Anda di halaman 1dari 5

Sunan Kalijaga

Riwayat
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan
Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran
Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu)
yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Kelahiran

Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra
adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan
Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.
Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di
Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau
jaga kali.

Silsilah

Terkait asal usulnya, ada dua pendapat yang berkembang. Pendapat pertama, adalah yang
menyatakan Sunan Kalijaga orang Jawa asli. Pendapat ini didasarkan pada catatan historis Babad
Tuban. Di dalam babad tersebut diceritakan, Aria Teja alias 'Abdul Rahman berhasil
mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari perkawinan tersebut
Aria Teja kemudian memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Catatan Babad Tuban ini diperkuat
juga dengan catatan masyhur penulis dan bendahara Portugis Tome Pires (1468 - 1540). Menurut
catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa Islam pertama
di Tuban yakni Aria Wilakita, dan Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria
Wilatikta. Adapun pendapat yang kedua adalah menyatakan Sunan Kalijaga adalah keturunan
arab. Pendapat kedua ini disebut-sebut berdasarkan keterangan penasehat khusus Pemerintah
Kolonial Belanda, Van Den Berg (1845 – 1927), yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga
adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai ke Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
Sejarawan lain seperti De Graaf juga menilai bahwa Aria Teja I ('Abdul Rahman) memiliki
silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Muhammad.

Pernikahan

Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana
Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi
Sofiah. Maulana Ishak memiliki anak bernama Sunan Giri dan Dewi Saroh. Mereka adalah
kakak beradik.

Berda'wah

Menurut cerita, Sebelum menjadi Walisongo, Raden Said adalah seorang perampok yang selalu
mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan Hasil Bumi di kerajaannya, merampok orang-
orang yang kaya. Hasil curiannya, dan rampokanya itu akan ia bagikan kepada orang-orang yang
miskin. Suatu hari, Saat Raden Said berada di hutan, ia melihat seseorang kakek tua yang
bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang. Karena tongkat itu dilihat seperti tongkat emas, ia
merampas tongkat itu. Katanya, hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang miskin.
Tetapi, Sang Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu. Ia menasihati Raden Said bahwa Allah
S.W.T tidak akan menerima amal yang buruk. Lalu, Sunan Bonang menunjukan pohon aren
emas dan mengatakan bila Raden Said ingin mendapatkan harta tanpa berusaha, maka ambillah
buah aren emas yang ditunjukkan oleh Sunan Bonang. Karena itu, Raden Said ingin menjadi
murid Sunan Bonang. RadeN Said lalu menyusul Sunan Bonang ke Sungai. Raden Said berkata
bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu menyuruh Raden Said untuk bersemedi
sambil menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke tepi sungai. Raden Said tidak boleh beranjak
dari tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan perintah
tersebut. Karena itu,ia menjadi tertidur dalam waktu lama. Karena lamanya ia tertidur, tanpa
disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya. Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang
datang dan membangunkan Raden Said. Karena ia telah menjaga tongkatnya yang ditanjapkan
ke sungai, maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga. Kalijaga lalu diberi pakaian baru
dan diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang. Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan
dikenal sebagai Sunan Kalijaga. Namun, cerita ini banyak diragukan oleh para sejarawan dan
ulama berpaham salaf karena tidak masuk akal dan bertentangan dengan ilmu syariat

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik
(pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil
memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya
kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam
mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai
sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul
Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan
Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat kota berupa
kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui
Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta
Pajang.
Sunan Bonang

Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana


Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum
Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang
perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang
adipati di Tuban.

Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya


di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana
untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa.
Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas
masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia
mendirikan Masjid Sangkal Daha.

Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem,


Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota
Rembang. Di desa itu ia membangun tempat
pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini
dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal
pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak,
dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi.
Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah
menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke
daerah-daerah yang sangat sulit.

Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di


Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau
inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya
dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung,
setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean
dan Tuban.

Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran


Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah
bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia
menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra
dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan
Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber
air di tempat-tempat gersang.

Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat


'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan
Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan
iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan
kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut
disampaikannya secara populer melalui media
kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini,
Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid
utamanya, Sunan Kalijaga.

Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa


suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah
"Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq
karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya
banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau
burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan
oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah
Fansuri.

Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang


saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi
nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan
Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan
instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki
nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada
kehidupan transedental (alam malakut). Tembang
"Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.

Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah


dalang yang piawai membius penontonnya.
Kegemarannya adalah menggubah lakon dan
memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah
perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan
Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan)
dan 'isbah (peneguhan).
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana
Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum
Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang
perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang
adipati di Tuban.

Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya


di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana
untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa.
Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas
masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia
mendirikan Masjid Sangkal Daha.

Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem,


Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota
Rembang. Di desa itu ia membangun tempat
pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini
dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal
pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak,
dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi.
Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah
menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke
daerah-daerah yang sangat sulit.

Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di


Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau
inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya
dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung,
setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean
dan Tuban.

Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran


Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah
bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia
menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra
dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan
Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber
air di tempat-tempat gersang.

Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat


'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan
Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan
iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan
kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut
disampaikannya secara populer melalui media
kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini,
Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid
utamanya, Sunan Kalijaga.

Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa


suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah
"Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq
karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya
banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau
burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan
oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah
Fansuri.

Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang


saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi
nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan
Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan
instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki
nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada
kehidupan transedental (alam malakut). Tembang
"Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.

Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah


dalang yang piawai membius penontonnya.
Kegemarannya adalah menggubah lakon dan
memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah
perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan
Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan)
dan 'isbah (peneguhan).

Anda mungkin juga menyukai