Anda di halaman 1dari 11

(FEATURE-Travel)

Pasar Terapung Lok Baintan,


Menggeliat Karena Wisatawan
 
Syofiardi Bachyul Jb
 
 
Haji Bustam, 45 tahun, mendekati klotok dengan jukung-nya. Ia berjilbab dan wajahnya
dipolesi bedak beras untuk menamengi kulit dari sinar matahari. Tangannya cekatan
mengayuh dan memutar pendayung untuk memutar arah jukung atau perahu kecil itu.
Klotok adalah nama untuk perahu mesin besar.
 
Lalu tangan Haji Bustam menggapai dinding klotok dan berpegangan di salah satu
sisinya. Ia menawarkan aneka buah-buahan yang dijualnya di atas perahu, ada
mangga, pisang, sankis lokal, dan jeruk. Selain itu juga ada ikan kering. Ia
menyediakan keranjang anyaman pandan untuk pembawanya.
 
Meski perempuan, ia menyebut di depan namanya “haji” bukan “hajjah” yang biasa
untuk perempuan yang sudah berhaji ke Makkah.
 
"Saya sudah tiga tahun jadi TKI di Arab Saudi, balik lagi ke sini sejak enam bulan lalu,
kemudian sejak sebulan lalu jadi pedagang lagi di sini karena pasarnya makin ramai
oleh turis, dulu nggak ada turis, paling yang beli orang sekitar sini saja," kata Bustam.
 
Bustam salah satu perempuan dari puluhan pedagang di Pasar Terapung Lok Baintan.
Mereka adalah perempuan-perempuan Banjar, salah satu etnis di Kalimantan. Mereka
dengan cekatan mendayung sendiri perahunya di atas Sungai Martapura yang besar
dan berwarna coklat, membawa dagangan dari rumah dan memburu pembeli dari satu
klotok atau kapal ke klotok dan kapal lainnya.
 
Monalia, 50 tahun, mengatakan, setiap hari berjualan di Pasar Lok Baintan. Rumahnya
terletak  arah ke hulu setengah jam dari lokasi pasar. Ia membawa jeruk sunkis dari
kebun sendiri dan buah-buahan lainnya yang dibeli ke tetangga pada malam hari.
 
Ia datang dengan mendayung sendiri perahunya. Tidak berat karena menghiliri sungai.
Sedangkan pulang perahunya bersama perahu pedagang lainnya ditarik klotok dengan
sewa Rp2 ribu.
 
Pasar terapung adalah pasar tradisional khas Kalimantan Selatan. Foto-foto pasar ini
terkenal memperlihatkan para perempuan dengan topi pandan bercaping lebar
berjualan di atas perahu kecil. Lebih terkenal lagi setelah sebuah stasiun televisi
Jakarta menjadikan sebagai tayangan pembuka.
 
 
 
Pasar terapung yang terkenal sebelumnya adalah Pasar Terapung Muara Kuin di Kota
Banjarmasin. Pasar ini terletak di muara Sungai Kuin ke Sungai Barito. Sungai Barito
terbesar di Kalimantan Selatan dengan lebar hingga 1,2 km. Pasar ini sudah ada sejak
Kesultanan Banjar pada abad ke-18.
 
Pasar terapung ini tercipta karena sungai-sungai merupakan jalur transportasi vital
masyarakat Banjar. Boleh dikatakan akses utama adalah sungai dan kendaraannya
adalah perahu dan kapal. Jalur darat sangat minim karena umumnya tanah bergambut
dan berawa. Sedangkan rumah, warung, dan masjid terletak di pinggir sungai.
 
Namun seiring perkembangan pembangunan di darat, termasuk pembangunan pasar
dan mall, Pasar Terapung Kuin yang terletak di pusat kota pun memudar. Pasar tempat
pedagang perantara membeli hasil bumi dari pedagang pun mulai menyusut. Pasar ini
semakin sedikit pedagang dan beraktivitas pun lebih pagi, dari Subuh hingga pukul 7
WITA.
 
Kemudian populerlah Pasar Terapung Lok Baintan. Sekarang pasar ini menjadi
primadona bagi wisatawan untuk menikmati sensasi keunikan pasar terapung. Pasar
tradisional ini sebenarnya diperkirakan juga sudah ada sejak Kesultanan Banjar pada
abad ke-18. Cuma letaknya di Kabupaten Banjar di bagian hulu Sungai Martapura,
sungai dengan badan terlebar 211 meter.
 
Karena tidak berada di pusat Kota Banjarmasin, ke sana mesti naik klotok selama 30
menit. Karena Sungai Martapura juga melewati Kota Banjarmasin, untuk ke sana kita
bisa menyewa  perahu mesin di Warung Soto Ayam Bang Amat di Jalan Banua Anyar
yang terletak di pinggir Sungai Martapura di Kota Banjarmasin.
 
Di sana tersedia perahu bermesin atau klotok 26 PK. Klotok beratap rendah dan
penumpang bisa duduk di atapnya ini berkapasitas 30 penumpang. Namun jangan
heran, kita bisa men-carter untuk menikmati Pasar Lok Baintan hanya Rp300 ribu. Ini
tarif pergi, pulang, dan menikmati pasar lebih satu jam.
 
“Tapi turis asing lebih suka mencarter perahu yang lebih kecil dengan tarif separohnya,”
kata Bang Haji Ahmad, pemilik sekaligus operator klotok akhir April lalu.
 
Pasar Terapung Lok Baintan beraktivias mulai pukul 06.00 hingga 08.00 WITA. Karena
itu, untuk menikmatinya harus berangkat pukul 5 pagi. Sepanjang perjalanan kita bisa
melihat deretan rumah penduduk dari kayu di kiri-kanan pinggir sungai. Rumah-rumah
itu berdiri di badan sungai. Penghuninya terlihat sedang mandi dan mencuci
menggunakan air sungai.
 
Terkadang di antara rumah penduduk terdapat warung yang menghadap sungai. Juga
rumah ibadah seperti masjid. Jadi menikmati perjalanan menyusuri sungai seperti
menikmati jalan raya saja. Termasuk juga ada rambu-rambu untuk pelayaran di pinggir
sungai.
 
Di Pasar Terapung Lok Baintan sendiri tidak ada fasilitas pasar. Itu hanya pinggir
sungai tempat perahu-perahu berisi dagangan berkumpul dan perahu atau klotok
pembeli datang bertransaksi. Selain itu juga sekarang tempat klotok wisatawan lokal
dan asing juga ikut berkumpul, ditawari dagangan, dan membeli.
 
Pasar ini mirip pasar tradisional di darat. Bedanya jika di darat pedagang menggelar
dagangan di kios-kios kecil, di sini pedagang membawa dagangannya di atas perahu.
Jika di darat pedagang menunggu di kiosnya, di pasar terapung pedagang dengan
cekatan memburu calon pembeli ke klotok.
 
“Ini buah mentega namanya, isinya lebut seperti mentega dan enak, ini buah asli sini,”
kata Nurul, seorang pedagang perempuan menawarkan buah sebesar dua kepal
berwarna merah hati.
 
Ia pandai sekali merayu dengan mengajak bercakap. Harga buah yang isinya putih dan
enak ini Rp10 ribu per buah. Ia juga menawarkan sankis lokal seharga Rp50 ribu
sekeranjang yang harga per biji cuma Rp1.000. Murah sekali.
 
Jika pengunjung lapar, ada juga “warung” makanan dan snack. Jukung berisi snack
seperti kue-kue tradisional juga akan mendatangi klotok Anda. Ada juga nasi kuning,
nasi khas Banjar dengan aneka lauk. Juga ada soto yang uniknya bernama “Soto Alam
Roh”.
 
“Alam roh adalah nama kampung tak jauh dari sini,” kata penjualnya, perempuan
sekitar 60 tahun, tersenyum.

Alam Roh adalah nama lokasi terkenal di Desa Paku Alam di Kabupaten Banjar.
 
Ia sangat cekatan meramu soto pesanan di tiap piring yang terletak di dalam perahu di
depannya. Untuk membuka tutup panci berisi kuah yang berjarak semester di
depannya, ia menarik tali di atas kepalanya di bawah atap perahu. Lalu menyanduk
kuah.
 
Setelah selesai memberikan pesanan, ia pergi ke tempat pembeli lainnya. Seorang
perempuan lain di bagian belakang perahu mendayung perahu dengan cekatan.
 
Pasar juga menjual kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Ada berbagai jenis ikan basah
dan kering. Juga ada yang menjual beras, telur, minyak goreng, gula, cabai, bawang,
dan sayur-sayuran.
 
Sesama pedagang juga saling membeli untuk kebutuhan rumah tangga mereka. Konon
dulu sebelum uang belum begitu familiar, para pedagang melakukan barter untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
 
Selain itu, juga ada yang menjual kain, tas, sandal, sepatu, dan bedak beras. Khusus
untuk wisatawan, sebagai kenang-kenangan juga ada yang khusus menjual souvenir
miniatur kapal di Pasar Terapung yang sedang menjual aneka buah-buahan.
 
Sampai kapan pasar terapung ini akan bisa bertahan? Ini adalah pertanyaan yang
sering diajukan di Provinsi Kalimantan Selatan. Terlebih setelah Pasar Muara Kuin yang
terletak di jantung kota semakin memudar.
 
Sebab pasar tradisional ini tidak hanya terancam oleh pembangunan infrastruktur yang
berorientasi ke darat, tetapi juga tidak adanya regenerasi pedagang. Umumnya yang
berdagang sekarang adalah perempuan di atas 35 tahun. Generasi di bawah mereka
sudah enggan ke pasar terapung dan memilih pasar darat yang mulai hadir.
 
Namun pemerintah tak ingin membiarkan pasar terapung lenyap dari sejarah orang
Banjar. Ikon pariwisata Kalimantan Selatan ini berusaha diselamatkan. Akhir-akhir ini
Pemerintah Kota Banjarmasin membuat pasar terapung baru untuk tujuan wisata di
Siring, Sungai Martapura, Jalan Piere Tendean setiap hari Minggu.
 
Sejumlah pedagang pasar terapung diundang ke sana dan fasilitas klotok untuk
wisatawan disediakan untuk menikmati pasar tersebut. Bahkan September tahun lalu
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan juga menggelar Festival Budaya Pasar
Terapung di lokasi ini. (Ditulis: 17 Mei 2017)

(FEATURE-Profil)

Semangat Gusrizal Memajukan


Bahasa Indonesia di Australia
 
Syofiardi Bachyul Jb
 
 
Gusrizal adalah satu dari sedikit orang Indonesia yang mencurahkan perhatian untuk
memajukan bahasa Indonesia di Australia. Selama lebih delapan tahun ia hampir setiap
tahun ke Australia, masuk ke ruang-ruang kelas pelajaran bahasa Indonesia di sekolah
menengah dan universitas, mengajarkan bahasa dan memperkenalkan budaya
Indonesia di sana.
 
Tak hanya itu, ia juga menulis dan menerbitkan sebuah buku pelajaran bahasa
Indonesia untuk para pelajar di Australia dengan modal sendiri. Buku berjudul Let’s
Bahasa Indonesia with a New Method yang diterbitkan di Jakarta, edisi pertama 1999,
edisi kedua Agustus 2000, dan  edisi ketiga (revisi) Februari 2007 itu, menjadi salah
satu buku pegangan belajar bahasa Indonesia di Australia.
 
“Sepanjang pengetahuan saya, ini buku pelajaran bahasa Indonesia pertama yang
ditulis orang Indonesia di Australia, umumnya di Australia buku pelajaran terutama
untuk siswa sekolah menengah ditulis oleh orang Australia sendiri,” ujar Gusrizal di kota
kediamannya, Bukittinggi, Sumatra Barat.
 
Gusrizal kelahiran Bukittinggi 6 Agustus 1962 adalah pengajar bahasa Indonesia untuk
penutur asing sejak 1988 hingga sekarang. Lulusan sarjana strata 1 FKIP Bahasa
Inggris, Universitas Nasional Jakarta ini, selama bertahun-tahun mengajar orang asing
untuk belajar bahasa Indonesia di Indocourse (Indonesia Langage Course) di Jakarta
dan Bukittinggi.
 
Awal tahun 2000 ia tertarik untuk mengembangkan bahasa Indonesia di Australia
setelah membaca di surat kabar pernyataan Dr. Ismet Fanany bahwa minat orang
Australia untuk belajar bahasa Indonesia tinggi, namun pengajar dan buku ajar minim.
Fanany adalah dosen Bahasa Indonesia di Department School of Social and
International Studies, Deakin University,
 
“Sebelumnya waktu saya habis tercurah untuk mengajar, setelah terjadi perubahan
politik 1997, saya menjadikan itu momentum untuk bergerak, saya memulai dengan
menulis buku pelajaran,” katanya.
 
Buku edisi pertamanya diterbitkan pada 1999 dengan biaya sendiri. Buku yang dicetak
3.000 eksemplar itu langsung direspon positif oleh Atase Pendidikan Kedutaan Besar
Australia di Jakarta. Buku ini kemudian diperbaiki dengan sampul bergambar wayang
setahun kemudian, lalu dicetak ulang.
 
Buku itulah salah satu alasan ia terpilih menjadi pembicara dalam acara International
Conference for Teaching Bahasa Indonesia (KIPBIPA IV) di Bali pada 2001. Dalam
acara itu hadir guru bahasa Indonesia dari Tasmanian, Australia. Guru tersebut tertarik
dengan konsep yang disampaikan Gusrizal untuk memajukan pengajaran bahasa
Indonesia di Australia.
 
“Saya ditawari datang mengajar di sejumlah sekolah dan universitas di Tasmanian, tapi
sharring cost, saya menanggung sendiri biaya pergi dan pulang, tidak digaji, tapi
selama di sana selama satu tengah bulan pada 2002 Pemerintah Negara Bagian
Tasmanian menyediakan akomodasi, konsumsi, dan transportasi serta mengatur jadwal
ke sekolah-sekolah, betul-betul nonprofit oriented,” ujarnya.
 
Di sekolah-sekolah ia menemukan kenyataan yang menyedihkan. Minat pelajar
Australia belajar bahasa Indonesia sangat tinggi sebelum krisis moneter 1997. Melebihi
4 bahasa lainnya yang menjadi bahasa asing Asia dan Eropa pilihan di sekolah-
sekolah, seperti Spanyol, Perancis, Cina, dan Jepang. Bahkan bahasa Melayu masuk
ke dalam bahasa Indonesia. Namun selama ini hampir tidak ada perhatian dari
pemerintah Indonesia untuk membantu program ini.
 
“Di sebuah lokal pelajaran bahasa Indonesia di sebuah sekolah, saya menemukan di
dinding yang terpajang adalah gambar Presiden Soekarno, tidak ada peta atau bendera
Indonesia, dan asesoris Indonesia lain, padahal berapalah biaya sepasang foto kepala
Negara, lambang Negara, peta, dan bendera yang sebenarnya bisa dibantu pemerintah
kita,” ujarnya.
 
Bantuan terhadap kualitas guru pengajar, menurut Gusrizal, juga nyaris tidak ada. Guru
pengajar bahasa Indonesia yang notabene orang Australia sendiri mengajar dengan
keterbatasan mereka. Gusrizal memperlihatkan sepucuk surat elektronik berbahasa
Indonesia dari temannya seorang guru bahasa Indonesia di Australia. Ada beberapa
kekeliruan penggunaan kata dan kalimat.
 
“Kita mengerti apa maksud surat ini, tetapi bahasa Indonesianya masih perlu perbaikan,
ini yang menulis guru yang mengajarkan bahasa Indonesia kepada siswa di sana, nah
inilah sebenarnya butuh perhatian pemerintah dan orang Indonesia bagaimana caranya
membantu guru seperti ini,” katanya.
 
Bahasa Indonesia dipelajari di seluruh sekolah-sekolah milik pemerintah di seluruh
Australia. Mereka kekurangan staf pengajar, apalagi yang berkualitas. Begitu pula
dengan buku pelajaran, sangat terbatas. Buku pelajaran yang ada ditulis orang
Australia sendiri untuk diedarkan secara nasional. Bahannya sesuai kemampuan, latar
belakang, dan keinginan mereka.
 
”Kemana orang Indonesia? Atase kebudayaan kita hanya pengisi suara dan
memberikan kata pengantar, inilah yang mendorong saya untuk berpartisipasi membuat
bahan ajar,” ujarnya.
 
 
Jumlah siswa yang belajar bahasa Indonesia dalam sepuluh terakhir mengalami
penurunan dibanding tahun 1997. Alasan penurunan itu di antaranya karena
diberlakukannya travel warning dan isu terorisme, terutama setelah peristiwa bom Bali
yang menumbuhkan ketidaksukaan orang Australia terhadap Indonesia.
 
Setelah bom Bali pada 2002 yang menewaskan 80 orang Australia, bahkan ada
keluarga korban yang meminta kepada Pemerintah Australia agar menghapus
pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah.
 
”Mereka mengatakan untuk belajar bahasa Indonesia lagi... seharusnya kita berterima
kasih kepada Pemerintah Australia yang mengatakan tidak perlu menghapus pelajaran
bahasa Indonesia karena alasan emosional,” katanya.
 
Kini meski jumlah siswa yang belajar bahasa Indonesia menurun, tapi masih termasuk
banyak. Setiap sekolah ada sekitar 300 siswa ikut kelas Bahasa Indonesia dan jumlah
sekolah di Negara Bagian Melbourne saja sekitar 450 sekolah.
 
Gusrizal mengaku memberikan sentuhan budaya Indonesia setiap mengajar di kelas. Ia
membawa uang RI, peta Indonesia, miniatur rumah adat Minangkabau, dan mengajak
pelajar menyanyikan lagu pendek Indonesia seperti ’Topi Saya Bundar’ dan ’Burung
Kakak Tua’. Lagu-lagu pendek itu untuk menggugah pelajar untuk mengenal Indonesia.
 
Buku edisi ketiga Gusrizal diterbitkan oleh Penerbit Akademika Pressindo, Jakarta
pada Juni 2007. Buku 237 halaman ini diberi pengantar oleh Senior Indonesian Lecture,
Dr. JS Badudu, Counsellor (Education, Science, and Training) Australian Embassy, Dr.
Shannon Smith, dan Gubernur Sumatra Barat Gamawan Fauzi.
 
”Buku ini dicetak 5.000 eksemplar dengan harga 10 dolar Australia, tapi sudah terjual
2.000 kopi setelah dipromosikan di Departemen Luar Negeri,” ujar suami Eva Chandra
dan ayah tiga anak ini. ”Meski untung, membuat buku bukanlah bisnis, tapi hanya
proyek idealis,” tambahnya.
 
Ia bersyukur Direkrotat Jenderal Informasi dan Publikasi Departemen Luar Negeri
membantu pengiriman 200 eksemplar bukunya ke Australia menggunakan diplomatik
bag. Ini meringankan biaya angkut karena satu eksemplar buku ke Melbourne dari
Jakarta biayanya Rp125 ribu.
 
Masuknya Gubernur Sumatera Barat memberi pengantar buku ini adalah upaya
Gusrizal untuk memasukkan isi lokal daerah Sumatera Barat ke dalam buku tersebut. Ia
memasukkan sejumlah cerita dari Sumatera Barat seperti cerita rakyat Malin Kundang,
sejarah Minangkabau (daerah budaya etnis mayoritas di Sumatra Barat), dan berita
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono senang berkunjung ke Kota Bukittinggi.
 
Masuknya isi lokal Sumatra Barat, kata Gusrizal, memang disengaja untuk
mempromosikan daerah tersebut ke Australia.
 
”Menurut saya kita tidak perlu lagi mempromosikan Bali atau Jawa ke Australia, saatnya
sekarang mempromosikan Sumatra dan kebetulan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat
sangat membantu, jadi saya masukkan content Sumatra Barat,” katanya.
 
Melalui pendidikan, kata Gusrizal, daerah tersebut bisa mempromosikan budaya dan
pariwisatanya ke pelajar-pelajar di Australia. Secara tidak langsung program ini bisa
membantu mempromosikan Indonesia secara keseluruhan.
 
Apalagi, Pemerintah Australia menganggarkan budget 2008-2009 sebesar 662 dolar
Australia untuk perjalanan pelajar ke negara yang bahasanya mereka pelajari setiap
akhir tahun. Siswa yang belajar bahasa Perancis pergi ke Perancis. Tapi karena
adanya travel warning, siswa yang belajar bahasa Indonesia terpaksa pergi ke Kuala
Lumpur, Malaysia. Alasannya karena mendekati bahasa Indonesia.
 
”Padahal Malay adalah Malay, bukan Indonesia, akhirnya para pelajar yang belajar
bahasa Indonesia lebih mengenal gedung Petronas di Kuala Lumpur, Bukan Taman
Mini Indonesia Indah atau Monas, kita berharap dalam waktu dekat travel warning
dicabut sehingga mereka bisa berkunjung ke Indonesia,” katanya.
 
Jika para pelajar sudah diperbolehkan berkunjung ke Indonesia, misalnya ke Sumatra
Barat, kata Gusrizal, pariwisata dan perekonomian Indonesia bisa naik, karena mereka
akan membelanjakan uang di sini.
 
Kini Gusrizal yang tinggal di Bukittinggi fokus untuk menjembatani Sumatra Barat
dengan Australia di bidang pertukaran pelajar dan guru ini. Ia mendirikan Element for
Indonesia (Education, Culture, Research, and Development), sebuah NGO, yang
berkantor di Bukittinggi.
 
Atas gagasannya, Juli lalu 18 guru SMA pilihan di Sumatra Barat dikirim ke Victoria,
Australia selama tiga minggu untuk melihat sistem pendidikan di sana. Tahun depan,
menurutnya, sudah ada rencana 30 guru SMA dari Australia akan berkunjung ke
Bukittinggi.
 
”Saya akan terus berupaya untuk terciptanya kerjasama di bidang pendidikan dan
budaya antara Australia dengan Indonesia, khususnya Sumatra Barat, inilah cara saya
untuk membantu mempromosikan budaya dan pariwisata Indonesia,” katanya. (30
Agustus 2008)

(FEATURE-News Feature)

Alasan Penolakan Vaksinasi Tak Hanya


Soal Agama 
Syofiardi Bachyul Jb

Roszar Febriyati, 30 tahun, dengan sadar memilih untuk tidak memberikan vaksin
kepada putra satu-satunya yang kini berusia tiga tahun. 

“Dari sejak lahir sampai sekarang tidak pernah diimunisasi dan juga nanti, alhamdulillah
dia sehat-sehat saja, jarang sakit, paling demam dua tiga hari sembuh,” ujar perempuan
yang akrab dipanggit Iyat, Selasa (1/8). 
Alasan agama, karena serum vaksin mengandung babi, menurut Iya, bukanlah satu-
satunya alasan penolakannya terhadap vaksinasi. Alasan lainnya adalah tidak masuk
akal vaksin yang notabene bakteri dimasukan ke dalam tubuh, meski sudah steril untuk
melawan bakteri yang ada dalam tubuh anak, tidak berbahaya terhadap si anak. 

“Nabi (Muhammad SAW) tidak mengajarkan memberikan vaksin kepada anak, tetapi
memberikan kurma, tapi bukan alasan itu saja, sebelum melahirkan saya banyak
mencari informasi dari sejumlah situs web tentang vaksin dan memutuskan tidak
memberikan vaksin kepada anak,” ujarnya. 

Alasan keputusannya itu ditambah ketika akan melahirkan muncul kasus pasangan
dokter di Jakarta tiga tahun lalu membuat dan mengedarkan vaksin palsu. 

Iyat pernah dua tahun bekerja di sebuah NGO pemberdayaan masyarakat di Padang.
Kini ia memilih bekerja di rumah untuk bisnis penjualan tiket pesawat dan pengolahan
data statistik untuk skripsi. Dengan seharian di rumah ia bisa mendampingi
pertumbuhan anaknya. 

“Saya mengutamakan ketahanan tubuh putra saya dengan ASI eksklusif yang cukup
hingga 2 tahun 3 bulan, dan saya menjaga gizinya dengan tidak mengkonsumsi
makanan yang mengandung zat kimia, tapi memasak sendiri untuk makanan sehat,”
katanya. 

Ketika Kota Padang terjangkit wabah difteri pada 2016 yang membuat 250 ribu anak
diwajibkan imunisasi ulang, Iyat memilih tidak mengikutkan anaknya. Ia tak merasa
khawatir karena anaknya tidak pernah kontak dengan lingkungan yang
mengkhawatirkan kesehatannya. 

“Kakak (perempuan) saya juga tidak memberikan vaksin kepada anak-anaknya.


Bahkan ketika Pemerintah Kota Padang mewajibkan anak-anak divaksin tahun lalu,
termasuk di sekolah, ia mengirimkan surat kepada guru agar tidak membolehkan
anaknya (laki-laki) divaksin,” katanya. 

Reni, 34 tahun, juga memilih dengan sadar untuk tidak memberikan vaksin kepada
anaknya. Bahkan, meski ia sendiri bekerja di bagian administrasi sebuah Puskesmas di
Kabupaten Limapuluh Kota dan suaminya pegawai di sebuah dinas pemerintah
kabupaten. 

“Alasan kami tidak memberikan vaksin kepada anak bukan alasan agama atau haram
mengandung unsur babi, karena hal itu kita mesti bersandar pada ahli agama, tapi lebih
kepada logika pemberian vaksin sendiri dan efeknya kepada anak, vaksin bukan obat
tapi memasukan virus ke tubuh anak, itu tidak ada garansi bahwa hasilnya akan
membuat anak kebal,” ujarnya ketika dikontak The Jakarta Post, Selasa (1/8). 
Reni memiliki anak usia tertua 5 tahun, kemudian 3 tahun, dan 4 bulan. Putra tertuanya
meski baru lima tahun sudah duduk di bangku SD. Ia masuk berdasarkan rekomendasi
psikolog karena termasuk anak cerdas karena usia 3,5 tahun sudah bisa membaca. 

“Hingga kini ketiga anak saya alhamdulillah sehat-sehat saja, paling demam batuk dua
hari sehat, yang penting mereka mendapatkan ASI eksklusif dan gizi yang cukup,”
katanya. 

Abel Tasman, mantan anggota DPRD Provinsi Sumatra Barat mengaku di Kota Padang
setahunya cukup banyak orang tua yang menolak anaknya diimunisasi, bahkan di
antaranya berprofesi sebagai dosen.

“Secara umum saya bisa duga orang tua seperti apa yang menolak, saya kenal
beberapa, bagi saya ini sangat memprihatinkan, mereka hanya memakai logika
common sense,” katanya kepada The Jakarta Post. 

Menurutnya efek kampanye anti vaksin didukung kedangkalan berpikir yang dibungkus
idealism berbalut agama. 

Mereka, lanjutnya, berinsinuasi kalau anak mereka divaksin, besarnya nanti akan
mengidap penyakit berbahaya yang disebabkan oleh vaksin.Ditambah lagi setelah
membaca beberapa buku yang kontennya anti vaksin. 

“Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Aceh setahu saya paling banyak persentasi anti
vaksin, tapi kami sekeluarga ikut vaksin dengan serius, karena kami tidak punya
penguasaan ilmu tentang itu, maka kami ikut saja dengan saran dokter anak, dengan
meminta semua penjelasan sebaik-baiknya,” katanya. 

Kepala Dinas Kesehatan Kota Padang dr. Feri Mulyani Hamid mengatakan, tidak terlalu
khawatir dengan gerakan tolak imunisasi, karena masyarakat yang menolak imunisasi
secara terang-terangan hampir tidak ada di Padang. Meski begitu, lanjutnya, ada
sekitar 5 persen dari orang tua anak yang menolak anaknya divaksin. 

“Kami tidak menghitung, tapi dari lima persen itu, kira-kira 1 hingga 2 persen menolak
karena alasan agama, tapi kami sudah dan terus melakukan sosialisasi dengan
melibatkan Majelis Ulama Indonesia,” ujarnya. 

Kota Padang pernah dua kali diserang wabah difteri, 2014 dan 2016. Pada 2014 wabah
difteri hanya menyerang dua kecamatan, Koto Tangah dan Kuranji. Penyebabnya anak
yang baru pulang dari Surabaya yang waktu itu KLB difteri. Ia siswa sebuah SD Islam. 

“Awal 2015 diberikan ORI (Outbreak Respons Immunization) kepada anak di kedua
kecamatan, tapi perhitungan kami meleset, karena hanya ORI diberikan di dua
kecamatan padahal penduduk di Kota Padang mobile, pada 2016 Kota Padang kembali
kena wabah difteri,” ujarnya. 
Untuk menanggulangi wabah tersebut, seluruh anak diberikan ORI, tidak hanya di Kota
Padang, tetapi daerah tetangga seperti Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten
Pesisir Selatan, dan Kabupaten Solok. Sedangkan di Kota Padang ORI diberikan
kepada 250.000 anak mulai balita hingga usia 15 tahun diberikan imunisasi massal. 

“Angka 5 persen yang menolak kami dapatkan saat ORI, ada beberapa kelompok
keluarga yang sama sekali tidak mau meski diberikan arahan, bahkan pengalaman ada
satu Taman Kanak-Kanak agama (Islam) yang gurunya menolak muridnya diimunisasi
dan perlu minta persetujuan orang tua, pendekatan kami berulang kali, hingga semua
orang tua dikumpulkan baru akhirnya mereka bisa diimunisasi,” katanya.   

Tahun depan, kata Mulyani, sedikitnya 250.000 anak di Kota Padang akan diimunisasi
massal vaksin Measles Rubella (MR) dari program gratis pemerintah. Vaksin ini
sebelumnya tidak termasuk vaksin gratis.

“Kami tetap menargetkan 95 persen anak di Kota Padang terimunisasi, kalau sudah 95
persen, artinya sudah terjadi imunitas komuniti,” katanya.

Ia mencontohkan,  jika di empat lokal di sekolah ada 100 anak dan hanya 5 anak yang
tidak diimunisasi, jika satu anak terkena campak, maka 95 orang temannya akan
menjadi benteng. Sehingga anak yang sakit tidak akan menularkan penyakitnya ke
empat yang lain. Kalau kurang dari 95 persen maka benteng imunitas akan kurang.

“Strategi kami tetap melibatkan tokoh agama, tokoh adat, LSM, dan media, peran
media sangat besar karena masyarakat sangat percaya kepada media,” katanya. (Ditulis
1 Agustus 2017)

**

Anda mungkin juga menyukai