Anda di halaman 1dari 10

ASAL USUL DESA PANDANWANGI

Desa Pandanwangi, tak banyak yang tau memang akan dataran di


Kabupaten Jombang ini. Tidak ada wisata khas, bangunan khas, atau suatu hal
lain yang dapat memopulerkan desa pinggiran yang satu ini, kecuali potensi
agribisnisnya. Ya, wilayah yang mayoritasnya berfungsi sebagai lahan pertanian
nan subur menjadi pondasi utama perekonomian di desa kami. Padi dan tebu
adalah 2 komoditas utama dari lahan pertanian kami. Asal usul Desa Pandanwangi
tidak terlepas dari sejarah Kabupaten Jombang sendiri yaitu kisah peperangan
antara Kebo Kicak Karang Kejambon dan Surontanu. Desa Pandanwangi terbagi
atas 6 dusun dimana masing-masing dusun memiliki kaitan dengan kisah
peperangan tersebut. 6 dusun itu adalah Dusun Pandanwangi, Dusun Bencal,
Dusun Butuh, Dusun Gading, Dusun Jatisari, dan Dusun Beyan.
Ada beberapa versi cerita yang berkembang di masyarakat terkait kisah
peperangan Kebo Kicak dan Surontanu ini. Tidak ada sumber yang menyatakan
salah satu versi sebagai kisah yang benar atau pakem. Di antara beberapa versi
yang berkembang tersebut, salah satunya adalah versi kisah dimana Kebokicak
marah karena kehilangan anak. Dikisahkan bahwa Kebo Kicak ini adalah
seseorang berbadan manusia namun berkepala kerbau. Ia dikutuk karena durhaka
kepada orangtuanya. Kebo Kicak menjalani hari-harinya untuk bertaubat dan ia
pun menikah. Selama pertaubatannya tersebut ia mendapat kesaktian yang
menurut cerita tidak ada yang bisa menandingi kesaktiannya. Kebo Kicak diminta
oleh kyai yang membimbingnya selama masa pertaubatan untuk menumpas
kejahatan Surontanu. Surontanu adalah seorang preman yang juga memiliki
kesaktian. Saat peperangan berlangsung, Kebo Kicak mengerahkan
kemampuannya hingga membuat Surontanu kewalahan dan berlari hingga ke
suatu wilayah dimana banyak tanaman pandan dan mencium aroma wangi. Maka
dari itu, Surontanu pun bertitah “rame ramene jaman nggon iki tak jenengno
pandanwangi” yang artinya di masa depan nanti wilayah ini akan dikenal dengan
nama Pandanwangi.
Kebo Kicak terus mengejar musuhnya itu hingga berhasil menemukannya di
suatu wilayah. Perang pun berlanjut dan kali ini berlangsung cukup lama hingga
membuat Surontanu mengalami luka luka yang cukup parah atau dalam bahasa
jawa disebut bencel kabeh. Tempat peperangan itu kemudian dikenal dengan
nama Dusun Bencal. Karena luka – lukanya itu Surontanu tidak kuat melanjutkan
perang dan melarikan diri lagi. Dalam pelariannya itu ia kemudian berhenti di
suatu wilayah dan bertemu seseorang yang dipanggil Ki Ageng. Di tempat itu
Surontanu menumpang istirahat dan minum. Ia minum wadah air yang terbuat
dari batu yang disebut genuk dan sampai sekarang genuk itu masih tersimpan rapi.
Tempat singgah Surontanu itu kemudian disebut Dusun Butuh karena Surontanu
butuh istirahat.
Setelah itu, Surontanu melanjutkan pelarian namun lagi lagi berhasil
ditemukan Kebo Kicak di suatu wilayah yangmana banyak pohon kelapa gading
dengan buah yang sangat banyak sehingga tempat disebut Dusun Gading. Ketika
berhasil ditemukan Surontanu berusaha menghindar lagi ke suatu wilayah dan
bersembunyi di sebuah pohon jati. Dia naik pohon jati tersebut, namun Kebo
Kicak tetap mampu menemukan keberadaannya. Kebo kicak mencoba
menyerunduk pohon itu hingga keluar galih (bagian dalam kayu yang keras)
sehingga dinamakan Dusun Jatisari (keluarnya isi pohon jati).
Surontanu berhasil melarikan diri lagi. Kebo Kicak yang kelelahan
mengejar pun minum di suatu sendang dan mengeluarkan suara beoh, beoh, beoh.
Surontanu mendengar suara itu dari tempat persembunyiannya sehingga
menamakan Dusun Beyan, diilhami dari suara kebo kicak yang terengah-engah
saat minum. Surontanu memanfaatkan waktu istirahat Kebo Kicak untuk terus
melarikan diri ke wilayah yang menjadi desa lain. Setiap wilayah yang menjadi
jejak peperangan keduanya diabadikan menjadi nama desa atau dusun.
Di akhir peperangan, Surontanu mendapat wangsit jika dia ingin
mengalahkan Kebo Kicak, ia harus mematahkan gading Kebo Kicak. Ia mengeluh
dan menyebut nama istri Kebo Kicak sebagai biyungnya atau dalam bahasa
Indonesia artinya ibu. Kebo Kicak terkejut bagaimana Surontanu tahu nama
istrinya dan memanggilnya dengan sebutan ibu. Surontanu mengaku sebagai anak
dari perempuan tersebut yang tak lain adalah istri Kebo Kicak. Dari situlah Kebo
Kicak percaya dan menghentikan peperangan. Ia kemudian menyuruh Surontanu
untuk naik ke punggungnya dan pulang bersama. Ketika Surontanu sudah berada
di gendongan kebo kicak, saat itulah Surontanu mematahkan gading Kebo Kicak.
Akhirnya peperangan pun dimenangkan oleh Surontanu.
Ketika masyarakat ingin menyelenggarakan kesenian ludruk dengan cerita
peperangan Surontanu dan Kebo Kicak maka harus menyediakan kelapa gading
dan sepasang kembang mayang yang dipasang di tiang panggung. Sepasang
kembang mayang tersebut terdiri dari daun kelapa muda, daun beringin, daun
andong, dan pelepah pisang sebagai media untuk menancapkannya. Masyarakat
percaya jika tidak ada kelapa gading dan kembang mayang tersebut ketika
bermain ludruk dengan cerita kebokicak surontanu, maka para pemain akan
mengalami kerasukan.
BUDAYA SUROAN DESA PANDANWANGI;
FILOSOFI DAN RITUALNYA

Proses akulturasi budaya pada masa perkembangan Islam di tanah Jawa


memang mewariskan banyak sekali adat maupun ritual. Para penyebar agama
Islam di tanah Jawa atau yang dikenal dengan sebutan Wali Songo menggunakan
kebudayaan dan kepercayaan lokal untuk mengajarkan agama Islam. Hal tersebut
dilakukan karena memang masyarakat Jawa amat kental terhadap adat istiadat dan
tradisi leluhur mereka, salah satunya adalah penanggalan adat Jawa. Penanggalan
adat Jawa ini merupakan peninggalan dari Sultan Agung, raja Mataram Kuno.
Beliau menyusun kalender Jawa tersebut pada abad ke-16.
Sampai saat ini masyarakat Jawa masih menggunakannya untuk
menentukan hari baik dalam berbagai hal. Misalnya saja untuk menentukan
pernikahan,calon menantu dan si anak akan dianalisis kecocokannya berdasarkan
weton atau hari lahir mereka. Selain penanggalan adat Jawa, akulturasi Islam dan
adat Jawa yang lainnya adalah budaya Suroan. Pada penanggalan adat Jawa
terdapat salah satu bulan yang bernama Bulan Suro. Masyarakat Jawa meyakini
bahwa Bulan Suro tersebut adalah bulan sakral atau bulan yang dikeramatkan.
Bulan dimana banyak makhluk ghaib keluar dan berkeliaran mengganggu
manusia di malam 1 Suro. Karena kepercayaan inilah berbagai mitos muncul
antara masyarakat Jawa tidak boleh menyelenggarakan hajatan pada bulan ini.
Jika tetap menyelenggarakan hajatan, masyarakat Jawa meyakini bahwa akan ada
bala’ atau dalam bahasa Indonesia berarti musibah yang akan menimpa si
pelaku.
Bulan Suro dalam kalender hijriyah dikenal dengan sebutan Bulan
Muharrom merupakan salah satu dari 4 bulan yang diharamkan (dimuliakan)
dalam Islam. 3 bulan mulia lainnya yaitu Dzulqo’adah, Dulhijjah, dan Rajab. Hal
ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 36 yang artinya
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dlam
ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada
empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu di keempat bulan itu”. Ayat tersebut menjelaskan bahwa
manusia dilaran mendzalimi diri sendiri dan dianjurkan untuk melakukan amalam-
amalan sunnah. Salah satu amalan yang dilakukan para nabi terdahulu di bulan
Muharrom ini yaitu berpuasa. Dua puasa utama tersebut adalah puasa tasu’ah
dan Asyura. Amalan-amalan sunnah tersebut sangat dianjurkan mengingat
keutamaan bulan ini adalah sebagai penghapus dosa 1 tahun yang telah berlalu
(Puasa Asyura).
Proses akulturasi budaya pada perkembangan Islam membuat penanggalan
Jawa dan penanggalan Hijriyah berjalan berdampingan hingga sekarang.
Akulturasi tersebut diwujudkan dalam bentuk budaya Suroan, memperingati
datangnya bulan Suro atau Muharrom sebagaimana tradisi turun temurun
masyarakat Jawa tetapi dengan serangkaian kegiatan adat Jawa dan keagamaan
Islam, seperti yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pandanwangi. Dalam
memeringati datangnya bulan Suro, masyarakat Desa Pandanwangi menggelar
kirab budaya dan pusaka kemudian dilanjutkan sedekah desa atau bersih desa
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas nikmat yang telah
diberikan kepada masyarakat desa.
Kegiatan kirab budaya dan pusaka ini sebagai salah satu ritual penolak bala
pada bulan Suro. Ritual ini diprakarsai oleh sesepuh Desa Pandanwangi yaitu
Darmawan Dwi Prasetyo atau yang biasa dipanggil Gus Iwan. Rutin setiap tahun
pada bulan Suro masyarakat Desa Pandanwangi bergotong royong
menyelenggarakan ritual ini. Masyarakat Desa Pandanwangi meyakini bahwa
budaya ini harus dilestarikan dan diperkenalkan kepada generasi selanjutnya agar
mengenal tradisi nenek moyang mereka. Rangkaian kegiatannya dimulai dengan
ritual sungkem yang dilakukan oleh sesepuh desa yaitu Gus Iwan kepada ibunya.
Ritual sungkem menjadi simbol restu atau berkat sebelum melakukan sesuatu.
Usai ritual sungkem, rangkaian prosesi kirab dilanjutkan dengan pemandian
pusaka. Ada lima pusaka milik padepokan Gus Iwan yang akan dimandikan dan
dikirab. Salah satu pusaka tersebut dipyakini adalah peninggalan dari zaman
Kerajaan Majapahit, yaitu Pusaka Kyai Singkir. 4 pusaka lainnya adalah Pusaka
Kyai Joyo, Pusaka Kyai Mulyo, Pusaka Kyai Sapu Jagad, dan Pusaka Kyai
Sambernyowo. Kelima pusaka tersebut diyakini memiliki nilai kesakralan tinggi,
di antaranya berupa tombak dan bambu antik. Setelah dimandikan denga air
kembang 7 rupa, kelima pusaka tersebut diarak keliling Desa Pandanwangi.
Proses pengarakan dilakukan oleh pasukan berkuda dimana 5 orang di baris depan
masing-masing membawa 1 pusaka. Di belakang pasukan berkuda diikuti oleh
serangkaian pertunjukkan seni seperti jaranan dan nyanyian gending-gending
Jawa. Sesajen atau sesembahan yang dulu diberikan untuk sang leluhur agar
terhindar dari ganguan makhluk halus kini berganti menjadi seserahan yang
dibawa ke masjid atau musholla sebagai suguhan setelah tahlil bersama.
AGAMISNYA MASYARAKAT DESA PANDANWANGI

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Kabupaten Jombang merupakan


wilayah dengan julukan “Kota Santri”. Bukan tanpa sebab julukan itu diberikan
pada Kabupaten Jombang, melainkan karena tradisi dan atmosfer bermasyarakat
yang kental dengan religiusme. Dalam sejarah, Jombang berasal dari dua kata
dasar yaitu Ijo dan Abang. Ijo atau hijau menjadi simbol representasi dari
masyarakat Jombang yang agamis sedangkan abang atau merah merupakan
simbol representasi dari masyarakat Jombang yang dinamis, berani, dan toleran.
Latar belakang pendefinisian warna tersebut berasal dari karakter
masyarakat Jombang sendiri. Di kabupaten ini memang banyak berdiri pondok
pesantren. 4 pondok pesantern terbesar di Kabupaten Jombang yaitu Pondok
Pesantren Tebuireng, Pondok Pesantren Darul Ulum, Pondok Pesantren Bahrul
Ulum, dan Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif. Selain pondok-pondok tersebut,
masih banyak pondok lain yang mengibarkan eksistensinya. Namun bukan berarti
di Jombang tidak ada kaum non-muslim. Justru terdapat 3 agama sekaligus yang
saling berdampingan membangun kehidupan di kabupaten ini yaitu Islam, Kristen-
Katolik, dan Kong Hu Chu. Meskipun menjadi kaum minoritas, akan tetapi rasa
toleransi sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat sehingga merekapun merasa aman
dan nyaman tanpa adanya diskriminasi.
Sebagai bagian dari Kabupaten Jombang yang terkenal akan sebutan kota
santri, Desa Pandanwangi tentunya juga memiliki atmosfer keagamaan yang
cukup kuat. Mayoritas masyarakat Desa Pandanwangi merupakan pemeluk agama
Islam. Kegiatan – kegiatan keagamaan sangat dijaga dan dilestarikan. Beberapa
kegiatan tersebut yang akhirnya menjadi budaya tersendiri bagi masyarakat Desa
Pandanwangi adalah majelis diba’, majelis shalawat, peringatan maulid nabi dan
hari besar islam lainnya, serta beragamnya golongan islam masyarakat
Pandanwangi namun tetap saling menjaga toleransi.
Majelis diba’ yang ada di setiap dusun di Desa Pandanwangi melaksanakan
kegiatan rutinnya sesuai dengan ciri khas masing-masing. Salah satunya majelis
diba’ Dusun Butuh yang dilaksanakan rutin setiap 1 minggu sekali pada hari
sabtu. Kegiatan membaca maulid diba’ dimulai ba’da maghrib dengan bacaan
surat Yaasiin kemudian dilanjutkan dengan shalawat – shalawat nabi dalam kitab
diba’. Pembacaan shalawat – shalawat diba’ tersebut dilakukan secara bergiliran
oleh ibu-ibu yang hadir. Setiap orang biasanya membawakan shalawat dengan
nada yang berbeda-bea, kami biasa menyebutnya bawa’ diba’. Nada yang
dibawakan merupakan adopsi dari lagu – lagu, bisa lagu qasidah, lagu daerah,
bahkan lagu dangdut. Di akhir pembacaan maulid diba’, akan ditutup dengan
pembawaan lagu-lagu qasidah oleh ibu-ibu yang tergabung dalam group samproh
Ainun Zakiyah Dusun Butuh kemudian makan bersama. Penutupan dengan
menyanyikan lagu – lagu qasidah oleh group samproh inilah yang menjadi ciri
khas dari majelis dib’ Dusun Butuh. Tuan rumah dari kegiatan maulid diba’ ini
bergiliran, diundi setiap akhir pembacaan diba’. Dana yang digunakan pun juga
berasal dari arisan yang dibayar tiap minggu saat pelaksanaan maulid diba’.
Pembayaran dilakukan di awal sebelum pembacaan Yaasiin.
Selain majelis diba’ yang ada di tiap dusun, ada juga group shalawat
kebanggaan Desa Pandanwangi yaitu group Tengku Sewu. Group shalawat ini
biasa mengisi acara pengajian umum baik yang diselenggarakan di Desa
Pandanwangi sendiri maupun di desa lain. Peringatan maulid nabi juga rutin
diselenggarakan tiap tahun di Desa Pandanwangi. Tempat pelaksanaannya
bergantian di masjid atau musholla yang tersebar di seluruh dusun di Desa
Pandanwangi. Misal jika tahun ini dilaksanakan di Dusun Butuh, maka tahun
berikutnya dilaksankan di dusun yang lainnya. Hal tersebut juga berlaku untuk
kegiatan – kegiatan desa yang lainnya.
Terlepas dari berbagai kegiatan keagamaan yang disebutkan di atas,
masyarakat desa Pandanwangi termasuk masyarakat yang majemuk, dalam artian
bahwa banyak golongan atau aliran agama Islam. Kondisi itu ada di salah satu
dusun yaitu Dusun Beyan, Desa pandanwangi. Di dusun ini, masyarakat muslim
dengan 4 aliran bebeda hidup secara berdampingan selama bertahun-tahun. 4
aliran itu addalah Nahdatul Ulama’ (NU), Muhammadiyah, Shiddiqiyah, dan
Lembaga dakwah Islam Indonesia (LDII). Masing – masing aliran ini pun
memiliki musholla atau masjidnya sendiri karena tata cara beribadah yang sedikit
berbeda. Meskipun demikian, ke-semua lapisan masyarakat tersebut tetap
menjaga toleransi dan kerukunan.
TRADISI BARI’AN
DUSUN BUTUH DESA PANDANWANGI

Seperti yang sudah diuraikan di atas, salah satu dusun yang terdapat di
wilayah Desa Pandanwangi adalah Dusun Butuh. Dusun ini terdiri dari 6 RW
yang terpisah oleh jalan raya Prof.Moch.Yamin. Di dusun ini terdapat satu area
makam yang dijaga betul – betul oleh masyarakat setempat. Area makam tersebut
dipercaya merupakan makam sesepuh yang membuka lahan atau dalam bahasa
Jawa disebut “babat alas” sehingga menjadi pemukiman yang bernama Butuh.
Tokoh tersebut tidak lain adalah Ki Ageng Butuhm begitu masyarakat
memanggilnya. Sampai sekarang, area tersebut masih terjaga, apalagi dibangun
tembok sebagai pagar yang mengelilingi area makam. Batu nisannya pun ditutupi
oleh kain kavan.
Di area tersebut, selain makam terdapat juga punden dan pohon Kepuh.
Punden ini disebut oleh masyarakat setempat dengan sebutan Genuk Watu. Genuk
watu inilah yang menurut cerita merupakan wadah minum bagi Surontanu saat
singgah di wilayah Dusun Butuh ini. Disebut Genuk Watu karena bentuknya
seperti cekungan yang terbuat dari batu, oleh warga benda tersebut dikeramatkan
kerena dipercaya sebagai peninggalan pendiri desanya yaitu Ki Ageng Butuh.
Genuk watu tersebut diletakkan pada sebuah kerangka bangunan meyerupai joglo
yang berada dalam area punden. Menurut cerita yang beredar, warga pernah
berupaya untuk memindahkan posisi genuk watu tersebut. Akan tetapi entah
bagaimana beberapa waktu setelah dipindahkan, benda tersebut kembali lagi ke
posisi awalnya. Maka dari itu, masyarakat Dusun Butuh beitu mengeramatkan
tempat ini. Ditambah lokasinya yang berbatasan langsung dengan area
persawahan, hanya dipisahkan oleh ja;an setapak kecil berukuran lebar 2 meter.
Pohon Kepuh yang tumbuh di dalam area punden tersebut juga menambah
suasana mistis ketika melewati tempat tersebut. Pohon ini kokoh berdiri dan
menjulang tinggi, seolah menjadi payung bagi makam Sang Sesepuh Ki Ageng
Butuh. Tanaman ini juga mengeluarkan aroma tak biasa yang cukup menusuk
indra penciuman kita. Menurut informasi dari warga setempat, dikabarkan pernah
ada pihak yang ingin membeli kayu dari pohon kepuh ini. Tak heran, pohon ini
menjadi banyak incaran para pengusaha mebel karena ukuran diameter batangnya
yang besar, tidak seperti pohon – pohon pada umumnya di zaman sekarang.
Bahkan mereka sanggup embayar mahal untuk kayu tersebut. Meskipun begitu,
masyarakat Dusun Butuh tetap tidak mengizinkan pohon itu ditebang. Akan
tetapi, ada satu oknum yang bisa dikatakan bandel, dia tidak mau mendengarkan
peringatan warga setempat. Ia nekad memanjat dan berusaha menebang ranting
pohon Kepuh tersebut yang berukuran cukup besar. Alhasil, si oknum ini pun
terjatuh dari ketinggian pohon tersebut dan dikabarkan meninggal. Entah
berkaitan dengan penunggu punden atau bagiamana, pelajaran yang dapat diambil
dari peristiwa ini adalah pentingnya sikap menghargai dan menghormati tradisi
serta kepercayaan orang lain.
Banyak warga yang mendatangi tempat tersebut untuk bersiarah, berdoa
mendoakan arwah leluhur pendiri Dusun Butuh. Terlebih saat tiba kegiatan
rutinan sedekah desa. Masyarakat menyebutnya sebagai tradisi bari’an yang rutin
dilaksanakna setiap 1 tahun sekali pasca musim panen. Tidak hanya warga Dusun
Butuh yang antusias menyambut tradisi ini, akan tetapi warga dari dusun dan desa
lain pun ikut serta memeriahkan acara tersebut. Kegiatannya antara lain berdoa
bersama dan mebaca tahlil serta istighasah di area punden pada malam hari ba’da
isya’. Kegiatan ini dipimpin oleh 2 orang sesepuh Dusun Butuh. 2 orang tersebut
adalah Mbah Jito dan Mbah Daim. Masyarakat membawa nasi kotak atau berkat
dalam istilah kami untuk dibawa dan dikumpulkan di tempat sebelum tahlil dan
istighasah dimulai. Tidak hanya nasi, jajanan pasar juga turut disuguhkan. Ketika
pembacaan doa telah selesai, berkat dan jajanan tersebut dibagikan secara acak,
jadi seperti tukar hadiah begitu akan tetapi hadiahnya disini adalah makanan atau
jajanan yang dibawa oleh masing – masing warga.
Acara Bari’an belum berakhir disitu tetapi masih berlanjut pada siang, sore
dan malam harinya. Masyarakat Butuh meramaikan dengan berbagai kegiatan
lain antara lain hiburan seni pertunjukkan. Masyarakat Butuh yang taat beragama
namun tetap sadar akan pentingnya melestarikan budaya daerah. Mereka biasa
memanggil kelompok seni Jaranan, Ludruk atau Wayang. Tidak hanya sebagai
hiburan, pertunjukkan ini pun menjadi ladang untuk mengais rezeki bagi para
pedagang baik pedagang dari luar maupun dari warga desa sendiri. Banyak stand–
stand didirikan di sepanjang jalan menuju lokasi hiburan. Semua jenis dagangan
mulai dari stand makanan, stand minuman, stand buku, stand penjual accessoris
perempuan seperti bross untuk hijab, kalung, gelang, dan tidak ketinggalan juga
stand mainan anak.
PANDANWANGI DAN MODERNISASI

Seiring berjalannya waktu, arus globalisasi telah memengaruhi berbagai


aspek kehidupan. Mau tidak mau, suka tidak suka, masyarakat harus menghadapi
hadirnya arus globalisasi ini. Salah satu pengaruh yang ditimbulkan oleh adanya
arus globalisasi ini adalah perubahan kebudayaan suatu daerah, termasuk di Desa
Pandanwangi. Adanya arus globalisasi juga menimbulkan proses modernisasi.
Proses modernisasi yang terjadi di Desa Pandanwangi dapat dilihat dari
penggunaan telepon genggam atau smartphone. Sebelum adanya smartphone,
masyarakat di Desa Pandanwangi harus pergi ke warung telepon untk
menyampaikan informasi atau sekedar bertanya kabar dengan kerabat yang jauh
dan harus membayar dengan uang koin. Adanya arus globalisasi membawa
smartphone sampai ke desa kami dan membantu penyampaian informasi menjadi
lebih mudah dan cepat. Masyarakat desa Pandanwangi tidak perlu lagi keluar
mengayuh sepedanya atau berjalan kaki untuk menghubungi kerabat juga teman
melalui wartel. Namun, di sisi lain tubuh menjadi kurang gerak sehingga rentan
terhadap penyakit. Interaksi dalam masyarakat juga memudar karena hadirnya
smartphone membuat masing – masing individu sibuk dengan teman-temannya di
dunia maya. Mereka asik bercakap via chat, email, maupun sosial media yang lain
dan seolah tidak peduli dengan kehadiran orang lain. Hal ini dapat membahayakan
kelangsungan budaya yang selama ini berusaha dilestarikan.
Penyalahgunaan fiture-fiture telepon genggam atau smartphone oleh anak-
anak juga sangat memrihatinkan. Kewaspadaan orang tua perlu ekstra
ditingkatkan agar anak tidak menyalahgunakan fungsi telepon genggam atau
smartphone untuk hal hal yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Hadirnya telepon genggam sebenarnya dapat menjadi alat untuk melestarikan
kebudayaan. Dengan kecepatan jaringan yang ada, budaya daerah dapat tersebar
lebih luas dan lebih cepat ke khalayak umum. Akan tetapi, perlu penanaman
karakter untuk terus cinta terhadap budaya daerah sehingga kesadaran itu terjaga
dan penyalahgunaan aplikasi telepon genggam dapat diminimalisir.
Pengalihfungsian lahan pertanian menjadi perumahan maupun institusi
merupakan wujud dari proses modernisasi lain yang terjadi di Desa Pandanwangi.
Dalam 5 tahun terakhir, 2 kampus sudah dibangun di atas lahan persawahan Desa
Pandanwangi. 2 kampus tersebut adalah kampus STIE (Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi) Jombang dan STIKES ICHME (Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan). Ya
memang ada sisi positifnya untuk kemajuan Desa Pandanwangi dan juga
kemajuan kabupaten. Namun pembangunan tersebut juga perlu memerhatikan
aspek keberlanjutan dan kelestarian lingkungan. Tidak hanya itu, perumahan,
lembaga pendidikan, dan yayasan sosial lainnya juga sudah banyak yang beridiri
kokoh dan berangsur-angsur menggantikan hijaunya padi. Saat ini sedang
berlangsung proses pembangunan pondok lansia di Desa Pandanwangi di atas
lahan persawahan. Lembaga pendidikan swasta tingkat menengah pertama juga
sudah selesai dibangun dan sudah menjalankan kegiatan pendidikan.
Dari aspek ekonomi, masyarakat Desa Pandanwangi kini banyak
yang bekerja sebagai pengusaha, pedagang, bahkan merantau. Dari bidang
pertanian pun yang dahulunya proses membajak sawah menggunakan tenaga
hewan kini beralih menggunakan tenaga mesin yaitu traktor. Dulu ketika saya
masih di bangku sekolah dasar, setiap pagi saya mendengar bunyi lonceng
kalung sapi karena memang di belakang rumah berbatasan dengan sawah. Kini
bunyi lonceng itu sudah terganti dengan deru mesin traktor. Pengunaan mesin
traktor memang menguntungkan para petani. Pasalnya, waktu yang dibutuhkan
untuk mengolah lahan sawah mejadi lebih singkat dan hasilnya lebih optimal.
Transportasi juga sudah beralih menjadi lebih modern menggunakan
kendaraan bermotor atau mobil. Hadirnya transportasi modern ini juga
menguntungkan perekonomian masyarakat Desa Pandanwangi. Masyarakat yang
dulunya menggunakan sepeda ontel untuk menjajakan dagangannya kini mulai
banyak yang beralih menggunakan tossa atau kendaraan terbuka lainnya.
Misalnya saja seperti pedagang sayur keliling atau di desa kami menyebutnya
“lijo”, sekarang banyak yang sudah menggunakan tossa untuk berjualan.
Kemudian pedagang baju dan alat rumah tangga keliling, biasanya ramai oleh ibu-
ibu yang ingin membeli baik kredit maupun bayar langsung lunas. Ladang pasar
mereka untuk menjual dagangannya menjadi lebih luas, tidak terbatas di satu
tempat saja dan hemat tenaga. Biasanya juga ditambahkan sound dan diputarkan
musik sehingga lebih menarik minat pembeli. Fenomena tahu bulat digoreng
dadakan menjadi salah satu contoh lain dari modernisasi masyarakat Desa
Pandanwangi dalam aspek ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai