PEMBAHASAN
A. SUNAN BONANG
1. Asal usul Sunan Bonang
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya
adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putera Sunan Ampel dan Dewi
Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah puteri Prabu Kertabumi.
Dengan demikian Raden Makdum adalah seorang Pangeran Majapahit karena
ibunya adalah puteri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit.
Sebagai seorang wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se
tanah jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil
Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan
disiplin.
Sudah bukan rahasia bahwa latihan atau riadha para wali itu lebih berat
daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka
Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.
Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku
sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu
negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau
ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak
menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama tasawuf yang berasal dari bagdad, Mesin,
Arab dan Parsi atau Iran.
Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku
pulang ke jawa. Raden paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri
sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di
daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.
3. Karya Satra
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang
karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat,
penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan
rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan
(tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya
disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan
secara biasa dalam bentuk prosa disebut wirid.
2. Sejarah singkat
Sunan Drajat bernama kecil Raden Syari-fuddin atau Raden Qosim putra
Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau
me-ngambil tempat di Desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Ia
memegang kendali keprajaan di wilayah perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan
Demak selama 36 tahun.
Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial, sangat
memperha-tikan nasib kaum fakir miskin. Ia terle-bih dahulu mengusahakan
kesejahteraan sosial baru memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi
lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan
dan menciptakan kemakmuran. Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah karena Sunan
Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang mempu-nyai
otonomi.
Sebagai penghargaan atas keberha-silannya menyebarkan agama Islam dan
usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur
bagi warganya, beliau memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah
Sultan Demak pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.
4. Penghargaan
Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang Wali pencipta
tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa – sisa gamelan Singomeng-koknya Sunan
Drajat kini tersimpan di Musium Daerah.
Untuk menghormati jasa – jasa Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar
agama Islam di wilayah Lamongan dan untuk melestarikan budaya serta benda-
-benda bersejarah peninggalannya Sunan Drajat, keluarga dan para sahabatnya yang
berjasa pada penyiaran agama Islam, Pemerintah Kabupaten Lamongan mendirikan
Musium Daerah Sunan Drajat disebelah timur Makam. Musium ini telah diresmikan
oleh Gubernur Jawa Timur tanggal 1 Maret 1992.
Upaya Bupati Lamongan R. Mohamad Faried, SH untuk menyelamatkan dan
melestarikan warisan sejarah bangsa ini mendapat dukungan penuh Gubernur Jawa
Timur dengan alokasi dana APBD I yaitu pada tahun 1992 dengan pemugaran
Cungkup dan pembangu-nan Gapura Paduraksa senilai Rp. 98 juta dan anggaran Rp.
100 juta 202 ribu untuk pembangunan kembali Masjid Sunan Drajat yang
diresmikan oleh Menteri Penerangan RI tanggal 27 Juni 1993. Pada tahun 1993
sampai 1994 pembenahan dan pembangunan Situs Makam Sunan Drajat dilanjutkan
dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi paseban, bale rante serta
Cungkup Sitinggil dengan dana APBD I Jawa Timur sebesar RP. 131 juta yang
diresmikan Gubernur Jawa Timur M. Basofi Sudirman tanggal 14 Januari 1994.
5. Asal Usul
Nama asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putera Sunan Ampel
dengan Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau
Sunan Bonang.
Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu dari ayahnya kemudian diperintah
untuk berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar
antara Tuban dan Gresik.
Raden Qosim memulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah
singgah ditempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah Barat itu perahu beliau tiba-
tiba dihantam oleh ombak yang besar sehingga menabrak karang dan hancur.
Hampir saja Raden Qosim kehilangan jiwanya. Tapi bila Tuhan belum menentukan
ajal seseorang biar bagaimanapun hebatnya kecelakaan pasti dia akan selamat,
demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara kebetulan seekor ikan besar
yaitu ikan talang datang kepada Raden Qosim dan beliau pun menaiki punggung
ikan tersebut hingga selamat ke tepi pantai.
Raden Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau juga
berterima kasih kepada ikan talang yang telah menolongnya sampai ke tepi pantai.
Untuk itu beliau berpesan kepada anak keturunan beliau untuk tidak memakan
daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan mengakibatkan bencana, yaitu
ditimpa penyakit yang tiada obatnya lagi.
Ikan talang tersebut membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang
termasuk wilayah desa Jelag (sekarang termasuk desa Banjarwati), kecamatan
Paciran. Di tempat itu Raden Qosim disambut masyarakat dengan antusias, lebih-
lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim adalah putera Sunan Ampel seorang
wali besar dan masih terhitung kerabat kerajaan Majapahit.
Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan pesantren, karena caranya
menyiarkan agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang berguru
kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim mendapat ilham
supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 km disana beliau mendirikan
langgar atau surau untuk berdakwah.
Tiga tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar
membangun tempat berdakwah yang strategis yaitu ditempat ketinggian yang
disebut Dalem Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur itulah yang sekarang
dibangun Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah
barat Museum tersebut.
Raden Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri.
Artinya dalam berdakwah menyebarkan agama Islam beliau menganut jalan lurus,
jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus diamalkan dengan lurus dan benar sesuai
ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur dengan adat dan kepercayaan lama.
Meski demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat
dakwah, didalam museum yang terletak disebelah timur makamnya terdapat
seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi penghargaan
Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.
Dalam catatan sejarah wali songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang wali
yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga rajin mencari
rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang dermawan. Dikalangan rakyat jelata
beliau bersifat lemah lembut dan sering menolong mereka yang menderita.
Ajaran Sunan Drajad yang Terkenal
Ajaran Sunan Drajad bersumber dari :
1. Al-Quran
2. Sunnah
3. Ijma
4. Qiyas
5. Ajaran guru dan pendidik seperti Sunan Ampel
6. Ajaran dan pemikiran atau paham yang telah tersebar luas di masyarakat
7. Tradisi di masyarakat setempat yang telah ada yang sesuai dengan ajaran Islam,
dan
8. Fatwa Sunan Drajad sendiri.
Artinya:
Hilang jati diri makhluk,
Lenyap tiada tersisa,
Karena hilang wujud keberadaannya
Itulah juga wujud Tuhan,
Itulah yang ada ini,
Adapun persamaannya,
Seperti bintang diwaktu siang
Yang tersinari matahari.
Disamping terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa dermawan dan sosial,
beliau jua dikenal sebagai anggota wali songo yang turut serta mendukung dinasti
Demak dan ikut pula mendirikan mesjid Demak. Simbol kebesaran umat Islam pada
waktu itu.
Dibidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir beliau juga pertama
kali yang menciptakan Gending Pangkur, hingga sekarang gending tersebut masih
disukai rakyat jawa. Sunan Drajad demikian gelar Raden Qosim, diberikan kepada
beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggi, seakan
melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau dejat para ulama
muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah SWT.
D. SUNAN GIRI
1. Sejarah sunan giri (Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden
'Ainul Yaqin dan Joko Samudro)
Sunan Giri adalah salah satu dari Walisongo, yang bertugas menyiarkan agama
Islam di kawasan Jawa Timur, tepatnya di daerah Gresik. Sunan Giri lahir pada tahun
1443 di daerah Blambangan, Jawa Timur.Nama kecilnya adalah Jaka Samudra. Ayahnya
bernama Maulana Ishaq, berasal dari Pasai. Ibunya bernama Dewi Sekardadu, putri Raja
Blambangan, Prabu Minak Sembuyu. Karena Ayahnya, Maulana Ishaq ketika
melaksanakan tugas menyebarkan agama Islam di Blambangan, pergi memperdalam
ilmu ke Pasai dan tidak kembali lagi ke Jawa. Ia diangkat anak oleh seorang wanita kaya
bernama Nyai Gedhe Pinatih atau Nyai Gede Maloka, yang dalam Babad Jawa disebut
Nyai Ageng atau Nyai Ageng Tandes. Salah seorang saudaranya juga termasuk
Walisongo, yaitu Raden Abdul Kadir (Sunan Gunung Jati), dan ia mempunyai hubungan
keluarga dengan Raden Fatah, karena istri mereka bersaudara.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan
keturunan Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal
Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib,
Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus
Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-
Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal
(Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Ibrahim Zainuddin
Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana Ishaq, dan Ainul Yaqin (Sunan
Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa
Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
Ketika usianya beranjak dewasa, Jaka Samudra belajar agama di Pondok
Pesantren Ampel Denta (pimpinan Sunan Ampel), ia diberi gelar oleh Sunan Ampel
dengan gelar Raden Paku, dan disana berteman baik dengan Raden Maulana Makdum
Ibrahim, putra Sunan Ampel, yang kemudian terkenal dengan Sunan Bonang. Dalam
suatu perjalanan ibadah menuju Mekah, kedua santri ini lebih dahulu memperdalam
pengetahuan di Pasai, yang ketika itu menjadi tempat berkembangnya ilmu ketuhanan,
keimanan, dan tasawuf. Disini Raden Paku sampai pada tingkat ilmu laduni, sehingga
gurunya menganugerahinya gelar ‘Ain al-Yaqin. Karena itulah ia kadang-kadang dikenal
masyarakat dengan sebutan Raden Ainul Yaqin.
Selama empat puluh hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh,
meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam,
pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishaq, kembali terngiang, “Kelak, bila tiba masanya,
dirikanlah pesantren di Gresik.” Pada saat itulah Maulana Ishaq membekali Raden Paku
dengan segenggam tanah, ia diminta mendirikan pesantren disebuah tempat yang warna
dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya. Selesai bertafakur, Raden Paku
berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian
mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam
bahasa Sanksekerta, “Giri” berarti gunung.
Ketika Sunan Ampel, ketua para wali, wafat pada 1478 M, Sunan Giri
diangkat menjadi pengggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu
Satmata atau terkadang juga dipanggil Sultan Abdul Faqih. Diriwayatkan, pemberian
gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten
Gresik. Sunan Giri wafat pada 1506 M, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa
Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
3. Perkembangan Peradaban
a. Agama
Kisah tutur Jawa mengenai lahir dan ngrembakanya trah para kyai di Giri.
Pada paruh kedua abad ke-16 dan abad ke-17 mereka memiliki posisi krusial dalam
sejarah Jawa. Kisah Jawa mengenai asal trah para sunan di Giri ternyata panjang
lebar. Kisah-kisah tersebut termasuk sastra pesisir timur, yang pada abad ke-17 dan
18 pusat kerohanian dan kemasyarakatannya terdapat di Giri-Gresik dan Surabaya.
Penanggalan yang agak tua dalam kisah Jawa, yakni pada seperempat terakhir abad
ke-15, kehidupan Prabu Satmata dari Giri, dan ibu angkatnya yang sudah muslim,
Nyai Gede Pinatih dari Gresik, menguatkan pendapat bahwa Gresik dan Surabaya
adalah kota-kota pelabuhan Jawa Timur yang pertama tempat terbentuknya uamt
Islam. Tindakan Prabu Satmata dari Giri itu dapat dianggap sebagai suatu upaya
memantapkan dan menguatkan pusat keagamaan dan kemasyarakatan ini bagi
kepentingan para buruh Islam yang sering kurang semangat agamanya.
Keteguhan Sunan Giri dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan
konsekuen membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang
disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi, tanpa dicampuri kepercayaan aatau
adat istiadat lama.
b. Politik
Di kalangan Walisongo, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan
ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara
di keratin. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan. Pengaruh Sunan Giri ini
tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita orang
Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan
Suann Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi
umat Islam. Dalam babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.
Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar,
seorang Wali yang dianggap murtad karena menyebabkan faham Patheisme dan
meremehkan syariat Islam yang disebarkan para Wali lainnya. Dengan demikian
Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham
Ahlussunnah wal jama’ah.
c. Ekonomi
Kadipaten Gresik sebagai kota perdagangan laut yang paling kaya dan paling
penting di seluruh Jawa. Ia memberitakan adanya transaksi oleh kapal-kapal dari
Gujarat, Calicut, Bangelan, Siam, Cina, dan Liu-Liu denagn Gresik, dan
perdagangan antara Gresik dan Maluku serta Banda.
Di Gresik ada dua pejabat yang saling memerangi. Tlatah mereka di oota itu
dipisahkan oleh sungai kecil yang dangkal. Penulis Portugis itu menyebut nama Pati
Yusuf dan Pati Zainall. Pati Yusuf memerintah bagian kota yang paling besar dan
paling penting, tempat perdagangan laut. Konon, ia masih kerabat wangsa raja di
Malaka dan ia dianggap trah Melayu. Pejabat yang lain, Pati Zainal, memerintah di
bagian pelosok yang agraris, ia tidak berdagang dan tidak kaya.
d. Seni-Budaya
Dakwah Islamnya selain menggunakan jalur politik juga menggunakan jalur
seni dan budaya. Diantara permainan anak-anak yang dicintainya adalah sebagai
berikut : Diantara anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang
lainnya menjadi objek buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila telah
berpegang pada tonggal atau batang pohon yang telah ditentukan lebih dulu. Inilah
permainan yang disebut Jetungan atau Delikan yang dalam istilah bahasa Indonesia
permainan Petak Umpet. Arti permainan tersebut adalah seseorang yang sudah
berpegang teguh kepada agama Islam Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan setan
atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu.
Sembari melakukan permainan yang disebut jetungan itu biasanya anak-anak
akan menyanyikan lagu Padhang Bulan :
“Padhang-padhang bulan,
ayo gage dha dolanan,
dolanane ing latar,
ngalap padhang gilar-gilar,
nundhung begog hangetikar.”
(Malam terang bulan, marilah lekas bermain,bermain di halaman, mengambil
manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit).
Maksud lagu dolanan tersebut ialah :
Agama Islam telah dating, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka
bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah
kebodohan dan kesesatan.
Selain itu Sunan Giri juga menciptakan berbagai tembang atau lagu Jawa
seperti :
1) Jamuran
2) Gula ganti
3) Cublak-cublak suweng
4) Tembang Asmarandana
5) Tembang Pocung
e. Pendidikan
Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, Sunan Giri mendirikan
Pesantren Giri.
Sunan Giri juga sering berpesan kepada para santrinya yang ingin mencari
ilmu ketuhanan :
a. Gusti iku dumunungt ana atining manungsa kang becik, mula iki diarani Gusti
iku bagusing ati.
b. Sing sapa nyumurupi dating Pangeran iku ateges nyumurupi awake dhewe.
Dene kang durung miakni awake dhewe durung miakni dating Pangeran.
c. Kahanan donya ora langgeng, mula aja ngegungake kesugihan lan drajatira, awit
semangsa ana woalk-waliking zaman ora ngisin-ngisini.
d. Kahanan kang ana iki ora suwe ora mesthi ngalami owah gingsir, mula aja lali
marang sapadha-padhaning tumitah.
Terjemahan :
a) Tuhan itu berada dalam hati manusia yang suci, karenanya Tuhan disebut pula
sebagai hati yang suci.
b) Mengetahui zat Tuhan berarti mengenal dirinya sendiri. Dan barang siapa belum
mengenal dirinya sendiri, ia itu belum mengerti zat Tuhan.
c) Keadaan dunia ini tidak abadi, oleh karena itu jangan mengagung-agungkan
kekayaan dan derajatmu, sebab bila sewaktu-waktu terjadi perubahan keadaan
Anda tidak akan menderita aib.
d) Keadaan yang ada ini tidak lama pasti mengalami perubahan, oleh karena itu
jangan melupakan sesame hidup.
4. Gagasan-gagasan
Dalam bidang ekonomi dan politik, para Kanjeng Sunan Giri memiliki posisi
yang jauh lebih krusial dari sunan-sunan di Cirebon Darusalam atau Kudus. Dengan
kebijakan politiknya, dan bila perlu dengan keberanian pejuang, ternyata selama kira-kira
dua abad, para sunan di Giri mampu mempertahankan kemerdekaan terhadap serangan
raja-raja pelosok Majapahit dan Mataram Hadiningrat. Kraton di giri sungguh besar
sumbangannya untuk kemajuan kebudayaan Islam di pesisir, yang masih tetap
melanjutkan tradisi kebudayaan. Para buruh dan pelaut dari Gresik memperkenalakn
nama para kyai dari Giri sampai jauh di luar Jawa. Kelompok elite di kota pelabuhan ini
agaknya lebih banyak berdarah campuran disbanding dengan kelompok elite di kota-kota
pelabuhan lain di Jawa, trah Cina memiliki posisi krusial dalam sejarah Gresik.
Perdagangan antarpulau, kekayaan, dan pengaruh politik rupanya lebih diperhatikan oleh
sunan di Giri daripada hidup saleh secara Islam dn mempelajari ilmu agama.
Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama 200 tahun. Sesudah Sunan
Giri meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu:
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri
8. Pengeran Singosari
Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan
Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker. Sesudah pangeran Singosari
wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Meski demikian kharisma
Sunan Giri sebagai ulama besar wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa.
E. SUNAN AMPEL
1. Asal usul sunan ampel (Maulana Malik Ibrahim)
Di Rusia selatan ada sebuah daerah yang disebut Bukhara. Bukhara ini terletak di
Samarqand. Sejak dahulu daerah yang disebut Bukhara. Bukhara ini terletak di
Samarqand. Sejak dahulu daerah Samarqand dikenal sebagai daerah Islam yang
menelorkan ulama-ulama besar seperti sarjana hadist terkenal yaitu Imam Bukhari yang
mashur sebagai perawi hadits sahih.
Di Samarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh jamalluddin Jumadil
Kubra, seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, beliau mempunyai seorang putra
bernama Ibrahim. Karena berasal dari Samarqand maka Ibrahim kemudian mendapat
tambahan Samarqandi. Orang jawa sangat sukar mengucapkan Samarqandi maka mereka
hanya menyebutkan sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.
Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin
Jumadil Kubra untuk berda’wah ke negara-negara Asia. Perintah ini dilaksanakan, dan
beliau kemudian diambil menantu oleh raja Cempa, dijodohkan dengan putri raja Cempa
yang bernama Dewi Candrawulan.
Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari
perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim Asmarakandi mendapat dua
orang putra yaitu Raden Rahmat atau Sayyid Ali Rahmatullah dan raden Santri atau
Sayyid Alim Murtolo. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi
Dwarawati diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian Raden Rahmat
itu keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau pangeran kerajaan.
Raja Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang wajahnya
tidak kalah menarik dengan Dewi Sari. Sehingga istri-istri lainnya diceraikan, banyak
yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar di seluruh Nusantara. Salah satu
contoh adalah istri yang bernama Dewi Kian, seorang putri Cina yang diberikan kepada
Adipati Ario Damar di Palembang.
Ketika Dewi Kian di ceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang
hamil tiga bulan. Ario Damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu sampai si
jabang bayi terlahir ke dunia. Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya bernama
Raden Hasan atau lebih terkenal dengan nama Raden Patah, salah seorang murid Sunan
Ampel yang menjadi raja di Demak Bintoro.
Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam
Wuruk mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya
perang saudara, dan para adipati banyak yang tak loyal lagi kepada Prabu Hayam Wuruk
yaitu Prabu Brawijaya Kertabhumi.
Pajak dan upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke istana Majapahit. Lebih
sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat sang Prabu bersedih hati.
Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran
yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar
betul bila kebiasaan semacam itu diteruskan negara akan menjadi lemah dan jika negara
sudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan
Majapahit Raya.
Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati
suaminya. Dengan memberanikan diri ia mengajukan pendapat kepada suaminya.
“Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal mengatasi
kemerosotan budi pekerti,” kata ratu Dwarawati.
“Betulkah ?” tanya sang Prabu.
“Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra dari kanda Dewi Candrawulan di Negeri
Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk
mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.”
“Tentu saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Cempa bersedia mengirimkan
Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.” Kata Raja Brawijaya.
2. Ke tanah jawa
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Cempa
untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan
Majapahit disambut gembira oleh raja Cempa, dan raja Cempa tidak keberatan melepas
cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani
oleh ayah dan kakaknya. Sebagaimana disebutkan di atas, ayah Sayyid Ali Rahmat
adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali
Murtadho. Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban.
Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi
jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan didesa tersebut yang masih
termasuk ke camatan Palang kabupaten Tuban.
Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berda’wah keliling ke
daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Disana beliau mendapat sambutan
raja Pandita Bima, dan akhirnya berda’wah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri,
beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan
ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
Kapal layar yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan Canggu. Kedatanganya
disambut dengan suka cita oleh Prabu Kertabumi. Lebih – lebih lagi Ratu Dhawarawati
bibinya sendiri, wanita ini memeluknya erat – erat, seolah sedang memeluk Kakak
perempuan-nya yang berada di Istana Kerajaan Cempa. Wajah keponakanya itu memang
mirip dengan Kakak perempuannya.
“Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum
bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia ?” tanya sang
Prabu. Dengan sikapnya yang sopan tutur kata halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab.
“Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk
mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka.”
“Bagus !” sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah
berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para bangsawan dan
pangeran Majapahit agar berbudi pekerti mulia.”
“Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah. Disebutkan
dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di
istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu putri Majapahit yang bernama Dewi
Candrawati. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran
Majapahit, karena dia adalah menantu raja Majapahit.
3. Ampeldenta
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Sayyid Ali
Rahmatullah ke sebuah daerah di Surabaya yang disebut sebagai Ampeldenta.
Selama dalam perjalanan banyak hal-hal aneh di jumpai rombongan itu.
Diantaranya adalah pertemuan Sayyid Ali Rahmatullah dengan seorang gadis bernama
Siti Karimah yang kemudian menjadi isterinya. Dan sepanjang perjalanan itu beliau juga
melakukan da’wah sehingga bertambahlah anggota rombongan yang mengikuti
perjalanannya ke Ampeldenta.
Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka
beliau adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran, para
pangeran pada jaman dulu di tandai dengan nama depan Raden.
Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat. Dan karena beliau
menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut maka kemudian beliau
dikenal sebagai Sunan Ampel.
Sunan artinya yang di junjung tinggi atau panutan masyarakat setempat. Langkah
pertama yang dilakukan Raden Rachmat di Ampeldenta adalah membangun masjid
sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi sewaktu hijrah ke Madinah. Selanjutnya beliau
mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta
siapa saja yang mau datang berguru kapada beliau.
4. Ajaranya yang terkenal
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau tidak mau
melakukan lima hal tercela yaitu: main judi, minum arak atau bermabuk-mabukkan,
mencuri, madat atau menghisap madu dan madon atau main perempuan yang bukan
isterinya.
Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja
menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden
Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya
tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak
mau.
Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya
bahkan diseluruh Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden
Rahmatpun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.
5. Sesepuh walisongo
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat
sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa.
Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Wali Songo,
mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang
dan Sunan Drajad adalah putra Sunan Ampel sendiri.
Jasa beliau yang besar adalah pencetus dan perencana lahirnya kerajaan Islam
dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah, murid dan menantunya sendiri. Beliau
juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477
M. Salah satu diantara empat tiang utama masjid Demak hingga sekarang masih diberi
nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.
6. Penyelamat aqidah
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat hati-hati, hal ini didukung
oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan
para Wali di masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar
adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki
rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel.
“Apakah tidak mengkwatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu
nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam ? Jika hal ini dibiarkan
nantinya akan menjadi bid’ah ?”
Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, “Saya setuju
dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan
kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islami. Sedang adat dan
kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama
sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam
sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekuatiran Kanjeng Sunan Ampel,
saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang
menyempurnakannya.”
Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung
hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama
Islam cepat diterima oleh orang Jawa, dan ini terbukti, dikarenakan dua Wali tersebut
pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolelir Islam maka penduduk Jawa
banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau
menerima Islam lebih dahulu dan sedikit demi sedikit kemudian mereka akan diberi
pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus
disiarkan dengan murni dan konsekwen juga mengandung hikmah kebenaran yang
hakiki, sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama
secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat
besar, dengan peringatan inilah beliau telaj menyelamatkan aqidah ummat agar tidak
tergelincir ke lembah musyrik.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat
Masjid Ampel.
2. Lenyapkan Pageblug
Patih Bajul Sengara dapat bertemu dengan Syekh Maulana lshak yang sedang
bertafakkur di sebuah goa Cemoro yang terdapat di kawasan Rogojampi.Setelah terjadi
negosiasi, maka Syekh Maulana Ishak bersedia datang ke istana Blambangan untuk
menyembuhkan putri Dewi Sekardadu dan menghilangkan Pagebluk yang melanda
wilayah Blambangan.
Sesuai janji Raja maka Sekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu.
Diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan
tepatnya di Banyuwangi bagian Utara, yang sekarang menjadi Kota Banyuwangi. Dari
daerah sinilah lahir seorang bayi mungil yang elok, namanya Sayyid ’Ainul Yaqin yang
kelak setelah dewasa bergelar Sunan Giri. Oleh masyarakat Banyuwangi, daerah
kelahiran Sunan Giri, dijadikan nama desa dan kecamatan, yaitu Kecamatan Giri.
Setelah Syekh Maulana Ishak menjadi Adipati baru di Blambangan. Makin hari
semakin bertambah banyak saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam. Hal
ini tidak disukai Patih Bajul Sengara. Bahkan akan membunuh Syekh Maulana Ishak.
Melihat adanya upaya pembunuhan, maka Syekh Maulana Ishak pamit kepada istrinya
Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan untuk meninggalkan kerajaan Blambangan.
Kemudian Syekh Maulana Ishaq pergi menuju Gresik, seminggu kemudian
menuju Ampel Denta menemui keponakannya, yaitu Sunan Ampel dan menitipkan
bayinya yang masih ada di Blambangan. Selanjutnya berlayar menuju Kerajaan
Samudera Pasai, dan berdakwah di sana. Kebetulan Kerajaan Samudera Pasai
membutuhkan seorang Mufti dan wafat di Singapore yang saat itu merupakan bagian dari
wilayah Kerajaan Samudera Pasai. Dan dimakamkan di sana.HUSNU MUFID
3. Silsilah
Syekh Maulana Ishaq bin
Husein Jamaluddin [Syaikh Jumadil Kubro] bin
Ahmad Syah Jalaluddin bin
'Abdullah Khan bin
Abdul Malik Azmatkhan bin
'Alwi 'Ammil Faqih bin
Muhammad Shohib Mirbath bin
'Ali Khali Qasam bin
'Alwi Shohib Baiti Jubair bin
Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin
'Alwi Al-Mubtakir bin
'Ubaidillah bin
Ahmad Al-Muhajir bin
'Isa An-Naqib bin
Muhammad An-Naqib bin
'Ali Al-'Uraidhi bin
Imam Ja'far Ash-Shadiq bin
Imam Muhammad Al-Baqir bin
Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin
Imam Husain Asy-Syahid bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
Nabi Muhammad Rasulullah Saw.