Anda di halaman 1dari 33

om.

Walisongo –dalam bahasa Indonesia disebut Walisembilan– merupakan


julukan untuk orang suci yang berjuang di tanah Nusantara pada abad ke-15 dan ke-
16. Masyarakat Indonesia memberikan perhatian lebih pada tradisi nenek
moyangnya. Dalam hal ini, ziarah kubur. saat ini, sudah rahasia umum bahwa
beberapa kelompok tidak suka dengan membid’ahkan ziarah kubur sebagai langkah
yang tidak islami.

Bahkan, fatalnya lagi, kalau ziarah kubur dilarang dengan berbagai alasan maupun
landasan yang digunakannya. Herannya, pelarangan tersebut mencatut nama
institusi, agama dan tidak lengkap jika tidak dikasih ayat al Qur’an atau hadis
Kanjeng nabi Muhammad SAW. Berikut biografi lengkap Walisongo beserta
ajarannya:

1. Sunan Ampel

Sunan Ampel (Raden Rahmat), adalah putera tertua Maulana Malik Ibrahim.
Menurut Babad Tanah Jawi dan silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal
dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada tahun 1401 M dan
diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat
Masjid Ampel, Surabaya. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat
dimana ia lama bermukim, yakni daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini
menjadi bagian dari Surabaya.

Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun
1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa,
mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia
melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya,
seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang
raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya
itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Di antaranya yang menjadi penerusnya
adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer
arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya
kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah,
putra dari Prabu Brawijaya V Raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun
1475 M.

Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia


membangun dan mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul
masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan abad ke-15, pesantren tersebut menjadi
sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan
mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para
santri tersebut kemudian diperintahkan untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa
dan Madura.

Sunan Ampel menganut Fikih mazhab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia
hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman
akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, mioh
ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi,
tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak
berzina.”

Perjalanan Hidup Sunan Ampel

Sunan Ampel (Raden Rahmat) adalah salah satu anggota sembilan wali
(Walisongo), penyebar agama Islam di tanah Jawa. Sama seperti Sunan Maulana
Malik Ibrahim, jasa beliau juga sangat besar dalam perkembangan agama Islam di
tanah Jawa. Bahkan banyak kalangan yang berpendapat bahwa beliau merupakan
bapak para wali. Sebab, dari tangannya lahir para pendakwah Islam kelas wahid di
Jawa.

Nama asli Sunan Ampel sendiri adalah Raden Rahmat. Sebutan Sunan merupakan
gelar kewaliannya. Sedangkan Ampel atau Ampel Denta dinisbatkan kepada tempat
tinggalnya, yaitu Ampel, sebuah daerah yang terletak di sebelah utara Kota
Surabaya, Jawa Timur.

Sunan Ampel lahir pada tahun 1401 M. di Champa. Para sejarawan kesulitan untuk
menentukan Champa di sini. Sebab belum ada pernyataan tertulis maupun prasasti
yang menunjukkan Champa di Malaka atau kerajaan Jawa. Namun,beberapa
sejarawan berkeyakinan bahwa Champa adalah sebutan lain dari Jeumpa dalam
bahasa Aceh. Oleh karena itu, Champa berada dalam wilayah kerajaan Aceh.
Hamka berpendapat sama, ia menyatakan bahwa Champa itu bukan yang di Annam
Indo Cina, sesuai Enscyclopaedia Van Nederlandsch Indie, tetapi di Aceh.
Ayah Sunan Ampel adalah Sunan Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), yaitu
keturunan Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra, seorang Ahlussunnah bermazhab
Syafi’i. Syekh Jamalluddin merupakan ulama yang berasal dari Samarqand,
Uzbekistan. Adapun ibunya bernama Dewi Chandrawulan, saudara kandung Putri
Dwarawati Murdiningrum, ibu Raden Fatah, istri raja Majapahit Prabu Brawijaya V.

Sunan Ampel memiliki dua istri, yaitu Dewi Karimah dan Dewi Chandrawati. Dengan
istri pertamanya, Dewi Karimah, beliau dikaruniai dua orang anak, yaitu Dewi
Murtasih yang menjadi istri Raden Fatah (sultan pertama kerajaan Islam Demak
Bintoro), dan Dewi Murtasimah yang menjadi permaisuri Raden Paku atau Sunan
Giri. Dengan Istri keduanya, Dewi Chandrawati, Sunan Ampel memperoleh lima
orang anak, yaitu Siti Syare’at, Siti Mutmainah, Siti Sofiah, Raden Maulana Makdum,
Ibrahim atau Sunan Bonang, serta Syarifuddin atau Raden Kosim yang kemudian
dikenal dengan sebutan Sunan Drajad.

Babad Diponengoro menceritakan bahwa Sunan Ampel memiliki pengaruh yang


cukup kuat di istana Majapahit. Meski raja Majapahit menolak masuk Islam, namun
Sunan Ampel diberi kebebasan mengajarkan agama Islam pada warga Majapahit,
asal tanpa paksaan. Selama tinggal di Majapahit, beliau dinikahkan dengan Nyai
Ageng Manila, putri Temanggung Arya Teja, Bupati Tuban. Sejak itu, gelar pangeran
dan raden melekat di depan namanya. Beliau diperlakukan sebagai keluarga kraton
Majapahit. Beliau pun semakin disegani masyarakat.

Pada hari yang ditentukan, berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari
Trowulan, melewati Desa Krian, Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di
sepanjang perjalanan, Raden Rahmat berdakwah. Beliau membagi-bagikan kipas
yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk. Mereka cukup mengambil kipas
itu dengan mengucapkan syahadat. Dan seiring berjalannya waktu, pengikutnya pun
bertambah banyak. Sebelum tiba di Ampel, beliau membangun langgar (musallah)
sederhana di Kembang Kuning, delapan kilometer dari daerah Ampel. Langgar
tersebut kemudian besar, megah, dan bertahan sampai sekarang, yang diberi nama
Masjid Rahmat. Setibanya di Ampel, langkah pertama yang dilakukan Raden
Rahmat ialah membangun masjid sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian
beliau membangun pesantren, mengikuti model Maulana Malik Ibrahim di Gresik.
Adapun format pesantrennya mirip dengan konsep biara yang sudah dikenal
masyarakat Jawa.

Raden Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan


akidah syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Misalnya kata shalat
diganti dengan sembahyang (asalnya sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak
diberi nama musallah, melainkan langgar (mirip kata sanggar). Penuntut ilmu disebut
santari, yang berasal dari shasti yang berarti orang yang tahu buku suci agama
Hindu. Siapa pun, bangsawan maupun rakyat jelata, bisa nyantri kepada Raden
Rahmat. Meski bermadzhab Hanafi, namun beliau sangat toleran pada madzhab
yang lain. Santrinya diberi kebebasan dalam bermadzhab. Dengan cara pandang
netral itu, pendidikan di Ampel mendapatkan perhatian. Dari sinilah sebutan Sunan
Ampel mulai masyhur. Beliau meninggal pada tahun 1481 di Demak, dan
dimakamkan di Ampel, Surabaya.
Adapun salah satu cara berdakwah Sunan Ampel adalah falsafah Moh Limo.
Falsafah tersebut adalah:

 Moh Main (tidak mau berjudi).


 Moh Ngombe (tidak mau mabuk karena minum minuman arak).
 Moh Maling (tidak mau mencuri).
 Moh Madat (tidak mau merokok atau menggunakan narkotika).
 Moh Madon ( tidak mau bermain dengan perempuan yang bukan
istrinya).

2. Sunan Bonang

Sunan Bonang alias Maulana Makhdum Ibrahim adalah putera Sunan Ampel (1465
M – 1525 M), berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim yang mendirikan pesantren di
tempat tinggalnya. Dia juga adalah salah seorang pendiri Kerajaan Demak. Nama
kecilnya adalah Raden Makhdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang
perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan
Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup
dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula
ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia
mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Ia kemudian menetap di Bonang (desa kecil) di Lasem, Jawa Tengah sekitar 15
kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat
pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar.
Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan
bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak
pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat
sulit.

Ia acapkali berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, pati, Madura, maupun


Pulau Bawean. Di pulau inilah, pada tahun 1525 M ia meninggal. Jenazahnya
dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan
oleh masyarakat Bawean dan Tuban.Sunan bonang memiliki buku yang lebih
merupakan wejangan mengenai hukum dan agama Islam, yang sering disebut
sebagai “Buku Sunan Bonang”, diperkirakan berasal dari masa yang lebih awal
daripada akhir abad ke-16. Buku Sunan Bonang adalah sebuah Primbon karena
merupakan kumpulan dari penjelasan tentang berbagai masalah yang berbeda-beda
(Drewes, 2002).

Ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis
salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur.
Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari
sumber air di tempat-tempat gersang. Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat
‘cinta’ (‘isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalal Al-din Al-Rumi. Menurut
Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan
kepada Allah SWT atau haq al-yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara
popular melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan
Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.

Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil.
Salah satunya adalah “Suluk Wijil” yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya
Abu Sa’id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin,
bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi,
Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.

Sunan Bonang juga menggubah gamelah Jawa yang saat itu kental dengan estetika
Hindu, dengan member nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa
seperti sekarang, dengan menambahkan instrument boning. Gubahannya ketika itu
memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental
(alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang.

Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius
penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-
tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang
sebagai peperangan antara naïf (peniadaan) dan ‘isbah (peneguhan).

Perjalanan Hidup Sunan Bonang

Nama lengkap Sunan Bonang adalah Raden Maulana Makdum Ibrahim. Beliau
merupakan salah satu dari sembilan Walisongo yang menyebarkan ajaran agama
Islam di tanah Jawa, khususnya di pesisir timur Pantai Utara, lebih tepatnya di Desa
Bonang, Kecamatan Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Bukti sejarah singgahnya
Sunan Bonang di Rembang, yaitu adanya sejumlah peninggalan dan juga petilasan
yang masih bisa dilihat karena tetap dijaga kelestariaannya. Salah satunya Masjid
Sunan Bonang. Beliau merupakan putra dari pasangan Raden Rahmat (Sunan
Ampel) dengan Ny. Ageng Manila (Dewi Tjondrowati), putri R. Arya Tedja, salah satu
tumenggung dari kerajaan Majapahit yang berada di daerah Tuban.

Nama Sunan Bonang diduga adalah Bong Ang, sesuai dengan nama marga Bong.
Hal ini seperti nama ayahnya, Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel. Adapun tentang
Sunan Bonang yang namanya di depannya tercantum kata-kata Maulana Makdum,
mengingatkan kita kembali kepada cerita di dalam sejarah Melayu. Konon, dalam
sejarah Melayu ada seorang cendekiawan Islam yang juga memakai gelar Makdum
(gelar yang lazim dipakai di India). Kata atau gelar Makdum ini merupakan sinonim
dari kata Maula atau Malauy, gelar kepada orang besar agama berasal dari
kata Khodama Yakhdamu dan infinitifnya (masdarnya) khidmat. Sedangkan maf’ul-
nya dikatakan makhdum, yang berarti orang yang harus dihormati karena
kedudukannya dalam agama atau pemerintahan Islam di waktu itu. Ada juga salam
seorang tokoh yang mengepalai suatu departemen ketika terjadi pembentukan adat
yang berdasarkan Islam, tatkala agama Islam memasuki lingkungan Minangkabau,
juga berpangkat Makdum.

Mengenai tahun kelahiran Sunan Bonang, menurut beberapa sumber, beliau lahir
pada tahun 1465 M. Sejak kecil, beliau sudah diberi pelajaran agama Islam secara
tekun dan disiplin oleh ayahnya. Dan, ini sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan
para wali lebih berat daripada orang pada umumnya. Beliau adalah calon wali
terkemuka, maka Sunan Ampel mempersiapkan pendidikan sebaik mungkin sejak
dini.

Pada suatu hari disebutkan bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku (Sunan
Giri) sewaktu masih remaja menuntut ilmu sampai ke tanah seberang, yaitu Negeri
Pasai (sekarang Aceh). Keduanya menambah ilmu pengetahuan mereka dengan
berguru kepada ayah kandung Sunan Giri, yaitu Syekh Maulana Ishaq. Selain itu,
mereka juga belajar kepada para ulama besar yang menetap di Negeri Pasai,
seperti kepada para ulama tasawuf yang berasal dari Baghdad, Mesir, Arab, Persia
(sekarang Iran).

Setelah menimba ilmu di Negeri Pasai, Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim
pun kembali ke Pulau Jawa. Raden Paku pulang ke Gresik, di mana di sana beliau
mendirikan pesantren di daerah Giri sehingga beliau terkenal dengan sebutan
Sunan Giri. Sementara Raden Makdum Ibrahim sendiri diperintah oleh sang ayah
(Sunan Ampel) untuk berdakwah di Tuban.

Sunan Bonang sendiri sangat giat dan memiliki semangat yang tinggi dalam
menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, khususnya di Jawa Timur, terutama di
Tuban dan sekitarnya. Beliau juga menyelenggarakan pendidikan agama Islam dan
menempa calon-calon da’i serta mubaligh yang akan bertugas menyebarkan agama
Islam ke seluruh pelosok Pulau Jawa.

Adapun dalam berdakwah, ia sering mempergunakan kesenian tradisional untuk


menarik simpati masyarakat, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut
“bonang”. Bonang adalah sejenis kuningan yang bagian tengahnya lebih ditonjolkan.
Apabila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak, maka timbul suara yang merdu di
telinga penduduk setempat. Terlebih lagi ketika Raden Makdum Ibrahim sendiri yang
membunyikan alat musik tersebut. Beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita
rasa seni yang tinggi. Jika beliau membunyikan alat itu, maka pengaruhnya sangat
hebat bagi para pendengarnya. Karena kepandaianya itu, tidak heran jika penduduk
yang ingin belajar membunyikan bonang, sekaligus melagukan berbagai tembang
ciptaan beliau.

Murid-murid Raden Makdum Ibrahim sangat banyak, baik yang berada di Tuban,
Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan
bonang dalam berdakwah, kemudian masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.

Adapun di antara tembang Raden Makdum Ibrahim yang terkenal, yaitu “Tamba ati
iku lima ing wernane. kaping pisan maca qur an angen-angen sak maknane. Kaping
pindho shalat wengi lakonono. Kaping telu wong kang saleh kancanana. kaping
papat kudu wetheng ingkang luwe. Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe. Sopo
wonge bisa ngelakoni. Insya Allah gusti Allah nyembadani”

Adapun arti tembang tersebut adalah obat sakit jiwa (hati) itu ada lima
jenisnya. Pertama, membaca al qur an direnungkan artinya. Kedua, mengerjakan
shalat malam (Sunnah Tahajjud). Ketiga, sering bersahabat dengan orang shalih
(berilmu). Keempat, harus sering berprihatin (berpuasa). Kelima, sering berdzikir
mengingat Allah di waktu malam. Dan sampai sekarang lagu ini sering dilantunkan
para santri ketika hendak shalat jamaah.

Setelah berhasil merebut simpati masyarakat, beliau tinggal menyiapkan ajaran


Islam dalam berbagai tembang kepada mereka. Dan, seluruh tembang yang
diajarkannya adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Dengan cara
seperti itu, tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang
hati alias bukan dengan paksaan.

Baca Juga: KH. Mustofa [1898-1950] dan Sejarah Pondok Kranji

Konon, Sunan Bonang inilah yang menciptakan gending Dhurmo yang


menghilangkan kepercayaan tentang adanya hari-hari sial menurut ajaran Hindu dan
menghapus nama dewa-dewa sakti. Sebagai penggantinya, Sunan Bonang
menanamkan pengertian dan kepercayaan tentang adanya para malaikat dan para
nabi. Apa saja yang tidak bertentangan dengan ajaran dan kepercayaan Islam, oleh
Sunan Bonang ditempuh sebagai jalan untuk mendekatkan rakyat kepada agama
Islam.

Sunan Bonang turut berperan dalam penyelesaian pembangunan Masjid Agung


Demak. Ini merupakan kenyataan yang membuktikan dukungan Sunan Bonang
terhadap kerajaan Islam pertama di Demak. Menurut makalah yang ditulis oleh Drs.
Wiji Saksono yang berjudul Islam Menurut Wejangan Walisongo Berdasarkan
Sumber Sejarah, mengetengahkan bahwa Sunan Bonang yang bergelar Prabu
Hanyakrawarti dan berkuasa di dalam Sesuluking Ngelmi Ian Agami sama
kedudukannya dengan seorang mufti besar yang memiliki kewenangan dalam
memecahkan masalah-masalah keagamaan (Islam). dalam hal ini, menurut
beberapa pendapat para sejarawan, ajaran Sunan Bonang ini sedikit-banyak
mewakili ajaran-ajaran ayahnya, Sunan Ampel, dan saudaranya, Sunan Drajad.

Sebagian riwayat mengatakan bahwa Sunan Bonang tidak menikah sampai beliau
wafat. Namun, dalam riwayat lain menyebutkan bahwa beliau menikah dengan Dewi
Hirah, putri dari Raden Jaka Kandar, di mana dalam pernikahan tersebut beliau
dikaruniai seorang putri cantik bernama Dewi Rukhil. Putri kesayangannya tersebut
kemudian menikah dengan Ja’far Shodiq (Sunan Kudus). Dari pernikahan Ja’far
Shodiq dengan Dewi Rukhil binti Sunan Bonang lahirlah R.adenAmir Khasan yang
wafat di Karimunjawa dalam status jejaka.

Tahun 1525 M, Raden Maulana Makdum Ibrahim meninggal dunia dalam usia
kurang-lebih 60 tahun, dan dimakamkan di rumah kediaman beliau (Ndalem) di desa
Bonang Lasem. Setengah riwayat menyebutkan bahwa makam beliau terletak di
Tuban, ada pula yang mengatakan di Madura. Semua itu menunjukkan karomahnya
Sunan Bonang yang mungkin terjadi bagi seseorang yang menjadi kekasih Allah
(Waliyyullah). Hal ini mempunyai hikmah bagi para pengikutnya.

3. Sunan Drajat

Sunan drajat Maulana Syarifudin, seorang da’i besar yang juga merupakan salah
seorang pendiri kerajaan Demak, nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan
Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan
Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M.
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir
Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog, pesisir Banjarwati atau
Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer
ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa
Drajat, Paciran-Lamongan.

Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya:
langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara
penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria.
Terutama seni Suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, diantaranya adalah suluk
petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada
yang telanjang’.

Perjalanan Hidup Sunan Drajad

Menurut sejarah, Sunan Drajad lahir pada tahun 1470 M. Meskipun tempat kelahiran
Sunan Drajad masih menjadi perdebatan, namun banyak yang mengatakan bahwa
orangtuanya berasal dari Surabaya. Orang tua beliau dari jalur ayah bernama Raden
Rahmat yang terkenal dengan Sunan Ampel, salah satu anggota Walisongo yang
memiliki wilayah dakwah di daerah Ampel Denta, Surabaya, Jawa Timur. Sementara
dari pihak ibu bernama Nyai Ageng Gede Manila atau Candrawati, putri dari Arya
Teja atau Wilwatikta, yang agaknya masih memerlukan kejelasan mengenai siapa
sebenarnya kedua nama itu. Hanya saja, beberapa sumber lebih pada
kecenderungan menyebutkan bahwa Nyai Ageng Gede Manila adalah putri Arya
Teja IV, seorang adipati Tuban yang masih memiliki nasab dengan Ronggolawe.
Namun, jika ditarik garis nasab ke atas lagi, maka antara Sunan Drajad dengan
Walisongo yang lain, yakni Sunan Giri adalah sama-sama keturunan ke-24 Nabi
Muhammad SAW. Hingga urutan yang ke-23, keduanya masih satu nasab. Hanya
saja dibedakan oleh kedua orangtuanya, yakni ayah Sunan Giri bernama Maulana
Ishak, sementara ayah Sunan Drajad bernama Raden Rahmat.

Ketika masa kanak-kanak hingga remaja, Sunan Drajad banyak dibesarkan di


lingkungan ayahnya sendiri di Surabaya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa
pengetahuan keagamaan banyak didapatkan dari sang ayah dan saudara tuanya
sendiri, Raden Makdum Ibrahim. Pendidikan yang diperoleh dari ayah dan
saudaranya tentu mulai dari tingkat dasar, yaitu mulai membaca al-Qur’an, berlanjut
dengan pelajaran yang terkait dengan pelajaran mengenai syariat Islam.

Menurut tradisi yang berkembang, ada kecenderungan seorang kiai akan menyuruh
anaknya untuk mengaji atau belajar kepada kiai lain yang dipercaya memiliki ilmu
lebih tinggi, baik itu dahulunya adalah kawan mengaji maupun (mantan) santrinya.
Tradisi itu tampaknya juga berlaku pada diri Raden Qasim saat masih remaja.
Seperti diketahui umum bahwa Sunan Ampel adalah guru semua wali, termasuk
Syarif Hidayatullah yang merupakan santri Ampel Denta, Surabaya, yang setelah
lulus memperoleh tugas mengembangkan agama Islam di Cirebon. Sunan Ampel
kemudian menyuruh Raden Qasim untuk belajar ilmu agama kepada Syarif
Hidayatullah yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan
wilayah dakwahnya di Cirebon. Konon, dari Sunan Gunung Jati inilah Sunan Drajad
mendalami ilmu syariat, hakikat, dan makrifat. Bahkan, di Cirebon juga, Raden
Qasim mendapat wejangan ilmu sejati bersama Pangeran Makdum, Pangeran
Welang, dan Pangeran Aryadillah. Pangeran ini semuanya disebut Pangeran
Palakaran karena derajat mereka belum sampai ke tingkat wali, baru sebatas
menuju kepada tingkat wali, kecuali Raden Qasim yang telah mencapai Drajad wali
setelah diberi ilmu sejati oleh Sunan Gunung Jati.

Selama belajar di Cirebon, Raden Qasim lebih dikenal dengan sebutan Syekh
Syarifuddin dan bergelar Sunan Drajad. Pangeran Drajad muncul Drajad-nya
menjadi anggota Walisongo melalui musyawarah para wali di Balai Sidang Para Wali
di kompleks Kraton Pakungwati setelah Syekh Siti Jenar dihukum pancung.

Sunan Drajad sendiri memilih lokasi di wilayah pesisir Utara Jawa yang dianggap
sesuai dengan persetujuan orangtuanya untuk mengembangkan ajaran Islam.
Alasan lokasi itu juga mungkin diilhami oleh sebuah fakta bahwa pantai Utara Jawa
merupakan tempat Islamisasi yang dilakukan oleh ulama lainnya. Pemilihan tempat
tinggal itu dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sosial, politik, dan ekonomi
pada zaman akhir Majapahit. Tempat-tempat tersebut, selain menjadi pusat kegiatan
ekonomi, juga menjadi sentral perkembangan budaya Jawa, meliputi bidang
arsitektur dan kesusastraan. Pada saat yang sama, kota pesisiran Jawa juga
menjadi pusat kaum intelektual, terutama pada periode transisi, yaitu abad 15
sampai abad 16.

Keberadaan Sunan Drajad sendiri di Drajad sebagai tokoh penyebar agama Islam
diperkirakan mulai tahun 1487 sampai tahun 1522 sebagai angka tahun wafatnya.
Hal itu bertetapan dengan kurun waktu ketika Jawa Timur sedang mengalami
instabilitas politik dan keamanan. Dampaknya, kejahatan dan kriminalitas di daerah-
daerah merajalela, termasuk di pedalaman pantai utara Jawa.

Sumber-sumber sejarah tradisional memberitakan bahwa kehidupanrakyat waktu itu


sangat buruk. Berita Cina juga menyebutkan bahwa PelabuhanTuban saat itu tidak
lagi disinggahi oleh kapal-kapal dari negerinya karena alasan keamanan. Ironisnya,
dalam kondisi semacam itu, boleh jadi ada juga segelintir orang yang tetap
menikmati kehidupan makmur, terutama golongan elite, dalam hal ini penguasa lokal
sebagai penerima upeti dari rakyat, para penarik upeti, dan para saudagar terutama
yang berada di kota-kota besar atau pelabuhan. Nah, pada konteks zaman yang
seperti inilah Sunan Drajad secara bijak kemudian memberikan wejangan yang
ditujukan kepada semua pengikutnya, tidak terkecuali golongan ekonomi atas, untuk
berbuar lebih dan bermanfaat bagi golongan miskin. Adapun Catur Piwulang yang
diajarkan beliau sebagai berikut:

wenehono teken maring kang kalunyon lan wuto

(berilah tongkat kepada mereka yang menapaki jalan licin dan buta)

wenehono pangan marang kang kaliren

(berilah makan kepada mereka yang kelaparan)

wenehono sandang marang kang kawudan,

(berilah pakaian kepada mereka yang telanjang)


wenehono payung kang kodanan,

(berilah payung kepada mereka yang kehujanan)

Sunan Drajad terkenal dengan kearifan dan kedermawanannya. Beliau menurunkan


kepada para pengikutnya kaidah tidak saling menyakiti, baik melalui perkataan
maupun perbuatan. Salah satu wejangannya adalah ”Bapang den simpangi, ana
catur mungkur,” (Jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang
lain, apalagi melakukan perbuatan itu). Beliau memperkenalkan Islam melalui
konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam
menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara, yaitu: Pertama, lewat
pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan
pendidikan di pesantren. Ketiga, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan
suatu masalah. Keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap
berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga
menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Dan, adapun pokok ajaran beliau adalah Catur
Piwulang, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Dalam beberapa naskah, Sunan Drajad disebut-sebut menikahi tiga perempuan.


Setelah menikah dengan Kemuning (ketika menetap di Desa Drajad), beliau
mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga. Peristiwa
itu diperkirakan terjadi pada 1465 M. Sedangkan menurut Babad Tjerbon, istri
pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Ada pula
kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten
di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Beliau wafat pada tahun 1522, dan
dimakamkan di Desa Drajad, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa
Timur.

4. Sunan Giri
Sunan Giri bergelar Sultan ‘Abd Al-Faqih karena pengetahuannya yang luas dalam
ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan ‘Abd Al-Faqih. Nama
aslinya Muhammad ‘Ain Al-Yaqin dan termasuk keturunan Imam Al-Muhajir. Dia
sempat belajar kepada Sunan Ampel. Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias
Muhammad ‘Ain Al-Yaqin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada
tahun 1442 M. ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang
dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya, seorang
putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian
dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).

Ayahnya adalah Maulana Ishak saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim.


Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang
mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke
Samudra Pasai. Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan
Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka
dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan
Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam Bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia
dijuluki Sunan Giri.

Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit,
namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon
karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan
padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang
menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin
pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika
Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai
penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam
Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui
juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.

Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke
berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa
Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua
sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.

Ia juga pencipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan,
Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula
Gending Asmaradana dan Pucung yang bernuansa Jawa namun syarat dengan
ajaran Islam.

Perjalanan Hidup Sunan Giri

Berbicara tentang Sunan Giri banyak diliputi legenda. Di satu sisi memang
menyulitkan, tetapi di sisi lain sebagai bukti bahwa beliau memang dihormati dan
dipandang dengan khidmat oleh khalayak ramai, bahkan cenderung berlebihan.
Namun demikian, dari legenda tersebut dapat diperoleh petunjuk tentang alur
sejarahnya.

Nama asli Sunan Giri adalah Raden Paku. Nama ini diberikan oleh Raden Rahmat
(Sunan Ampel) sesuai dengan pesan ayahnya sendiri sebelum meninggalkan Jawa
Timur. Selain itu, beliau memiliki panggilan lain, yaitu Ainul Yaqin, Abdul Faqih,
Prabu Satmata, dan Joko Samudera. Nama ini merupakan pemberian ibu
angkatnya, ketika beliau masih kecil. Sedangkan sebutan Prabu Satmata adalah
suatu gelar kebesaran sebagai anugerah Tuhan ketika beliau menjabat sebagai raja
di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur.

Raden Paku lahir di Blambangan (sekarang Banyuwangi), 1442 M. Ada juga yang
menyebutnya Jaka Samudera, sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya
yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya, seorang putri raja Blambangan bernama
Dewi Sekardadu ke laut. Menurut babad tanah Jawi versi Meinsma, Raden Paku
kemudian dipungut oleh Nyai Semboja. Ayah beliau bernama Maulana Ishak,
saudara kandung Sunan Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil
mengislamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh sebab itu,
beliau meninggalkan keluarga isterinya dan berkelana hingga ke Samudera Pasai.

Raden Paku kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat di
mana Raden Patah juga belajar. Selama berguru di Ampeldenta Joko Samudro
berteman akrab dengan Makdum Ibrahim tak lain adalah putra dari Sunan Ampel
yang nantinya bergelar Sunan Bonang. Joko Samudro saat di Ampeldenta diberi
nama oleh Sunan Ampel atas permintaan dari Maulana Ishak yakni Raden Paku.
Sunan Ampel sendiri memberi julukan kepada Joko Samudra dengan nama M.
Ainul Yaqin karena kejujuran serta ketaatannya dengan sang Guru yakni Sunan
Ampel sendiri. Dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi, Raden Paku dan Raden
Makdum Ibrahim akan pergi ke Mekkah untuk naik haji sekaligus menuntut ilmu.
Setelah sampai di Malaka dan singgah disana mereka bertemu dengan Maulana
Ishak yang merupakan ayah kandung Raden Paku. Mereka kemudian diberi ilmu
keislaman termasuk ilmu tasawuf. Menurut cacatan pada silsilah Bupati Gresik
pertama yakni Kyai Tumenggung Poesponegoro, bahwa disana disebutkan Maulana
Ishak dan Sunan Giri adalah guru Tarekat Sayathariyah. Maka bisa dikatakan aliran
tasawuf dari Sunan Giri adalah aliran Tasawuf Tarekat Sayathariyah.

Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, beliau
membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, selatan Gresik, Jawa
Timur. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Oleh sebab itu, beliau dijuluki Sunan
Giri. Pesantrennya tidak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti
sempit, tapi juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Kono, raja Majapahit,
karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan, memberi keleluluasaan
padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantrennya pun ikut berkembang
menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton.

Dalam perkembangannya, Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik terpenting di


Jawa waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri
malah bertindak sebagai penasehat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal
tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh
Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti (pemimpin tertinggi keagamaan) di tanah
Jawa.

Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran
Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan
Amangkurat II pada abad 18. Sementara para santri pesantren tersebut juga dikenal
sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau di Nusantara, seperti Bawean,
Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke
Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri
yang berasal dari Minangkabau.

Baca Juga: Biografi Lengkap KH Bisri Syansuri Beserta Ajarannya

Dakwah Sunan Giri banyak melalui berbagai macam metode, mulai dari pendidikan,
budaya, serta politik. Dalam bidang pendidikan, Sunan Giri tidak hanya didatangi
oleh para santrinya dari berbagai daerah, melainkan juga Sunan Giri tidak segan-
segan untuk mendatangi masyarakat dan menyampaikan ajaran Islam dengan
empat mata. Setelah keadaan memungkinkan, masyarakat dikumpulkan dengan
acara-acara selametan, upacara, dan lainnya, yang kemudian ajaran agama Islam
disisipkan lambat laun masyarakat mulai melunak dan mengikuti ajaran Islam.

Dalam bidang budaya, Sunan Giri mengembangkan dakwah Islam juga dengan
mamanfaatkan seni pertunjukan yang menarik minat masyarakat. Sunan Giri juga
dikenal pencipta tembang Asmaradhana dan Pucung, kemudian Padang Bulan, Jor,
Gula Ganti, dan permainan anak-anak Cublak-cublak Suweng. Beliau wafat pada
tahun 1506 M dan dimakamkan di atas bukit di daerah Dusun Giri Gajah, Desa Giri,
Kecamatan Kebomas, Gresik, Jawa Timur.
5. Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati Maulana Al-Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1448 M.
ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa.
Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abd Allah Maulana Huda, pembesar Mesir
keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Sunan Gunung Jati penyebar Islam terbesar
di Jawa Barat. Dalam Babad Cirebon Naskah Klayan, banyak kisah tak masuk akal
yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah
mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj lalu bertemu Rasulullah SAW,
bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. Kesemuanya ini hanya
mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati.

Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama
Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai Negara. Menyusul berdirinya Kesultanan
Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan
Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Dengan demikian,
Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan.
Sunan Gunung jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk
menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun
ia juga mnedekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang
menghubungkan antar wilayah.

Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan


ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela
penguasaan wilayah banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan
Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk
hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran
Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di
Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati,
sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

Perjalanan Hidup Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati lahir sekitar 1450 dengan nama Syarif Hidayatullah. Ayahnya
adalah Syarfi Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar. Jamaluddin Akbar
adalah seorang muballig besar dari Gujarat, India. Bagi kamu sufi, Jamaluddin Akbar
dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar. Dia merupakan keturunan Rasulullah SAW.,
melalui jalur keturunan Husain bin Ali. Mengenai ibundanya, bernama Nyai Rara
Santang.

Adapun silsilah Sunan Gunung Jati berdasarkan dari garis ayahnya, sebagai berikut:

Kanjeng Nabi Muhammad Rosulullah SAW., Siti Fatimah (istri Sayyidina Ali R.A),
Sayid Khusein, Sayid Jaenal Abidin, Muhammad Bakir, Jafar Siddiq (di Irak), Kasim
Al-Kamil, Idris, Albakir, Akhmad, Baidillah, Muhammad, Alwi, Ali Gajam, Muhammad,
Alwi (di Mesir), Abdul Malik (di India dari Hadramaut), Amir, Jalaluddin, Jamaluddin
(di Kamboja), Nurul Alim (beristri putri Negara Mesir), Syarif Abdullah (beristris Ratu
Mas Rarasantang), Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Nama ibu Sunan Gunung ialah Nyai Rara Santang yang kemudian diubah menjadi
Syarifah Muda’im. Ia merupakan putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi yang
memperistri Nyai Subang Larang. Ia merupakan adik Kian Santang dan Pangeran
Walangsungsang yang mempunyai gelar Cakrabuwana atau Cakrabumi yang
dikenal dengan Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru pada Syekh Datuk Kahfi,
muballigh yang berasal dari Baghdad yang nama aslinya adalah Idhadi Mahdi bin
Ahmad. Silsilah dari ibunya sebagai berikut:

Prabhu Panji Kuda Lelean (Maharaja Adimulya), Prabhu Ciung Wanara, Prabhu
Dewi Purbasari, Prabhu Lingga Hiang, Prabhu Wastu Kancana, Prabhu Susuk
Tunggal, Prabhu Banyak Larang, Prabhu Banyak Wangi, Prabhu Mundingkawati,
Prabhu Anggalarang, Prabhu Siliwangi, Ratu Mas Rarasantang atau Syarifah
Muda’im, Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah.

Nama Sunan Gunung Jati begitu banyak, antara lain: Syarif Hidayatullah dan
Makhdum Gunung Jati, yang paling terkenal ialah dengan nama Falatehan atau
Fatahillah.

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah banyak yang menganggap mempunyai
nama Fatahillah, padahal kenyataannya mereka beda orang. Mengenai Sunan
Gunung Jati merupakan salah satu cucu Raja Pajajaran yang ikut menyebarkan
agama Islam di Jawa Barat, yang kemudian dikenal sebagai salah satu dari
Sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Mengenai asal-usul
Fatahillah, ialah pemuda yang dikirim Sultan Trenggana dari Pasai guna membantu
Sunan Gunung Jati dalam memberantas Portugis.
Dikenal Sunan Gunung Jati, karena ia meneruskan kiprah dari Syekh Datuk Kahfi
dengan membangun Pesantren Gunung Jati. Lalu ia menikah dengan Nyi
Pakungwati, putri dari Pangeran Cakrabuana yang tidak lain adalah pamannya
sendiri yang bernama asli Pangeran Walangsungsang. Di tahun 1479, ia
menyerahkan Negeri Caruban kepada Sunan Gunung Jati. Selain sebagai
ponakannya sendiri, ia adalah menantunya sendiri. Roda-roda pemerintahan oleh
Sunan Gunung Jati untuk menyebarkan agama Islam lebih luas lagi.

6. Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga Maulana Muhammad Syahid, seorang da’i yang banyak bepergian,
penulis nasihat-nasihat keagamaan yang dituangkan dalam bentuk wayang. Dia
mengadopsi seni Jawa sebagai salah satu cara memperkenalkan ajaran tauhid.
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar
tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban, keturunan dari
tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, arya Wilatikta diperkirakan
telah menganut Islam.

Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama
panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden
Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang
disandangnya. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun
Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan
bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan
kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”.
Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang
menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan
demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478),
Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang
yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan
Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung
Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan
salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat
dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf”
-bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan
sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia
berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka
mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama
hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia
menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana
dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang
Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton,
alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk
Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura,
Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga
dimakamkan di Kadilangu, selatan Demak.

Perjalanan Hidup Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga salah satu di antara sembilan tokoh Wali Songo yang memiliki peran
atas penyebaran Islam di tanah jawa. Nama kecilnya, Raden Said, namun banyak
nama lain yang ia sandang seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban dan
Raden Abdurrahman. Sederetan nama tersebut mempunyai sejarah tersendiri
baginya. Kehidupan yang unik dan menarik, membuat ia menyandang banyak nama.

Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi, di Tuban, dari seorang ayah yang menjabat
Adipati Tuban Arya Wilatikta di bawah pimpinan kerajaan Majapahit. Mengenai asal-
usul Sunan Kalijaga ada beberapa pendapat, pertama ada yang mengatakan bahwa
ia memiliki keturunan Arab dan pendapat kedua menyatakan bahwa ia orang asli
Jawa.

Dalam sumber yang lain, mengatakan bahwa Sunan Kalijaga keturunan dari Arab,
China, dan Jawa. Seperti yang dituturkan oleh Rahimsyah, Sunan Kalijaga
keturunan Jawa. Bagi Ricklefs (1998), bahwa sejarah bangsa Indonesia sebelum
Belanda tidak akurat, bahkan ia menambahkan tidak dapat dipercaya, tentu saja
banyak versi sejarah. Karena, yang beredar dari mulut ke mulut. Hal ini juga
ditegaskan oleh Atmodarminto (2001), sejarah Jawa dalam banyak buku utamanya
pada babad kebanyakan tercampur dongeng serta mitos, untuk dilacak lebih jauh
sangat tidak masuk akal.

Kemudian Sunan Kalijaga menikahi Dewi Sarah binti Maulana Ishak. Dari
pernikahannya dengan Dewi Saroh, Sunan Kalijaga dikarunai tiga anak, di
antaranya: Raden Umar Saidi yang kemudian hari meneruskan jejak Sunan Kalijaga,
yang dikenal dengan sebutan Sunan Muria, Dewi Rakayuh, dan Dewi Sofiah. Untuk
melacak lebih jauh sejarah Dewi Sarah yang merupakan putri Maulana Ishak.
Maualana Ishak Sendiri memiliki anak, di antara Dewi Saroh dan Sunan Giri.

Dalam menyebarkan Islam, ia mempunyai siasat atau cara yang unik dan menarik di
antara para wali lainnya. Ia mendekati masyarakat, mengikuti yang kemudian
dipelajari bagaimana masyarakat dapat menerima ajarannya. Hal inilah yang
membuat masyarakat saat itu, senang atas kehadirannya. Ia tidak serta menyerang
ajaran lama masyarakat yang masih kental dengan ajaran Hindu-Budha.
Kejeniusannya dalam menghadapi masyarakat yang kental dengan ajaran lamanya,
tidak sampai mengubah secara total melainkan diteruskan dengan cara serta sikap
yang tidak antipati terhadap masyarakat. Bahkan, ia melestarikan kebudayaan serta
tradisi yang sudah mengakar dengan suatu pandangan yang berbeda.

Kendati demikian, Sunan Kalijaga merumuskan beberapa aspek yang sekiranya


penting dalam penyebaran Islam. Pertama, ia melakukan suatu gerakan terhadap
masyarakat dengan berbaur bersama masyarakat, melihat kesukaan mereka
terhadap apapun. Kedua, ia melakukan sebuah upaya sedikit demi sedikit
memperkenalkan ajaran Islam. Ketiga, membaurkan ajaran Islam dengan ajaran
sebelumnya yang sudah menjadi budaya-tradisi.

Ia sangat terbuka terhadap nilai-nilai yang sudah ada. Artinya, ia tidak hanya
menunggulkan sikap keislamannya saja. Toleransi keagamaan menjadi ciri khas
utama dan yang terpenting menghargai masyarakat dengan ragam polanya. Ia
menyediakan ruang yang terbuka bagi masyarakat dengan keseniannya,
budayanya, tradisinya. Dari sikapnya yang terbuka itulah, ia banyak mengetahui ke
mana arah keinginan masyarakat. Ia memahami betul kode etik atau tidak
menyinggung perasaan masyarakat.

Proses dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga banyak yang berbeda dengan
para sunan-sunan sebelumnya yang lebih cenderung formal. Perbedaan inilah yang
kemudian membuat masyarakat menemukan nilai kehidupannya. Sementara pada
sisi lain ia memperhatikan ajaran kedua agama tersebut sudah jauh berkembang
sebelum Islam. Ia memahami, Islam sebagai agama anyar yang masih asing di
kalangan masyarakat Nusantara harus disampaikan dengan cara-cara lain. Hal
tersebut menjadi suatu persoalan bagaimana masyarakat dapat menerima ajaran
baru yang dibawa olehnya. Maka, tercetus sebuah ide dengan memanfaatkan
kebudayaan lokal, yaitu kesenian.

Kesenian yang waktu itu hanya sebagai hiburan saja, di tangan Sunan Kalijaga
berubah fungsi menjadi salah satu kegiatan dalam menyebarkan Islam. Utamanya
pada wayang untuk mengajarkan fungsi-fungsi Islam pada kehidupan sehari-hari.
Pada saat yang bersamaan itu juga, ia menyisipkan kata-kata yang tidak dapat
dipahami oleh masyarakat hingga ada kemauan dari mereka untuk bertanya maksud
dan arti dari kata-kata yang diujarkan olehnya. Proses inilah yang memberikan
banyak pengaruh pada mereka. Ruang dialektika atau pertukaran pemikiran
semakin membuat Sunan Kalijaga merasa yakin dapat mengislamkan masyarakat.

Dalam versi lain juga disebutkan melalui sebuah kisah. Seperti yang tertera dalam
gending Wali Songo. Ada beberapa hal yang dapat dipetik melalui kisah tersebut,
sebagai berikut:

Pada suatu hari terpetiklah sebuah ide atau gagasan dari para wali untuk mengajak
masyarakat untuk masuk agama Islam. Tabuhan diletakkan di dalam masjid tanpa
ada yang nabuh bergending sendiri. Melalui gending tersebut, masyarakat sekitar
yang mendengarnya terperanjat dengan kesyahduan lagu, selanjutnya masyarakat
berkumpul untuk melihat dan ingin langsung ke tempat. Sedang di pintu para wali
sudah berkumpul. Untuk masuk ke tempat tersebut harus membayar karcis. Karcis
itu bukan berupa uang melainkan sebuah kalimat syahadat, yang dikenal dengan
kalimosodo. Bagi yang membaca kedua kalimat tersebut diizinkan masuk sedang
bagi yang lain masih harus menunggu sampai mereka membaca kedua kalimat
tersebut.

Setelah mereka masuk ke dalam, mereka terperangah sekaligus terkejut melihat


alat-alat gamelan. Gamelan alat yang sudah disesuaikan dengan perintah umat
Islam. Kemudian para wali menjelaskan salah satu dari alat tersebut. Pertama,
Gambang alat musik yang berisi 17 yang sesuai dengan shalat lima waktu sehari-
semalam (Dzuhur, Ashar, Magrib, Isya’ dan Subuh). Kedua, Bonang berisi 10 karena
ada dua menjadi 20, yang sesuai dengan sifat Tuhan yang 20 puluh. Ketiga, Kentir
bermakna sebagai ajeg selalu kepada Tuhan. Keempat, Saron berisi 6 sesuai
dengan Rukun Islam. Kelima, Seruling disuruh berseru atau ingat selalu pada Tuhan
yang mencipta alam dan seisinya. Keenam, Gendang yang disuruh ajeg selalu pada
Tuhan, bunyi Ta’ bermakna suruh minta pada Tuhan, Tung bermakna selalu
menyatu, Deng bermakna harus selalu sigap selalu.

Mengenai kidung ciptaan Sunan Kalijaga yang sampai saat ini masih trend
dikalangan masyarakat, khususnya bagi pemain lakon ketoprak, tayub, dan
kelompok macapat akan mengerti kidung ciptaan Sunan Kalijaga yang dikenal
dengan dhandhanggula. Adapun isi dhandhanggula sendiri berbunyi sebagai berikut:

Ana kidung rumeksa ing wengi

Teguh hayu luputa ing lara

Luputa bilahi kabeh

Jim setan datan purun

Paneluhan tan ana wani

Miwah panggawe ala

Gunaning wong luput


Geni atemahan tirta

Maling adoh tan ana ngarah ing mami

Guna duduk pan sirna.

Ada kidung melindungi di malam hari

Penyebab kuat terhindar dari segala kesakitan

Terhindar dari segala petaka

Jin dan setan pun tidak mau

Segala jenis sihir tidak berani

Apalagi perbuatan jahat

Guna-guna dari orang tersingkir

Api menjadi air

Pencuri pun menjauh dariku

Segala bahaya akan lenyap.

7. Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah Maulana Ja’far al-Shadiq ibn Sunan Utsman. Nama kecilnya
Ja’far Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan
Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah
seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan
Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang, kegiatannya berpusat di Kudus,
Jawa Tengah. Berkat ketinggian ilmu dan kecerdasan pemahamannya, oleh orang-
orang Jawa dijuluki walinya ilmu.

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke


berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen Simo hingga Gunung Kidul.
Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada
budaya setempat, bahkan cara penyampaiannya lebih halus.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan


simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk
menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan
Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Baca Juga: Biografi Lengkap KH. Syaerozie Beserta Ajarannya

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya


secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah
pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa
kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana
ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut
bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur
melawan Adipati Jipang, Arya Panangsang.

Perjalanan Hidup Sunan Kudus

Sunan Kudus salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di
tanah Jawa. Ia diperkirakan lahir pada 9 September 1400 Masehi/808 Hijriah. Ada
juga yang mengatakan kalau Sunan Kudus lahir sekitar tahun 1500, dan meninggal
tahun 1550, makamnya berada di Kudus. Adapun nama dari Sunan Kudus sendiri,
ialah Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan.

Mengenai asal-usul atau silsila Sunan Kudus, ia merupakan putra dari Sunan
Ngudung atau Raden Usman Haji. Ibunya bernama Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil.
Yang diberi Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Jika
diurut, Sunan Kudus akan sampai pada Nabi Muhammad, yang keturunan ke-24.
Untuk mengetahui lebih lanjut silsilahnya sebagai berikut:

Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-
Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik
Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’
Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa
bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad
Rasulullah.

Sunan Kudus dapat mewarisi kepribadian orang China (baca: Tiongkok), ketika ia
berguru pada Kyai Telingsing. Pelajaran berharga yang ia dapatkan dari Kyai
Telingsing, ia menjadi pribadi yang tekun, disiplin untuk meraih keinginannya.
Keinginan yang ia dambakan saat melakukan dakwah untuk menyebarkan syiar
Islam. Ia berhadapan dengan masyarakat yang mempunyai ajaran yang taat, yang
sukar sekali dapat dirubah dalam waktu dekat. Berkat ketekunannya ia dapat
merubah masyarakat yang beragama Hindu dan Budha ke Islam. Selesai berguru
pada Kyai Telingsing, kemudian ia hijrah ke Surabaya guna belajar pada Sunan
Ampel.

Setelah ia selesai menimba ilmu dari para guru-gurunya. Ia berkelana ke berbagai


daerah di Jawa Tengah, utamanya di jalur selatan seperti Sragen, Simo (Boyolali)
sampai ke Gunung Kidul (Yogyakarta).
Adapun metode dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus, ia meniru pola atau cara
yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Guna melacak lebih jauh
metode dakwah yang dilakukannya sebagai berikut:

 Untuk merubah suatu masyarakat yang masih kental dengan ajaran


lamanya. Sunan Kudus memberikan kelonggaran terhadap adat istiadat
yang sudah berkembang sejak lama. Asal tidak menggunakan jalan
kekerasan atau radikal saat berhadapan dengan masyarakat.
 Ada yang tidak sesuai dengan Islam, selagi itu dapat diubah, Sunan
Kudus berusaha perlahan-lahan dihilangkan.
 Tut Wuri Handayani yang berarti ikut serta dan nimbrung dengan
kegiatan masyarakat dengan sedikit demi seidikit mempengaruhinya.
Sesuai dengan sebuah prinsipTut Wuri Hangiseni: masuk secara perlahan
lalu memberikan nuansa Islam di dalamya.
 Tidak melakukan konfrontasi langsung atau melakukan
tindakkekerasan. Prinsip dikenal dengan sebuah ujaran, mengambil ikan
tetapi tidak sampai mengeruhkan airnya.
 Berusaha menarik simpati masyarakat agar menyukai ajaran agama
Islam. Sehingga, secara perlahan mereka akan mengikuti.

Mengenai bagaimana cara Sunan Kudus melakukan pendekatan dan bentuk model-
model yang ditemui. Kecerdasannya dalam mendekati umat beragam menarik. Hal
itu dapat dilacak melalui kiprahnya yang sampai sataa ini masih dikenang.
Pendekatan-pendekatan persis dengan cara Sunan kalijaga. Namun, ia mempunyai
cara tersendiri dalam mendekati masyarakat yang berbeda agama. Untuk
mengetahui lebih lanjut bagaimana model strategi pendekatan yang dilakukan oleh
Sunan Kudus, dapat dipetakan sebagai berikut:

Pertama, ia mendekati umat Hindu. Ia mengajarkan toleransi dengan cara


menghormati sapi yang memang keramat dalam agama Hindu. Cara lain, ialah ia
membangun Menara Masjid dengan model Candi Hindu.

Kedua, ia mendekati umat Budha. Ia membangun tempat wudhu’ yang berjumlah


delapan. pada delapan tempat wudu’ tersebut, ia membangun Arca Kebo
Gumarang, karena ia tahu kalau Arca tersebut dihormati oleh umat Budha.

Ketiga, melakukan pembaharuan dalam acara Ritual Mitoni. Acara ini untuk
bersyukur kepada yang Tuhan berkat kelahiran anak. Acara ini sejak lama
disakralkan oleh umat kedua agama tersebut. Sunan Kudus merubah pola atau cara
penyembahan yang biasa kepada arca, diubah menjadi bersyukur kepada Allah.

Dengan ketiga model pendekatan tersebut, Sunan Kudus berhasil membawa kedua
umat beragam tersebut masuk Islam. Hal ini bertujuan untuk menarik simpati
masyarakat agar mudah ikut ke ajaran Islam. Sehingga, mereka masuk tanpa
adanya unsur paksaan seperti yang memang menjadi landasan Islam. Artinya,
Sunan Kudus perlahan mengintrik psikologi kedua agama tersebut, dengan tanpa
sadar mereka masuk Islam dengan sendirinya.

Sampai-sampai model masjid, utamanya Menara merupakan salah satu bukti


berapa Sunan Kudus tidak segan-segan untuk mengadopsi tradisi arsitektur yang
selama ini dikembangkan oleh kalangan pemeluk Hindu dan Budha sebagaimana
umumnya bangunan candi peninggalan mereka.

Itulah kelebihan Sunan Kudus selain sebagai salah satu panglima perang yang
pernah dimiliki oleh Demak Bintoro. Ia tidak hanya cerdas dalam mengatur strategi
perang, melainkan juga cerdas dalam mengajak masyarakat dalam agama Islam.
Asumsi tersebut tidak lain, hanyalah untuk membawa masyarakat menuju suatu
ajaran yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadist dengan mengubah pola pikir yang
sebelumnya. Pendekatan ini lebih kepada nilai-nilai kebudayaan serta tradisi yang
suda berkembang sebelumnya.

8. Sunan Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M) adalah tokoh pertama yang memperkenalkan
Islam di Jawa. Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy lahir di
Samarkand, Asia Tengah. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya
Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah
menjadi Asmarakandi.

Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat
malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama
terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim
dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro,
yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan
ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga
belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua
putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali
Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu,
tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan
keluarganya.

Perjalanan Hidup Maulana Malik Ibrahim

Sunan Gresik atau yang lebih dikenal dengan Maulana Malik Ibrahim adalah salah
satu dari sembilan wali (Walisongo). Menurut para sejarawan, beliau dianggap
sebagai wali pertama yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Beliau
dimakamkan di Desa Gapurosukolilo, Gresik, Jawa Timur.

Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana
Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa
asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan
menisbatkan asal keturunannya dari wilayah Arab Maghrib di Afrika Utara. Babad
Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-
Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim
Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand,
Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.

Dalam buku The History of Java, mengenai asal mula dan perkembangan kota
Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, Maulana
Malik Ibrahim merupakan seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan
dari Jenal Abidin, dan sepupu raja Chermen (sebuah negara Sabrang), yang
menetap bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di Jang’gala. Namun,
kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette
atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di Desa Gapura Wetan, Gresik;
yang mengindikasikan bahwa beliau berasal dari Kashan, suatu tempat di Persia
(sekarang Iran).

Adapun dalam berdakwah, para sejarawan menyatakan bahwa Maulana Malik


Ibrahim dianggap sebagai wali pertama yang menyebarkan agama Islam di tanah
Jawa. Beliau datang ke Nusantara (Jawa) tidak sendirian, disertai beberapa orang.
Dan, daerah yang pertama kali disinggahinya ialah Desa Sembalo yang terletak di
daerah Leran, Kecamatan Manyar, sembilan kilometer dari Kota Gresik. Beliau
menyebarkan agama Islam dimulai dari Jawa bagian timur, dengan mendirikan
masjid pertama di Desa Pasucinan, Manyar.

Dalam berdakwah, pertama-tama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim adalah


mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah dan santun
diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam
agama dan kepercayaan hidup dari penduduk pribumi, melainkan hanya
memperlihatkan keindahan dan kebaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat
keramah-tamahannya serta sifatnya yang lembut tersebut membuat masyarakat
tertarik untuk memeluk agama Islam.

Setelah berhasil memikat hati masyarakat sekitar, aktivitas selanjutnya yang


dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat
pelabuhan terbuka (sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar). Akivitas berdagang
ini membuat beliau dapat berinteraksi dan lebih dekat dengan masyarakat luas,
khususnya dengan orang-orang dari kerajaan dan para bangsawan yang ikut serta
dalam kegiatan perdagangan baik sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal, maupun
pemodal.

Setelah dakwahnya (diterima) oleh masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian


melakukan kunjungan ke daerah Trowulan, ibukota Majapahit. Meskipun raja
Majapahit tidak masuk Islam, namun kehadiran Maulana Malik Ibrahim disambut
dengan baik, bahkan beliau diberikan sebidang tanah di pinggiran Kota Gresik.
Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura.

Selanjutnya, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan


menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-
pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam pada masa
selanjutnya. Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar
agama di Leran, Syeh Maulana Malik Ibrahim wafat tahun 1419. Makamnya kini
terdapat di desa Gapura, Gresik, Jawa Timur.

9. Sunan Muria
Sunan Muria Maulana Raden Umar Said putera Raden Mas Said. Bergelar Sunan
Muria karena dimakamkan di dataran tinggi Muria, Jawa tengah. Ia putra Dewi
Saroh, adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan
Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari
tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota
Kudus.

Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun


berbeda dengan Sang Ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat
terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan
rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam,
berdagang dan melaut adalah kesukaannya.

Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di
Kesultanan Demak (1518-1530). Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu
memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi
pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan
Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah
satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

Perjalanan Hidup Sunan Muria

Sunan Muria salah satu Wali Songo yang dilahirkan kira-kira pada abad 15. Nama
aslinya ialah Raden Umar Said atau dikenal dengan sebutan Raden Said. Sedang
nama kecil darinya, Raden Prawoto. Ia putra dari Sunan Kalijaga dari Dewi Sarah
binti Maulana Ishak. Ia tiga bersaudara dengan Dewi Rakayuh, dan Dewi Sofiah.
Sunan Muria merupakan cucu dari Maulana Ishak, dan pamannya Sunan
Giri.Kemudian ia menikah dengan Dewi Sujinah, yang tidak lain putri dari Sunan
Ngudung. Kemudian ia menjadi adik ipar Sunan Kudus.

Itu versi utama dari dua pendapat yang menyatakan Sunan Muria putra dari Sunan
Kalijaga. Seperti yang diungkapan oleh Umar Hasyim dalam buku Sunan Muria:
Antara Fakta dan Legenda yang diterbitkan Menara Kudus pada tahun 1985.
Sedang dalam versi kedua, merupakan buku berjudul Pustoko Darah Agung yang
ditulis oleh R. Darmowasito, yang menyatakan bahwa Sunan Muria putera dari
Raden Usman Haji atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ngudung. R.
Darmowasito menyatakan kalau Sunan Ngudung yang menikah dengan Dewi
Sarifah melahirkan empat putra, di antaranya: Raden Umar Said, Sunan Giri II,
Raden Amir Haji atau Sunan Kudus,serta Sunan Giri II.

Ia mempunyai peran besar dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.


Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Sunan Muria tidak jauh berbeda dengan
Sunan Kalijaga yaitu mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat
dakwah. Ia berdakwah pada rakyat jelata di daerah Colo, tempat beliau berdakwah.
Namun tempat tinggal beliau terletak di puncak Gunung Muria. Ia merasa nyaman di
sana, karena ia bergaul bersama rakyat jelata, seraya mengajarkan bercocok tanam,
berdagang dan melaut.

Bahkan, lewat kesenian itu sebagai media dakwah ia menghasilkan sebuah


tembang Sinom dan Kinanti. Adapun wilayah yang menjadi sasaran dakwahnya
meliputi, Tayu, Juwana, Kudus, dan Lereng Gunung muria. Kemudian beliau dikenal
dengan sebutan Muria, karena letaknya yang berada di Lereng Gunung Muria.
Dengan tembang-tembang itu ia mengajak umat agar mengamalkan ajaran Islam
dalam kehidupan sehari-hari. Selain alasan tinggal di sana, ia merasa senang
tinggal dengan masyarakat sekitar daripada ia berdakwah pada kalangan kaum
bangsawan.

Pribadi yang ditampakkan Sunan Muria tidak lagi seperti kedudukannya sebagai
wali, tetapi ia berbaur dengan masyarakat. Dengan itu ia dapat mengetahui keluhan
masyarakat, kebutuhan. Hal inilah yang ia pelajari dari ayahnya Sunan Kalijaga.
Gaya-gaya atau cara berdakwah Sunan Kalijaga tidak ia hapus, ia hanya melakukan
beberapa pembenahan yang sekiranya itu penting untuk diubah.

Ada hal yang harus diketahui, kenapa Sunan Muria lebih suka berdakwa pada
kalangan bawah, tidak lain karena ia mengikuti jejak sang ayah. Pada ajaran
Walisongo ada dua aliran yang memiliki karakter berbeda dalam berdakwah, antara:

 Golongan pertama, yaitu: Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan


Muria, Sunan Kudus, dan Snan Gunung Jati. Golongan ini lebih terkesan
moderat dalam menjalankan dakwahnya, lunak dan mereka memanfaatkan
kebudayaan dan tradisi yang pernah ada.
 Golongan kedua, yaitu: Sunan Giri, Sunan Ampel dan Sunan Derajat.
Golongan ini lebih kepada metode dakwah yang bersumber pada ajaran
Al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana yang menjadi pedoman umat Islam
pada umumnya.

Golongan pertama disebut sebagai aliran Tuban atau Abangan. Sedang golongan
kedua disebut aliran Putihan atau Santri. Dalam prakteknya, golongan kedua, lebih
suka mendekati kaum ningrat dan kaum hartawan. Akan tetapi golongan kedua,
lebih suka mendekati rakyat jelata.

Selain dikenal sebagai pendakwah yang lues, Sunan Muria mempunya kesaktian
yang luar biasa. Ini dibuktikan fisik kuat karena ia sering naik-turun Gunung Muria
yang memiliki ketinggian 750 meter. Setiap hari ia mendaki dan turun untuk
menyebarkan agama Islam kepada masyarakat sekitar. Andai fisiknya lemah, tentu
ia tidak akan sampai bertahun-tahun bisa melakukan yang demikian. Sampai akhir
hayatnya ia terus melakukan dakwahnya setiap hari.

Bahkan, Sunan Muria dikenal sebagai soerang yang menjadi penengah ketika ada
persoalan, utama ketika terjadi konflik internal di Kesultanan Demak, pada tahun
1518-1530. Seperti ayahnya, Sunan Kalijaga,ia terkenal pribadi yang mampu dalam
memecahkan berbagai persoalan, betapapun hal itu sangat rumit. Solusinya dapat
diterima oleh kelompok yang sedang berseteru.

Dengan dalih tersebut, Sunan Muria salah satu Wali Songo yang terkenal dengan: Ia
seorang yang pemberani. Ia seorang yang sakti mandraguna. Ia orang seorang yang
berwibawa. Ia seorang yang pandai memecahkan masalah. Ia juga seorang yang
banyak berjasa.
Strategi dakwah Wali Songo
Wilayah dakwah
Wilayah atau daerah persebaran dakwah menjadi salah satu hal penting
dalam menyebarkan agama Islam oleh Wali Songo.

Penentuan wilayah atau tempat dakwah dipertimbangkan oleh beberapa


faktor, salah satunya adalah geografis.

Jawa Timur menjadi daerah yang menjadi tujuan utama para Wali
menyebarkan Islam.

Beberapa tokoh yang berdakwah di Jawa Timur di antaranya Maulana


Malik Ibrahim, Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Bonang dan Sunan Drajat.

Wilayah yang menjadi daerah dakwah mereka adalah Gresik, Surabaya,


Tuban, dan sedayu.

Di Jawa Tengah, fokus dakwah Islam berada di kota pesisir, seperti


Demak, Kudus dan Lasem. Adapun Sunan Kalijogo dan Sunan Muria
berperan penting dalam penyebaran di wilayah tersebut.

Sedangkan di Jawa Barat, Sunan Gunung Jati berperan aktif untuk


menyebarkan ajaran Islam di sana.

Baca juga: Wali Songo dan Wilayah Penyebarannya


DOK. Kementerian Agama RI Masjid Menara Kudus, Jalan Menara, Kauman, Kudus, Jawa Tengah
DOK. Kementerian Agama RI

Asimilasi Budaya
Para Wali berani menggunakan sarana seni dan budaya sebagai alat
dakwah karena hal itu sudah mengakar bagi masyarakat Jawa saat itu.

Strategi dakwah Islam di Nusantara ini bertujuan menyisipkan pesan-pesan


dari ajaran Islam melalui berbagai seni dan budaya di Jawa.

Salah satunya adalah dakwah dengan metode pertunjukan wayang,


macapat, berupa tembang, gamelan, sekaten, dll.

Pendidikan
Hal pertama yang dilakukan oleh para Wali saat akan berdakwah di suatu
tempat adalah dengan membangun sarana dakwah, salah satunya adalah
langgar atau masjid.
Langgar atau masjid tersebut dibangun berdekatan dengan rumah yang
mereka tinggali. Hal ini bertujuan untuk memudahkan untuk menyebarkan
Islam.

Baca juga: Wali Songo: Penyebar Islam di Tanah Jawa

Dalam perkembangannya, ketika persebaran Islam mulai diterima oleh


masyarakat, maka akan dibangun sarana pendidikan berupa pondok
pesantren.

Pondok pesantren tersebut digunakan untuk menampung warga sekitar


atau dari berbagai daerah yang ingin belajar tentang Islam ke para Wali.

Cara Wali Songo dalam berdakwah di Jawa ini sangat mirip dengan
pendidikan Hindu-Buddha dalam mendidik para wiku.

Mereka memiliki tujuan pendidikan dan kurikulum yang ketat dan


terstruktur. Di pesantren, kurikulum yang diberikan berupa ilmu aqidah,
hadis, fiqih hingga tafsir.

Selain itu, juga diberikan ilmu ketatanegaraan, ekonomi, pertanian dan bela
diri. Hal ini bertujuan untuk mencetak kader dakwah yang tangguh.

Peran Walisongo dalam Peradaban Islam di Indonesia.

 Wali Songo dan Dakwah Islam

Proses islamisasi di Indonesia khususnya di Tanah Jawa merupakan hasil dakwah


dan perjuangan yang dilakukan oleh Wali Sembilan ataupun sebenarnya lebih dikenali
sebagai Wali Sanga atau Wali Songo.

Menurut Hasanu Simon, pengaruh penyebaran agama Islam di Tanah Jawa ini telah
menjadi semakin meluas setelah Sultan Muhammad I dari Turki mengutuskan satu pasukan
dakwah Islam ketika rakyat dan penguasa Majapahit menghadapi kemelut politik, ekonomi
dan keamanan akibat dari perang saudara yaitu Perang Paregreg pada tahun 1401 hingga
1406. Alwi Shibab pula telah mengklasifikasikan peranan Wali Songo dalam proses
penyebaran Islam ini kepada dua tahap yaitu tahap pertama adalah kehadiran Wali Songo
yang berhasil memantapkan dan mempercepat proses islamisasi pada abad pertama Hijriah
tetapi kebanyakan dakwah pada tahap ini hanya terbatas pada wilayah-wilayah tertentu saja.
Tahap kedua adalah tahap islamisasi yang berlangsung pada abad ke-14 Masehi yaitu dengan
kedatangan tokoh-tokoh dari keturunan Ali dan Fathimah binti Rasulullah SAW.

Dakwah Islam pada tahap ini telah berkembang dengan cepat dan sampai kepada
kepuncak kegemilangannya sekitar abad ke-15 hingga ke- 17 Masehi dan ini merupakan hasil
sumbangan para wali tersebut. Organisasi dakwah yang sistematik dan tersusun inilah yang
telah membawa kepada berbagai kemajuan dan sumbangan dari para wali ini di Indonesia
khususnya di Jawa.

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Secara terminologinya, perkataan Wali Songo ini merupakan kata majemuk yang
berasal dari pada dua perkataan yaitu wali dan songo. Perkataan wali yang berasal dari
bahasa Arab merupakan singkatan dari Wali yullah yang membawa maksud “orang yang
mencintai dan dicintai Allah”. Dan kata songo pula berasal dari bahasa Jawa yang bermaksud
sembilan. Wali songo (sembilan wali) tersebut yaitu:
1. Sunan Gresik atau Mulana Malik Ibrahim

2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat

3. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim

4. Sunan Drajat atau Raden Qasim

5. Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq

6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin

7. Sunan Kali Jaga atau Raden Said

8. Sunan Muria atau Raden Umar Said

9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah

3.2 Saran

Dalam menelusuri lebih jauh tentang peran wali songo terhadap peradaban Islam di
Indonesia, kita perlu memiliki literatur dan bahan bacaan serta menuntut ilmu, agar
pengetahuan kita tentang peran wali songo tidak hanya terpaku pada satu masalah saja, akan
tetapi secara luas dan menyeluruh. Demikianlah makalah ini kami buat, kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai