Anda di halaman 1dari 28

BAB II

PEMBAHASAN

A. SUNAN BONANG
1. Asal usul Sunan Bonang
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya
adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putera Sunan Ampel dan Dewi
Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah puteri Prabu Kertabumi.
Dengan demikian Raden Makdum adalah seorang Pangeran Majapahit karena
ibunya adalah puteri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit.
Sebagai seorang wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se
tanah jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil
Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan
disiplin.
Sudah bukan rahasia bahwa latihan atau riadha para wali itu lebih berat
daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka
Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.
Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku
sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu
negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau
ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak
menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama tasawuf yang berasal dari bagdad, Mesin,
Arab dan Parsi atau Iran.
Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku
pulang ke jawa. Raden paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri
sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di
daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.

2. Bijak dalam Berdakwah


Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan
kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan
yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian
tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak timbulah suara yang merdu
di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat
musik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi,
sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi pendengarnya.
Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang
datang ingin mendengarnya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar
membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden
Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh
kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran
agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang
yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah
mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.
Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban,
Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering
mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar
Sunan Bonang.

3. Karya Satra
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang
karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat,
penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan
rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan
(tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya
disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan
secara biasa dalam bentuk prosa disebut wirid.

4. Kuburannya ada dua


Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal
dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.
Berita segera disebarkan ke seluruh tanah jawa. Para murid berdatangan dari
segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.
Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan beliau di Pulau
Bawean. Tetapi murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan
jenasah beliau dimakamkan di dekat ayahnya yaitu Sunan Ampel di Surabaya.
Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenasah mereka pun tak mau kalah.
Jenasah yang sudah dibungkus dengan kain kafan milik orang bawean masih
ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu
sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut
jenasah Sunan Bonang kedalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena
tindakannya tergesa-gesa kain kafan jenasah tertinggal satu.
Kapal layar segera bergerak ke arah Surabaya, tetapi ketika berada diperairan
Tuban tiba-tiba kapal yang dipergunakan tidak bisa bergerak akhirnya jenasah Sunan
Bonang dimakamkan di Tuban yaitu sebelah barat Mesjid Jami’ Tuban.
Sementara kain kafannya yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada
jenasahnya. Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh khidmat.
Dengan demikian ada dua jenasah Sunan Bonang, inilah karomah atau
kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada
permusuhan diantara murid-muridnya.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Makam yang dianggap asli adalah
yang berada dikota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak yang
diziarahi orang dari segala penjuru tanah air.

B. MAULANA IBROHIM ASMORO QONDI


1. Silsilah Syekh Ibrahim Asmoroqondi
Syekh Ibrahim Asmoroqondi atau Syekh Ibrahim as-Samarqandi yang dikenal
sebagai ayahanda Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel), makamnya terletak di
Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban. Syekh Ibrahim
Asmoroqondi diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh kedua abad
ke-14.Babad Tanah Jawi menyebut namanya dengan sebutan Makdum Ibrahim
Asmoro atau Maulana Ibrahim Asmoro.Sebutan itu mengikuti pengucapan lidah
Jawa dalam melafalkan as-Samarqandi, yang kemudian berubah menjadi
Asmoroqondi. Menurut Babad Cerbon, Syekh Ibrahim Asmoroqondi adalah putera
Syekh Karnen dan berasal dari negeri Tulen. Jika sumber data Babad Cerbon ini
otentik, berarti Syekh Ibrahim as-Samarqandi bukan penduduk asli Samarkand,
melainkan seorang migran yang orang tuanya pindah ke Samarkand, karena negeri
Tulen yang dimaksud menunjuk pada nama wilayah Tyulen, kepulauan kecil yang
terletak di tepi timur Laut Kaspia yang masuk wilayah Kazakhstan, tepatnya dia arah
barat Laut Samarkand.
Dalam sejumlah kajian historiografi Jawa, tokoh Syekh Ibrahim Asmoroqondi
acapkali disamakan dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim sehingga menimbulkan
kerumitan dalam menelaah kisah hidup dan asal-usul beserta silsilah keluarganya,
yang sering berujung pada penafian keberadaan Syekh Ibrahim Asmoroqondi
sebagai tokoh sejarah. Padahal, situs makam dan gapura serta mihrab masjid yang
berada dalam lindungan dinas purbakala menunjuk lokasi dan era yang beda dengan
situs makam Maulana Malik Ibrahim.
Menurut Babad Ngampeldenta, Syekh Ibrahim Asmoroqondi yang dikenal
dengan sebutan Syekh Molana adalah penyebar Islam di negeri Champa, tepatnya di
Gunung Sukasari.Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikisahkan berhasil mengislamkan
Raja Champa dan diambil menantu.Dari isteri puteri Raja Champa tersebut, Syekh
Ibrahim Asmoroqondi memiliki putera bernama Raden Rahmat. Di dalam Babad
Risakipun Majapahit dan Serat Walisana Babadipun Parawali, Syekh Ibrahim
Asmoroqondi dikisahkan datang ke Champa untuk berdakwah dan berhasil
mengislamkan raja serta menikahi puteri raja tersebut. Syekh Ibrahim Asmoroqondi
juga dikisahkan merupakan ayah dari Raden Rahmat (Sunan Ampel).

2. Kedatangan Syekh Ibrahim Asmoroqondi


Di dalam naskah Nagarakretabhumi, Syekh Ibrahim Asmoroqondi disebut
dengan nama Molana Ibrahim Akbar yang bergelar Syekh Jatiswara. Seperti dalam
sumber historiografi lain, dalam naskah Nagarakretabhumi, tokoh Molana Ibrahim
Akbar disebut sebagai ayah dari Ali Musada (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah,
dua bersaudara yang kelak dikenal dengan sebutan Raja Pandhita dan Sunan Ampel.
Babad Tanah Jawi, Babad Risakipun Majapahit, dan Babad Cerbon
menuturkan bahwa sewaktu Ibrahim Asmoro datang ke Champa, Raja Champa
belum memeluk Islam. Ibrahim Asmoro tinggal di Gunung Sukasari dan
menyebarkan agama Islam kepada penduduk Champa.Raja Champa murka dan
memerintahkan untuk membunuh Ibrahim Asmoro beserta semua orang yang sudah
memeluk agama Islam. Namun, usaha raja itu gagal, karena ia keburu meninggal
sebelum berhasil menumpas Ibrahim Asmoro dan orang-orang Champa yang
memeluk agama Islam. Bahkan, Ibrahim Asmoro kemudian menikahi Dewi
Candrawulan, puteri Raja Champa tersebut. Dari pernikahan itulah lahir Ali Murtolo
(Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah yang kelak menjadi Raja Pandhita dan Sunan
Ampel Babad Tanah Jawi, Babad Risakipun Majapahit, dan Babad Cerbon
menuturkan bahwa sewaktu Ibrahim Asmoro datang ke Champa, Raja Champa
belum memeluk Islam. Ibrahim Asmoro tinggal di Gunung Sukasari dan
menyebarkan agama Islam kepada penduduk Champa.Raja Champa murka dan
memerintahkan untuk membunuh Ibrahim Asmara beserta semua orang yang sudah
memeluk agama Islam. Namun, usaha raja itu gagal, karena ia keburu meninggal
sebelum berhasil menumpas Ibrahim Asmoro dan orang-orang Champa yang
memeluk agama Islam. Bahkan, Ibrahim Asmoro kemudian menikahi Dewi
Candrawulan, puteri Raja Champa tersebut.Dari pernikahan itulah lahir Ali Murtolo
(Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah yang kelak menjadi Raja Pandhita dan Sunan
Ampel.
Menurut urutan kronologi waktu, Syekh Ibrahim Asmoroqondi diperkirakan
datang ke Jawa pada sekitar tahun 1362 Saka/1440 Masehi, bersama dua orang
putera dan seorang kemenakannya serta sejumlah kerabat, dengan tujuan menghadap
Raja Majapahit yang menikahi adik istrinya, yaitu Dewi Darawati. Sebelum ke Jawa,
rombongan Syekh Ibrahim Asmoroqondi singgah dulu ke Palembang untuk
memperkenalkan agama Islam kepada Adipati Palembang, Arya Damar.Setelah
berhasil mengislamkan AdipatiPalembang, Arya Damar (yang namanya diganti
menjadi Ario Abdullah) dan keluarganya.Syekh Ibrahim Asmoroqondi beserta
putera dan kemenakannya melanjutkan perjalanan ke Pulau Jawa. Rombongan
mendarat di sebelah timur bandar Tuban, yang disebut Gesik (sekarang Desa
Gesikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban).
Pendaratan Syekh Ibrahim Asmoroqondi di Gesik dewasa itu dapat dipahami
sebagai suatu sikap kehati-hatian seorang penyebar dakwah Islam.Mengingat Bandar
Tuban saat itu adalah bandar pelabuhan utama Majapahit.Itu sebabnya Syekh
Ibrahim Asmoroqondi beserta rombongan tinggal agak jauh di sebelah timur
pelabuhan Tuban, yaitu di Gesik untuk berdakwah menyebarkan kebenaran Islam
kepada penduduk sekitar. Sebuah kitab tulisan tangan yang dikenal di kalangan
pesantren dengan namaUsui Nem Bis, yaitu sejilid kitab berisi enam kitab dengan
enam bismillahirrahmanirrahim, ditulis atas nama Syekh Ibrahim Asmoroqondi. Itu
berarti, sambil berdakwah menyiarkan agama Islam, Syekh Ibrahim Asmoroqondi
juga menyusun sebuah kitab.
Menurut cerita tutur yang berkembang di masyarakat, Syekh Ibrahim
Asmoroqondi dikisahkan tidak lama berdakwah di Gesik.Sebelum tujuannya ke
ibukota Majapahit terwujud, Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikabarkan meninggal
dunia.Beliau dimakamkan di Gesik tak jauh dari pantai.Karena dianggap penyebar
Islam pertama di Gesik dan juga ayah dari tokoh Sunan Ampel, makam Syekh
Ibrahim Asmoroqondi dikeramatkan masyarakat dan dikenal dengan sebutan makam
Sunan Gagesik atau Sunan Gesik. Dikisahkan bahwa sepeninggal Syekh Ibrahim
Asmoroqondi, putera-puteranya Ali Murtadho dan Ali Rahmatullah beserta
kemenakannya, Raden Burereh (Abu Hurairah) beserta beberapa kerabat asal
Champa lainnya, melanjutkan perjalanan ke ibukota Majapahit untuk menemui bibi
mereka Dewi Darawati yang menikah dengan Raja Majapahit. Perjalanan ke ibukota
Majapahit dilakukan dengan mengikuti jalan darat dari Pelabuhan Tuban ke Kutaraja
Majapahit.

3. Keadaan Makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi


Masuk ke dalam lokasi pemakaman, terdapat banyak makam di sana. Sebagian
adalah makam keluarga dan sahabat Maulana Ibrahim.“Ada istri dan sahabat tapi
kalau melihat nisannya lancip itu sahabat, kalau perempuan nisannya kan lurus,―
terang Agus, sang penjaga makam.
Namun, dari banyak makam yang ada di sana, tentu makam Maulana Ibrahim
Asmoro Qondi yang paling berbeda. Selain karena bangunan cungkupnya yang
besar, juga tak pernah sepi dari peziarah yang kebanyakan duduk di dekat areal
makam.Para peziarah yang datang berasal dari berbagai daerah.
Setiap hari ramai peziarah, tapi biasanya yang paling ramai malam Jumat
Wage,ungkap Agus. Di dalam kompleks makam Maulana Ibrahim juga terdapat
sebuah masjid, yang terletak di sebelah timur makam.Saat kami masuk ke dalamnya,
terdapat empat soko besar yang menjadi penopang kuat bangunan masjid.Yang, unik
di dalam masjid juga terdapat banyak burung yang terbang dengan bebas.
Menurut Ali Usman, salah satu juru makam yang lain, masjid yang ada di kompleks
makam tersebut dibangun sebelum makam. “Karena masjid ini yang mendirikan
Maulana Ibrahim, sedangkan makam mulai ada sejak Maulana Ibrahim
meninggal,― terang Bapak yang mengaku sudah 20 tahun menjadi juru makam.

4. Sejarah Syekh Ibrahim Asmoroqondi


Maulana Ibrahim Samarqandi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Asmoro
Qondi ini merupakan salah satu ulama penyebar Islam pada masa generasi
awal.Samarkand adalah daerah di Asia Tengah.Maulana Ibrahim datang
diperkirakan pada abad ke 14 M.
Ulama lain yang datang ke Timur pada tahun 1400-an adalah : Syeikh Ahmad
Jumadil Kubro (wafat di Mojokerto jawa Timur), Syeikh Muhammad Al Maghribi
dari Maroko (wafat di Klaten Jawa Tengah), Syeikh Malik Israil (wafat di Cilegon),
Syeikh Hasanuddin dan Aliyuddin (wafat di Banten), Syeikh Subakir dari Persia dan
Syeikh Maulana Malik Ibrahim (dimakamkan di Gresik).
Menurut keterangan pada papan silsilah, susunan Sayid Muhahmmad
Alaidrus, yang dipajang di dekat makam, tertulis bahwa Ibrahim Asmoro Qondi
adalah putra dari Sayyid Jamaludin Al Chusain atau Sayyid Jumadil Kubro (Leluhur
Walisongo) bin Ahmad Jalaludin yang nasabnya ke atas sampai ke Nabi Muhammad
saw. Dia menjadi penyebar Islam di daerah Tuban dan sekitarnya bersama dengan
adiknya, Sayyid Abdullah Asyari atau Sunan Bejagung.

5. Karomah Syekh Ibrahim Asmoroqondi


Syekh Ibrahim Asmaraqandi atau Syekh Ibrahim as-Samarkandy atau Syekh
Ibrahim al-Hadhrami bernama lahir Sayyid Ibrahim al-Ghozi, diperkirakan lahir di
Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi
Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa
terhadap as-Samarkandy, hingga akhirnya berubah menjadi Asmarakandi. Selain itu
di kalangan masyarakat Jawa, beliau juga dikenal dengan nama Raja Pandhita,
Sayyid Haji Mustakim, Makdum Brahim Asmara, Maulana Ibrahim Asmara atau
Imam dari Asmara. Menurut versi Arab, Syekh Ibrahim Asmarakandi adalah
seorang ulama besar dari Samarkand, daerah sekitar Bukhara di Uzbekistan
kini.Sebuah daerah yang sejak dahulu dikenal sebagai daerah berpenduduk Islam
yang taat dan juga para ulamanya yang juga termasyhur. Pada saat yang hampir
bersamaan dengan dikirimnya Syamsuddin al-Wali ke Turki, seorang ulama lain dari
Bukhara bernama Syekh Jamaluddin Akbar al-Husain mengirimkan anaknya Sayyid
Ibrahim al-Ghozi untuk berdakwah ke wilayah timur. Dengan berpandukan kepada
ilham yang diterima oleh ayahnya, Sayyid Ibrahim al-Ghozi pergi menuju ke Asia
Tenggara.Beliau menjumpai ternyata penduduk timur (Asia Tenggara) masih
menganut agama selain Islam. Beliau sadar bahwa bukan di zamannya lah Islam
akan gemilang dan bangkit di timur seperti yang dimaksudkan dalam hadist Nabi,
dan peran beliau hanyalah sebatas meng-Islamkan wilayah timur. Mula-mula beliau
tiba dan kemudian bermukim di Campa (sekarang Kamboja) selama tiga belas tahun
sejak tahun 1379. Di sana , beliau berdakwah kepada masyarakat dan juga Raja
Campa hingga kemudian bersedia masuk Islam. Beliau bahkan kemudian menikahi
Dewi Candha Wulan, putri Raja Campa tersebut, hingga kemudian menghasilkan
dua orang anak, yaitu Raden Ahmad Ali Murtadho (Raden Santri) dan Raden Ali
Rahmatullah (Sunan Ampel).
Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M,
Sayyid Ibrahim al-Ghozi yang kemudian bergelar Syekh, hijrah ke Pulau Jawa
bersama keluarganya. Sebelum ke Jawa, pada tahun 1440, mereka singgah dulu di
Palembang untuk memperkenalkan agama Islam kepada Adipati Palembang waktu
itu, Arya Damar. Setelah tiga tahun di Palembang dan berhasil meng-Islamkan
Adipati Arya Damar (yang kemudian berganti nama menjadi Abdullah) dan
keluarganya, barulah kemudian mereka melanjutkan perjalanannya ke Pulau Jawa.
Rombongan mendarat di kota bandar Tuban, tempat mereka berdakwah beberapa
lama, sampai akhirnya Syekh Ibrahim al-Ghozi yang kemudian dikenal sebagai
Syekh Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan wafat. Beliau kemudian dimakamkan di
Desa Gesikharjo, Palang, Tuban, Jawa Timur pada sekitar tahun 1444 M. Oleh
karena itu, beliau juga kemudian dikenal sebagai Sunan Nggesik. Sisa rombongan,
yang terdiri dari Raden Rahmat, Raden Santri, Raden Burereh serta beberapa kerabat
lainnya, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Trowulan, ibukota Majapahit,
untuk menemui bibi mereka Dewi Andarawati yang telah menikah dengan Raja
Majapahit pada waktu itu, Prabu Brawijaya.

C. SUNAN DRAJAT (RADEN QASIM)


1. Sejarah Sunan Drajat (Raden Qasim)
Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 masehi. Nama kecilnya
adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra
dari Sunan Ampel, dan bersaudara dengan Sunan Bonang. Ketika dewasa, Sunan
Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran Kabupaten
Lamongan.
Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra
Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran
islam beliau menyebarkan agama islam di desa Drajad sebagai tanah perdikan di
kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan
Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun saka 1442/1520 masehi
Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari surabaya maupun Tuban lewat Jalan
Daendels (Anyer – Panarukan), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30
menit dengan kendaran pribadi.

2. Sejarah singkat
Sunan Drajat bernama kecil Raden Syari-fuddin atau Raden Qosim putra
Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau
me-ngambil tempat di Desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Ia
memegang kendali keprajaan di wilayah perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan
Demak selama 36 tahun.
Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial, sangat
memperha-tikan nasib kaum fakir miskin. Ia terle-bih dahulu mengusahakan
kesejahteraan sosial baru memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi
lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan
dan menciptakan kemakmuran. Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah karena Sunan
Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang mempu-nyai
otonomi.
Sebagai penghargaan atas keberha-silannya menyebarkan agama Islam dan
usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur
bagi warganya, beliau memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah
Sultan Demak pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.

3. Filosofi Sunan Drajat


Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini terabadikan dalam
sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap
makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut sebagai berikut :
Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
Jroning suko kudu eling Ian waspodo (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat
dan waspada)
Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan
untuk mencapai cita – cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
Heneng – Hening – Henung (dalam keadaan diam kita akan mem-peroleh
keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita – cita luhur).
Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai
dengan salat lima waktu).
Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang
luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang
wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah
kehidupan masya-rakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak
punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)

4. Penghargaan
Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang Wali pencipta
tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa – sisa gamelan Singomeng-koknya Sunan
Drajat kini tersimpan di Musium Daerah.
Untuk menghormati jasa – jasa Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar
agama Islam di wilayah Lamongan dan untuk melestarikan budaya serta benda-
-benda bersejarah peninggalannya Sunan Drajat, keluarga dan para sahabatnya yang
berjasa pada penyiaran agama Islam, Pemerintah Kabupaten Lamongan mendirikan
Musium Daerah Sunan Drajat disebelah timur Makam. Musium ini telah diresmikan
oleh Gubernur Jawa Timur tanggal 1 Maret 1992.
Upaya Bupati Lamongan R. Mohamad Faried, SH untuk menyelamatkan dan
melestarikan warisan sejarah bangsa ini mendapat dukungan penuh Gubernur Jawa
Timur dengan alokasi dana APBD I yaitu pada tahun 1992 dengan pemugaran
Cungkup dan pembangu-nan Gapura Paduraksa senilai Rp. 98 juta dan anggaran Rp.
100 juta 202 ribu untuk pembangunan kembali Masjid Sunan Drajat yang
diresmikan oleh Menteri Penerangan RI tanggal 27 Juni 1993. Pada tahun 1993
sampai 1994 pembenahan dan pembangunan Situs Makam Sunan Drajat dilanjutkan
dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi paseban, bale rante serta
Cungkup Sitinggil dengan dana APBD I Jawa Timur sebesar RP. 131 juta yang
diresmikan Gubernur Jawa Timur M. Basofi Sudirman tanggal 14 Januari 1994.

5. Asal Usul
Nama asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putera Sunan Ampel
dengan Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau
Sunan Bonang.
Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu dari ayahnya kemudian diperintah
untuk berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar
antara Tuban dan Gresik.
Raden Qosim memulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah
singgah ditempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah Barat itu perahu beliau tiba-
tiba dihantam oleh ombak yang besar sehingga menabrak karang dan hancur.
Hampir saja Raden Qosim kehilangan jiwanya. Tapi bila Tuhan belum menentukan
ajal seseorang biar bagaimanapun hebatnya kecelakaan pasti dia akan selamat,
demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara kebetulan seekor ikan besar
yaitu ikan talang datang kepada Raden Qosim dan beliau pun menaiki punggung
ikan tersebut hingga selamat ke tepi pantai.
Raden Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau juga
berterima kasih kepada ikan talang yang telah menolongnya sampai ke tepi pantai.
Untuk itu beliau berpesan kepada anak keturunan beliau untuk tidak memakan
daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan mengakibatkan bencana, yaitu
ditimpa penyakit yang tiada obatnya lagi.
Ikan talang tersebut membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang
termasuk wilayah desa Jelag (sekarang termasuk desa Banjarwati), kecamatan
Paciran. Di tempat itu Raden Qosim disambut masyarakat dengan antusias, lebih-
lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim adalah putera Sunan Ampel seorang
wali besar dan masih terhitung kerabat kerajaan Majapahit.
Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan pesantren, karena caranya
menyiarkan agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang berguru
kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim mendapat ilham
supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 km disana beliau mendirikan
langgar atau surau untuk berdakwah.
Tiga tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar
membangun tempat berdakwah yang strategis yaitu ditempat ketinggian yang
disebut Dalem Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur itulah yang sekarang
dibangun Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah
barat Museum tersebut.
Raden Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri.
Artinya dalam berdakwah menyebarkan agama Islam beliau menganut jalan lurus,
jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus diamalkan dengan lurus dan benar sesuai
ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur dengan adat dan kepercayaan lama.
Meski demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat
dakwah, didalam museum yang terletak disebelah timur makamnya terdapat
seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi penghargaan
Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.
Dalam catatan sejarah wali songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang wali
yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga rajin mencari
rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang dermawan. Dikalangan rakyat jelata
beliau bersifat lemah lembut dan sering menolong mereka yang menderita.
Ajaran Sunan Drajad yang Terkenal
Ajaran Sunan Drajad bersumber dari :
1. Al-Quran
2. Sunnah
3. Ijma
4. Qiyas
5. Ajaran guru dan pendidik seperti Sunan Ampel
6. Ajaran dan pemikiran atau paham yang telah tersebar luas di masyarakat
7. Tradisi di masyarakat setempat yang telah ada yang sesuai dengan ajaran Islam,
dan
8. Fatwa Sunan Drajad sendiri.

Diantara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:


Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kan luwe
Menehono busono marang wong kang mudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian :

Berilah tongkat kepada orang buta


Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan

Adapun maksudnya adalah sebagai berikut: Berilah petunjuk kepada orang


bodoh (buta) Sejahterkanlah kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan)
Ajarkanlah budi pekerti (etika) kepada yang tidak tahu malu atau belum punya adab
tinggi. Berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita atau ditimpa
bencana. Ajaran ini sangat supel, siapapun dapat mengamalkannya sesuai dengan
tingkat dan kemampuan masing-masing. Bahkan pemeluk agama lainpun tidak
berkeberatan untuk mengamalkannya.
Tentang puncak ma’rifat Sunan Drajad menuliskan perumpaannya sebagai berikut :
“Ilang, jenenge kawula,
Sirna datang ana keri,
Pan ilangwujudira,
Tegese wujude widi,
Ilang wujude iki,
Aneggih perlambangira,
Lir lintang karahinan,
Keserodotan sang hyang rawi,

Artinya:
Hilang jati diri makhluk,
Lenyap tiada tersisa,
Karena hilang wujud keberadaannya
Itulah juga wujud Tuhan,
Itulah yang ada ini,
Adapun persamaannya,
Seperti bintang diwaktu siang
Yang tersinari matahari.
Disamping terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa dermawan dan sosial,
beliau jua dikenal sebagai anggota wali songo yang turut serta mendukung dinasti
Demak dan ikut pula mendirikan mesjid Demak. Simbol kebesaran umat Islam pada
waktu itu.
Dibidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir beliau juga pertama
kali yang menciptakan Gending Pangkur, hingga sekarang gending tersebut masih
disukai rakyat jawa. Sunan Drajad demikian gelar Raden Qosim, diberikan kepada
beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggi, seakan
melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau dejat para ulama
muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah SWT.

D. SUNAN GIRI
1. Sejarah sunan giri (Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden
'Ainul Yaqin dan Joko Samudro)
Sunan Giri adalah salah satu dari Walisongo, yang bertugas menyiarkan agama
Islam di kawasan Jawa Timur, tepatnya di daerah Gresik. Sunan Giri lahir pada tahun
1443 di daerah Blambangan, Jawa Timur.Nama kecilnya adalah Jaka Samudra. Ayahnya
bernama Maulana Ishaq, berasal dari Pasai. Ibunya bernama Dewi Sekardadu, putri Raja
Blambangan, Prabu Minak Sembuyu. Karena Ayahnya, Maulana Ishaq ketika
melaksanakan tugas menyebarkan agama Islam di Blambangan, pergi memperdalam
ilmu ke Pasai dan tidak kembali lagi ke Jawa. Ia diangkat anak oleh seorang wanita kaya
bernama Nyai Gedhe Pinatih atau Nyai Gede Maloka, yang dalam Babad Jawa disebut
Nyai Ageng atau Nyai Ageng Tandes. Salah seorang saudaranya juga termasuk
Walisongo, yaitu Raden Abdul Kadir (Sunan Gunung Jati), dan ia mempunyai hubungan
keluarga dengan Raden Fatah, karena istri mereka bersaudara.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan
keturunan Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal
Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib,
Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus
Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-
Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal
(Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Ibrahim Zainuddin
Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana Ishaq, dan Ainul Yaqin (Sunan
Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa
Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
Ketika usianya beranjak dewasa, Jaka Samudra belajar agama di Pondok
Pesantren Ampel Denta (pimpinan Sunan Ampel), ia diberi gelar oleh Sunan Ampel
dengan gelar Raden Paku, dan disana berteman baik dengan Raden Maulana Makdum
Ibrahim, putra Sunan Ampel, yang kemudian terkenal dengan Sunan Bonang. Dalam
suatu perjalanan ibadah menuju Mekah, kedua santri ini lebih dahulu memperdalam
pengetahuan di Pasai, yang ketika itu menjadi tempat berkembangnya ilmu ketuhanan,
keimanan, dan tasawuf. Disini Raden Paku sampai pada tingkat ilmu laduni, sehingga
gurunya menganugerahinya gelar ‘Ain al-Yaqin. Karena itulah ia kadang-kadang dikenal
masyarakat dengan sebutan Raden Ainul Yaqin.
Selama empat puluh hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh,
meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam,
pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishaq, kembali terngiang, “Kelak, bila tiba masanya,
dirikanlah pesantren di Gresik.” Pada saat itulah Maulana Ishaq membekali Raden Paku
dengan segenggam tanah, ia diminta mendirikan pesantren disebuah tempat yang warna
dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya. Selesai bertafakur, Raden Paku
berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian
mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam
bahasa Sanksekerta, “Giri” berarti gunung.
Ketika Sunan Ampel, ketua para wali, wafat pada 1478 M, Sunan Giri
diangkat menjadi pengggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu
Satmata atau terkadang juga dipanggil Sultan Abdul Faqih. Diriwayatkan, pemberian
gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten
Gresik. Sunan Giri wafat pada 1506 M, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa
Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

2. Peran Kedaerahan (Kuasa)


Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke
Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi,
murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren
Giri merupakan pusat ajaran Tauhid dan Fiqih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran
Islam di atas Al-Qur’an dan sunah Rasul.
Menurut De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan
Mataram, tidak lepas dari Peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu,
melintas sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makasar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang
raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh pada 1478 M, para wali merumuskan perlunya
didirikan sebuah kerajaan yang bisa melindungi orang-orang Islam dan mendakwahkan
ajaran Islam. Setelah musyawarah tuntas, maka diputuskan Bintoro sebagai pusatnya.
Sunan Giri dipercaya untuk meletakkan dasar-dasar kerajaan masa perintisan. Selama 40
hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada
Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi.
Di daerah Gresik dan sekitarnya, Kewalian Giri Kedhaton sangat dihormati dan ditaati.
Bahkan untuk urusan politik pun diserahkan kpeada Kewalian Giri Kedhaton, sehingga
di sana juga berdiri sebuah komunitas yang mirip kerajaan. Pada masa Majapahit,
Kewalian Giri Kedhaton ini merupakan oposisi yang cukup merisaukan para penguasa
Majapahit. Kewalian Giri Kedhaton ini mendapat sokongan dari para pedagang-
pedagang di sepanjang Pantai Utara Jawa. Tak urung, Majapahit melakukan penyerangan
ke Kewalian Giri sebanyak dua kali. Namun kedua serangan itu kandas secara mistis.
Peranan Kewalian Giri secara politik nantinya jatuh pada zaman Suann Giri III
oleh Panembahan Senapati Mataram, lewat peristiwa pemilihan “isi atau wadah” antara
Pangeran Surabaya yang mewakili Giri dan Panembahan Senapati yang mewakili
Mataram. Pada saat itu, Pangeran Surabaya yang disuruh memilih terlebih dahulu, ia
memilih isi, dan Panembahan Senapati kebagian wadah. Isi, melambangkan esensi dan
wadah melambangkan kekuatan politik kerajaan. Dengan demikian, Kewalian Giri
termasuk Surabaya dan sekitarnya masuk ke dalam kekuasaan Mataram, walaupun
secara esensi, ajaran Islam tetap mengalir dari Gresik, Surabaya ke barat.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam
pertama di Jawa. Padahal sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton
sejak 1470 M. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan
pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.

3. Perkembangan Peradaban
a. Agama
Kisah tutur Jawa mengenai lahir dan ngrembakanya trah para kyai di Giri.
Pada paruh kedua abad ke-16 dan abad ke-17 mereka memiliki posisi krusial dalam
sejarah Jawa. Kisah Jawa mengenai asal trah para sunan di Giri ternyata panjang
lebar. Kisah-kisah tersebut termasuk sastra pesisir timur, yang pada abad ke-17 dan
18 pusat kerohanian dan kemasyarakatannya terdapat di Giri-Gresik dan Surabaya.
Penanggalan yang agak tua dalam kisah Jawa, yakni pada seperempat terakhir abad
ke-15, kehidupan Prabu Satmata dari Giri, dan ibu angkatnya yang sudah muslim,
Nyai Gede Pinatih dari Gresik, menguatkan pendapat bahwa Gresik dan Surabaya
adalah kota-kota pelabuhan Jawa Timur yang pertama tempat terbentuknya uamt
Islam. Tindakan Prabu Satmata dari Giri itu dapat dianggap sebagai suatu upaya
memantapkan dan menguatkan pusat keagamaan dan kemasyarakatan ini bagi
kepentingan para buruh Islam yang sering kurang semangat agamanya.
Keteguhan Sunan Giri dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan
konsekuen membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang
disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi, tanpa dicampuri kepercayaan aatau
adat istiadat lama.

b. Politik
Di kalangan Walisongo, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan
ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara
di keratin. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan. Pengaruh Sunan Giri ini
tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita orang
Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan
Suann Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi
umat Islam. Dalam babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.
Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar,
seorang Wali yang dianggap murtad karena menyebabkan faham Patheisme dan
meremehkan syariat Islam yang disebarkan para Wali lainnya. Dengan demikian
Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham
Ahlussunnah wal jama’ah.

c. Ekonomi
Kadipaten Gresik sebagai kota perdagangan laut yang paling kaya dan paling
penting di seluruh Jawa. Ia memberitakan adanya transaksi oleh kapal-kapal dari
Gujarat, Calicut, Bangelan, Siam, Cina, dan Liu-Liu denagn Gresik, dan
perdagangan antara Gresik dan Maluku serta Banda.
Di Gresik ada dua pejabat yang saling memerangi. Tlatah mereka di oota itu
dipisahkan oleh sungai kecil yang dangkal. Penulis Portugis itu menyebut nama Pati
Yusuf dan Pati Zainall. Pati Yusuf memerintah bagian kota yang paling besar dan
paling penting, tempat perdagangan laut. Konon, ia masih kerabat wangsa raja di
Malaka dan ia dianggap trah Melayu. Pejabat yang lain, Pati Zainal, memerintah di
bagian pelosok yang agraris, ia tidak berdagang dan tidak kaya.

d. Seni-Budaya
Dakwah Islamnya selain menggunakan jalur politik juga menggunakan jalur
seni dan budaya. Diantara permainan anak-anak yang dicintainya adalah sebagai
berikut : Diantara anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang
lainnya menjadi objek buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila telah
berpegang pada tonggal atau batang pohon yang telah ditentukan lebih dulu. Inilah
permainan yang disebut Jetungan atau Delikan yang dalam istilah bahasa Indonesia
permainan Petak Umpet. Arti permainan tersebut adalah seseorang yang sudah
berpegang teguh kepada agama Islam Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan setan
atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu.
Sembari melakukan permainan yang disebut jetungan itu biasanya anak-anak
akan menyanyikan lagu Padhang Bulan :
“Padhang-padhang bulan,
ayo gage dha dolanan,
dolanane ing latar,
ngalap padhang gilar-gilar,
nundhung begog hangetikar.”
(Malam terang bulan, marilah lekas bermain,bermain di halaman, mengambil
manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit).
Maksud lagu dolanan tersebut ialah :
Agama Islam telah dating, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka
bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah
kebodohan dan kesesatan.
Selain itu Sunan Giri juga menciptakan berbagai tembang atau lagu Jawa
seperti :
1) Jamuran
2) Gula ganti
3) Cublak-cublak suweng
4) Tembang Asmarandana
5) Tembang Pocung

e. Pendidikan
Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, Sunan Giri mendirikan
Pesantren Giri.
Sunan Giri juga sering berpesan kepada para santrinya yang ingin mencari
ilmu ketuhanan :
a. Gusti iku dumunungt ana atining manungsa kang becik, mula iki diarani Gusti
iku bagusing ati.
b. Sing sapa nyumurupi dating Pangeran iku ateges nyumurupi awake dhewe.
Dene kang durung miakni awake dhewe durung miakni dating Pangeran.
c. Kahanan donya ora langgeng, mula aja ngegungake kesugihan lan drajatira, awit
semangsa ana woalk-waliking zaman ora ngisin-ngisini.
d. Kahanan kang ana iki ora suwe ora mesthi ngalami owah gingsir, mula aja lali
marang sapadha-padhaning tumitah.
Terjemahan :
a) Tuhan itu berada dalam hati manusia yang suci, karenanya Tuhan disebut pula
sebagai hati yang suci.
b) Mengetahui zat Tuhan berarti mengenal dirinya sendiri. Dan barang siapa belum
mengenal dirinya sendiri, ia itu belum mengerti zat Tuhan.
c) Keadaan dunia ini tidak abadi, oleh karena itu jangan mengagung-agungkan
kekayaan dan derajatmu, sebab bila sewaktu-waktu terjadi perubahan keadaan
Anda tidak akan menderita aib.
d) Keadaan yang ada ini tidak lama pasti mengalami perubahan, oleh karena itu
jangan melupakan sesame hidup.
4. Gagasan-gagasan
Dalam bidang ekonomi dan politik, para Kanjeng Sunan Giri memiliki posisi
yang jauh lebih krusial dari sunan-sunan di Cirebon Darusalam atau Kudus. Dengan
kebijakan politiknya, dan bila perlu dengan keberanian pejuang, ternyata selama kira-kira
dua abad, para sunan di Giri mampu mempertahankan kemerdekaan terhadap serangan
raja-raja pelosok Majapahit dan Mataram Hadiningrat. Kraton di giri sungguh besar
sumbangannya untuk kemajuan kebudayaan Islam di pesisir, yang masih tetap
melanjutkan tradisi kebudayaan. Para buruh dan pelaut dari Gresik memperkenalakn
nama para kyai dari Giri sampai jauh di luar Jawa. Kelompok elite di kota pelabuhan ini
agaknya lebih banyak berdarah campuran disbanding dengan kelompok elite di kota-kota
pelabuhan lain di Jawa, trah Cina memiliki posisi krusial dalam sejarah Gresik.
Perdagangan antarpulau, kekayaan, dan pengaruh politik rupanya lebih diperhatikan oleh
sunan di Giri daripada hidup saleh secara Islam dn mempelajari ilmu agama.
Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama 200 tahun. Sesudah Sunan
Giri meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu:
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri
8. Pengeran Singosari
Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan
Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker. Sesudah pangeran Singosari
wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Meski demikian kharisma
Sunan Giri sebagai ulama besar wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa.

E. SUNAN AMPEL
1. Asal usul sunan ampel (Maulana Malik Ibrahim)
Di Rusia selatan ada sebuah daerah yang disebut Bukhara. Bukhara ini terletak di
Samarqand. Sejak dahulu daerah yang disebut Bukhara. Bukhara ini terletak di
Samarqand. Sejak dahulu daerah Samarqand dikenal sebagai daerah Islam yang
menelorkan ulama-ulama besar seperti sarjana hadist terkenal yaitu Imam Bukhari yang
mashur sebagai perawi hadits sahih.
Di Samarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh jamalluddin Jumadil
Kubra, seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, beliau mempunyai seorang putra
bernama Ibrahim. Karena berasal dari Samarqand maka Ibrahim kemudian mendapat
tambahan Samarqandi. Orang jawa sangat sukar mengucapkan Samarqandi maka mereka
hanya menyebutkan sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.
Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin
Jumadil Kubra untuk berda’wah ke negara-negara Asia. Perintah ini dilaksanakan, dan
beliau kemudian diambil menantu oleh raja Cempa, dijodohkan dengan putri raja Cempa
yang bernama Dewi Candrawulan.
Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari
perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim Asmarakandi mendapat dua
orang putra yaitu Raden Rahmat atau Sayyid Ali Rahmatullah dan raden Santri atau
Sayyid Alim Murtolo. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi
Dwarawati diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian Raden Rahmat
itu keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau pangeran kerajaan.
Raja Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang wajahnya
tidak kalah menarik dengan Dewi Sari. Sehingga istri-istri lainnya diceraikan, banyak
yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar di seluruh Nusantara. Salah satu
contoh adalah istri yang bernama Dewi Kian, seorang putri Cina yang diberikan kepada
Adipati Ario Damar di Palembang.
Ketika Dewi Kian di ceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang
hamil tiga bulan. Ario Damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu sampai si
jabang bayi terlahir ke dunia. Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya bernama
Raden Hasan atau lebih terkenal dengan nama Raden Patah, salah seorang murid Sunan
Ampel yang menjadi raja di Demak Bintoro.
Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam
Wuruk mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya
perang saudara, dan para adipati banyak yang tak loyal lagi kepada Prabu Hayam Wuruk
yaitu Prabu Brawijaya Kertabhumi.
Pajak dan upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke istana Majapahit. Lebih
sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat sang Prabu bersedih hati.
Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran
yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar
betul bila kebiasaan semacam itu diteruskan negara akan menjadi lemah dan jika negara
sudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan
Majapahit Raya.
Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati
suaminya. Dengan memberanikan diri ia mengajukan pendapat kepada suaminya.
“Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal mengatasi
kemerosotan budi pekerti,” kata ratu Dwarawati.
“Betulkah ?” tanya sang Prabu.
“Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra dari kanda Dewi Candrawulan di Negeri
Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk
mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.”
“Tentu saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Cempa bersedia mengirimkan
Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.” Kata Raja Brawijaya.

2. Ke tanah jawa
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Cempa
untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan
Majapahit disambut gembira oleh raja Cempa, dan raja Cempa tidak keberatan melepas
cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani
oleh ayah dan kakaknya. Sebagaimana disebutkan di atas, ayah Sayyid Ali Rahmat
adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali
Murtadho. Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban.
Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi
jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan didesa tersebut yang masih
termasuk ke camatan Palang kabupaten Tuban.
Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berda’wah keliling ke
daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Disana beliau mendapat sambutan
raja Pandita Bima, dan akhirnya berda’wah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri,
beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan
ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
Kapal layar yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan Canggu. Kedatanganya
disambut dengan suka cita oleh Prabu Kertabumi. Lebih – lebih lagi Ratu Dhawarawati
bibinya sendiri, wanita ini memeluknya erat – erat, seolah sedang memeluk Kakak
perempuan-nya yang berada di Istana Kerajaan Cempa. Wajah keponakanya itu memang
mirip dengan Kakak perempuannya.
“Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum
bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia ?” tanya sang
Prabu. Dengan sikapnya yang sopan tutur kata halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab.
“Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk
mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka.”
“Bagus !” sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah
berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para bangsawan dan
pangeran Majapahit agar berbudi pekerti mulia.”
“Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah. Disebutkan
dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di
istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu putri Majapahit yang bernama Dewi
Candrawati. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran
Majapahit, karena dia adalah menantu raja Majapahit.

3. Ampeldenta
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Sayyid Ali
Rahmatullah ke sebuah daerah di Surabaya yang disebut sebagai Ampeldenta.
Selama dalam perjalanan banyak hal-hal aneh di jumpai rombongan itu.
Diantaranya adalah pertemuan Sayyid Ali Rahmatullah dengan seorang gadis bernama
Siti Karimah yang kemudian menjadi isterinya. Dan sepanjang perjalanan itu beliau juga
melakukan da’wah sehingga bertambahlah anggota rombongan yang mengikuti
perjalanannya ke Ampeldenta.
Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka
beliau adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran, para
pangeran pada jaman dulu di tandai dengan nama depan Raden.
Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat. Dan karena beliau
menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut maka kemudian beliau
dikenal sebagai Sunan Ampel.
Sunan artinya yang di junjung tinggi atau panutan masyarakat setempat. Langkah
pertama yang dilakukan Raden Rachmat di Ampeldenta adalah membangun masjid
sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi sewaktu hijrah ke Madinah. Selanjutnya beliau
mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta
siapa saja yang mau datang berguru kapada beliau.
4. Ajaranya yang terkenal
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau tidak mau
melakukan lima hal tercela yaitu: main judi, minum arak atau bermabuk-mabukkan,
mencuri, madat atau menghisap madu dan madon atau main perempuan yang bukan
isterinya.
Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja
menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden
Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya
tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak
mau.
Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya
bahkan diseluruh Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden
Rahmatpun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.

5. Sesepuh walisongo
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat
sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa.
Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Wali Songo,
mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang
dan Sunan Drajad adalah putra Sunan Ampel sendiri.
Jasa beliau yang besar adalah pencetus dan perencana lahirnya kerajaan Islam
dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah, murid dan menantunya sendiri. Beliau
juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477
M. Salah satu diantara empat tiang utama masjid Demak hingga sekarang masih diberi
nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.

6. Penyelamat aqidah
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat hati-hati, hal ini didukung
oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan
para Wali di masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar
adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki
rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel.
“Apakah tidak mengkwatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu
nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam ? Jika hal ini dibiarkan
nantinya akan menjadi bid’ah ?”
Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, “Saya setuju
dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan
kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islami. Sedang adat dan
kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama
sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam
sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekuatiran Kanjeng Sunan Ampel,
saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang
menyempurnakannya.”
Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung
hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama
Islam cepat diterima oleh orang Jawa, dan ini terbukti, dikarenakan dua Wali tersebut
pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolelir Islam maka penduduk Jawa
banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau
menerima Islam lebih dahulu dan sedikit demi sedikit kemudian mereka akan diberi
pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus
disiarkan dengan murni dan konsekwen juga mengandung hikmah kebenaran yang
hakiki, sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama
secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat
besar, dengan peringatan inilah beliau telaj menyelamatkan aqidah ummat agar tidak
tergelincir ke lembah musyrik.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat
Masjid Ampel.

F. SYEIKH MAULANA ISHAQ


1. Sejarah Syeikh Maulana Ishaq
Syekh Maulana Ishaq adalah anak dari Sayyid Husain Jamaluddin. Yang bergelar
Syekh Jumadil Kubro. Maulana Ishaq adalah adik dari Maulana Malik Asmaraqandi.
Beliau dari Champa menuju kerajaan Blambangan untuk misi dakwah. Berikut ini
kisahnya.
Syekh Maulana Ishaq dilahirkan di Samarkand, Uzbekistan. Dahulu bagian dari
wilayah Kerajaan Turki Utsmani. Ia adik kandung Maulana Malik Ibrahim Asmaraqandi.
Paman dari Sunan Ampel Surabaya dan Sayyid Ali Murtadha. Kakek paman dari Sunan
Ngudung serta Buyut paman dari Sunan Kudus.
Dari kerajaan Champa menuju ke Indonesia singgah di Kerajaan Samudra Pasai,
sebelum menuju Pulau Jawa. Karena dinegerinya terjadi kekacauan akibat penyerbuan
dari tentara kerajaan Vietnam. Sementara saudara-saudara Islam dan anggota kerajaan
yang lain menuju ke Pattani dan Kamboja.
Syekh Maulana Ishak menuju kerajaan Samudra Pasai karena dianggap sebagai
tempat yang aman. Karena disitu merupakan kerajaan Islam. Selain memiliki keahlian
dalam ilmu agama, juga ahli dalam bidang pengobatan alternatif. Cukup banyak
keluarga istana dan masyarakat yang disembuhkan. Hingga akhirnya namanya terkenal
sebagai ahli pengobatan.
Setelah dirasa cukup lama tinggal di kerajaan Samudra Pasi. Kemudian
melanjutkan perjalanan menuju Pulau Jawa. Karena ada beberapa saudaranya yang lebih
dulu menetap. Sesampainya di Jawa singgah diTuban , Gresik dan Surabaya. Kemudian
melanjutkan perjalanan menuju kerajaan Blambangan. Namun terlebih dahulu menetap
di Pohjentrek Pasuruan dan melanjutkan perjalanan lagi menuju Pecaron Situbondo. Ia
tinggal di sebuah gunung kecil pinggil laut selama beberapa bulan sabil berdakwah.
“Setelah itu melanjutkan perjalanan menuju Desa Cemoro Rogojampi. Kini
masuk kecamatan Songgon.Tinggalnya di sebuah Goa yang cukup indah. Tidak
langsung menuju ke kota raja kerajaan Blambangan yang berada di kecamatan Muncar
Banyuwangi Selatan,”ungkap KH.Shohibul Faroji Al-Robbani sejarawan Islam.
Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya,
pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sudah
diusahakan mendatangkan tabib untuk mengobatinya tapi sang putri belum sembuh juga.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau
wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah Jawa
esok sakit dan sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir
semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total,
Atas saran permaisuri Prabu Meunak Sembuyu kemudian mengadakan
sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan putrinya akan diambil menantu dan siapa
yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau
Raja Muda. Tapi tidak ada yang bisa menyembuhkan.
Kemudian Menak Sembuyu memerintahkan Pati Bajul Segara untuk mencari
orang sakti di lerang gunung dan goa. Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu rakyat
Rogojampi yang mengetahui adanya seorang tokoh sakti dari negeri Champa. Orang
yang dimaksud adalah Syekh Maulana lshaq yang sedang berdakwah di daerah
Blambangan.

2. Lenyapkan Pageblug
Patih Bajul Sengara dapat bertemu dengan Syekh Maulana lshak yang sedang
bertafakkur di sebuah goa Cemoro yang terdapat di kawasan Rogojampi.Setelah terjadi
negosiasi, maka Syekh Maulana Ishak bersedia datang ke istana Blambangan untuk
menyembuhkan putri Dewi Sekardadu dan menghilangkan Pagebluk yang melanda
wilayah Blambangan.
Sesuai janji Raja maka Sekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu.
Diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan
tepatnya di Banyuwangi bagian Utara, yang sekarang menjadi Kota Banyuwangi. Dari
daerah sinilah lahir seorang bayi mungil yang elok, namanya Sayyid ’Ainul Yaqin yang
kelak setelah dewasa bergelar Sunan Giri. Oleh masyarakat Banyuwangi, daerah
kelahiran Sunan Giri, dijadikan nama desa dan kecamatan, yaitu Kecamatan Giri.
Setelah Syekh Maulana Ishak menjadi Adipati baru di Blambangan. Makin hari
semakin bertambah banyak saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam. Hal
ini tidak disukai Patih Bajul Sengara. Bahkan akan membunuh Syekh Maulana Ishak.
Melihat adanya upaya pembunuhan, maka Syekh Maulana Ishak pamit kepada istrinya
Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan untuk meninggalkan kerajaan Blambangan.
Kemudian Syekh Maulana Ishaq pergi menuju Gresik, seminggu kemudian
menuju Ampel Denta menemui keponakannya, yaitu Sunan Ampel dan menitipkan
bayinya yang masih ada di Blambangan. Selanjutnya berlayar menuju Kerajaan
Samudera Pasai, dan berdakwah di sana. Kebetulan Kerajaan Samudera Pasai
membutuhkan seorang Mufti dan wafat di Singapore yang saat itu merupakan bagian dari
wilayah Kerajaan Samudera Pasai. Dan dimakamkan di sana.HUSNU MUFID

3. Silsilah
Syekh Maulana Ishaq bin
Husein Jamaluddin [Syaikh Jumadil Kubro] bin
Ahmad Syah Jalaluddin bin
'Abdullah Khan bin
Abdul Malik Azmatkhan bin
'Alwi 'Ammil Faqih bin
Muhammad Shohib Mirbath bin
'Ali Khali Qasam bin
'Alwi Shohib Baiti Jubair bin
Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin
'Alwi Al-Mubtakir bin
'Ubaidillah bin
Ahmad Al-Muhajir bin
'Isa An-Naqib bin
Muhammad An-Naqib bin
'Ali Al-'Uraidhi bin
Imam Ja'far Ash-Shadiq bin
Imam Muhammad Al-Baqir bin
Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin
Imam Husain Asy-Syahid bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
Nabi Muhammad Rasulullah Saw.

Anda mungkin juga menyukai