Anda di halaman 1dari 48

Sunan Bonang

Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban. Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang. Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan

Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).

Sunan Ampel

Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang). Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M. Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina." Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Drajat

Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M. Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog --pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan. Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang'. Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.

Sunan Giri

Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya--seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma) Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai. Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata. Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa. Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18. Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau. Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.

Sunan Gunung Jati

Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii). Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

Sunan Kalijaga

Dialah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap

pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.

Sunan Kudus

Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali --yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

Maulana Malik Ibrahim


(Wafat 1419)

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi. Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Muria

Ia putra Dewi Saroh --adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilanketerampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.

Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

\Kisah Walisongo Jika kita mempelajari sejarah penyebaran kebudayaan islam di nusantara khususnya pulau jawa, maka tidak lepas dari kisah-kisah para sembilan walisongo. Karena Walisongo merupakan simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Pada era tersebut, merupakan masa/era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya nusantara yang kemudian digantikan dengan kebudayaan islam. Pelopor atau Tokoh pendahulu walisongo yaitu Syekh Jumadil Qubro yang merupakan anak dari seorang Putri Kelantan Tua/Putri Saadong II yaitu Puteri Selindung Bulan.

Selain walisongo, sebenarnya banyak tokoh-tokoh yang ikut berperan aktif dalam penyebaran islam di nusantara, namun peranan walisongo sangat begitu besar dibanding tokoh-tokoh yang lain, sehingga membuat para walisongo memiliki nilai plus dan lebih banyak disebut namanya dalam sejarah penyebaran islam di Jawa. Dalam kisah-kisah walisongo, disebutkan bahwa para sembilan wali tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru- murid. Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai tabib bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai paus dari Timur hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa yakni nuansa Hindu dan Budha.
Pesan Sponsor

Untuk mempelajari secara lengkap tentang sejarah walisongo serta kisah-kisah para sembilan walisanga, sengaja duniabaca.com kutip langsung dari wikipedia dan berbagai sumber lain, sebagai penambah ilmu pengetahuan kita tentang dunia sejarah.

Daftar Isi KISAH DAN SEJARAH WALISONGO LENGKAP


Pengertian/Arti Walisongo Sejarah Walisongo Tokoh Pendahulu Walisongo Teori Keturunan Hadramaut Teori Keturunan Cina Sumber Tertulis Refferensi

ARTI / PENGERTIAN WALISONGO [ Kembali ke daftar isi ] Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat. Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu, majelis dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad AlMaghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Israil (dari Champa), Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana Aliyuddin, dan Syekh Subakir. Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu: 1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim 2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat 3. Sunan Drajat atau Raden Qasim 4. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim 5. Sunan Kudus atau Jafar Shadiq 6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin 7. Sunan Muria atau Raden Umar Said 8. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah 9. Sunan Kalijaga atau Raden Said Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan. SEJARAH WALISONGO / WALISANGA MENURUT PERIODE WAKTU [ Kembali ke daftar isi ]

Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan,[1] majelis dakwah yang secara umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun dalam hubungan gurumurid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya:

Angkatan ke-1 (1404 1435 M), terdiri dari Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Israil (wafat 1435), Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435), Maulana Hasanuddin, Maulana Aliyuddin, dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir. Angkatan ke-2 (1435 1463 M), terdiri dari Sunan Ampel yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (wafat 1463), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus yang tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Israil, Sunan Gunung Jati yang tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin (wafat 1462), Maulana Aliyuddin (wafat 1462), dan Syekh Subakir (wafat 1463). Angkatan ke-3 (1463 1466 M), terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana Muhammad Al-Maghrabi (wafat 1465), Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang yang tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun 1462 menggantikan Maulana Aliyyuddin, dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir. Angkatan ke-4 (1466 1513 M, terdiri dari Sunan Ampel (wafat 1481), Sunan Giri (wafat 1505), Raden Fattah yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Fathullah Khan (Falatehan) yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad AlMaghrabi, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Kalijaga (wafat 1513). Angkatan ke-5 (1513 1533 M), terdiri dari Syekh Siti Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel (wafat 1517), Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak iparnya Sunan Giri, Raden Fattah (wafat 1518), Fathullah Khan (Falatehan), Sunan Kudus (wafat 1550), Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang (wafat 1525), Sunan Derajat (wafat 1533), dan Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga. Angkatan ke-6 (1533 1546 M), terdiri dari Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan ayahnya Syekh Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540 menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan Trenggana yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah Khan (wafat 1573), Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati (wafat 1569), Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan Bonang, Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan Muria (wafat 1551). Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan Prapen yang tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto

yang tahun 1546 menggantikan ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung Jati, Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan, Sunan Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria.

Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan Sedayu (wafat 1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya Sunan Prapen, Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549 menggantikan Sultan Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin, Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan Sunan Mojoagung, Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).

SYEKH JUMADIL QUBRO (TOKOH PENDAHULU WALISONGO) [ Kembali ke daftar isi ] Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra bin Husain Jamaluddin bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Jafar Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya. TEORI KETURUNAN HADRAMAUT [ Kembali ke daftar isi ] Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman): # L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 18841886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans larchipel Indien (1886)[5] mengatakan: Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini

disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW). # Van Den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204): Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya. Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya. # Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafii, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi. # Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafii bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafii Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapatpendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafii dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait. # Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya. TEORI KETURUNAN CINA [ Kembali ke daftar isi ] Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia. Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.

Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi. Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan. SUMBER TERTULIS TENTANG WALISONGO [ Kembali ke daftar isi ] 1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi. 2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alw b. Thir b. `Abdallh al-Haddd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: AlMaktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut. 3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik. Refferensi [ Kembali ke daftar isi ] id.wikipedia.org dan berbagai sumber lain.

Senen, 19 Mar 2012 Kata Bijak Hari Ini:

Perbuatan-perbuatan salah adalah biasa bagi manusia, tetapi perbuatan pura-pura itulah sebenarnya yang menimbulkan permus

Rumah Bubungan Tinggi


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari

Rumah Bubungan Tinggi di Desa Telok Selong.

Ruang Anjung bagian belakang dengan atap jurai disebut Anjung Jurai terdapat di Desa Telok Selong.

Pola umum denah rumah Bubungan Tinggi.

Kandang Rasi motif bunga dan gelang pada Rumah Bubungan Tinggi di Desa Telok Selong.

Hiasan samping atas ruang Palatar atau Pamedangan pada Rumah Bubungan Tinggi di Desa Telok Selong. Rumah Bubungan Tinggi adalah salah satu rumah

tradisional suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan dan bisa dibilang merupakan ikonnya Rumah Banjar karena jenis rumah inilah yang paling terkenal karena menjadi maskot rumah adat khas provinsi Kalimantan Selatan.

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Ciri-Ciri 2 Konstruksi
o o

2.1 Bagian Konstruksi Pokok 2.2 Ruangan

3 Ukuran 4 Tata ruang dan kelengkapan 5 Rujukan

[sunting] Ciri-Ciri
Menurut Tim Depdikbud Kalsel, ciri-cirinya :
1. Atap Sindang Langit tanpa plafon 2. Tangga Naik selalu ganjil 3. Pamedangan diberi Lapangan kelilingnya dengan Kandang Rasi berukir

[sunting] Konstruksi
Konstruksi rumah adat Banjar atau rumah ba-anjung dibuat dengan bahan kayu. Faktor alam Kalimantan yang penuh dengan hutan rimba telah memberikan bahan konstruksi yang melimpah kepada mereka, yaitu kayu. Sesuai dengan bentuk serta konstruksi bangunan rumah adat Banjar tersebut maka hanya kayulah yang merupakan bahan yang tepat dan sesuai dengan konstruksi bangunannya.

[sunting] Bagian Konstruksi Pokok


Konstruksi pokok dari rumah adat Banjar dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu :
1. Tubuh bangunan yang memanjang lurus ke depan, merupakan bangunan induk. 2. Bangunan yang menempel di kiri dan kanan disebut anjung. 3. Bubungan atap yang tinggi melancip disebut Bubungan Tinggi. 4. Bubungan atap yang memanjang ke depan disebut atap Sindang Langit 5. Bubungan atap yang memanjang ke belakang disebut atap Hambin Awan).

Tubuh bangunan induk yang memanjang terus ke depan dibagi atas ruangan-ruangan yang berjenjang lantainya.

[sunting] Ruangan
Ruangan-ruangan yang berjenjang lantainya ialah :
1. Palatar (pendopo atau teras), ruangan depan yang merupakan ruangan rumah yang pertama

setelah menaiki tangga masuk. Ukuran luas ruangan ini adalah 7 x 3 meter. Palatar disebut juga Pamedangan.
2. Panampik Kacil, yaitu ruangan yang agak kecil setelah masuk melalui Lawang Hadapan

yaitu pintu depan. Permukaan lantainya lebih tinggi daripada lantai palatar. Ambang lantai disini disebut Watun Sambutan. Luas ruangan ini adalah 7 x 3 meter.
3. Panampik Tangah yaitu ruangan yang lebih luas dari panampik kacil. Lantainya juga lebih

tinggi dari ruang sebelumnya. Ambang lantai ini disebut Watun Jajakan.
4. Panampik Basar atau Ambin Sayup, yaitu ruangan yang menghadapi dinding tengah

(Banjar: Tawing Halat). Permukaan lantainya lebih tinggi pula dari lantai sebelumnya. Ambang Lantainya disebut WatunJajakan, sama dengan ambang lantai pada Panampik Tangah. Luas ruangan 7 x 5 meter.
5. Palidangan atau Ambin Dalam, yaitu ruang bagian dalam rumah yang berbatas dengan

panampik basar. Lantai palidangan sama tinggi dengan lantai panampik basar (tapi ada juga beberapa rumah yang membuat lantai panampik basar lebih rendah dari lantai palidangan). Karena dasar kedua pintu yang ada di tawing halat tidak sampai ke dasar lantai maka watun di sini disebut Watun Langkahan. Luas ruang ini 7 x 7 meter. Di dalam ruangan Palidangan ini terdapat tiang-tiang besar yang menyangga bubungan tinggi (jumlahnya 8 batang). Tiang-tiang ini disebut Tihang Pitugur atau Tihang Guru.
6. Panampik Dalam atau Panampik Bawah, yaitu ruangan dalam yang cukup luas dengan

permukaan lantai lebih rendah daripada lantai palidangan dan sama tingginya dengan permukaan lantai panampik tangah. Ambang lantai ini disebut pula dengan Watun Jajakan. Luas ruang 7 x 5 meter.
7. Padapuran atau Padu, yaitu ruangan terakhir bagian belakang bangunan. Permukaan

lantainya lebih rendah pula dari panampik bawah. Ambang lantainya disebut Watun Juntaian. Kadang-kadang Watun Juntaian itu cukup tinggi sehingga sering di tempat itu diberi tangga untuk keperluan turun naik. Ruangan padapuran ini dibagi atas bagian atangan (tempat memasak) dan salaian (tempat mengeringkan kayu api), pajijiban dan pagaduran (tempat mencuci piring atau pakaian). Luas ruangan ini adalah 7 x 3 meter.

[sunting] Ukuran

Tampak Belakang Rumah Adat Banjar Tentang ukuran tinggi, lebar dan panjang setiap rumah adat Banjar pada umumnya relatif berbedabeda. Hal ini disebabkan oleh karena ukuran pada waktu itu didasarkan atas ukuran depa atau jengkal. Ukuran depa atau jengkal tersebut justru diambil dari tangan pemilik rumah sendiri; sehingga setiap rumah mempunyai ukuran yang berbeda. Ada kepercayaan di sana yang mengatakan bahwa setiap ukuran haruslah dengan hitungan yang ganjil bilangan ganjil. Penjumlahan ganjil tersebut tidak saja terlihat di dalam hal ukuran panjang dan lebar, tapi juga sampai dengan jumlah hiasan tangga, anak tangga, layang-layang puncak dan lain-lain. Jikalau diukur, maka panjang bangunan induk rumah adat Banjar pada umumnya adalah 31 meter sedang lebar bangunan induk adalah 7 meter dan lebar anjung masing-masing 5 meter. Lantai dari permukaan tanah sekitar 2 meter yaitu kolong di bawah anjung dan palidangan; sedangkan jarak lantai terendah rata-rata 1 meter, yaitu kolong lantai ruang palatar.

[sunting] Tata ruang dan kelengkapan

Pintu belakang dari Rumah Banjar Tata ruang rumah tradisional Bubungan Tinggi membedakan adanya tiga jenis ruang yaitu ruang terbuka, setengah terbuka dan ruang dalam. Ruang terbuka terdiri dari pelataran atau serambi, yang dibagi lagi menjadi surambi muka dan surambi sambutan. Ruang setengah terbuka diberi pagar rasi disebut Lapangan Pamedangan. Sedangkan ruang dalam dibagi menjadi Pacira dan Panurunan (Panampik Kacil), Paluaran (Panampik Basar), Paledangan (Panampik Panangah) yang terdiri dari Palidangan Dalam, Anjung Kanan dan Anjung Kiwa, serta Panampik Padu (dapur). Secara ringkas berikut ini akan diuraikan situasi ruang dan kelengkapannya;

Surambi

Di depan surambi muka biasanya terdapat lumpangan tempat air untuk membasuh kaki. Pada surambi muka juga terdapat tempat air lainnya untuk pembasuhan pambilasan biasanya berupa guci.

Pamedangan

Ruangan ini lantainya lebih tinggi, dikelilingi pagar rasi. Biasanya pada ruang ini terdapat sepasang kursi panjang.

Pacira dan Panurunan (Panampik Kacil)

Setelah masuk Pacira akan didapatkan tanggui basar dan tanggui kacil di arah sebelah kiri, sedangkan arah sebelah kanan terdapat pengayuh, dayung, pananjak dan tombak duha. Di sayap kanan ruangan terdapat gayung, sandal dan terompah tergantung di Balabat Panurunan. Sebagai perlengkapan penerangan dalam ruangan ini terdapat dua buah lampu gantung.

Paluaran (Panampik Basar)

Ruangan ini cukup besar digunakan untuk berbagai kegiatan keluarga dan kemasyarakatan apabila masih kekurangan ruang Tawing Halat yang memisahkan dengan Palidangan dapat dibuka. Di bagian tengah di depan Tawing Halat ini terletak bufet. Di atasnya agak menyamping ke kiri dan ke kanan terdapat gantungan tanduk rusa. Di tengah ruangan terdapat dua buah lampu gantung. Lantainya diberi lampit dan kelengkapan bergerak seperti paludahan, kapit dan gelas, parapen, rehal.

Palidangan (Panampik Panangah)

Ruangan ini terdiri dari Paledangan Dalam dan Anjung Kiwa - Anjung Kanan. Fungsi ruang sama dengan Paluaran, namun biasanya diperuntukkan bagi kaum wanita. Di sini terdapat kelengkapan lemari besar, lemari buta, kanap, kendi. Lantainya diberi hambal sebagai alas duduk.

Anjung Kanan - Anjung Kiwa

Ruang Anjung Kanan merupakan ruang istirahat yang dilengkapi pula dengan alat rias dan perlengkapan ibadah. Sedangkan Anjung Kiwa merupakan tempat melahirkan dan tempat merawat jenazah. Di sini juga di beri perlengkapan seperti lemari, ranjang, meja dan lain-lain.

Padu (dapur)

Di samping untuk tempat perlengkapan masak dan kegiatannya, ruang padu ini juga digunakan untuk menyimpan bahan makanan. Perlengkapan umum yang terdapat di dalamnya adalah dapur, rak dapur, pambanyuan, lemari, tajau, lampit dan ayunan anak. Bentuk arsitektur dan pembagian ruang rumah tradisional Bubungan Tinggi mempunyai kesamaan prinsip antara satu dengan lainnya, dengan perbedaan-perbedaan kecil yang tidak berarti. Dari sini dapat dilihat bahwa rumah tradisional Bubungan Tinggi tersebut mempunyai keterikatan dengan nilai tradisional masyarakatnya. Jadi meskipun pada awalnya bentuk tersebut dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan fungsi dan adaptasi terhadap lingkungan, tetapi karena sifatnya yang berulang-ulang kemudian dari bentuk fungsional tersebut berubah menjadi bentuk yang tradisional.

[sunting] Rujukan

1. Imam Santoso, gambar konstruksi Type Rumah Banjar Bubungan Tinggi Baruh Kambang,

Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru Kalsel, 11 Februari 1984.


2. Budiarti, gambar konstruksi Rumah Adat Banjar Bubungan Tinggi Habirau Negara, Proyek

Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Kalimantan Selatan, Kanwil Depdikbud Kalsel, 03-09-1994. [sembunyikan]
lbs

Rumah Banjar
Ambin Sayup Anjung Anjung Jurai Anjung Surung Balai Bidukun Balai Bini Balai Laki Balai Seba Bubungan Tinggi Dahi lalongkang Dahi lawang Gagalungan Galadak Hambin Awan Jamang Kandang Rasi Konsol Padapuran LayangLayang Palatar Palidangan (Ambin Dalam) Paluaran Pamedangan Panampik Dalam Panampik Kacil (Panurunan) Panampik Tangah Panampik Basar Panampik Panangah Pilis Pisang Sasikat Rumah Bangun Gudang Rumah Bubungan Tinggi Rumah Cacak Burung Rumah Gajah Baliku Rumah Gajah Manyusu Rumah Joglo Gudang Rumah Lanting Rumah Tadah Alas Rumah Palimasan Rumah Palimbangan Sindang Langit Sungkul Atap Sungkul Tangga Surambi Sambutan Tatah Hujung Panapih Tatah Hujung Papilis Tangga Kembar Siam Tawing Hadapan Tawing Halat Tawing Layar Tungkaran

Kategori:

Rumah Banjar

Gajah Baliku
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (Dialihkan dari Rumah Gajah Baliku) Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari

maket Rumah Gajah Baliku.

Fasad Rumah Gajah Baliku di Desa Telok Selong.

Pola Umum Denah Rumah Gajah Baliku Rumah Gajah Baliku adalah salah satu rumah tradisional suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Rumah Gajah Baliku mimiliki kemiripan dengan Rumah Bubungan Tinggi, tetapi ada sedikit perbedaan yaitu pada Ruang Paluaran (ruang tamu) pada Rumah Bubungan Tinggi keadaan lantainya berjenjang sedangkan pada Rumah Gajah Baliku keadaan lantai ruang Paluaran tidak berjenjang. Hal tersebut karena Rumah Bubungan Tinggi untuk bangunan keraton/ndalem Sultan yang memiliki tata nilai ruang yang bersifat hierarkis. Pada Rumah Gajah Baliku, atap ruang Paluaran/Ruang Tamu tidak memakai atap sengkuap (= Atap Sindang Langit) kecauali emper teras paling depan dan memakai kudakuda dengan atap perisai (= Atap Gajah) dengan keadaan lantai ruangan datar saja sehingga menghasilkan bentuk bangun ruang yang dinamakan Ambin Sayup. Sedangkan pada kedua anjung sama-sama memakai atap

Pisang Sasikat (atap sengkuap).

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Tim Muskala Depdikbud Kalsel 2 Ruang 3 Rujukan 4 Galeri

[sunting] Tim Muskala Depdikbud Kalsel


Menurut Tim Muskala Depdikbud Kalsel yang pernah mengadakan penelitian rumah Gajah Baliku menyatakan bahwa :
1. Atap jurai, hidung bapicik bentuk muka (maksudnya atap perisai) 2. Ambin terbuka kiri/kanan anjung 3. Atap bubungan tinggi 4. Atap sindang langit tidak ada kecuali pada kedua anjung 5. Panampik Kacil tidak ada, yang ada hanya Panampik Basar

Dalam literatur lainnya Tim Muskala Depdikbud Kalsel menyatakan bahwa : Bagian-bagiannya sama dengan rumah Bubungan Tinggi. Yang berbeda adalah atap yaitu
1. Atap bubungan tingginya sama 2. Atap kedua anjung, atap sindang langit (maksudnya atap sengkuap) 3. Atap panampik kacil diganti dengan atap jurai dengan muka hidung bapicik (maksudnya

atap perisai)
4. Atap Panampik Padu beratap jurai.

[sunting] Ruang
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
1. Surambi Sambutan 2. Palatar/Pamedangan 3. Ambin Sayup/Paluaran 4. Palidangan/Panampik Panangah diapit oleh Anjung Kanan dan Anjung Kiwa 5. Padapuran/Padu

[sunting] Rujukan
1. Rumah Adat Banjar Gajah Baliku di Banjarmasin (Antasan Kecil), Depdikbud Kanwil

Kalsel, Bidang Muskala 1988.

2. Azan, Seminar Tata Ruang dan Karakteristik Rumah Tradisional Suku Banjar di

Kalimantan Selatan, Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro, Juni 1994.

[sunting] Galeri

Gajah Baliku yang dibangun di atas kontur lahan basah/persawahan.

Kandang Rasi pada Rumah Gajah Baliku di Desa Telok Selong.

Gajah Baliku yang modern merupakan Kediaman Resmi Wagub Kalsel. [sembunyikan]

l b s

Rumah Banjar
Ambin Sayup Anjung Anjung Jurai Anjung Surung Balai Bidukun Balai Bini Balai Laki Balai Seba Bubungan Tinggi Dahi lalongkang Dahi lawang Gagalungan Galadak Hambin Awan Jamang Kandang Rasi Konsol Padapuran LayangLayang Palatar Palidangan (Ambin Dalam) Paluaran Pamedangan Panampik Dalam Panampik Kacil (Panurunan) Panampik Tangah Panampik Basar Panampik Panangah Pilis Pisang Sasikat Rumah Bangun Gudang Rumah Bubungan Tinggi Rumah Cacak Burung Rumah Gajah Baliku Rumah Gajah Manyusu Rumah Joglo Gudang Rumah Lanting Rumah

Tadah Alas Rumah Palimasan Rumah Palimbangan Sindang Langit Sungkul Atap Sungkul Tangga Surambi Sambutan Tatah Hujung Panapih Tatah Hujung Papilis Tangga Kembar Siam Tawing Hadapan Tawing Halat Tawing Layar Tungkaran

Kategori:

Rumah Banjar

Gajah Manyusu
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (Dialihkan dari Rumah Gajah Manyusu) Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari

Bangunan di sebelah kiri merupakan ruang padu dari Rumah Gajah Manyusu versi Museum dan Purbakala Depdikbud dengan dua ambin sayup yang seolah sedang menyusu ke bangunan induk, disayangkan bangunan ini telah dirobohkan pemkab Banjar.

Rumah Gajah Manyusu di Kelurahan Antasan Besar, Banjarmasin Tengah, Banjarmasin.

Rumah Gajah Manyusu di Kelurahan Pasayangan Selatan, Martapura. Pamedangan di depan hanya sebelah kanan.

Rumah Gajah Manyusu di Kelayan Dalam. Gajah Manyusu adalah salah satu rumah tradisional suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Pada rumah induk memakai atap perisai buntung dengan tambahan atap sengkuap (Sindang Langit) pada emper depan, sedangkan anjungnya memakai atap sengkuap (Pisang Sasikat) atau dapat pula menggunakan atap perisai. Nammun menurut Tim Muskala (Museum dan Purbakala) Depdikbud Kalsel, menyebutkan bahwa Rumah Gajah Manyusu : " Bentuk sampai dengan anjung sama dengan Gajah Baliku. Yang berbeda adalah adalah bagian padu. Panampik padu diberi dua buah Ambin Sayup yang bentuknya lebih kecil dari anjung dan lebih rendah letaknya". Ciri-cirinya :
1. Tubuh bangunan

induk memakai atap perisai buntung (bahasa Banjar : atap gajah hidung bapicik) yang menutupi serambi yang disebut pamedangan.
2. Pada teras

terdapat 4 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap Sindang Langit. Empat pilar penyangga emper depan (karbil) pada teras dapat diganti model konsol.
3. Pada Tawing

Hadapan terdapat tangga naik yang disebut Tangga Hadapan dengan posisi lurus ke depan.
4. Terdapat Serambi

yang disebut Pamedangan yang menggunakan pagar susur yang disebut Kandang Rasi. Serambi dapat dibuat berukuran kecil saja pada salah satu sudut.
5. Sayap bangunan

(anjung) memakai atap sengkuap yang disebut atap Pisang Sasikat seperti pada rumah Bubungan Tinggi.
6. Pada tipe lainnya

sayap bangunan yang disebut anjung

menggunakan model Anjung Surung seperti pada rumah Cacak Burung.

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Ruang 2 Keterangan 3 Rujukan 4 Pranala luar

[sunting] Ruang
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke belakang
1. Ruang terbuka/teras rumah yang disebut Surambi Sambutan 2. Ruang setengah terbuka/serambi atas yang disebut Pamedangan 3. Ruang Tamu yang disebut Ambin Sayup 4. Ruang Dalam yang disebut Palidangan diapit oleh Anjung terdiri dari Anjung Kanan dan

Anjung Kiwa
5. Pantry yang disebut Padapuran atau Padu

[sunting] Keterangan
"Rumah ini mempunyai ciri pada bentuk atap limas dengan hidung bapicik (atap mansart) pada bagian depannya. Anjung mempunyai atap Pisang Sasikat, sedang surambinya beratap Sindang Langit" (Tim Depdikbud, Rumah Adat Banjar dan Ragam Hiasnya, Proyek Rehabilitasi dan Perlusan Museum Kalsel, Depdikbud, 1977/1978).

[sunting] Rujukan
1. Tim Depdikbud, Rumah Adat Banjar dan Ragam Hiasnya, Proyek Rehabilitasi dan

Perlusan Museum Kalsel, Depdikbud, 1977/1978.


2. Azan, Seminar Tata Ruang dan Karakteristik Rumah Tradisional Suku Banjar di

Kalimantan Selatan, Juni 1994.

[sunting] Pranala luar

lbs

Peninggalan Tua Arsitektur Banjar yang mulai Punah (Type Gajah Manyusu) [sembunyikan]

Rumah Banjar

Ambin Sayup Anjung Anjung Jurai Anjung Surung Balai Bidukun Balai Bini Balai Laki Balai Seba Bubungan Tinggi Dahi lalongkang Dahi lawang Gagalungan Galadak Hambin Awan Jamang Kandang Rasi Konsol Padapuran LayangLayang Palatar Palidangan (Ambin Dalam) Paluaran Pamedangan Panampik Dalam Panampik Kacil (Panurunan) Panampik Tangah Panampik Basar Panampik Panangah Pilis Pisang Sasikat Rumah Bangun Gudang Rumah Bubungan Tinggi Rumah Cacak Burung Rumah Gajah Baliku Rumah Gajah Manyusu Rumah Joglo Gudang Rumah Lanting Rumah Tadah Alas Rumah Palimasan Rumah Palimbangan Sindang Langit Sungkul Atap Sungkul Tangga Surambi Sambutan Tatah Hujung Panapih Tatah Hujung Papilis Tangga Kembar Siam Tawing Hadapan Tawing Halat Tawing Layar Tungkaran

Artikel bertopik bangunan dan struktur ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya. Kategori:

Rumah Banjar

Kalimantan Selatan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari

Kalimantan Selatan
Provinsi

Lambang

Moto: Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing


(Bahasa Banjar: Tetap bersemangat dan kuat seperti baja dari awal sampai akhir)

Peta lokasi Kalimantan Selatan

Negara Indonesia Hari jadi 14 Agustus 1950 Ibu kota Banjarmasin Koordinat 5 20' - 1 10' LS 114 0' - 117 40' BT Pemerintahan - Gubernur Drs. H. Rudy Ariffin - DAU Rp504.876.152.000,Luas 36.985 km2 Populasi (2010)[2] - Total 3.626.119 - Kepadatan 98/km Demografi - Suku bangsa Banjar , Dayak ,Jawa , Bugis
[3] (2011)[1]

- Total

- Agama Islam (96,80%), Protestan (2,85%), Katolik (1,81%), Hindu (0,95%), Buddha (0,17%) - Bahasa Bahasa Indonesia(id), Bahasa Banjar (bjn), Bahasa Bakumpai (bkr), Bahasa Bukit (bvu), Bahasa Dusun Deyah (dun), Bahasa Maanyan (mhy) Zona waktu WITA

Kabupaten 11 Kota 2 Kecamatan 138 Desa/kelurahan 1.958 Lagu daerah Ampar-ampar Pisang Situs web www.kalselprov.go.id Kalimantan Selatan adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibu kotanya adalah Banjarmasin. Provinsi ini mempunyai 11 kabupaten dan 2 kota. DPRD Kalimantan Selatan dengan surat keputusan No. 2 Tahun 1989 tanggal 31 Mei 1989 menetapkan 14 Agustus 1950 sebagai Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan. Tanggal 14 Agustus 1950 melalui Peraturan Pemerintah RIS No. 21 Tahun 1950, merupakan tanggal dibentuknya provinsi Kalimantan, setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan gubernur Dokter Moerjani. Penduduk Kalimantan Selatan berjumlah 3.545.100 jiwa (2010).[4] Pertumbuhan Kalsel Sepanjang Tahun 2010 Mencapai 5,58 Persen.[5][6]

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Sejarah 2 Kondisi dan sumber daya alam


o o o

2.1 Geografi 2.2 Keanekaragaman hayati 2.3 Sumber daya alam 3.1 Suku bangsa 3.2 Bahasa 3.3 Agama 4.1 Perwakilan

3 Kependudukan
o o o

4 Pemerintahan
o

5 Pendidikan 6 Perekonomian
o

6.1 Tenaga kerja

o o o o o o o

6.2 Pertanian & Perkebunan 6.3 Industri 6.4 Jasa 6.5 Pertambangan 6.6 Ekspor & Impor 6.7 Keuangan & Perbankan 6.8 Transportasi 7.1 Pariwisata 7.2 Olahraga 7.3 Musik 7.4 Tarian tradisional 7.5 Rumah Adat 7.6 Makanan dan Minuman 8.1 Bahasa Daerah 8.2 Daerah Pemilihan DPR RI 2009 8.3 Dewan Perwakilan Daerah 8.4 Daerah Pemilihan DPRD Kalimantan Selatan 2009 9.1 Seni Karawitan 9.2 Teater tradisional dan wayang 9.3 Tarian 9.4 Lagu 9.5 Rumah Adat 9.6 Pakaian Adat

7 Pariwisata, Seni dan Budaya


o o o o o o

8 Pers dan media


o o o o

9 Seni dan Budaya


o o o o o o

10 Pariwisata dan peninggalan sejarah 11 Rujukan 12 Pranala luar 13 Referensi

[sunting] Sejarah
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Kalimantan Selatan

Kawasan Kalimantan Selatan pada masa lalu merupakan bagian dari 3 kerajaan besar yang pernah memiliki wilayah di daerah ini, yakni Kerajaan Negara Daha, Negara Dipa, dan Kesultanan Banjar.

[sunting] Kondisi dan sumber daya alam


[sunting] Geografi
Secara geografis, Kalimantan Selatan berada di bagian tenggara pulau Kalimantan, memiliki kawasan dataran rendah di bagian barat dan pantai timur, serta dataran tinggi yang dibentuk oleh Pegunungan Meratus di tengah.

[sunting] Keanekaragaman hayati


Kalimantan Selatan terdiri atas dua ciri geografi utama, yakni dataran rendah dan dataran tinggi. Kawasan dataran rendah kebanyakan berupa lahan gambut hingga rawa-rawa sehingga kaya akan sumber keanekaragaman hayati satwa air tawar. Kawasan dataran tinggi sebagian masih merupakan hutan tropis alami dan dilindungi.

[sunting] Sumber daya alam


Bagian ini membutuhkan pengembangan

[sunting] Kependudukan
[sunting] Suku bangsa
Kelompok etnik di Kalimantan Selatan menurut Museum Lambung Mangkurat, antara lain:[7]
1. Orang Banjar Kuala, di daerah Banjarmasin sampai Martapura[8] 2. Orang Banjar Batang Banyu, di daerah Margasari sampai Kelua 3. Orang Banjar Pahuluan, di daerah Tanjung sampai Pelaihari (luar Martapura) 4. Suku Bukit, di daerah Dayak Pitap, Haruyan Dayak, Loksado, Harakit, Paramasan, Bajuin,

Riam Adungan, Sampanahan, Hampang, Bangkalan Dayak


5. Suku Berangas, di daerah Berangas, Ujung Panti, Lupak, Aluh Aluh 6. Suku Bakumpai, di daerah Bakumpai, Marabahan, Kuripan, Tabukan 7. Suku Maanyan, di daerah Maanyan Warukin, Maanyan Pasar Panas, Maanyan Juai (Dayak

Balangan), Dayak Samihim


8. Suku Abal, di daerah Kampung Agung sampai Haruai 9. Suku Dusun Deyah, di kecamatan Muara Uya, Upau dan Gunung Riut 10. Suku Lawangan, di desa Binjai, Dambung Raya 11. Orang Madura Madurejo, di desa Madurejo, Mangkauk 12. Orang Jawa Tamban, di desa Purwosari 13. Orang Cina Parit, di daerah Pelaihari 14. Suku Bajau, di daerah Semayap, Tanjung Batu 15. Orang Bugis Pagatan, di daerah Pagatan

16. Suku Mandar, di daerah pesisir pulau Laut dan pulau Sebuku

Selain ke-16 suku tersebut, terdapat juga Suku Bali (di desa Barambai, Sari Utama), Suku Sunda, dan suku asal NTB dan NTT di Unit Pemukiman Transmigrasi. Delapan etnik terbanyak di Kalimantan Selatan (dalam sensus belum disebutkan beberapa suku kecil yang merupakan penduduk asli), yaitu:[9] Nomor Suku Bangsa Jumlah 1 Suku Banjar 2.271.586 2 Suku Jawa 391.030 3 Suku Bugis 73.037 4 Suku Madura 36.334 5 Suku Bukit (Dayak Meratus) 35.838 6 Suku Mandar 29.322 7 Suku Bakumpai 20.609 8 Suku Sunda 18.519 9 Suku-suku lainnya 99.165 Kelompok etnik berdasarkan urutan keberadaannya di Kalimantan Selatan adalah:
1. Austrolo-Melanosoid (sudah punah) 2. Dayak (rumpun Ot Danum) 3. Suku Dayak Bukit 4. Suku Banjar (1526) 5. Suku Bajau, Suku Bugis (1750) dan Suku Mandar 6. Suku Jawa dan Suku Madura 7. Etnis Tionghoa-Indonesia dan Etnis Arab-Indonesia[10][11][12][13] 8. Etnis Eropa (1860-1942), umumnya sudah kembali ke Eropa[14]

[sunting] Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam keseharian adalah bahasa daerah, yakni bahasa Banjar yang memiliki dua dialek besar, yakni dialek Banjar Kuala dan dialek Banjar Hulu. Di kawasan Pegunungan Meratus, dituturkan bahasa-bahasa dari rumpun Dayak, seperti bahasa Dusun Deyah, bahasa Maanyan, dan bahasa Bukit.

[sunting] Agama
Mayoritas penduduk Kalimantan Selatan beragama Islam. Di samping itu juga ada yang beragama Kristen dan Kaharingan, khususnya di kawasan Pegunungan Meratus, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu.

[sunting] Pemerintahan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar Gubernur Kalimantan Selatan dan Daftar kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan

Kantor Gubernur Kalimantan Selatan dengan motif Rumah Bubungan Tinggi. Pada jalan raya di depannya terletak tugu batu 0 km Banjarmasin

Kantor Residen Belanda di Kampung Amerong (sekarang lokasi Kantor Gubernur Kalsel) Provinsi Kalimantan Selatan dipimpin oleh seorang gubernur yang dipilih dalam pemilihan secara langsung bersama dengan wakilnya untuk masa jabatan 5 tahun. Gubernur selain sebagai pemerintah daerah juga berperan sebagai perwakilan atau perpanjangan tangan pemerintah pusat di wilayah provinsi yang kewenangannya diatur dalam Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2010. Sementara hubungan pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten dan kota bukan subordinat, masing-masing pemerintahan daerah tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

[sunting] Perwakilan
Berdasarkan Pemilu Legislatif 2009, Kalimantan Selatan mengirimkan 11 wakil ke DPR RI dari dua daerah pemilihan dan empat wakil ke DPD. Sedangkan untuk DPRD Kalimantan Selatan tersusun dari perwakilan sepuluh partai, dengan perincian sebagai berikut:

[sunting] Pendidikan

[sunting] Perekonomian
[sunting] Tenaga kerja [sunting] Pertanian & Perkebunan [sunting] Industri [sunting] Jasa [sunting] Pertambangan [sunting] Ekspor & Impor [sunting] Keuangan & Perbankan [sunting] Transportasi

[sunting] Pariwisata, Seni dan Budaya


[sunting] Pariwisata [sunting] Olahraga [sunting] Musik [sunting] Tarian tradisional
Secara garis besar seni tari dari Kalimantan Selatan adalah dari adat budaya etnis Banjar dan etnis Dayak. Tari Banjar berkembang sejak masa Kesultanan Banjar dan dipengaruhi oleh budaya Jawa dan Melayu, misalnya Tari Japin dan Tari Baksa Kembang.

[sunting] Rumah Adat


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Rumah Banjar Rumat adat Kalimantan Selatan, khususnya dari etnis Banjar adalah Rumah Banjar dan ikon utamanya adalah Bubungan Tinggi.

[sunting] Makanan dan Minuman


Setiap kawasan di Kalimantan Selatan, memiliki makanan sebagai ciri-ciri khas daerah, seperti daerah Hulu Sungai Selatan dengan dodol kandangan-nya, Barabai dengan apam dan kacang jaruk, Amuntai dengan kuliner dari daging itik, dan Binuang dengan olahan pisang sale yang disebut rimpi.

[sunting] Pers dan media


[sunting] Bahasa Daerah

Bahasa Melayu Lokal:


o

Bahasa Banjar (bjn)


Dialek Banjar Hulu Dialek Banjar Kuala

Bahasa Barangas)

Bahasa Melayu Bukit (bvu) Barito Barat

Bahasa Barito
o

Barito Barat bagian Selatan:

Bahasa Bakumpai (bkr)

Barito Timur

Barito Timur bagian Utara:

Bahasa Lawangan-Pasir(lbx) Bagian Tengah:

Barito Timur bagian Tengah dan Selatan

Bahasa Dusun Deyah (dun) Bahasa Maanyan (mhy)

Bagian Selatan:

[sunting] Daerah Pemilihan DPR RI 2009


Daerah Pemilihan DPR RI tahun 2009 (Bahasa Melayu: Kawasan Parlemen) adalah: Nama Jumlah kursi Habib Aboe Bakar Alhabsyi[15][16] Kalimantan Selatan 1 Ismet Ahmad[16] 6 kursi Taufiq Effendi Gusti Iskandar Sukma Alamsyah[16] Abadi Noor Supit Kalimantan Selatan 2 Aditya Mufti Arifin[16] 5 kursi Bahrudin Syarkawie[16] [
1. Kalimantan Selatan 1: Banjar, Barito Kuala, Tapin, Tabalong, Hulu Sungai Selatan, Hulu

Daerah Pemilihan

Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara


2. Kalimantan Selatan 2: Kota Banjarmasin, Banjarbaru, Tanah Laut, Tanah Bumbu, Kotabaru

[sunting] Dewan Perwakilan Daerah


Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang berasal dari Kalimantan Selatan adalah:

Adhariani[16] Gusti Farid Hasan Aman[16] Habib Hamid Abdullah[16] Mohammad Sofwat Hadi[16]

[sunting] Daerah Pemilihan DPRD Kalimantan Selatan 2009


Daerah Pemilihan DPRD Kalimantan Selatan (Bahasa Melayu: Dewan Undangan Negeri) adalah:

Nomor Kalimantan Selatan 1 Kalimantan Selatan 2 Kalimantan Selatan 3 Kalimantan Selatan 4 Kalimantan Selatan 5 Kalimantan Selatan 6

Daerah Jumlah kursi Banjarmasin 10 kursi Banjar, Banjarbaru 10 kursi Barito Kuala 5 kursi Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah 10 kursi Hulu Sungai Utara, Balangan, Tabalong 8 kursi Tanah Laut, Tanah Bumbu, Kotabaru 12 kursi

[sunting] Seni dan Budaya

Gedung Sultan Suriansyah tempat pementasan budaya Kal-Sel.

[sunting] Seni Karawitan


1. Gamelan Banjar 2. Musik Panting (suku Banjar) 3. Musik Kangkurung/Kukurung (suku Dayak Bukit) 4. Musik Bumbung 5. Musik Kintung 6. Musik Kangkanong 7. Musik Salung 8. Musik Suling 9. Musik Bambang 10. Musik Masukkiri (suku Bugis)

[sunting] Teater tradisional dan wayang


Mamanda (teater tradisional suku Banjar) Lamut (suku Banjar) Madihin (suku Banjar)

Wayang Kulit Banjar (suku Banjar) Wayang Gung (wayang orang suku Banjar) Balian(suku Dayak Bukit)

[sunting] Tarian
Tarian suku Banjar:

Baksa Kambang Radap Rahayu Kuda Gepang Tarian suku Banjar lainnya Tari Tandik Balian Tari Babangsai (tarian ritual, penari wanita) Tari Kanjar (tarian ritual, penari pria)

Tarian suku Dayak Bukit:

[sunting] Lagu
Lagu Daerah suku Banjar antara lain:

Ampar-ampar Pisang Sapu Tangan Babuncu Ampat Paris Barantai Lagu daerah Banjar lainnya Rumah Adat Suku Banjar disebut Rumah Bubungan Tinggi Rumah Adat Suku Dayak Bukit disebut Balai

[sunting] Rumah Adat


[sunting] Pakaian Adat


Lihat pula: Busana Pengantin Banjar

Pakaian Pengantin Suku Banjar ada 4 jenis, yaitu:


o o o o

Pengantin Bagajah Gamuling Baular Lulut Pengantin Baamar Galung Pancar Matahari Pengantin Babaju Kun Galung Pacinan Pangantin Babaju Kubaya Panjang Pakaian Nanang Galuh Banjar

Pakaian Pemuda-pemudi ada 2 jenis, yaitu:


o o

[sunting] Pariwisata dan peninggalan sejarah

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar tempat wisata di Kalimantan Selatan

[sunting] Rujukan
1. Feuilletau de Bruyn, W.K.H.; Bijdrage tot de kennis van de Afdeeling Hoeloe Soengai,

(Zuider a Ooster Afdeeling van Borneo), 19--.


2. Broersma, R.;Handel en Bedrijf in Zuiz Oost Borneo, S'Gravenhage, G. Naeff, 1927. 3. Eisenberger, J.; Kroniek de Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo, Bandjermasin,

Drukkerij Lim Hwat Sing, 1936.


4. Bondan, A.H.K.; Suluh Sedjarah Kalimantan, Padjar, Banjarmasin, 1953. 5. Ras, J.J.; Hikajat Bandjar, A study in Malay Histiography, N.V. de Ned. Boeken, Steen

Drukkerij van het H.L. Smits S'Graven hage, 1968.


6. Heekeren, C. van.; Helen, Hazen en Honden Zuid Borneo 1942, Den Haag, 1969. 7. Riwut, Tjilik; Kalimantan Memanggil, Penerbit Endang, Djakarta. 8. Saleh, Idwar; SEJARAH DAERAH TEMATIS Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942)

di Kalimantan Selatan, Depdikbud, Jakarta, 1986.


9. M. P. Lambut, Kalimantan Selatan (Indonesia). Inspektorat, Mewujudkan good governance

di Kalimantan Selatan: kumpulan pikiran urang Banua, PT LKiS Pelangi Aksara, 2007, ISBN 979-3381-26-4, 9789793381268

[sunting] Pranala luar


(Indonesia) Situs resmi pemerintah provinsi (Indonesia) Peta Kalimantan Selatan (Indonesia) Sejarah Banjar (Indonesia) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2007 (Indonesia) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2006 (Indonesia) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2005 (Indonesia) BUKU PROFIL PENATAAN RUANG PROPINSI KALIMANTAN SELATAN 2003 (Indonesia) Perda n0.9 tahun 2000 (Indonesia) Korem 101/Antasari (Indonesia) Profil Demografi Kalsel (Indonesia) Profil Ekonomi Kalsel (Indonesia) Profil Wisata Kalsel (Indonesia) Ekonomi Regional Kalsel (Indonesia) Statistik Regional Kalsel

[sunting] Referensi

1. ^ "Perpres No. 6 Tahun 2011". 17 Februari 2011. Diakses pada 23 Mei 2011. 2. ^ Sensus Penduduk 2010 3. ^ "INDONESIA: Population and Administrative Divisions" (PDF). The Permanent

Committee on Geographical Names. 13 Maret 2003.


4. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref

bernama A
5. ^ (Indonesia)INDRA AP FM (8 Februari 2011). "Pertumbuhan Kalsel Sepanjang

Tahun 2010 Mencapai 5,58 Persen". Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Diakses pada 12 April 2011.
6. ^ BPS 7. ^ (Sumber: Peta alam dan foto kelompok etnik Kalimantan Selatan, Museum Lambung

Mangkurat, nomor 11 s/d 16 adalah suku pendatang dari luar Kalimantan)


8. ^ karena letaknya yang strategis orang Banjar Kuala menyebar ke sekitar sungai Barito

dan pesisir Kalimantan lainnya


9. ^ Sumber: Badan Pusat Statistik - Sensus Penduduk Tahun 2000 10. ^ Foreign Orientals in the Netherlands Indies, 1920 11. ^ Chinese and Peranakan in the Indonesian archipelago, 1920 12. ^ Chinese in urban and rural Indonesia, ca 1940 13. ^ Location of Chinese officers in the Netherlands Indies, 1867 14. ^ Europeans (including Japanese) in the outer islands, 1920 15. ^ www.aboebakar.info 16. ^ a b c d e f g h i (Indonesia) Santoso, F. Harianto (2010). Wajah DPR & DPD 2009-2014:

latar belakang pendidikan dan karier. Penerbit Buku Kompas. ISBN 9797094715.ISBN 9789797094713
Kalimantan Tengah Kalimantan Timur

Kalimantan Tengah

Kalimantan Selatan

Selat Makassar

Laut Jawa

[tampilkan]

l b s

Kalimantan Selatan

Anda mungkin juga menyukai