Anda di halaman 1dari 17

BAB VI (2)

Biografi dan Peran Muhammad Arsyad al-Banjari dalam


Perkembangan Islam di Indonesia

Biografi.

Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari (atau lebih dikenal
dengan nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang lahir di Lok Gabang, Astambul, Banjar,
Kalimantan Selatan, 17 Maret 1710 – meninggal 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun) adalah
ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan
Banjar), Kalimantan Selatan. Beliau pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi
rujukan bagi para pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.

Silsilah keturunan :

Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti Kerajaan
Indragiri Abdurrahman Siddiq, berpendapat bahwa ia merupakan keturunan Alawiyyin melalui
jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao. Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al
Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu
Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah
Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin
Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al
Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib
Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi
Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam
Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam
Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al
Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah
SAW.

Pendidikan.

Muhammad Arsyad al-Banjari lahir pada malam Kamis, pukul 3.00 (waktu sahur), 15 Safar 1122
H/17 Mac 1710 M, wafat pada 6 Syawal 1227 H/3 Oktober 1812 M. Pendidikannya ketika kecil
tidak begitu jelas, tetapi pendidikannya dilanjutkan ke Mekkah dan Madinah. Sangat populer
bahwa beliau belajar di Mekkah sekitar 30 tahun dan di Madinah sekitar 5 tahun. Sahabatnya
yang paling penting yang banyak disebut oleh hampir semua penulis ialah Syeikh `Abdus
Shamad al-Falimbani, Syeikh Abdur Rahman al-Mashri al-Batawi dan Syeikh Abdul Wahhab
Bugis, yang terakhir ini menjadi menantu beliau. Gurunya pula yang banyak disebut ialah Syeikh
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Syeikh `Athaullah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Karim
as-Sammani al-Madani. Selama belajar di Mekkah Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-
Banjari tinggal di sebuah rumah yang dibeli oleh Sultan Banjar. Rumah tersebut terletak di
kampung Samiyah yang disebut juga dengan Barhat Banjar. Syeikh Muhammad Arsyad al-
Banjari dan kawan-kawannya selain belajar kepada ulama-ulama bangsa Arab, juga belajar
kepada ulama-ulama yang berasal dari dunia Melayu. Di antara guru mereka yang berasal dari
dunia Melayu ialah: Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok al-Fathani, Syeikh
Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh dan Syeikh Muhammad `Aqib bin Hasanuddin al-
Falimbani, dan masih banyak lagi.

Menikah dan menuntut ilmu di Mekkah.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia
mencapai 30 tahun. Kemudian ia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut.
Hasil perkawinan tersebut ialah seorang putri yang diberi nama Syarifah. Ketika istrinya
mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang
kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannya hasrat hatinya itu kepada
istri tercinta. Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda,
akhirnya isterinya mengabulkan niat suci suaminya dan mendukung dalam meraih cita-citanya.
Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci
mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya. Di Tanah
Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu, di antara guru
beliau adalah:

1. Syekh ‘Athoillah bin Ahmad al-Mishry,

2. al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi 3.


3. al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.

Syekh yang disebutkan terakhir merupakan guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana
di bawah bimbingannya Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat
ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah. Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu,
timbullah kerinduan akan kampung halaman. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran istri yang
setia menanti tanpa tahu sampai kapan penantiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186
H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya Martapura, pusat
Kerajaan Banjar pada masa itu. Akan tetapi Sultan Tahlilullah yang telah banyak membantunya
telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan HW, yaitu cucu
Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada saat itu memerintah Kesultanan Banjar, beliau
sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.
Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap
rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya
diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Aktifitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci
dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga,
kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang
muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’.

Pengajaran dan Bermasyarakat.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan
Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah
membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang kemudian lama-
kelamaan menjadi sebuah kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-
ulama yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar,
banyak yang merupakan didikan dari suraunya di Desa Dalam Pagar. Di samping mendidik,
beliau juga menulis beberapa kitab dan risalah untuk keperluan murid-muridnya serta keperluan
kerajaan. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab
Hukum-Fiqh dan menjadi kitab pegangan pada waktu itu, tidak hnaya di seluruh Kerajaan Banjar
tetapi sampai ke seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di luar
Nusantara Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai Darussalam

Karya-karyanya.

Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau
selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya "Jalan bagi
orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama". Syekh
Muhammad Arsyad telah menulis untuk pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah
lainnya, diantaranya:

1. Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Dua puluh,


2. Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang
sesat,

3. Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,

4. Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata.

Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh
murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang
syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, disebut Kitab
Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam
Kitab Kanzul-Makrifah. Sudah menjadi tradisi kebanyakan ulama, ketika mereka belajar dan
mengajar di Mekkah, mereka juga menulis kitab di Mekkah. Lain halnya dengan Syeikh
Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari, walaupun dipercaya mengajar di Mekkah, namun
karya yang dihasilkannya ditulis di Banjar sendiri. Beliau nampaknya lebih mencurahkan
khidmat derma baktinya di tempat kelahirannya sendiri yang seolah olah tanggungjawab rakyat
Banjar berada dipundaknya. Ketika pulang ke Banjar, beliau sangat sibuk mengajar dan
menyusun segala macam bidang yang bersangkut paut dengan dakwah, pendidikan dan
pentadbiran Islam. Walaupun begitu beliau masih sempat menghasilkan beberapa karya. Karya-
karyanya antara lain:

1. Tuhfah ar-Raghibin fi Bayani Haqiqah Iman al-Mu'minin wa ma Yufsiduhu Riddah ar-


Murtaddin, diselesaikan tahun 1188 H/1774 M

2. Luqtah al-'Ajlan fi al-Haidhi wa al-Istihadhah wa an-Nifas an-Nis-yan, diselesaikan tahun


1192 H/1778 M.

3. Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquhi fi Amri ad-Din, diseselesaikan pada hari Ahad, 27


Rabiulakhir 1195 H/1780 M

4. Risalah Qaul al-Mukhtashar, diselesaikan pada hari Khamis 22 Rabiulawal 1196 H/1781M.

5. Kitab Bab an-Nikah.

6. Bidayah al-Mubtadi wa `Umdah al-Auladi

7. Kanzu al-Ma'rifah

8. Ushul ad-Din

9. Kitab al-Faraid

10. Hasyiyah Fat-h al-Wahhab

11. Mushhaf al-Quran al-Karim


12. Fath ar-Rahman

13. Arkanu Ta'lim as-Shibyan

14. Bulugh al-Maram

15. Fi Bayani Qadha' wa al-Qadar wa al-Waba'

16. Tuhfah al-Ahbab

17. Khuthbah Muthlaqah Adapun karya Syeikh Muhammad Arsyad yang pertama, yaitu Tuhfah
ar-Raghibin.

Peran Muhammad Arsyad al-Banjari dalam perkembangan Islam di Indonesia.

Di antara peran Muhammad Arsyad al-Banjari: 1. Sebagai orang yang gigih dalam menuntut
ilmu sampai ke Mekkah dan Madinah 2. Sebagai pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak
menjadi rujukan bagi banyak pemeluk agama Islam di Asia Tenggara. 3. Mensyiarkan Islam
sampai ke Asia Tenggara.

Biografi Syekh Abdurrauf Singkil


Syekh Abdurrauf Singkil ( - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar
Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di
Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku
Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).

Masa muda dan pendidikan

Abdurrauf Singkil lahir di Singkil, Aceh pada 1024 H/1615 M, beliau memiliki nama lengkap
Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Menurut riwayat
masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil,
Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia
kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi
menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur
Tengah untuk mendalami agama Islam.

Tercatat sekitar 19 guru pernah mengajarinya berbagai disiplin ilmu Islam, selain 27 ulama
terkemuka lainnya.

Tempat belajarnya tersebar di sejumlah kota yang berada di sepanjang rute haji, mulai dari
Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Mekah, dan Madinah. Studi
keislamannya dimulai di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd Al-Qadir
al Mawrir.

Hasil karya

Sepanjang hidupnya, tercatat Syiah Kuala sudah menggarap sekitar 21 karya tulis yang terdiri
dari satu kitab tafsir, dua kitab hadis, tiga kitab fikih, dan selebihnya kitab tasawuf. Bahkan
Tarjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) adalah kitab tafsir Syiah Kuala yang pertama
dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu.

Namun di antara sekian banyak karyanya, terdapat salah satu yang dianggap penting bagi
kemajuan Islam di nusantara, yaitu kitab tafsir berjudul Tarjuman al-Mustafid. Kitab ini ditulis
ketika Syiah Kuala masih berada di Aceh. Kitab ini beredar di kawasan Melayu-Indonesia,
bahkan luar negeri.

Diyakini banyak kalangan, tafsir ini telah banyak memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam
di Melayu. Selain itu, kitab tersebut berhasil memberikan sumbangan berharga bagi telaah tafsir
Alquran dan memajukan pemahaman lebih baik terhadap ajaran-ajaran Islam.

Karya tulis Syekh Abdurrauf kini masih bisa ditemukan di Pustaka Islam, Seulimum, Aceh
Besar. Hal ini merujuk pada buku yang dikarang Teuku Ibrahim Alfian berjudul Perjuangan
Ulama Aceh di Tengah Konflik yang berdasarkan hasil penelitian Al Yasa’ Abubakar.

Disebutkan dalam tulisan itu, karya tulis As-Singkili lebih kurang mencapai 36 buah kitab.
Bahkan salah satu kitab yang dikarangnya diabadikan oleh Profesor A. Meusingge dalam buku
yang wajib dibaca mahasiswa Koninklijke Academic Delft, Leiden. Di dalam buku tersebut
diulas isi kitab As-Singkili yang berjudul Mi'rat at-Tullab fi Tahsil Ahkam asy-Syari'yyah li al
Malik al-Wahhab.

Mufti kerajaan

Selain sebagai penulis yang produktif, Syekh Abdurrauf As-Singkili dipercayakan sebagai mufti
kerajaan Aceh pada masanya. Pengaruhnya sangat besar dalam mengembangkan Islam di Aceh
dan meredam gejolak politik di kerajaan tersebut. Salah satu kebijakan populis pada abad
pertengahan adalah restunya terhadap kepemerintahan ratu-ratu di Aceh.

Tarekat Syattariyah

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-
Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia
menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga
dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi
berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun
1884.

Pengajaran dan karya

Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta
mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak
dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal
ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi
Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).

Azyumardi Azra menyatakan bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat
dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:

 Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-


Wahhab, karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah
Safiyatuddin.
 Tarjuman al-Mustafid, merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap
berbahasa Melayu.
 Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi, ditulis atas permintaan Sultanah
Zakiyyatuddin.
 Mawa'iz al-Badî', berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak.
 Tanbih al-Masyi, merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat
tujuh.
 Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud, memuat
penjelasan tentang konsep wahdatul wujud.
 Daqâiq al-Hurf, pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.

Wafat

Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia dimakamkan
di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar
15 Km dari Banda Aceh. Namanya kini dilakabkan menjadi nama Universitas Syiah Kuala atau
Unsyiah. Universitas itu berada di Darussalam, Banda Aceh.

Keberadan makam

Syekh Abdurrauf As-Singkili dipercaya memiliki dua makam. Satu berada di Desa Deah Raya,
Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Satu lagi di Desa Kilangan, Singkil. Makam di Singkil
berada di bibir Krueng Singkil. Banyak peziarah mendatangi makam ini, baik dari Aceh maupun
dari luar daerah seperti Sumatera Barat.

Sementara di Banda Aceh, lokasi makam Syiah Kuala berada di bibir Selat Malaka. Seperti
halnya di Singkil, lokasi makam ini juga banyak dikunjungi peziarah. Bahkan makam dijadikan
sebagai lokasi wisata religi di Tanah Rencong oleh pemerintah daerah.
BAB VII (3)
Biografi Singkat KH Hasyim Asy'ari, Tokoh
Pendiri Nahdlatul Ulama

Biografi singkat KH Hasyim Asy'ari, seorang tokoh Indonesia yang merupakan pendiri sekaligus
Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU), Indonesia.

KH Hasyim Asy'ari lahir pada 14 Februari 1871 di Gedang, Kecamatan Jombang, Jawa Timur.
Beliau merupakan putra ketiga dari 10 bersaudara.
Biografi Singkat KH Hasyim Asy'ari

(wik
ipedia) KH Hasyim Asy'ari

KH Hasyim Asy'ari merupakan putra dari pasangan Kyai Asy'ari dan Haliman. Ayah beliau
merupakan seorang pemimpin Pondok Pesantren yang berada di Jombang bagian selatan.

Beliau merupakan pendiri salah satu pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada tahun 1899,
yaitu Pondok Pesantren Tebu Ireng.

Kemudian, pada tahun 1926, berdiri sebuah organisasi bernama Nahdlatul Ulama (NU) yang
artinya kebangkitan ulama. KH Hasyim Asy'ari merupakan salah satu tokoh penting dalam
berdirinya organisasi tersebut.

Biodata KH Hasyim Asy'ari


Nama Kyai Haji Mohammad Hasjim Asy'arie
Panggilan KH Hasyim Asy'ari
Tempat dan Tanggal Lahir Gedang, Kecamatan Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871
Wafat Jombang, Jawa Timur, 21 Juli 1947
Agama Islam
Ayah: Kyai Asy'ari
Orang Tua
Ibu: Halimah
Pasangan 7 istri
Anak KH Abdul Wahid Hasyim (salah satu anaknya)
Gelar Pahlawan Nasional
Masa Kecil dan Pendidikan KH Hasyim Asy'ari

Sebagai seorang putra ketiga, KH Hasyim Asy'ari memiliki sembilan saudara lainnya yaitu,
Nafi'ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan
Adnan.

KH Hasyim Asy'ari merupakan keturunan dari Sultan Pajang Jaka Tingkir dan juga keturunan
Raja Hindu Majapahit, Raja Brawijaya V. Garis keturunan tersebut merupakan silsilah dari sang
ibu.

Beliau banyak menimba ilmu agama dari sang ayah dan juga kakeknya, yaitu Kyai Utsman yang
merupakan pemimpin Pondok Pesantren Nggedang di daerah Jombang.

Tidak berhenti belajar di situ saja, KH Hasyim Asy'ari juga banyak mempelajari ilmu agama dari
beberapa pesantren.

Berikut adalah beberapa Pondok Pesantren yang pernah beliau datangi dan mempelajari ilmunya.

 Pondok Pesantren Wonokoyo, Probolinggo


 Pondok Pesantren Siwalanpanji, Sidoarjo
 Pondok Pesantren Kademangan, Bangkalan
 Pondok Pesantren Langitan, Tuban
 Pondok Pesantren Trenggilis, Semarang

Pada tahun 1892, KH Hasyim Asy'ari pergi ke Mekah untuk menimba ilmu dari beberapa tokoh
agama yang ada di sana.

Pada awalnya, beliau belajar di bawah bimbingan Syaikh Mafudz yang merupakan seorang
ulama dari Indonesia pertama yang mengajar Sahih Bukhori di Mekah.

Syaikh Mafudz merupakan seorang ahli hadis, hal tersebut membuat KH Hasyim Asy'ari tertarik
untuk belajar pada beliau.

Selain belajar Hadis, beliau juga belajar tassawuf (sufi) dengan mendalami Tarekat Qadiriyah
dan Naqsyabandiyah.

KH Hasyim Asy'ari juga pernah belajar pada ulama terkenal dari Banten yang mukim di Mekah,
yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani. Bahkan, ada juga guru yang bukan berasal dari Nusantara,
yaitu Syaikh Shata dan Syaikh Dagistani, mereka adalah seorang ulama yang terkenal pada
masanya.
Sang Pejuang Islam, KH Hasyim Asy'ari

Setelah mendirikan Pondok Pesantren Tebu Ireng pada tahun 1899, kemudian pada 31 Januari
1926 beliau mendirikan sebuah organisasi bernama Nahdlatul Ulama (NU), bersama beberapa
ulama lainnya.

Berdirinya NU pada saat itu karena situasi dunia Islam yang sedang dilanda pertentangan paham.

Tujuan didirikannya NU pada saat itu adalah untuk membuat interaksi dan komunikasi dunia
Islam menjadi lebih mudah dipahami.

Perjuangan KH Hasyim Asy'ari Pada Masa Penjajahan

Pondok Pesantren Tebu Ireng yang saat itu berdekatan dengan Pabrik Cukir yang dibuat oleh
kolonial Belanda pada tahun 1835, merupakan sebuah perlawanan atas modernisasi dan
industrialisasi penjajah untuk memeras rakyat.

Beliau juga mengeluarkan fatwa haram bagi rakyat Indonesia, yang pergi haji dengan fasilitas
Belanda.

Karena sifatnya tersebut, KH Hasyim Asy'ari pernah diancam akan dibunuh dan Pondok
Pesantren miliknya, yaitu Tebu Ireng akan dibakar habis.

KH Hasyim Asy'ari berjuang untuk Indonesia dengan mengeluarkan resolusi jihad yang berhasil
memunculkan gerakan perlawanan terhadap Belanda dan sekutu.

Salah satunya adalah saat pertempuran yang terjadi di Surabaya pada 10 November 1945.
Karya Pemikiran KH Hasyim Asy'ari

 Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jama'ah: Fi Hadistil Mawta wa Asyrathis-sa'ah wa baya


Mafhumis-Sunnah wal Bid'ah (Pembahasan tentang orang-orang mati, tanda-tanda
zaman, dan penjelasan tentang Sunnah dan Bid'ah).
 Al-Nuurul Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursaliin (Cahaya yang terang tentang
kecintaan pada utusan Tuhan, Muhammad SAW).
 Adab al-alim wal Muta'allim fi maa yahtaju Ilayh al-Muta'allim fi Ahwali Ta'alumihi
wa maa Ta'limihi (Etika pengajar dan pelajar dalam hal-hal yang perlu diperhatikan oleh
pelajar selama belajar).
 Al-Tibyan: fin Nahyi 'an Muqota'atil Arham wal Aqoorib wal Ikhwan (Penjelasan
tentang larangan memutus tali silaturrahmi, tali persaudaraan dan tali persahabatan).
 Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Dari kitab ini para
pembaca akan mendapat gambaran bagaimana pemikiran dasar tentang NU. Di dalamnya
terdapat ayat dan hadits serta pesan penting yang menjadi landasan awal pendirian
Jam’iyah NU. Boleh dibilang, kitab ini menjadi “bacaan wajib” bagi para pegiat NU.
 Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah. Mengikuti manhaj para
imam empat yakni Imam Syafii, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin
Hanbal, tentunya memiliki makna khusus sehingga akhirnya mengikuti jejak pendapat
imam empat tersebut dapat ditemukan jawabannya dalam kitab ini.
 Mawaidz. Adalah kitab yang bisa menjadi solusi cerdas bagi para pegiat di masyarakat.
Saat Kongres NU XI tahun 1935 di Bandung, kitab ini pernah diterbitkan secara massal.
Demikian juga Prof Buya Hamka harus menterjemah kitab ini untuk diterbitkan di
majalah Panji Masyarakat, edisi 15 Agustus 1959.
 Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Hidup ini tak
akan lepas dari rintangan dan tantangan. Hanya pribadi yang tangguh serta memiliki
sosok yang kukuh dalam memegang prinsiplah yang akan lulus sebagai pememang. Kitab
ini berisikan 40 hadits pilihan yang seharusnya menjadi pedoman bagi warga NU.
 Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yushna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Kitab ini menyajikan
beberapa hal yang harus diperhatikan saat memperingati maulidur rasul.

Akhir Hayat KH Hasyim Asy'ari

Menurut sejarah dari beberapa sumber, KH Hasyim Asy'ari menikah tujuh kali dan semua
istrinya adalah seorang putri dari ulama.

Salah satu putranya yaitu, KH Abdul Wahid Hasyim yang merupakan seorang Perumus Piagam
Jakarta yang kemudian menjadi Menteri Agama.

Sedangkan cucunya yaitu, Abdurrahman Wahid atau biasa dikenal dengan nama Gusdur, yang
merupakan Presiden Indonesia.

KH Hasyim Asy'ari wafat pada 21 Juli 1947, kemudian jenazahnya dikebumikan di Jombang,
Jawa Timur. Lalu pada tahun 1964, beliau diberikan penghargaan sebagai Pahlawan Pergerakan
Nasional oleh Pemerintah Indonesia.
Biografi Singkat Ahmad Dahlan, Tokoh
Pahlawan Pendiri Muhammadiyah
Yogyakarta.

Biografi singkat Ahmad Dahlan, beliau merupakan tokoh agam Islam di Indonesia yang
merupakan Pahlawan Nasional sekaligus pendiri Muhammadiyah di Yogyakarta.

KH. Ahmad Dahlan atau Ahmad Dahlan lahir di kota Yogyakarta pada 1 Agustus 1868. Beliau
memiliki nama lahir yaitu Muhammad Darwisy dan merupakan anak keempat dari tujuh
bersaudara.
Biografi Singkat Ahmad Dahlan

Menurut sejarah, Ahmad Dahlan merupakan keturunan kedua belas dari salah satu tokoh
Walisongo yang merupakan penyebar agama Islam di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim
(Sunan Gresik).

Seperti ini silsilahnya:

1. Maulana Malik Ibrahim


2. Maulana Ishaq
3. Maulana 'Ainul Yaqin
4. Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen)
5. Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom)
6. Demang Djurung Djuru Sapisan
7. Demang Djurung Djuru Kapindo
8. Kiai Ilyas
9. Kiai Murtadla
10. KH. Muhammad Sulaiman
11. KH. Abu Bakar
12. Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan)

Pada usia yang sangat muda, yaitu 15 tahun, Ahmad Dahlan pergi ke Mekah untuk melakukan
ibadah haji dan juga memutuskan untuk menetap di sana selama lima tahun.

Di Mekah, beliau mulai mengenal dunia Islam serta berinteraksi dengan pemikiran pembaharu
dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.
Biodata Ahmad Dahlan
Nama Muhammad Darwisy
Panggilan Ahmad Dahlan
Tempat dan Tanggal
Yogyakarta, 1 Agustus 1868
Lahir
Wafat Yogyakarta, 23 Februari 1923
Agama Islam
Orang Tua -
Siti Walidah, Nyai Abdullah, Nyai Rum, Nyai Aisyah dan Nyai Yasin
Pasangan
Pakualaman
Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Siti Aisyah, Irfan Dahlan dan Siti
Anak
Zaharah (anak dari Siti Walidah).
Gelar Pahlawan Nasional

Perjalanan Hidup Ahmad Dahlan

Setelah lima tahun berlalu, Muhammad Darwisy kembali ke kampung halamannya dan berganti
nama menjadi Ahmad Dahlan.

Lalu pada tahun 1903, beliau memutuskan untuk kembali ke Mekah dan tinggal selama dua
tahun di sana.

Saat menetap selama dua tahun di Mekah, beliau sempat berguru dan belajar banyak dari Syekh
Ahmad Khatib, salah satu tokoh guru dari pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy'ari.

Setelah banyak menimba ilmu di Mekah dengan Syekh Ahmad Khatib, Ahmad Dahlan kembali
lagi ke kampung halamannya dan mendirikan Muhammadiyah di sana, tepatnya di Kauman,
Yogyakarta.

Sepulang dari Mekah, Ahmad Dahlan menikahi sepupunya sendiri yang bernama Siti Walidah.
Sepupunya tersebut merupakan anak dari Kiai Penghulu Haji Fadhil.

Pernikahannya dengan Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan) dikaruniai enam orang anak, yaitu
Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Siti Aisyah, Irfan Dahlan dan Siti Zaharah.

Menurut sejarah, Ahmad Dahlan juga pernah menikah dengan beberapa wanita lainnya selain
Siti Walidah, dengan Nyai Abdullah yaitu janda H. Abdullah, Nyai Rum yang merupakan adik
Kiai Munawwir Krapyak, Nyai Aisyah yang merupakan adik Adjengan Penghulu dan juga Nyai
Yasin Pakualaman.

Sejarah Karier Ahmad Dahlan

Beliau sangat aktif dalam memberikan gagasan tentang dakwah di Muhammadiyah. Bahkan, ia
dikenal baik oleh masyarakat karena memiliki gagasan yang cerdas.
Dari sana, beliau sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat. Kemudian dengan mudahnya ia
mendapat tempat di beberapa organisasi, seperti Boedi Oetomo, Syarikat Islam dan Komite
Pembela Kanjeng Nabi Muhammad S.A.W.

Tujuan didirikannya Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan yaitu untuk melakukan suatu
pembaharuan serta cara berpikir serta beramal menurut tuntunan agama Islam, tentu saja dengan
tuntunan Al-Qur'an dan juga al-Hadits.

Meskipun Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah dengan tujuan yang baik, tetap
saja ada berbagai fitnah yang negatif yang datang kepadanya, bahkan ada juga yang hampir
membunuhnya.

Tapi semua kecaman yang datang padanya, tidak membuat semangat serta tekad Ahmad Dahlan
pupus. Dengan berteguh hati, ia terus melanjutkan cita-citanya tersebut tanpa putus asa.

Pada akhirnya, organisasi Muhammadiyah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan berkembang pesat
hingga bisa menarik perhatian dunia, terutama para pengamat Islam.

Akhir Hayat Ahmad Dahlan

KH. Ahmad Dahlan wafat pada 23 Februari 1923 di Yogyakarta. Kemudian jenazahnya
dikebumikan di Karangkajen, Brontokusuman, Mergangsan, Yogyakarta.

Untuk mengenang dan menghormati semua jasa-jasa yang telah diberikan untuk Indonesia, pada
27 Desember 1961, KH. Ahmad Dahlan diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional. Keputusan
tersebut diberikan berdasarkan Surat Keppres RI No. 657 Tahun 1961.

Anda mungkin juga menyukai