Anda di halaman 1dari 2

NAMA: Syadiwaradsa abilladirti

KELAS: VIID

NO. ABSEN: 35

SUNAN DRAJAT

Pondok Pesantren (Ponpes) Sunan Drajat merupakan salah satu pesantren terbesar di Indonesia. Jumlah
santri yang menimba ilmu di ponpes yang berada diDesa Banjarwati, Kecamatan Paciran itu mencapai
ribuan. Mereka berasal dari seluruh penjuru tanah air.

Nama ponpes ini diambil dari salah satu wali songo, yakni Sunan Drajat. Wali Songo merupakan para
ulama yang menyebarkan Islam di bumi nusantara, utamanya di Pulau Jawa. Sunan Drajat diperkirakan
lahir pada tahun 1470 M. Beliau adalah putra bungsu Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila. Ayah dari
Sunan Drajat bernama Raden Rahmat yang terkenal dengan Sunan Ampel, salah seorang Wali Songo
yang memiliki wilayah dakwah di daerah Ampel Denta, Surabaya.

Sementara itu, ibu dari Sunan Drajat bernama Nyai Ageng Gede Manila atau Candrawati, putri Arya Teja
IV, seorang adipati Tuban yang masih mempunyai hubungan nasab dengan Ronggolawe. Semasa muda,
Sunan Drajat terkenal dengan sebutan Raden Qasim, Qosim, atau Kasim. Raden Qosim adalah Adik Nyai
Patimah, Nyai Wilis, Nyaitaluki dan Raden Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang). Artinya, nasab Sunan
Drajat sama dengan Sunan Bonang yang berasal dari Sunan Ampel yakni berdarah Champa-Samarkand-
Jawa karena Sunan Ampel adalah putra Ibrahim Asmarakandi.

Dakwah yang dilakukan oleh Raden Qosim atau Sunan Drajat pada mulanya dilakukan atas petuah
Sunan Ampel. Yaitu berdakwah ke pesisir pantai Gresik, hingga akhirnya menetap di wilayah Drajat
Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Untuk menempati wilayah tersebut, Raden Qosim dengan
diantar oleh Sunan Bonang menghadap Sultan Demak untuk meminta izin bertempat tinggal di kawasan
itu. Sultan Demak I tidak hanya mengizinkan untuk bertempat tinggal, melainkan memberikannya.
Keputusan pemberian tanah perdikan ditetapkan empat tahun kemudian, yaitu pada tahun Jawa 1486.

Sunan Drajat dikenal sebagai penyebar Islam yang berjiwa sosial tinggi dan sangat memperhatikan nasib
kaum fakir miskin serta lebih mengutakan kesejahteraan sosial masyarakat. Setelah memberikan
perhatian penuh terhadap kondisi masyarakat, barulah Sunan Drajat memberikan pemahaman tentang
Islam. Ajarannya lebih menekankan pada empati dan etos kerja berupa kedermawanan, pengentasan
kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial dan gotong royong.

Sunan Drajat banyak menggunakan ajaran yang luhur dan tradisi lokal untuk menyiarkan agama Islam.
Salah satu buktinya adalah adanya artefak yang bertuliskan ajaran catur piwulang di kompleks makam
Sunan Drajat. Artefak tersebut mengajarkan tentang cara hidup bersama sebagai makhluk sosial. Yakni
saling menghargai dan membantu sesama. Selain itu, Sunan Drajat juga memiliki keahlian dalam bidan
seni lainnya, hal ini dibuktikan dengan adanya seperangkat gamelan, yang diberi nama : ‘Singo
Mengkok’.
Ada sebuah alkisah, setelah belajar di Ampel Denta, Sunan Drajat memperoleh tugas dakwah pertama
dari Sunan Ampel untuk memusatkan penyebaran Islam di daerah pesisir Gresik. Namun di tengah
perjalanan dari Surabaya menggunakan perahu, beliau dihantam oleh ombak yang cukup besar sehingga
membuat perahunya tenggelam. Beliau bertahan dengan berpegangan pada dayung perahu, yang pada
akhirnya diselamatkan oleh ikan cucut dan ikan talang (cakalang).

Dengan menaiki kedua ikan tersebut, akhirnya Sunan Drajat berhasil mendarat di sebuah pesisir yang
dikenal sebagai desa Jelak, Banjarwati. Menurut beberapa sumber, kejadian tersebut terjadi sekitar
tahun 1485 M. Di desa Jelak tersebut, beliau mendapat sambutan yang hangat oleh tetua kampung yaitu
Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar yang diyakini sudah masuk Islam dengan bantuan pendakwah
yang berasal dari Surabaya.

Sunan Drajat kemudian menetap di desa Jelak dan menikah dengan putri dari Mbah Mayang Madu yaitu
Nyai Kemuning. Beliau kemudian mendirikan surau yang akhirnya berkembang menjadi sebuah
pesantren untuk mengaji ratusan penduduk disana.Sunan Drajat berhasil mengubah desa Jelak yang
tadinya hanyalah kampung kecil dan terpencil menjadi desa yang berkembang dan ramai. Nama desa
tersebut akhirnya diubah menjadi desa Banjaranyar.

Setelah lebih dari setahun di Jelak, Sunan Drajat akhirnya memutuskan untuk mencari tempat dakwah
lain yang lebih strategis. Beliau kemudian berpindah sekitar satu kilometer ke arah selatan dan
membuka lahan baru yang masih berupa hutan belantara. Untuk menempati lahan tersebut, beliau
bersama dengan Sunan Bonang meminta izin kepada Sultan Demak I dan mendapatkan ketetapan
pemberian tanah tersebut tahun 1486 M.

Hutan yang berada di pegunungan tersebut dianggap sangat strategis karena jauh dari banjir saat musim
hujan. Selain itu, pemilihan gunung juga dipercaya dekat dengan Allah sebagaimana Nabi Musa dan Nabi
Muhammad yang mendapatkan wahyu untuk pertama kalinya. Menurut beberapa kisah, selama
pembukaan lahan, banyak sekali makhluk halus yang marah, meneror warga, serta menyebarkan
penyakit, namun bisa diatasi oleh Sunan Drajat.

Selama 36 tahun, Sunan Drajat menghabiskan sisa hidupnya untuk mengajarkan Islam di Ndalem Duwur.
Beliau wafat sekitar tahun 1522 M dan dimakamkan di perbukitan Drajat, Paciran, Lamongan. Makam
beliau terletak di posisi paling tinggi dan berada di belakang. Sementara itu, di dekat makam terdapat
museum peninggalan Sunan Drajat, termasuk kumpulan tembang pangkur, gamelan, dan juga dayung
perahu yang pernah menyelamatkannya.

Kompleks pemakaman terbagi menjadi tujuh halaman yang secara keseluruhan terdapat di perbukitan.
Berbagai pemugaran di komplek makan Sunan Drajat diberikan langsung oleh pemerintah setempat
untuk mendukung pelestarian warisan sejarah tersebut. Ada pintu Gapura Paduraksa dengan hiasan
cungkup, serta pagar kayu bermotif sulur dan teratai yang mampu menguatkan kesan lambang sebuah
gunung. Selain itu ada juga pembangunan kembali Masjid Sunan Drajat.

Anda mungkin juga menyukai