Seperti yang sudah diuraikan di atas, salah satu dusun yang terdapat di
wilayah Desa Pandanwangi adalah Dusun Butuh. Dusun ini terdiri dari 6 RW
yang terpisah oleh jalan raya Prof.Moch.Yamin. Di dusun ini terdapat satu area
makam yang dijaga betul – betul oleh masyarakat setempat. Area makam tersebut
dipercaya merupakan makam sesepuh yang membuka lahan atau dalam bahasa
Jawa disebut “babat alas” sehingga menjadi pemukiman yang bernama Butuh.
Tokoh tersebut tidak lain adalah Ki Ageng Butuhm begitu masyarakat
memanggilnya. Sampai sekarang, area tersebut masih terjaga, apalagi dibangun
tembok sebagai pagar yang mengelilingi area makam. Batu nisannya pun ditutupi
oleh kain kavan.
Di area tersebut, selain makam terdapat juga punden dan pohon Kepuh.
Punden ini disebut oleh masyarakat setempat dengan sebutan Genuk Watu. Genuk
watu inilah yang menurut cerita merupakan wadah minum bagi Surontanu saat
singgah di wilayah Dusun Butuh ini. Disebut Genuk Watu karena bentuknya
seperti cekungan yang terbuat dari batu, oleh warga benda tersebut dikeramatkan
kerena dipercaya sebagai peninggalan pendiri desanya yaitu Ki Ageng Butuh.
Genuk watu tersebut diletakkan pada sebuah kerangka bangunan meyerupai joglo
yang berada dalam area punden. Menurut cerita yang beredar, warga pernah
berupaya untuk memindahkan posisi genuk watu tersebut. Akan tetapi entah
bagaimana beberapa waktu setelah dipindahkan, benda tersebut kembali lagi ke
posisi awalnya. Maka dari itu, masyarakat Dusun Butuh beitu mengeramatkan
tempat ini. Ditambah lokasinya yang berbatasan langsung dengan area
persawahan, hanya dipisahkan oleh ja;an setapak kecil berukuran lebar 2 meter.
Pohon Kepuh yang tumbuh di dalam area punden tersebut juga menambah
suasana mistis ketika melewati tempat tersebut. Pohon ini kokoh berdiri dan
menjulang tinggi, seolah menjadi payung bagi makam Sang Sesepuh Ki Ageng
Butuh. Tanaman ini juga mengeluarkan aroma tak biasa yang cukup menusuk
indra penciuman kita. Menurut informasi dari warga setempat, dikabarkan pernah
ada pihak yang ingin membeli kayu dari pohon kepuh ini. Tak heran, pohon ini
menjadi banyak incaran para pengusaha mebel karena ukuran diameter batangnya
yang besar, tidak seperti pohon – pohon pada umumnya di zaman sekarang.
Bahkan mereka sanggup embayar mahal untuk kayu tersebut. Meskipun begitu,
masyarakat Dusun Butuh tetap tidak mengizinkan pohon itu ditebang. Akan
tetapi, ada satu oknum yang bisa dikatakan bandel, dia tidak mau mendengarkan
peringatan warga setempat. Ia nekad memanjat dan berusaha menebang ranting
pohon Kepuh tersebut yang berukuran cukup besar. Alhasil, si oknum ini pun
terjatuh dari ketinggian pohon tersebut dan dikabarkan meninggal. Entah
berkaitan dengan penunggu punden atau bagiamana, pelajaran yang dapat diambil
dari peristiwa ini adalah pentingnya sikap menghargai dan menghormati tradisi
serta kepercayaan orang lain.
Banyak warga yang mendatangi tempat tersebut untuk bersiarah, berdoa
mendoakan arwah leluhur pendiri Dusun Butuh. Terlebih saat tiba kegiatan
rutinan sedekah desa. Masyarakat menyebutnya sebagai tradisi bari’an yang rutin
dilaksanakna setiap 1 tahun sekali pasca musim panen. Tidak hanya warga Dusun
Butuh yang antusias menyambut tradisi ini, akan tetapi warga dari dusun dan desa
lain pun ikut serta memeriahkan acara tersebut. Kegiatannya antara lain berdoa
bersama dan mebaca tahlil serta istighasah di area punden pada malam hari ba’da
isya’. Kegiatan ini dipimpin oleh 2 orang sesepuh Dusun Butuh. 2 orang tersebut
adalah Mbah Jito dan Mbah Daim. Masyarakat membawa nasi kotak atau berkat
dalam istilah kami untuk dibawa dan dikumpulkan di tempat sebelum tahlil dan
istighasah dimulai. Tidak hanya nasi, jajanan pasar juga turut disuguhkan. Ketika
pembacaan doa telah selesai, berkat dan jajanan tersebut dibagikan secara acak,
jadi seperti tukar hadiah begitu akan tetapi hadiahnya disini adalah makanan atau
jajanan yang dibawa oleh masing – masing warga.
Acara Bari’an belum berakhir disitu tetapi masih berlanjut pada siang, sore
dan malam harinya. Masyarakat Butuh meramaikan dengan berbagai kegiatan
lain antara lain hiburan seni pertunjukkan. Masyarakat Butuh yang taat beragama
namun tetap sadar akan pentingnya melestarikan budaya daerah. Mereka biasa
memanggil kelompok seni Jaranan, Ludruk atau Wayang. Tidak hanya sebagai
hiburan, pertunjukkan ini pun menjadi ladang untuk mengais rezeki bagi para
pedagang baik pedagang dari luar maupun dari warga desa sendiri. Banyak stand–
stand didirikan di sepanjang jalan menuju lokasi hiburan. Semua jenis dagangan
mulai dari stand makanan, stand minuman, stand buku, stand penjual accessoris
perempuan seperti bross untuk hijab, kalung, gelang, dan tidak ketinggalan juga
stand mainan anak.
PANDANWANGI DAN MODERNISASI