
melakukan perjalanan menuju utara.
Di wilayah Tegal Desa Bebalang mereka disambut oleh I Pasek Dawan Tegal. Situasi
saat itu sangat genting karena pasukan Taman Bali sudah mengetahui pelarian ini dan
berupaya melakukan pengejaran. I Pasek Dawan Tegal membantu I Gusti Anglurah
Tambaan Kancing Masuwi beserta keluarganya untuk bersembunyi di Pathirtan Pangsut
di tepi sungai kecil yang bernama Sungai Geroh-geroh.
DRESTA PURA
Di Pura Kesuma Dewi terdapat beberapa dresta yang tentunya wajib untuk kita ikuti
dan tidak kita langgar. Dresta-dresta tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kalau mandi atau melukat tidak boleh mengenakan busana sehelai benangpun.
Mandi atau melukat wajib telanjang bulat.
Menurut cerita masyarakat, kalau dresta ini dilanggar maka akan mengakibatkan mata
air suci Kesuma Dewi di Pura Kesuma Dewi ini berhenti mengalirkan air. Sebagaimana
sudah terbukti berkali-kali pada kejadian-kejadian yang masih diingat sejak 100 tahun
yang lalu. Kalau ada yang mandi atau melukat masih mengenakan busana, walaupun
hanya ditutupi selembar kain perca kecil saja, maka air suci di Pura Kesuma Dewi ini
akan berhenti mengalir. Harus diadakan upacara khusus agar air suci ini dapat
mengalir kembali.
Sehingga masyarakat setempat sangat ketat akan aturan ini. Bagi yang melanggar dresta ini akan
langsung dikenakan sanksi. Juga pengempon pura memasang papan pengumuman mengenai dresta dan
sanksi yang akan dibebankan bagi pelanggar.
Dresta niskala ini merupakan sebuah ujian spiritual, sebuah proses seleksi alam bagi siapa saja yang
datang tangkil, sekaligus menjadi pagar niskala penjaga kesakralan parahyangan suci. Siapapun yang
hendak mandi atau melukat di parahyangan suci yang sakral ini harus sanggup menempuh ujian
spiritual ini, yaitu mandi atau melukat dengan bertelanjang bulat.
Ini tidak saja merupakan sebuah ujian spiritual, tapi sesungguhnya merupakan sebuah pelajaran
spiritual tingkat tinggi. Karena untuk dapat melukat di parahyangan suci ini, kita harus dengan
keikhlasan total, dengan kepolosan pikiran dan terbebas dari ke-aku-an [ego, ahamkara]. Mengalami
keadaan sunia melampaui pikiran, tanpa diri atau tanpa ego. Hanya mereka yang bersedia
menggembleng diri melatih kondisi kesadaran seperti ini yang diijinkan untuk melukat di parahyangan
suci sakral ini, untuk memperoleh karunia para Ista Dewata. Kalau tidak bersedia, sebabnya karena
bathin masih melekat sangat kuat dengan keterkondisian palsu, maka dari itu tidak akan diijinkan.
Tentunya dresta pura ini wajib untuk kita ikuti dan tidak kita langgar. Karena tanpa
mengikuti dresta ini tentunya yang didapat bukannya karunia Ista Dewata, tapi
malahan berdampak kepada sebuah kemunduran secara sekala - niskala.
2. Kalau mandi atau melukat tidak boleh meletakkan pakaian di areal pathirtan.
Artinya kita harus membuka dan meletakkan pakaian di seberang jembatan diatas
sungai, kemudian berjalan sekitar 2,5 meter menuju areal pathirtan. Atau boleh
juga membuka dan meletakkan pakaian di tengah jembatan tersebut.
MANDALA PURA
Keseluruhan Pura Kesuma Dewi terbagi menjadi tiga areal. Yaitu areal utama
Pura Kesuma Dewi, areal Pathirtan Kesuma Dewi [Pathirtan Pangsut] dan areal
Palinggih Taru.
Dari tempat parkir Pura Kesuma Dewi, di depan kita langsung adalah jembatan yang
menuju areal utama Pura Kesuma Dewi.
Di sebelah kiri jembatan ini, di bawah pada sungai, terdapat sebuah batu besar
berwarna kuning keemasan yang unik. Menurut kesaksian langsung Jro Mangku dan
masyarakat sekitar pura, sekitar 50 tahun yang lalu batu ini hanyalah sebesar keben
saja. Entah apa sebabnya batu itu terus bertumbuh membesar sampai sekarang
ukurannya hampir sebesar 2/3 mobil karimun. Selain itu ada kejadian seorang praktisi
spiritual dari Jogja yang sedang menjelajah Pulau Bali mengalami kejadian unik
dengan batu ini. Yaitu dia melihat di kejauhan ada segaris sinar terang mencuat ke
angkasa. Setelah dicari-cari asal dari sinar terang tersebut, ternyata berasal dari batu
ini.
Candi bentar menuju utama mandala dan sepasang Palinggih Apit Lawang
Melewati candi bentar berikutnya merupakan gerbang masuk menuju utama mandala
pura. Disini merupakan tempat pemujaan utama dari Pura Kesuma Dewi.
Palinggih mulai dari paling barat adalah Palinggih Anglurah Agung sebagai stana
Sanghyang Buddha. Di palinggih ini distanakan arca pratima Buddha Vairocana [salah
satu dari lima Panca Dhyani Buddha], yang merupakan ciri khas Buddha Kasogatan
yang berkembang di nusantara pada jaman kuno dahulu. Pada awalnya pratima kuno
yang ada disini berupa jempana berbentuk teratai. Melalui paruman para panglingsir
dan pengurus pura pada tahun 2007, kemudian diputuskan untuk mengganti pratima
jempana berbentuk teratai dengan arca pratima Sanghyang Buddha. Pratima kuno
berupa jempana berbentuk teratai itu kemudian disimpan di palinggih gedong. Adanya
palinggih Sanghyang Buddha ini kemungkinan memiliki kaitan dengan sadhana spiritual
dari Danghyang Siddhimantra yang melaksanakan ajaran Shiwa-Buddha.
Di sebelah timur Palinggih Anglurah Agung sebagai stana Sanghyang Buddha adalah
Palinggih Pesamuhan Agung. Yaitu tempat pemujaan bagi seluruh Ista Dewata di
Pura Kesuma Dewi. Ketika diselenggarakan piodalan maka seluruh arca pratima akan
distanakan berkumpul disini.
ini dilinggihkan arca seorang pandita. Kemudian air suci ini mengalir melewati tiga
pancoran suci. Tiga pancoran suci ini hanya boleh untuk nunas tirtha saja.
Taru [pohon] yang ada disini ada dua yaitu Pohon Taap [yang besar] dan Pohon
Pule [yang kecil]. Taru ini sangat disakralkan oleh masyarakat dan pernah digunakan
sebagai bahan pembuatan tapel sesuhunan Pura Dalem Lagaan.
Palinggih Taru
Demikianlah keberadaan seluruh wilayah parahyangan suci Pura Kesuma Dewi.
berbeda-beda. Ini berarti masing-masing pancoran memiliki karunia-nya masingmasing. Dan ini tidak hanya secara niskala saja, tapi terbukti juga secara sekala. Yaitu
ketika Pemda Bangli melakukan penelitian mengenai kualitas air suci Pura Kesuma
Dewi. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa tirtha suci dari masing-masing
pancoran pada pancoran tiga di jaba sisi ini ternyata memiliki berat dan kandungan
mineral yang berbeda-beda. Ini secara ilmiah tentu saja cukup membingungkan,
karena sumber mata airnya sama hanya satu saja.
Salah satu dresta di Pura Kesuma Dewi bahwa mandi atau melukat di pancoran
disana tidak boleh memakai busana sehelai benangpun atau wajib telanjang bulat dan
laki-laki perempuan disini mandi campur. Selain itu kalau mandi atau melukat tidak
diperbolehkan meletakkan pakaian di areal pathirtan, sehingga kita harus membuka
dan meletakkan pakaian di seberang jembatan, kemudian berjalan dengan tanpa
busana sekitar 2,5 meter menuju areal pathirtan. Atau boleh juga membuka dan
meletakkan pakaian di tengah jembatan tersebut.
Masyarakat disini biasa-biasa saja, sama sekali tidak ada yang berpikiran kotor.
Sepanjang sejarah tidak pernah ada kejadian pelecehan seksual atau pemerkosaan.
Sebagaimana pengalaman saya ketika melukat disini, walaupun laki-laki perempuan
disini mandi campur tanpa busana, tidak ada pikiran buruk yang muncul di dalam diri.
Pada hari-hari biasa, Pura Kesuma Dewi sering dijadikan tempat pemandian, mencari
air minum dan genah melukat bagi masyarakat sekitarnya.
Menurut Jro Mangku pura, selain masyarakat sekitar, banyak praktisi spiritual yang
datang tangkil ke Pura Kesuma Dewi karena mendapatkan petunjuk niskala. Ada yang
mendapatkan pawisik, ada yang mendapatkan berbagai cihna [pertanda] dan ada juga
ketika sedang tidur mendapatkan pesan simbolik di dalam mimpi untuk tangkil ke
parahyangan suci ini.
Ini termasuk juga para sulinggih dan pejabat yang banyak tangkil ke Pura Kesuma
Dewi. Misalnya seorang sulinggih yang lama mengalami sakit tidak kunjung sembuh,
kemudian di dalam mimpi mendapatkan petunjuk dari leluhurnya untuk melukat
disini. Setelah 3 [tiga] kali tangkil dan melukat sulinggih itu sembuh dan kembali
segar-bugar. Juga seorang pejabat penting di Bali yang mendapat petunjuk melukat ke
Pura Kesuma Dewi. Menurut Jro Mangku pura, para sulinggih, pejabat, beserta para
istrinya juga disini tetap harus ikut dresta melukat telanjang bulat.
Karena secara niskala air suci Kesuma Dewi yang keluar dari ke-3 pancoran di jaba sisi
sudah terberkati berupa tirtha suci mautama. Itu sebabnya mandi atau melukat tidak
boleh memakai busana, karena air yang keluar dari pancoran sudah dengan sendirinya
berupa tirtha suci. Kita tidak boleh menistai kesucian tirtha suci tersebut dengan
pakaian atau busana yang kita pakai. Dan di Pura Kesuma Dewi thirta suci ini
sangatlah sakral dan metaksu.
Dalam pandangan niskala saya, tanpa busana ini juga merupakan sebuah segel, sebuah
penanda [kode] atau simbol-simbol suci dengan tubuh kita. Segel, kode atau simbolsimbol suci ketulusan penyerahan diri kita akan perjalanan garis nasib kita [dalam
segala hal termasuk kemajuan spiritual] kepada beliau dengan penuh rasa bhakti dan
kerelaan. Sebagaimana halnya ketika I Gusti Ayu Jembung dan keluarganya
menyerahkan garis nasibnya kepada para Ista Dewata ketika sedang dalam ancaman
marabahaya. Serta segel, kode atau simbol-simbol suci akan kesadaran mengenai
kepapaan dan kesementaraan kehidupan ini, kita lahir telanjang dan mati juga
telanjang. Kita berharap kepada kemaha-welasihan para Ista Dewata turun membantu
kita. Kita menggunakan tubuh kita untuk menampilkan segel, kode atau simbol-simbol
kosmis alam semesta.
Saran saya anda sebaiknya melukatlah berlama-lama disini, biarkan air suci yang
mengalir dari pancoran lama mengguyur dan mencocor seluruh tubuh kita, karena itu
yang membuat karunia penglukatan disini semakin kuat.
Menurut Jro Mangku pura, selain sebagai parahyangan suci tempat menyucikan diri
yang mautama, Pura Kesuma Dewi juga sebagai tempat melukat nunas kesembuhan
dari penyakit, terutama penyakit kencing batu dan kencing manis.
Masih menurut Jro Mangku pura, selain adanya berbagai karunia spiritual di
Pura Kesuma Dewi, juga ada karunia yang paling banyak diminati masyarakat awam,
yaitu karunia untuk mendapatkan anak bagi pasangan yang sulit mendapatkan
keturunan. Bagi pasangan yang ingin mendapatkan keturunan, pasangan suami-istri
keduanya tangkil dan melukat di Pura Kesuma Dewi paling banyak selama 6 [enam]
bulan setiap rahina purnama dan setiap rahina tilem berturut-turut tanpa putus. Ada
pasangan yang baru 5 [lima] kali berturut-turut sudah bisa hamil, ada pasangan yang
baru 3 [tiga] kali saja sudah bisa hamil dan bahkan ada pasangan dari Gianyar yang
baru sekali saja sudah bisa hamil. Dan walaupun kebanyakan pasangan memerlukan
jangka waktu lebih panjang, yang penting kalau sudah tangkil dan melukat di Pura
Kesuma Dewi selama 6 [enam] bulan setiap rahina purnama dan rahina tilem terus
berturut-turut tanpa putus. pasti bisa hamil. Ini sudah sangat banyak terbukti. Intinya
hanya tekun dan sabar memohon karunia beliau dan melakukan pembersihan diri di
parahyangan suci ini.
Caranya adalah pertama kali tangkil dan melukat pasangan suami-istri datang kesana
harus membawa pejati dan mendak Jro Mangku pura. Kemudian Jro Mangku yang akan
menghantarkan permohonan ini kepada Ista Dewata yang berstana disana. Setelah itu
pasangan kemudian melukat mohon pembersihan dan karunia beliau melalui tirtha
suci Kesuma Dewi. Penangkilan yang berikut-berikutnya tidak usah lagi mendak Jro
Mangku, melainkan langsung saja melukat di pathirtan Kesuma Dewi dengan cukup
menghaturkan canang. Karena tujuan penangkilan sudah disampaikan secara niskala
oleh Jro Mangku kepada para Ista Dewata di kedatangan yang pertama tersebut.