Alam Roh adalah nama lokasi terkenal di Desa Paku Alam di Kabupaten Banjar.
Ia sangat cekatan meramu soto pesanan di tiap piring yang terletak di dalam perahu di
depannya. Untuk membuka tutup panci berisi kuah yang berjarak semester di
depannya, ia menarik tali di atas kepalanya di bawah atap perahu. Lalu menyanduk
kuah.
Setelah selesai memberikan pesanan, ia pergi ke tempat pembeli lainnya. Seorang
perempuan lain di bagian belakang perahu mendayung perahu dengan cekatan.
Pasar juga menjual kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Ada berbagai jenis ikan basah
dan kering. Juga ada yang menjual beras, telur, minyak goreng, gula, cabai, bawang,
dan sayur-sayuran.
Sesama pedagang juga saling membeli untuk kebutuhan rumah tangga mereka. Konon
dulu sebelum uang belum begitu familiar, para pedagang melakukan barter untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
Selain itu, juga ada yang menjual kain, tas, sandal, sepatu, dan bedak beras. Khusus
untuk wisatawan, sebagai kenang-kenangan juga ada yang khusus menjual souvenir
miniatur kapal di Pasar Terapung yang sedang menjual aneka buah-buahan.
Sampai kapan pasar terapung ini akan bisa bertahan? Ini adalah pertanyaan yang
sering diajukan di Provinsi Kalimantan Selatan. Terlebih setelah Pasar Muara Kuin yang
terletak di jantung kota semakin memudar.
Sebab pasar tradisional ini tidak hanya terancam oleh pembangunan infrastruktur yang
berorientasi ke darat, tetapi juga tidak adanya regenerasi pedagang. Umumnya yang
berdagang sekarang adalah perempuan di atas 35 tahun. Generasi di bawah mereka
sudah enggan ke pasar terapung dan memilih pasar darat yang mulai hadir.
Namun pemerintah tak ingin membiarkan pasar terapung lenyap dari sejarah orang
Banjar. Ikon pariwisata Kalimantan Selatan ini berusaha diselamatkan. Akhir-akhir ini
Pemerintah Kota Banjarmasin membuat pasar terapung baru untuk tujuan wisata di
Siring, Sungai Martapura, Jalan Piere Tendean setiap hari Minggu.
Sejumlah pedagang pasar terapung diundang ke sana dan fasilitas klotok untuk
wisatawan disediakan untuk menikmati pasar tersebut. Bahkan September tahun lalu
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan juga menggelar Festival Budaya Pasar
Terapung di lokasi ini. (Ditulis: 17 Mei 2017)
(FEATURE-Profil)
(FEATURE-News Feature)
Roszar Febriyati, 30 tahun, dengan sadar memilih untuk tidak memberikan vaksin
kepada putra satu-satunya yang kini berusia tiga tahun.
“Dari sejak lahir sampai sekarang tidak pernah diimunisasi dan juga nanti, alhamdulillah
dia sehat-sehat saja, jarang sakit, paling demam dua tiga hari sembuh,” ujar perempuan
yang akrab dipanggit Iyat, Selasa (1/8).
Alasan agama, karena serum vaksin mengandung babi, menurut Iya, bukanlah satu-
satunya alasan penolakannya terhadap vaksinasi. Alasan lainnya adalah tidak masuk
akal vaksin yang notabene bakteri dimasukan ke dalam tubuh, meski sudah steril untuk
melawan bakteri yang ada dalam tubuh anak, tidak berbahaya terhadap si anak.
“Nabi (Muhammad SAW) tidak mengajarkan memberikan vaksin kepada anak, tetapi
memberikan kurma, tapi bukan alasan itu saja, sebelum melahirkan saya banyak
mencari informasi dari sejumlah situs web tentang vaksin dan memutuskan tidak
memberikan vaksin kepada anak,” ujarnya.
Alasan keputusannya itu ditambah ketika akan melahirkan muncul kasus pasangan
dokter di Jakarta tiga tahun lalu membuat dan mengedarkan vaksin palsu.
Iyat pernah dua tahun bekerja di sebuah NGO pemberdayaan masyarakat di Padang.
Kini ia memilih bekerja di rumah untuk bisnis penjualan tiket pesawat dan pengolahan
data statistik untuk skripsi. Dengan seharian di rumah ia bisa mendampingi
pertumbuhan anaknya.
“Saya mengutamakan ketahanan tubuh putra saya dengan ASI eksklusif yang cukup
hingga 2 tahun 3 bulan, dan saya menjaga gizinya dengan tidak mengkonsumsi
makanan yang mengandung zat kimia, tapi memasak sendiri untuk makanan sehat,”
katanya.
Ketika Kota Padang terjangkit wabah difteri pada 2016 yang membuat 250 ribu anak
diwajibkan imunisasi ulang, Iyat memilih tidak mengikutkan anaknya. Ia tak merasa
khawatir karena anaknya tidak pernah kontak dengan lingkungan yang
mengkhawatirkan kesehatannya.
Reni, 34 tahun, juga memilih dengan sadar untuk tidak memberikan vaksin kepada
anaknya. Bahkan, meski ia sendiri bekerja di bagian administrasi sebuah Puskesmas di
Kabupaten Limapuluh Kota dan suaminya pegawai di sebuah dinas pemerintah
kabupaten.
“Alasan kami tidak memberikan vaksin kepada anak bukan alasan agama atau haram
mengandung unsur babi, karena hal itu kita mesti bersandar pada ahli agama, tapi lebih
kepada logika pemberian vaksin sendiri dan efeknya kepada anak, vaksin bukan obat
tapi memasukan virus ke tubuh anak, itu tidak ada garansi bahwa hasilnya akan
membuat anak kebal,” ujarnya ketika dikontak The Jakarta Post, Selasa (1/8).
Reni memiliki anak usia tertua 5 tahun, kemudian 3 tahun, dan 4 bulan. Putra tertuanya
meski baru lima tahun sudah duduk di bangku SD. Ia masuk berdasarkan rekomendasi
psikolog karena termasuk anak cerdas karena usia 3,5 tahun sudah bisa membaca.
“Hingga kini ketiga anak saya alhamdulillah sehat-sehat saja, paling demam batuk dua
hari sehat, yang penting mereka mendapatkan ASI eksklusif dan gizi yang cukup,”
katanya.
Abel Tasman, mantan anggota DPRD Provinsi Sumatra Barat mengaku di Kota Padang
setahunya cukup banyak orang tua yang menolak anaknya diimunisasi, bahkan di
antaranya berprofesi sebagai dosen.
“Secara umum saya bisa duga orang tua seperti apa yang menolak, saya kenal
beberapa, bagi saya ini sangat memprihatinkan, mereka hanya memakai logika
common sense,” katanya kepada The Jakarta Post.
Menurutnya efek kampanye anti vaksin didukung kedangkalan berpikir yang dibungkus
idealism berbalut agama.
Mereka, lanjutnya, berinsinuasi kalau anak mereka divaksin, besarnya nanti akan
mengidap penyakit berbahaya yang disebabkan oleh vaksin.Ditambah lagi setelah
membaca beberapa buku yang kontennya anti vaksin.
“Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Aceh setahu saya paling banyak persentasi anti
vaksin, tapi kami sekeluarga ikut vaksin dengan serius, karena kami tidak punya
penguasaan ilmu tentang itu, maka kami ikut saja dengan saran dokter anak, dengan
meminta semua penjelasan sebaik-baiknya,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Padang dr. Feri Mulyani Hamid mengatakan, tidak terlalu
khawatir dengan gerakan tolak imunisasi, karena masyarakat yang menolak imunisasi
secara terang-terangan hampir tidak ada di Padang. Meski begitu, lanjutnya, ada
sekitar 5 persen dari orang tua anak yang menolak anaknya divaksin.
“Kami tidak menghitung, tapi dari lima persen itu, kira-kira 1 hingga 2 persen menolak
karena alasan agama, tapi kami sudah dan terus melakukan sosialisasi dengan
melibatkan Majelis Ulama Indonesia,” ujarnya.
Kota Padang pernah dua kali diserang wabah difteri, 2014 dan 2016. Pada 2014 wabah
difteri hanya menyerang dua kecamatan, Koto Tangah dan Kuranji. Penyebabnya anak
yang baru pulang dari Surabaya yang waktu itu KLB difteri. Ia siswa sebuah SD Islam.
“Awal 2015 diberikan ORI (Outbreak Respons Immunization) kepada anak di kedua
kecamatan, tapi perhitungan kami meleset, karena hanya ORI diberikan di dua
kecamatan padahal penduduk di Kota Padang mobile, pada 2016 Kota Padang kembali
kena wabah difteri,” ujarnya.
Untuk menanggulangi wabah tersebut, seluruh anak diberikan ORI, tidak hanya di Kota
Padang, tetapi daerah tetangga seperti Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten
Pesisir Selatan, dan Kabupaten Solok. Sedangkan di Kota Padang ORI diberikan
kepada 250.000 anak mulai balita hingga usia 15 tahun diberikan imunisasi massal.
“Angka 5 persen yang menolak kami dapatkan saat ORI, ada beberapa kelompok
keluarga yang sama sekali tidak mau meski diberikan arahan, bahkan pengalaman ada
satu Taman Kanak-Kanak agama (Islam) yang gurunya menolak muridnya diimunisasi
dan perlu minta persetujuan orang tua, pendekatan kami berulang kali, hingga semua
orang tua dikumpulkan baru akhirnya mereka bisa diimunisasi,” katanya.
Tahun depan, kata Mulyani, sedikitnya 250.000 anak di Kota Padang akan diimunisasi
massal vaksin Measles Rubella (MR) dari program gratis pemerintah. Vaksin ini
sebelumnya tidak termasuk vaksin gratis.
“Kami tetap menargetkan 95 persen anak di Kota Padang terimunisasi, kalau sudah 95
persen, artinya sudah terjadi imunitas komuniti,” katanya.
Ia mencontohkan, jika di empat lokal di sekolah ada 100 anak dan hanya 5 anak yang
tidak diimunisasi, jika satu anak terkena campak, maka 95 orang temannya akan
menjadi benteng. Sehingga anak yang sakit tidak akan menularkan penyakitnya ke
empat yang lain. Kalau kurang dari 95 persen maka benteng imunitas akan kurang.
“Strategi kami tetap melibatkan tokoh agama, tokoh adat, LSM, dan media, peran
media sangat besar karena masyarakat sangat percaya kepada media,” katanya. (Ditulis
1 Agustus 2017)
**