Anda di halaman 1dari 21

TUGAS SKRIPSI HARI RAYA GALUNGAN

OLEH NI WAYAN PURNAMA YANTI NPM : 10.1.061

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENGETAHUAN AGAMA HINDU AMLAPURA 2013

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Karena berkat,rahmat dan anugrah Nya yang dilimpahkan kepada kami sehingga kami mampu menyelesaikan karya tulis yang merupakan tugas mengenai Hari Raya Galungan tepat pada waktunya, dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa untuk menyelesaiakan tugas, pada khususnya mata kuliah Skripsi. Karya tulis ini disusun dalam rangka memenuhi criteria penilaian terhadap mata kuliah Skipsi . Terselesainya karya tulis ini tidak terlepas dari adanya peran dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada : 1. Drs. I Wayan Gama, M. Si selaku pemegang mata kuliah yang membingbing karya tulis ini. 2. Bapak / Ibu dosen STKIP Agama Hindu yang langsung memberikan informasi berupa materi-materi yang berhubungan dengan karya tulis ini. 3. Teman teman sejawat mahasiswa STKIP Agama Hindu Karangasem, yang bersedia bertukar pikiran dengan kami. Menyadari keterbatasan yang ada pada penulis, sudah pasti dalam karya tulis ini jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan karya tulis ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, dan semoga karya tulis ini ada guna dan manfaatnya demi pengenbangan pendidikan. Om Santih, Santih, Santih Om.

Amlapura, 17 Nopember 2013

Tim penulis

DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR DAPTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1.2 Rumusan masalah 1.3 Tujuan Penulisan ..... 1 .. 2 . 2 2 .. ... i ii

1.4 Manfaat Penulisan ...

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sejarah Perayaan Galungan dan Kuningan . 4 2.1. Waktu Hari Raya Galungan dan Kuningan ... 5 2.2. Rangkaian Upacara Hari Raya Galungan dan Kuningan dan Nilai Filsafatnya. 6 2.3. Pemasangan Penjor dan Ngelawang Sebagai Bagian dari Perayaan Galungan dan Kuningan 7

BAB III PENUTUP 3.1 SIMPULAN 3.2 SARAN SARAN 9 10

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penulis menulis makalah yang mengambil materi Hari Raya Galungan dan Kuningan selain sebagai nilai tambahan mata kuliah Darsana, yang penulis harapkan dapat menutupi kekurangan penulis baik dalam ujian akhir semester ataupun kekurang aktifan penulis di kampus, penulis juga memandang perlu membahas upacara atau hari raya ini karena Hari Raya Galungan dan Kuningan adalah sebuah hari besar keagamaan yang dianggap suci atau memiliki makna yang lebih dan merupakan hari besar Agama Hindu kedua setelah Nyepi yang diakui oleh semua umat Hindu. Selain itu, yang melatar belakangi penulisan makalah ini yaitu karena penulis mengangap Upacara Galungan dan Kuningan mengandung arti yang sangat penting bagi umat Hindu, yaitu sebagai peringatan menangnya dharma melawan adharma, sehingga umat Hindu tidak boleh mengabaikan hari besar ini. Penulis merasa dan melihat para umat Hindu masih banyak yang tidak tahu makna dari Hari Raya Galungan dan Kuningan dan sekedar mengikutinya dan mempunyai anggapan yang Gugon Tuwon (Anak Mula Keto). Dengan adanya makalah ini, penulis juga mengharapkan pembaca menjadi tahu makna dari Hari Raya Galungan dan Kuningan sehingga pembaca pada khususnya, dan umat Hindu pada umumnya lebih menghayati Hari Raya ini dan menjadi tahu dan mengerti asal muasal adanya Hari Raya Galungan dan Kuningan itu, walaupun dalam bentuk sederhana.

1.2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini yaitu tidak melebihi dari yang dijelaskan dalam Bab selanjutnya, mengenai : a. b. Bagaimana sejarah dari Hari Raya Galungan dan Kuningan. Kapan Galungan dan Kuningan dirayakan.

c.

Bagaimana rentetan atau rincian upacara dan upakara dalam perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan.

d.

Bagaimanakah

fungsi

dari

penjor

dan

Ngelawang

dalam

penyambutan dan perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan 1.3. Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan laporan ini antara lain : Supaya kita semua sedikit tahu, umumnya umat Hindu tentang makna, arti serta asal muasal dari Hari Raya Galungan dan Kuningan sehingga dalam menjalankan dan melaksanakannya kita akan lebih mantap dan tiada kebimbangan atau pertanyaan dalam hati. Agar kita sebagai umat Hindu tidak hanya melaksanakannya berdasarkan Gugon Tuwon tetapi dapat menghayati dan memahami serta merenungkan dengan penuh kesadaran hakekat semangat hidup kesucian yang terkandung pada Hari Raya Galungan dan Kuningan. Supaya kita lebih memahami bagaimana rentetan dan rincian upacara dan upakara dalam Hari Raya Galungan dan Kuningan. Agar kita lebih mendalami makna pembuatan penjor dalam Hari Raya Galungan. 1.4. Manfaat Penulis Supaya makalah ini dapat dipakai oleh masyarakat Hindu secara luas, bukan hanya oleh satu kelompok daerah saja. Sebagai nilai tambahan bagi penulis untuk mata kuliah Skripsi, yang mungkin dapat menutupi sedikit kekurangan penulis, baik nilai ujian maupun keaktifan penulis. Sebagai perangsang bagi penulis sendiri dan pembaca untuk lebih mencari tahu seluk beluk tentang apa yang ada hubungannya dengan prihal keagamaan, khususnya Agama Hindu, apalagi penulis adalah seorang Mahasiswa di STKIP. Agama Hindu, sehingga perlu tahu tentang keagamaan, khususnya Hari Raya atau Upacara Agama Hindu.

1.5. Metode Penulisan Metode yang dipakai dalam penulisan makalah ini yakni metode kepustakaan, dimana penulis berusaha mencari hal-hal yang ada kaitannya dengan Galungan dan Kuningan dari buku-buku, surat kabar dan literatur lain.

BAB II GALUNGAN DAN KUNINGAN

Diantara hari suci Agama Hindu di Bali ada yang dirayakan secara biasabiasa yang disebut dengan Rerahinan dan ada juga hari suci yang dirayakan secara istimewa dan besar yang disebut Hari Raya. Hari Raya perlu dirayakan secara berkelanjutan untuk tetap mengobarkan semangat kesucian serta arti penting dari hakekat hari suci agama tersebut. Selain itu, dalam perayaan tersebut diharapkan para umatnya dapat menghayati dan memahami serta merenungkan dengan penuh kesadaran hakekat semangat hidup kesucian yang terkandung pada hari suci itu. Kemudian dapat dipedomi untuk meningkatkan harkat dan martabat hidup para umatnya menuju kerahayuan jagat. Dalam Lontar Sundari Gama disebutkan : Pada hari yang baik, yakni hari yang disebut Pasucian Hyang, yang diikuti oleh para Dewata semuanya para Gandarwa-Gandarwi, Widya dara-Widyadari, Resinglangit, dan diikuti oleh para Hyang Pitara yang telah disucikan, serta pitara yang ada di alam pitra loka beryoga untuk keselamatan dunia. Maka menjadi sucilah dunia ini, seakan-akan melimpahkan ketentraman baik terhadap manusia maupun terhadap semua makhluk yang ada di dunia. Maka manusiapun patut ikut serta melaksanakan cinta kasih seperti yang dilimpahkan oleh Hyang Widhi, berbakti dengan upacara yang disuguhkan kepada para Bhatara demikianlah tata caranya Jadi, jelaslah dengan adanya perayaan hari suci yang didasarkan dengan ketulusan hati yang suci sehingga apa yang dipersembahkan kepada yang suci memiliki arti dan nilai yang suci juga dan untuk menuju ketentraman dunia, bukan hanya untuk manusia tetapi seluruh isi alam semesta ini, maka patutlah kita bersyukur dan melaksanakan perayaan hari suci itu dengan tulus. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa hari suci yang dirayakan secara istimewa dan besar disebut Hari Raya. Adapun pembagian Hari Raya Agama Hindu secara garis besar digolongkan menjadi dua yaitu : hari raya yang

berdasarkan sasih atau bulan seperti : sasih Purwanining Tilem Kapitu (Siwa Ratri) dan sasih Tilem Kesanga (Hari Raya Nyepi) dan hari raya yang berdasarkan pawukon yaitu dengan perhitungan pertemuan wuku dengan hari Sapta Wara dan Hari Panca Wara termasuk didalamnya yaitu Galungan , Kuningan dan Saraswati. Banyak yang menyatakan arti dari Galungan dan Kuningan itu. Ada yang berpendapat bahwa Galungan berasal dari kata ngaluungang atau ke arah yang legih baik atau dengan kata lain perayaan atas kemenangan dharma melawan adharma.

2.1.Sejarah Perayaan Galungan dan Kuningan Dalam rontal panji Malat Rasmi yang ditulis kira-kira abad XI yaitu pada jaman Kerajaan Tenggala di Jawa Timur, perayaan Galungan telah menjadi perayaan umum yang dilaksanakan rakyat. Perayaan itu dilakukan sampai akhir Kerajaan majapahit seperti yang disebutkan di dalam serat Pararaton pada abad XVI dan masih merupakan Hari Raya yang paling besar di Kerajaan Majapahit tersebut. Dengan lenyapnya kerajaan Hindu di Jawa menyebabkan pusat kegiatan Hindu berpindah ke pedalaman seperti di Daerah Tengger dan Bali. Perayaannya pun bukan lagi menjadi pesta rakyat secara besar-besaran tetapi menyesuaikan dengan daerah tersebut yang penuh dengan kekurangan. Sehingga perayaan tersebut ada yang lenyap dan ada yang masih ada karena memiliki rangkaian acara yang secara relegi memiliki ke khasan untuk mencegah supaya kebiasaan itu tidak mendapat pertentangan dari kelompok lain. Berdasarkan tradisi yang ada dikenal adanya dua persi tentang perayaan Galungan dan Kuningan : 1. Tradisi di Bali mengaitkan sejarah Galungan dan Kuningan dengan runtuhnya kerajaan Maya Denawa.

2. Tradisi di India kemenangan Dharma melawan Adharma itu dikaitkan dengan cerita kemenangan Rama dalam memberantas kejahatan para raksasa yang dipimpin oleh Rawana (Itihasa : Ramayana) yang dilukiskan pertempuran selama 10 (sepuluh) hari Dari kedua persi itu kita melihat dua persamaan yaitu sama-sama mengambil penampilan aspek perang yang secara umum diartikan galung (pertarungan). Sehingga dari kedua persi itu kita dapat menyimpulkan perayaan Galungan ada hubungannya dengan perang, yaitu perang antara kebenaran dengan kejahatan, antara sura melawan asura. Selain itu dalam Serah Pararaton dan Malat Rasmi disebutkan bahwa dalam perayaan Galungan diadakan pesta tari perang yang dilakukan oleh raja. Sedangkan 10 hari setelah Galungan dilaksanakan Kuningan yang dimanifestasikan dengan hari kemenangan. Ringkasan cerita / mitologi kemenangan Bhatara Indra melawan keangkaramurkaan Maya Denawa dapat diterangkan sebagai berikut : Diceritakan di daerah Batur terdapat kerajaan yang disebut Balingkang rajanya yang merupakan keturunan Daitya. Ia amat sakti dan raja yang sangat bengis dan suka memakan daging manusia. Rakyat tidak diperkenankan menyembah Tuhan dan dilarang menjalankan ibadat agama. Karena kebengisannya itu penduduk memberi gelar Sang Ratu Ki Maya Denawa. Maya Denawa artinya raksasa maya-maya. Mendengar kesadisan Ki Maya Denawa, Bhatara Indra dengan pasukan yang lengkap serta senjata yang lengkap datang ke Bali menggempur Maya Denawa karena sudah menjadi kewajiban para Dewa menyelamatkan hidup manusia dan para Dewa harus menumpas Ki Maya Denawa karena dia telah menyalahi dharma agama dan membuat rakyat menderita. Pertempuran antara pasukan Bhatara Indra melawan pasukan Ki Maya Denawa berlangsung sangat sengit. Pasukan Ki Maya Denawa kalah dan melarikan diri. Maya Denawa dan pasukannya terus diburu, setiap tempat diperiksa, goa, semak bahkan kayu besarpun tidak luput dari pemeriksaan, karena para prajurit Dewa telah mengetahui kesaktian Maya denawa dan prajuritnya yang dapat berubah menjadi apa saja. Hingga pada suatu saat Maya Denawa pun terkena panah dari Dewa Indra. Tapi sebelum mati ia berkata bahwa ia adalah jelmaan dari Dewi Dhurga, dan ia meminta agar dihari kematiannya tetap diperingati dan membuat persembahan

bagi dirinya dan anak buahnya agar tidak menggangu umat manusia yang masih hidup. Tubuh Maya Denawa dipecah menjadi beberapa bagian. Dan upacara pun dilakukan dengan sarana bagian tubuh dan darah dari Maya Denawa. Bagian tubuhnya itu dibagi lima yang ditempatkan pada lima penjuru yaitu : Tangan sebelah kanan ditaruh sebelah utara Tangan sebelah kiri ditaruh sebelah selatan Kaki sebelah kanan ditaruh sebelah barat Kaki sebelah kiri ditaruh sebelah timur Kepalanya dipisahkan sendiri dengan upacara khusus.

Persembahan atau upacara itu selanjutnya disebut dengan nama Galungan. Sekarang lima persembahan itu disimboliskan dengan CARU dimana dengan nasi putih diibaratkan kepalanya, nasi merah diibaratkan sebagai badannya, nasi berwarna hitam diibaratkan kaki dan tangannya, kelapa gading diibaratkan darahnya dan nafasnya dibuat dengan mantram. Kata Caru berasal dari dua kata yaitu Car dan Aru. Car artinya dipencar-pencar atau dipisah-pisah dan Aru yang artinya diaduk-aduk. Arti dari galungan yang dapat kita tarik dari cerita di atas yaitu : 1). Galungan berasal dari suku kata Gal yang artinya punggal (penggal), Lung yang artinya patah/ pisah dan Lungan yang artinya patahan-patahan. Galungan mengambil penampilan aspek perang yang secara umum diartikan galung (pertarungan) serta Galungan berasal dari kata ngaluungang yang artinya kearah yang lebih baik.

2). 3).

2.4.

Waktu Hari Raya Galungan dan Kuningan Seperti yang dijelaskan diatas bahwa Galungan dan Kuningan merupakan

hari suci atau hari raya Agama Hindu yang dirayakan berdasarkan pawukon. Galungan dan Kuningan jatuh setiap enam bulan (210 hari) sekali. Pertemuan antara Wuku Dungulan, dengan hari sapta wara yaitu Budha dan dengan hari panca wara yaitu Kliwon, menjadilah hari Budha Kliwon Dungulan yaitu peringatan kemenangan dharma melawan adharma yang disebut Hari Raya Galungan. Hari Raya Galungan dirayakan sebagai pawedalan jagat yang sering disebut dengan Oton Gumi. Sedangkan, Hari Raya Kuningan jatuhnya sepuluh hari setelah Hari Raya Galungan yaitu pada Hari Saniscara Kliwon Kuningan.

2.5.

Rangkaian Upacara Upakara Hari Raya Galungan dan Kuningan dan Nilai Filsafatnya Tata kehidupan beragama umat Hindu di Bali terutama dari segi upacara

dan pelaksanaan hari sucinya bersumber dari Catur Dresta yaitu : memang sudah ada di Bali sebelum pengaruh Hindu ada di Bali (Purwa Dresta / Kuna Dresta), bersifat lokal yang berlaku disana setempat saja (Loka Dresta), merupakan kebiasaan di suatu daerah saja (Desa Dresta) dan merupakan kebiasaan dalam tata kehidupan beragama umat Hindu yang bersumber dari Sastra atau ajaran-ajaran agama (Sastra Dresta) Dalam kita menjalankan upacara dengan upakaranya antara satu daerah dengan daerah lain pasti berbeda, itu disebabkan karena pengaruh desa, kala, patra. Apabila persembahan itu kita sajikan dengan tulus ikhlas, sesungguhnya itu tidak jadi masalah. Seperti dalam Bhagawadgita disebutkan demikian : patram puspam phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakty-upahrtam asnami prayatatmanah (Bhagawadgita, IX 26)

artinya : Siapapun yang dengan sujud bhakti kepada-Ku memperguanakan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, Aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci. Walaupun perayaan Galungan dan Kuningan berjarak sepuluh (10) hari, namun persiapan sebagai rentetannya dimulai dari Tumpek Wariga sampai pada Budha Kliwon Pahang (pegat wakan). Adapun rinciann upacara dan upakaranya yaitu : a. Tumpek Wariga (tumpek bubuh). Nilai Filsafatnya : Pada hari ini umat memohon kehadapan Sang Hyang Sengakara, sebagai dewanya tumbuh-tumbuhan agar tumbuh-

tumbuhan dapat tumbuh subur dan menghasilkan hasil yang dapat dimanfaatkan untuk ketentraman manusia lahir dan bathin b. Wrhaspati Wage Sungsang (Hari Sugi Menek Jawa) Nilai Filsafatnya : Hari ini merupakan penyucian Bhuana Agung dengan menghaturkan pesucian arrebu yang bertujuan menstanakan Dewa dan Pitara serta melakukan yoga semadhi (renungan suci) dan meninjau kembali perbuatan yang kita lakukan dengan membendung maksud/niat yang bersifat negatif. c. Sukra Kliwon Sungsang ( Sugihan Bali) Nilai Filsafatnya : membersihkan Raga Sarira dari pengaruh yang ngulurin panca indriya, sapta timira yang berlebihan dan pengaruh Panca Wreta yaitu : A-Widya yaitu bibit dari tamah yang hanya memikirkan kesenangan dan keduniawian belaka. A-Semita yaitu bibit dari moha yang ingin berada di atas segalagalanya. Raga yaitu bibit dari maha-moha yang tidak menghiraukan Tuhan dan bercita-cita untuk kepentingan diri sendiri saja. Dwesa (Tamisra) yaitu bibit dari sakit hati yang berfikir ke arah cita-cita untuk memuaskan hawa nafsu, demi diri sendiri tanpa menghiraukan orang lain. Bihiwesa (Anda Tamisra) yaitu bibit dari kesedihan (sengsara) yang dibelenggu oleh tresna lulut yang menimbulkan keraguraguan berbuat sehingga hilangnya kebebasan pribadi dan ketakutan akan hilangnya kesaktian, pengaruh atau wibawa. d. Pada Wuku Dungulan
Adapun rincian upacara pada Wuku Dungulan yaitu :

1. Redite Paing Dungulan disebut penyekeban Pada hari ini turunnya Sang Hyang Tiga Wisesa berwujud Butha Galungan. Pada hari ini para orang-orang suci dan para sujana ( wiku dan widnyana) hendaknya mengekang dan membatasi diri dan memusatkan pikiran ke arah kesucian agar tidak dimasuki sifat buruk dari Sang Butha Galungan (melakukan renungan suci)

Nilai Filsafatnya :.anyekung / bertahan memegang ketenangan , kesabaran dan kesucian lahir bathin untuk menghadapi godaan Sang Kala Tiga Wisesa. Maksud arti Nyekep/Tape yaitu mengekang manah (fikiran), perkataan dan perbuatan agar tidak menyalahi Tri Kaya Parisuda. Tape dari kata Tap ( tertib / kontrol ) atau Tapa (mengontrol Tri Kaya Parisudha). 2. Coma Pon Dungulan disebut dengan penyajaan yaitu membuat jajan untuk persiapan upacara Hari Raya Galungan. Nilai Filsafatnya : Pada hari ini turunnya Sang Hyang Tiga Wisesa berwujud Butha Galungan dengan pengastawa untuk memperkuat dan bersungguh-sungguh dalam beryoga semadhi, agar tidak dimasuki sifat buruk dari Sang Butha Galungan 3. Anggara Wage Dungulan disebut dengan penampahan, Dengan melakukan Abhuta Yadnya ring Catur Pate atau lebuh di halaman rumah seperti pasupati pada senjata-senjata, supaya terhindar dari godaan Sang Kala Tiga. Melaksanakan caru di rumah tangga : Di natar rumah, di natar sanggah dan di muka pekarangan rumah Dihayat oleh anggota keluarga / manusia : banten pabyakala, prayascita dan sesayut untuk mendapat kesuksesan dalam perjuangan hidup sekala niskala (lahir bathin). Nilai Filsafatnya :. bertahan memegang ketenangan, kesabaran dan kesucian lahir bathin untuk menghadapi godaan Sang Bhuta Amangkurat, 4. Budha Kliwon Dungulan disebut dengan Galungan Keistimewaan hari Galungan ini yaitu persembahan yadnya ditujukan kepada Sang Hyang Widhi, Dewa, Pitara termasuk alatalat yang telah membantu kehidupan manusia seperti : alat-alat pertanian, industri, keterampilan dan sebagainya, dihaturkan sesajen sebagai cetusan rasa terima kasih bahwa semua itu telah mampu membantu kehidupan umat manusia. Sarana upakara dihaturkan pada pelinggih / pelinggih utama , pada pelinggih yang

kecil (ulun sawah/ ladang, tuhu dan sebagainya), untuk para gumatap-gumitip di rumah, sawah dan sebagainya), untuk di pesambyangan / pamaruman serta banten pada penjor dihaturkan kepada Bhatara di Gunung Agung. Dilengkapi dengan asap dupa harup (asep), dibiarkan semalam dan semuanya dijejerkan sampai besok pagi Nilai Filsafatnya : hari ini merupakan hari bergembira, karena tercipta fikiran yang jernih dan tenang setelah menghadapi ujian lahir bathin dari Sang Butha Galungan atau dihubungkan dengan kemenangan Dharma melawan Adharma 5. Wrhaspati Umanis Dungulan disebut dengan Umanis Galungan yang merupakan hari nyarinin Galungan. Wrhaspati Umanis Dungulan disebut dengan Umanis Galungan yang merupakan hari nyarinin Galungan. Pada hari inilah para anggota keluarga melila cita, saling kunjung-mengunjungi untuk saling maaf memafkan serta diadakan Ngelawang. 6. Sukra Pahing galungan disebut Pahing Galungan, yaitu melakukan kewaspadaan dalam kesucian bathin. 7. Saniscara Pon Dungulan disebut Pemaridan Guru,. Saniscara Pon Dungulan disebut Pemaridan Guru, pada hari ini umat melaksanakan tirtha Gocara. Nilai Filsafatnya : hari ini yaitu hari ngeluhurnya bhatara kabeh dengan menganugrahkan

kesejahteraan di alam ini.. Maka manusia harus menerima kemurahan dari Tuhan dan keadilannya berdasarkan karma dari masing-masing orang. e. Pada Wuku Kuningan
Adapun rincian upacara pada Wuku Kuningan yaitu :

1. Redite Wage Kuningan disebut Ulihan, kembalinya Dewa dan Pitara ke Kahyangan. Nilai Filsafatnya :.mengenang jasa-jasa para leluhur yang telah mendahului kita, dengan sujud bhakti dan syukur. 2. Coma Kliwon Kuningan disebut Pemacekan Agung,

Nilai Filsafatnya : hari ini merupakan hari panjatkan tekad yang baik di tengah-tengah kesucian bathin (Pacek = tancapkan : dalam arti panjatkan tekad). 3. Budha Pahing Kliwon, yaitu hari turunnya Dewa Wisnu sebagai Dewa Pemelihara Dunia. Nilai Filsafatnya : bersyukur atas segala hasil yang telah diberikan oleh Dewa Wisnu sebagai Dewa Pemelihara. 4. Sukra Wage Kuningan, disebut penampahan yaitu untuk mempersiapkan Upacara Hari Raya Kuningan. Nilai Filsafat dan tata susilanya : dalam sloka disebutkan janganlah kita melalikan kebenaran, kewajiban (dharma), kemakmuran dan kewajiban terhadap Dewa-Dewa dan Pitara 5. Saniscara Kliwon Kuningan disebut Hari Raya Kuningan, Nilai Filsafatnya : untuk nyapuhang malaning idep dengan konsentrasi, meditasi demi kesejahteraan umat manusia. f. Budha Kliwon Pahang Budha Kliwon Pahang disebut dengan Pegat Uwakan atau Pegat Waraha yang merupakan akhir melakukan pebrataan Galungan. Nilai Filsafatnya : menutup dan mengakhiri tapa brata yang telah berjalan 42 hari terhitung dari Sugi Manek Jawa. 42 hari itu adalah Buncal Balung yaitu hari pantangan (pengekangan diri) dalam

pelaksanaan Upacara Yadnya.

2.6.

Pemasangan Penjor dan Ngelawang Sebagai Bagian dari Perayaan Galungan dan Kuningan Di dalam menyambut Hari Raya Galungan dan Kuningan dilakukan

banyak hal seperti penancapan penjor dan dilaksanakannya Ngelawang.

a. Penjor Galungan Perlu diperhatikan, setiap perayaan Galungan dan Kuningan disertai dengan pemasangan penjor, yang biasanya dipasang atau

ditancapkan pada hari Anggara Wage Dungulan (Penampahan Galungan) yaitu sore harinya. Penjor berasal dari dua suku kata yaitu Pen dan Jor. Pen berasal dari kata ipen-ipen atau upon-upon yang artinya hasil bumi sedangkan Jor yaitu dari kata enjorin yang artinya membagi-bagikan yang Hiasan atau perlengkapan dari penjor adalah segala jenis jajan yang dibuat untuk upakara serta segala jenis hasil sawah ladang sperti ketela, jagung, kelapa, padi, pisang, uang 11 kepeng (rupiah) dan dipuncaknya diisi sampian penjor lengkap dengan pelawa, porosan dan bunga, selembar kain putih, kuning, hitam serta dilengkapi dengan sesajen yang dipersembahkan kepada Bhatara Giri Putri yang bersemayam di Gunung Agung. Penjor merupakan perlambang dari Gunung Udayana / Tohlangkir ( Gunung Agung) yang merupakan sebab timbulnya kemakmuran. Penancapan penjor merupakan wujud ucapan terima kasih dan syukur angagyubagia atas hasil bumi yang dianugrahkan-Nya sehingga kita hidup karenanya. Hiasan buah pada penjor berasal dari dalam tanah, bergantungan diudara dan berada di atas pohon yaitu untuk menghormati dan memuliakan Dewa Ibu Pertiwi, Dewa bapa Angkasa, Dewa Angin atau Iswara dan Tri Buana. Bila Galungan bertepatan dengan hari Purnama atau disebut dengan Galungan Nadi, maka penjor ditancapkan disertai dengan lampu dan dinyalakan. Perlu diketahui, bahwa penjor yang dipakai dan dibuat pada waktu lain dari upacara agama bukan merupakan perlambang dari Gunung Agung tetapi merupakan pepinggiran. Penjor Galungan diturunkan pada Budha Kliwon Pahang ( Pegat Uwakan)

b. Ngelawang Selain pemasangan penjor pada penyambutan hari Raya Galungan dan Kuningan juga dilaksanakan Ngelawang yang

dilaksanakan biasanya pada hari Wrhaspati Umanis Dungulan (Umanis Galungan). Ngelawang merupakan tari yang bersifat wali seperti Barong, Telak dan lain sebagainya yang merupakan mistik untuk memindahkan kekuatan buruk yang ditimbulkan oleh Bhuta Kala.

BAB IV PENUTUP

Walaupun panjang lebar yang dijelaskan oleh penulis, namun Galungan dan Kuningan masih belum dapat terinci dengan sempurna, karena kekurangan yang dimiliki oleh si penulis. Namun penulis mengharapkan makalah ini dapat berguna baik bagi penulis sendiri, untuk terus mencari lebih dalam seluk beluk Galungan dan Kuningan sehingga makalah atau karya serta pengetahuan yang dibuat penulis bertambah lengkap lagi, selain itu juga penulis mengharap makalah ini dapat berguna bagi pembaca.

4.1. Kesimpulan Dari panjang lebar yang penulis utarakan di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa : 1. Galungan dan Kuningan merupakan hari suci atau hari raya Agama Hindu yang dirayakan berdasarkan pawukon yang jatuh setiap enam bulan (210 hari) sekali. Galungan jatuh pada hari Budha Kliwon Dungulan yang dirayakan sebagai pawedalan jagat atau Oton Gumi. Sedangkan, Hari Raya Kuningan jatuhnya sepuluh hari setelah Hari Raya Galungan yaitu pada Hari Saniscara Kliwon Kuningan. Perayaan Galungan dan Kuningan berjarak sepuluh (10) hari, namun persiapan sebagai rentetannya dimulai dari Tumpek Wariga sampai pada Budha Kliwon Pahang (pegat uwakan).

2. Galungan berasal dari kata Ngeluungang atau kearah yang lebih baik sehingga Galungan dapat diartikan sebagai perayaan kemenangan Dharma (kebajikan) melawan Adharma keangkara murkaan. Perayaan kemenangan Dharma melawan Adharma itu dikaitkan dengan cerita Kemenangan Dewa Indra dalam mengalahkan kejahatan Maya Denawa. Kuningan yang dimanifestasikan dengan hari kemenangannya. 3. Pada intinya perayaan rincian / rentetan Hari Raya Galungan dan Kuningan itu memiliki makna atau arti agar kita umat manusia tetap menjaga fikiran, perbuatan dan perkataan agar tidak tergoda atau terhasut oleh Sang Hyang Kala Tiga Wisesa. 4. Di dalam menyambut Hari Raya Galungan dan Kuningan dilakukan banyak hal diantaranya penancapan penjor dan dilaksanakannya Ngelawang. 5. Didalam perayaan Galungan dan Kuningan, umat Hindu menghaturkan puji syukur dan memohon keselamatan, kesehatan lahir bathin tidak hanya untuk satu orang saja tetapi bagi semua umat manusia kepada Sang Hyang Widhi, para Dewa, Bhatara-Bhatari dan para Pitara.

4.2. Saran-saran Dalam kesempatan yang baik ini penulis ingin menyampaikan saransaran kepada pembaca yaitu : c. Kita sebagai pemeluk Agama Hindu, marilah sarining Galungan itu kita lakukan sebagai bekal dalam melaksanakan tugas dan kewajiban kita,

agar segala usaha yang suci dengan didasarkan penuh keyakinan penuh gairah dan mantap dapat bermanfaat. d. Berfoya-foya yang berlebihan, mabuk-mabukan serta penjudian dan perilaku negatif lainnya sebenarnya bertentangan dengan ajaran Agama kita, bahkan menyimpang dari makna Galungan dan Kuningan. Hari Raya ini sering digunakan sebagai waktu untuk Berfoya-foya yang berlebihan, mabuk-mabukan serta penjudian dan perilaku negatif lainnya, marilah hal itu kita hapuskan hal itu demi terciptanya cita-cita yang benar sesuai dengan makna Galungan dan Kuningan yaitu ketentraman manusia lahir dan bathin. e. Alangkah baiknya, dalam kita melaksanakan perayaan upacara atau hari raya agama kita harus mengetahui asal-usul atau seluk-beluknya secara detail supaya kita lebih yakin pada apa yang kita lakukan, tidak hanya berpegang pada Gugon Tuwon.

DAFTAR PUSTAKA

Bintang Dhanu Manik Mas, Rsi. Mitologi Hari Raya Galungan dan Kuningan. Yayasan Diah Tantri. Jakarta ; 2004 Suandra, I Made. Cundarigama. PT. Upada Sastra. Denpasar ; 1992 Karmini, Ni Wayan dkk. Agama Hindu untuk SMU kelas 2. Ganeca. Jakarta Selatan ; 2003 Sirikanden. Galungan. Percetakan dan Toko Buku Ria. Denpasar ; Koran ; Canang Sari

Anda mungkin juga menyukai