Anda di halaman 1dari 21

TUGAS LITERATUR PEDALANGAN II

MEMBAHAS SEBUAH LITERATUR PEWAYANGAN

“SERAT SASTRA MIRUDA”

Disusun Oleh :

Nama : Made Panji Wilimantara

NIM : 2010 03 003

Jurusan : Seni Pedalangan

Fakultas : Seni Pertunjukan

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

DENPASAR

2013
1
SERAT SASTRAMIRUDA

Judul Buku : Serat Sastra Miruda

Alih Bahasa : Kamajaya

Alih Aksara : Sudibjo Z. Hadisutjipto

Dicetak oleh : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Dalam Rangka : Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

Tahun cetak : 1981

Ugering Padhalangan ingkang sampun mupakat kangge abdidalem Dhalang ing Kraton

Surakarta Hadiningrat. Serat Sastramiruda adalah sebuah karya sastra Jawa dalam bentuk

wawancara antara guru ahli Pedalangan Wayang Purwa dan muridnya. Sang guru ialah kanjeng

Pangeran Arya Kusumadilaga, dan muridnya, Mas Sastramiruda. Nama murid ini diambil

menjadi judul bukunya. Metode penulisan dengan penjabaran melalui diskusi Tanya-Jawab

antara seorang Guru dan seorang murid yang serba ingin tahu dan mencari pencerahan dalam

menapaki ilmu yang ia pelajari seperti ini hampir sama seperti yang terdapat dalam tradisi

penulisan Purana di India. Banyak Serat maupun buku lainya yang menjabarkan esensi suatu

pengetahuan dengan dialog antara Murid dan Guru ini seperti Serat Dharmogandul, Upadesa, dll.

Kitab Sastra Miruda yang menjadi objek penulisan ini adalah buku terjemahan yang dialih

bahasakan oleh Kamajaya, dan dialih aksarakan oleh Sudibjo Z. Hadisutjipto. Buku ini

diterbitkan oleh Departemen dan Kebudayaan dalam Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia

dan Daerah tahun 1981.

2
Tidak ada angka tahun penulisan kitab ini, namun terdapat uraian bahwa kitab ini mulai

ditulis pada hari Ahad/ Jumat malam tanggal 1 bulan Besar, wuku Langkir, mangasa Ke-enam,

tahun Be, 1808. Dapat diketahui, bahwa K.P.A. Kusumadilaga hidup dijaman Sri Susuhunan

Paku Buwana IX yang bertahta dari tahun 1863 hingga 1893 M. Diantara tahun-tahun itulah

kiraannya kitab ini ditulis. Siapakah pengarang atau penyusunnya tidak diperoleh kepastian,

apakah K.P.A. Kusumadilaga, apakah Mas Sastramiruda. Hanya dibagian muka dari Serat

Sastramiruda terdapat keterangan bahwa :

“Semua cara-cara menjalankan tugas mendalang dijelaskan dengan lengkap. Cerita itu

kemudian disampaikan kepada Raden Mas Panji Kusumawardaya, kerabat keraton di Negeri

Surakarta”.

Indikasi lain mengatakan bahwa yang menyusun Serat Sastra Miruda ini adalah R.M.P.

Kusumawardaya.

Dalam Serat Sastramiruda diuraikan bahwa yang memulai cerita ini adalah Kanjeng

Pangeran Arya Kusuma Dilaga, yang diturunkan kepada muridnya yang bernama Mas

Sastramiruda. Sebenarnya isi kitab itu lebih dari “pedoman pedalangan” yang didalamnya

sendiri telah disuratkan bahwa Pedoman Pedalangan ini telah disahkan/dibenarkan untuk para

Dalang Abdi Dalem di Kadipaten anom (Tempat Putra Mahkota), bahkan memuat pula Sejarah

Wayang Purwa dan lain sebagainya. Kitab ini menceritakan asal mula adanya gambar Wayang

Purwa dan permuula\nnya menjadi wayang Beber, Gedog, Krucil, Golek, Kllithik, Wayang

Orang, dan Topeng., dengan urutan para penciptanya di jaman kuna sampai keadaan Wayang

kulit di Kraton Surakarta. Dan dijelaskan ketika para Jawata (Dewa) menciptakan bunyi-bunyian

yang dinamakan Lokanata yang selanjutnya digubah menjadi gambelan Salendro. Lalu adanya

3
bunnyi-bunyi (mengiringi) perang disebut Mardangga. Dan adanya gamelan Monggang, Kodok

Ngorek, Galaganjur, Cara-balern, pelog, Sakaten, dan sarunen. Juga adanya tari Badaya,

Sarimpi, Wireng Lawung, Dadap dan sebagainya. Dan didalamnya juga terdapat mengenai alat-

alat yang digunakan utntuk dalang mewayang (mendalang), dan jenis-jenis gending, dengan

suluk Gereget-Saut (Gaya-siaganya). Diuraikan pula tentang cara memilih niyaga (pemukul

gamelan) yang memang perlu menjadi teman bertugas Ki Dalang, hingga caranya mendaalang.

Dalam kitab ini pun memuat pedoman mendalang dalam bentuk pakem, yaitu lakon “Palasara

Kawin” atau disebut pula “Lahirnya Abiyasa”.

Asal Usul Wayang Purwa

Dalam Serat Sastra Miruda dijelaskan mengenai asal-usul adanya wayang kulit di tanah

Jawa. Namun dalam penjelasan tersebut asal-usul permulaan adanya wayang kemungkinan

diambil dari cerita-cerita legenda yang berkembang di masyarakat Jawa pada waktu itu.

Penjelasan perkembangan wayang setelah kerajaan Demak lebih terperinci dan bisa dikaitkan

dengan keadaan sejarah yang sebenarnya. Dalam dialog, Sastra Miruda menanyakan kepada

Kanjeng Pangeran Arya Kusumadilaga untuk berkenan menjelaskan mengenai asal-usul Wayang

Purwa dan apakah pedomannya bahwa Wayang baik laki-laki maupun perempuan, diberi lubang

pada kedua daun telinganya. K.P.A. Kusumadilaga menjawab bahwa menurut pendengarannya

bahwa terdapat beberapa periode perkembangan Wayang Purwa.

1. Prabu Jayabaya bertahta di Mamenang, beliau membuat rencana gambar para leluhurnya

yang dilukis di atas lontar. Yang dilukis terlebbih dulu olehnya adalah gambar Bhatara Guru.

Kata Wayang dipakai karena yang digambarkaan pernah disebut dalam jaman Purwa

(Permulaan), tetapi sudah tidak ada wujudnya. Tinggal bayangannya (Wayang=bayangan).

4
Adapun sebabnya Wayang dibreri lobang pada daun telinganya, itu Karena yang diambil oleh

Prabu Jayabaya sebagai pola adalah Arca, jadi mirip dengan adat dan pakaian/perhiasan bangsa

Hindu. Melukis itu selesai pada tahun Gambare Wayang Wolu/ 869 Saka.

2. Empu Ajisaka bertahta dengan gelar Prabu Widayaka, bersemayam di negeri

Purwacarita, menciptakan pedoman pakem Wayang Purwa pada tahun Ratu Guna Maletik

Tunggal/1031.

3. Raden Panji Ksatrian bernama Prabu Suryamisesa yang bertahta di Kraton Jenggala

berkenan menciptakan bentuk gambar Wayang Purwa di atas Rontal. Sekaliligus diciptakan

Pakem cerita Wayang Purwa. Itulah saat permulaan wayang mendapat iringan bunyi-bunyian

gamelan salendro dan dengan iringan lagu (suluk) dalam bahasa Kawi. Didalam perayaan,

Prabbu Suryamisesa tampil sebagai dalang, para kerabbatnya memukul gamelan iringannya

pada tahun Tata Karya Titising Dewa/1145.

4. Raden Kudalaleyan bertahta di Kerajaan Jenggala, bergelar Prabu suryamiluhur.

Istananya dipindahkan ke negeri Pejajaran. Beliau mnemperbarui bentuk Wayang berpedoman

coretan Jenggala, diperbesar ukuran-nya yang dilukis diatas kertas (daluwang) Jawa pada tahun

Wayang Magana Rupaning Janma/1166.

5. Raden Jasusuruh, bergelar Prabu Bratana. Istananya di Negeri Majapahit. Beliau

menciptakan Wayang Purwa diatas kertas (dluwang=Jawa) lebar yang digulung menjadi satu

dan dinamakan Wayang Beber. Pertunjukan wayang Beber digunakan untuk Ruwatan

Murwakala dengan perantara Wayang Beber dengan dilengkapi sesajen dan kemenyan

Gandawida (berbau harum). Ini menjadi kebiasaan hingga jaman sekarang . Orang

menghidangkan pertunjukan Wayang tradisi di jaman Buddha. Pada tahun Gunaning

Bhujangga Nembahing Dewa/1283.

5
6. Prabu Brawijaya yang bertahta di Majapahit mempunyai putra yang mahir menggambar

bernama Raden Sunggingprabangkara. Oleh ayahnya ditugaskan untuk menggambarkan

pakaian Wayang Beber dengan cat yang beraneka ragam pada tahun Tanpa Sirna Gunaning

Atmaja/1300.

7. Setelah hancurnya kraton dan Negeri Majapahit pada tahun Geni Murub Siniraming

Wong/ 1433, maka diangkatlah Wayang Beber dengan gamelannya ke negeri Demak. Sri

Sultan Syah Alam Akbar (Raja Demak Pertama/Raden Patah) sangat suka sekali dengan

gending-gending gamean (karawitan) dan hibuuran wayang. Seringkali ia mendalang Wayang

Beber, padahal Wayang dan gamelan itu didalam Kitab Pekih (Fiqh= Hukum Islam) disebut

sebagai Haram. Para Wali turut membuat wayang agar hilang perwujudan gambar. Yang

dibuatnya ialah kulit Kerbau yang sudah ditipiskan. Dasarnya putih, berasal daris erbbuk

tulaang dan bahan perekat (lem). Perlengkapannya dilukis dengan Tinta, wajahnya dibbuat

miring, sekaligus dengan tangannya; kemudian dijepit satu demi-satu wayang tersebut dan

ditancapkan diatas kayu yang sudah dibuatkan lobang untuk menancapkan wayang. Sejak saat

itulah wayang disebut wayang Purwa. Hal ini terjadi pada tahun Sirna Suci Caturing Dewa/

1440.

Setelah sultan Syah Alam Akbar bertahta kira-kira 3 tahun, Susuhunan di Giri (Sunan Giri)

menambah jenis Wayang Purwa berupa wayang kera sseerta serta menyusun ceritanya.

Sasuhunan di Bonang menciptakan penyumpingan (menjajarkan wayang di kanan-kiri). Sri

Sunan Kalijaga menambahkan modifikasi beberapa peralatan dalam pertunjukan wayang

seperti pada kelir, blencong, dll. Yang seringkali mendalang ialah Sunan Kudus. Ialah yang

memotori penggunaan sulukan, greget saut, tahun Geni Dadi Sucining Jagad/1443.

6
8. Raden Trenggana menjadi raja dengan nama Sri Sultan Syah Alam Akbar yang ke-3.

Beliau membangun bentuk wayang Purwa, dikurangi ukuran besarnya, menetapkan pedoman

untuk wayang perempuan dengan rambut terurai, wayang kera dan raksasa bermata dua buah,

wayang dewa bercawat seperti terlihat pada arca, serta mengarang lakon wayang. Saat itulah

permulaan wayang diwarnai kuning dengan perada disebut wayang “Kidang Kencana”.

Peristiwa itu ditandai dengan sangkala memet, berupa lukisan Dewa Sang Hyang Girinata naik

sapi Andini, artinya : Salira dwija dadi raja (perawakan guru menjadi raja) artinya tahun 1478.

9. Sri Ratu di Tunggul Giri (Sunan Giri) membuat wayang Gedong. Ceritanya tentang lakon

Negara Jenggala, Kediri, Singasari, Ngurawan, Pihak Sabrangan (tanah seberang, musuhnya)

Prabu Klana di Negara Bali. Bala tentaranya, Bugis. Yang mendalang abdi Sri Sunan di Kudus,

bernama Widiyaka. Peristiwa itu ditandai dengan sangkala memet Dewa Sang Hyang Bethara

Guru memegang cis (tobak kecil) dengan tangkai yang dilingkari ular, artinya : Gagamaning

naga kinarya Dewa (Senjata ular digunakan Dewa), artinya tahun 1485.

10. Sunan Bonang mengubah Kitab Damarwulan yang menceritakan sejarah negeri

Majapahit tahun 1315. Pada tahun yang sama Wayang Beber masih dipertunjukkan, iringan

bunyi-bunyiannya ditambah : terbang (rebana), kendang, angklung, dan keprak, mendapat

iringan gamelan “kethiprak”. Peristiwa itu ditandai dengan sangkala Wayang Wolu kinarya

tunggal, tahun 1486.

11. Raden Jaka di Tingkir duduk di atas kerajaan Pajang dengan gelar Sri Sultan Adiwijaya

tahun 1403. Membangun bentuk wayang Purwa. Pola induknya ialah wayang berasal dari

Demak. Sri Sultan juga berkenan mengarang Pakem (pedoman lakon) untuk Wayang Gedong

7
dan Purwa. Peristiwa ini diperingati dengan Sangkalan Pancaboma Marga Tunggal tahun

1505.

12. Sri Sunan di Kalijaga berkenan mencipta topeng yang dibuat dari kayu dengan satu

muka saja. Serupa dengan wajah manusia. Cara mempergelarkan lakon seperti yang dilakukan

dalam wayang Gedog. Peristiwa ini diperingati dengan sangkalan : Angesthi sirna rakseng

bawana, 1508.

13. Kanjeng Penembahan Senapati ing Ngalaga memperbaharui bentuk Wayang Purwa.

Mulai saat itu rambut wayang ditatah gempuran (tatahan lengkap, mendetail). Beliau

memperbaharui juga bentuk Wayang Gedong dengan menyandang keris dipinggangnya atau

menambah jumlah macam ricikan wayang, sangkalan : rupa papat gatining janma : tahun

1541.

14. Sri Sunan Prabu Suda Anyakrawati, memperbaharui bentuk wayang Purwa. Induk

polanya wayang “Kidang Kencana” diperbesar dengan separo “palemahan”. Pada waktu itu

ada seorang berasal dari Kedu (Magelang) pandai mendalang, lalu diangkat menjadi hamba

kraton. Mulai saat itu di negeri Mataram orang meruat (ngruat Jw.) tidak lagi menggunakan

Wayang Beber, melainkan dengan Wayang Purwa kulit. Ini diperingati dengan sangkalan

memet: Buta Cakil, yakni raksasa bermata sebuah, bertangan dua menyandang ketis, bertaring

satu keluar sampai di bibirnya. Sangkalan memet yang artinya Anembah gegamaning buta

tunggal : 1552.

15. Sri Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma sewaktu memegang tampuk kerajaan pernah

memperbaharui bentuk Wayang Purwa, perlengkapan untuk wayang laki-laki dan perempuan

ditatah, wayang lanyapan (muka menengadah) dijadikan berperawakan sangkuk (bungkuk),

8
yang memang bermata seperti keledai dirobah dijadikan bermata seperti buah kedondong.

Itulah permulaan wayang mempunyai jenis wajah atau roman muka (wanda Jw.) rangkap.

Wayang Arjunanya diberi nama Kyai Mangu (ragu-ragu = bimbing). Jalu buta tinata ratu :

tahun 1553.

16. Sri Sunan Mangkurat Mataram, waktu bertahta berkenan membuat Wayang Purwa.

Setelah selesai sebanyak satu peti, wayang arjunanya diberi nama Kyai Kanyut (hanyut). Itulah

mulainya wajah Arjuna – tua, mempunyai tiga jenis : Jimat, Mangu, Kanyut. Di waktu itu

diperindahkan oleh raja, bahwa para dalang keraton tidak diperkenankan “meruat”, kecuali

Kyai Anjangmas. Sekalipun di desa kalau dalang hendang “murwakala” (meruat), harus lapor

dan mohon izin kepada Kyai Anjangmas. Dan mulai saat itu orang yang menyelenggarakan

pertunjukan Wayan Taledek (tandak) atau topeng, dikenakan bea yang disebut “pajak

pajuwehan”. Bersangkalan : Wayang buta ing wana tunggal ; tahun 1556.

17. Sri Susuhunan Mangkurat memperbaiki bentuk Wayang Gedog. Di dalam tahun yang

sama Pangeran Ratu Pekik di Surabaya juga telah menyelesaikan naskah lakon wayang

Damarwulan yang disusun dan dijadikan lakon Wayang Kulit. Iringan bunyi-bunyian terdiri

dari : kethuk, saron, kenong, rebab, kecer, kempul yang selanjutnya disebut Wayang Krucil.

Pementasannya dilakukan pada siang hari tanpa mempergunakan layar (kelir).

Atas kehendak raja peristiwa pembuatan Wayang Gedog tersebut diperingati dengan

sangkalan memet yang berupa : Bathari Durga berdiri di atas batu gilang yang ditumbuhi

dedaunan, artinya : Watu tunggangane buta widadari, maknanya tahun 1571.

Setelah negeri Mataram hancur (karena pemberontakan Trunajaya) Sri susuhunan

mengungsi ke Banyumas dan selanjutnya berhenti di Tegal. Hamba kerajaan Dalang

9
Anjangmas, menyusul melalui Kedu. Istri Ki Dalang Anjangmas beserta wayang dan

perlengkapan gamelan dilarikan oleh musuh. Di tempat yang baru ini istri ki dalang tersebut

(Nyai Anjangmas) lalu mengamen dengan mendalang Wayang Purwa dan mendidik calon

dalang di daerah Panaraga.

Tentang lakon jejer serta perbedaannya dengan lakon carangan adalah sebagai berikut :

Cerita jejer (pokok) yang termasuk dalam pakem (pedoman) kesemuanya tersusun menurut

urutan, dibuat lakon demi satu lakon dipentaskan semalam suntuk. Malam berikutnya

melangsungkan sambungan ceritanya, mirip cerita jawarna di dalam buku babad. Tentang

lakon carang kadhapur adalah lakon jejer satu lakon yang disambung dengan lakon carangan,

tetapi artinya masih urut, Itulah disebut carang kadhaput, artinya masih termasuk rangkaian

(dhapur) cerita yang pokok. Adapun lakon carangan itu terpisah dari lakon jejer (pokok) dan

tidak ada sambungan ceritanya lagi.

18. Waktu Kanjeng Sinuhun Amangkurat bertahta, beliau memperbaharui bentuk Wayang

Purwa berdasarkan pedoman wayang ciptaan Mataram. Wayang Arjuna wajahnya (wanda Jw.)

disebut Mangu, Wayang perempuan dengan sanggul yang bermacam-macam bentuknya.

Wayang liyean (mata sipit) tidak dijahit. Lalu mencipta wayang Janaka dengan wajah yang

disebut Kinanthi (digandeng, disertai) Wayang Dewa, selain Bathara Guru, Bidadari, dan

Bathari Durga. Kesemuanya diperlengkapi baju dan sepatu serta memakai selendang,

bersangkalan : Marga Sirna wayanging raja.

19. K.P.A. Puger di Kartasura (kemudian bertahta menjadi Sinuhun Paku Buwana I)

mencipta wayang Purwa dengan pola wayang ciptaan Mataram. Wayang Janakanya dengan

wayang Kanyut. Dengan itulah dimulai pembaharuan wayang seberangan (kerajaan Seberang)

10
dengan mata liyepan (mata sipit dan mata thelengan (melotot) dan wayang raksasa prepatan.

Kesemuanya dilengkapi baju “sekapan besar” (baju kebesaran) dengan keris, sangkalan : Buta

nembah rasa tunggal : maknanya tahun 1625

20. Sri Susuhunan Paku Buwana ke-2, pada tahun 1650 membuat Wayang Purwa lengkap

dengan tiga macam wajah Janaka, yaitu : 1. Jimat, 2. Mangu, 3. Kanyut. Yang menatah

wayang itu bernama Cermapangrawati bersama Kyai Ganda. Itulah permulaan wayang liyepan

dan wayang lanyapan (muka menengadah) dijahit. Malahan Sri Baginda sendiri berkenan

memahat Arjuna muda. Sangkala : Buta lima angoyag jagat, tahun 1655.

21. Waktu Sri Susuhunan (PB II) membangun bentuk Wayang Gedong, wajah wayangnya

Panji mirip dengan wayang Arjuna. Wajah Gunungsari mirip dengan wayang Samba. Wayang

perempuannya dengan sanggul seperti wayang Purwa, serta dengan pakaian dodot. Setelah

selesai diberi sebutan : Kyai Banjet (balejet = sama, presis). Sangkalan Wayang misik rasane

widadari, maknanya tahun 1656.

Diceritakan bahwa setelah Sri Susuhunan Paku Buwana ke-2 bertahta di Kartasura, banyak

hiburan negeri yang diperbaharui atau pertunjukan asli dari negeri asing dipertontonkan di

Kartasura, misalnya Wayang Golek Purwa, dan Wayang Terbang (rebana) dengan cerita

Menak (Wong Agung Menak = Amir Ambyah) serta Mursada. Malahan diwartakan bahwa di

Kudus ada Wayang Golek yang mementaskan cerita Menak. Maka Sri Susuhunan lalu

membuat Wayang Krucil yang dibuat dari kayu mirip dengan wayang ciptaan Pangeran Ratu

Pekik, Lakon Wayang Krucil ini mengkisahkan Damarwulan. Setelah selesai, diberi sebutan

Wayang Krucil Kayu yang biasanya oleh kebanyakan orang disebut Wayang Klithik. Peristiwa

itu diperingati dengan sangkalah memet berupa : Kayonan (gunungan) yang ditengah-

11
tengahnya terdapat pintu yang dijaga oleh raksasa memegang gada yang berarti Gapura lima

retuning bumi, maknanya tahun 1659.

Pada tahun 1670, Sri Susuhunan Paku Buwana ke-2 berpindah kraton dari Kartasura ke

keraton Surakarta Adiningrat pada tahun 1677 dengan sangkalan : Giri sapta rasa tunggal .

Pada waktu itu terjadilah pembagian negeri yang disebut Peristiwa Giyanti (menjadi dua :

Surakarta dan Yogyakarta) pada tahun 1680 dan bersangkalan Nir Brahma Ngoyag Bumi.

K.P.A.A. Mangkunegara ke-1 menyatakan tunduk kepada negeri Surakarta pada tahun

1682. Beliau berkehendak membuat wayang orang menurut cerita gancaran (jarwa) dari cerita

Purwa dengan sangkalan : Wiwarastha wayanging janma, maknanya tahun 1689.

22. K.P. Adipati Anom ke-2 di Surakarta, membuat wayang sebanyak dua perangkat, setiap

perangkat lengkap dengan wajah (wanda) masing-masing wayang, induk, pola pembuatannya

adalah wayang Kyai Pramukanya. Yang menatah wayang itu ke Cremapangrawit dan Kyai

Ganda. Yang seperangkat diberi nama Kyai Mangu dan yang seperangkat lainnya bernama

Kyai Kayut. Tinggi wayang dikurangi satu sangkuk (songkok). Mulai saat itu tidak lagi diberi

sangkalan memet, sebab sudah banyak orang yang dapat mengukir hurup pada “palemahan”

wayang (antara 2 kaki wayang). Ditandai sangkalan Resi trus kawayang tunggal, maknanya

tahun 1677.

23. K.G.P.A. Anom membuat wayang lagi menurut pola Kyai Pramukanya, diperpanjang

dengan separu “palemahan” (kulit antara 2 kaki wayang). Raksasa dan kera masing-masing

bermata satu, wajahnya dibuat selengkap mungkin. Yang menatah wayang itu Ki

Cremapangrawit dan Kyai Ganda. Setelah selesai wayang tadi diserahkan ke istana, yang

12
selanjutnya terkenal disebut Kyai Pramukanya Kadipaten dan diperingati dengan sangkalan :

Tanpa muksa pandhitengpraja, maknanya tahun 1700.

24. Sri Susuhunan Paku Buwana ke-4 di Surakarta, berkenan membuat Wayang Purwa

dengan pola Kyai Mangu, yang dibangun ialah pakaian wayang perempuan dan wayangnya

diperpanjang dengan satu “palemahan” (kulit antara 2 kaki wayang). Roman mukanya (wanda

Jw.) dibuat berangkap-rangkap. Yang menatah Cremapangrawit dan kyai Ganda dengan

teman-temannya. Wayangnya katongan (raja-raja) dibangun dengan diberi mahkota. Sesudah

selesai satu peti diberi nama Kyai Jimat dan diperingati dengan sangkalan : Yaksa sikara

anarik panggah, maknanya tahun 1725.

25. Sri Sunan (P.B. IV) membuat Wayang Kulit lagi dengan menggunakan pola wayang

Kyai Kanyut, diperpanjang satu “palemahan” (kulit antara 2 kaki wayang). Perlengkapan

wayangnya sama seperti wayang Kyai Jimat. Yang menatah Cremapangrawit dengan teman-

temannya. Setelah selesai diberi nama Kyai Kadung. Pada waktu itu wayang Kyai Kadung

mentakjubkan, karena wayang yang telah diperpanjang kelihatan seperti wayang yang belum

diperpanjang. Selain para dalang, juga heran dan tertarik sekali pada bentuk-bentuknya,

terutama para putera dan kerabat raja dan pada hamba bupati. Banyak yang lalu membuat

wayang yang diperpanjang serupa Kyai Kadung, tetapi hingga sekarang dari ucapan para luhur,

sebuah pun tidak ada yang dapat berhasil baik, seperti Kiyai Kadung yang asli. Peristiwa ini

ditandai sangkalan : Wayang loro sabdane nata, artinya tahun 1726.

Sri Sunan (P.B. IV) membuat pula Wayang Gedog dengan pola wayang buatan Kartasura

yang bernama Kyai Banjet, dibangun wayang dengan pakaiannya. Yang dimaksudkan agar

supaya mirip dengan pahatan Cremapangrawit dengan kawan-kawannya. Ada seorang pemahat

13
lain yang bernama Sadangsa di desa Palat, sengaja dipanggil untuk memahat wayang Guru

Kresna. Mulai saat itulah di Surakarta semua wayang diperbesar. Wayang Dewa Guru

berwajah Kresna. Setelah selesai satu lakon diberi nama Kyai Dewa Katong (katong = raja),

dan bersangkalan : Tanpa guna pandhita ing praja, maknanyatahun : 1730

26. Ada seorang nyonya bangsa Eropa, karena sangat tertarik kepada kebudayaan bangsa

Jawa membuat wayang orang dengan melakukan cerita Purwa. Karena tidak kekurangan biaya,

maka terlaksanalah maksud itu. Iringan gamelannya salendro, memakai topeng dengan bentuk

Wayang Purwa, Pelaksanaannya dengan tari-tarian serupa tarian topeng.

Pada waktu itu tukang membuat topeng yang dianggap baik buatannya ialah : 1. Mothi, 2.

Rombyong, 3. Sawijaya, dan 4. Kyai Obrus. Peristiwa ini bersangkalan : Nyah telu matur ing

Ratu, maknanya tahun 1731.

Sri Sunan bermaksud menambah jumlah cerita Wayang Gedog. Dimintanya naskah-naskah

kepada hamba dalang Kyai Lebdajiwa yang tua, Cerita-cerita ini selanjutnya dikumpulkan

menjadi satu pakem, disusun urut berpedoman pada cerita yang sudah ada di keraton. Beliau

menyusun suluk dengan semangat (greget Jw.) yang sesuai untuk Wayang Kulit dan Gedog,

Suluk-suluk ini dikutip dari Kitab Bratayuda, Rama, Witaraga, Candrasangkala dalam bahasa

Kawi, Peristiwa ini diberi sangkalan : Katon guna swareng rat, maknanya tahun 1732.

27. K.P.G.A. Anom ke-3 di Surakarta membuat Wayang Rama. Jalan ceritanya dimulai dari

Lokapala. Wayang raksasa bermata satu dan bertangan dua, Wayang bermata satu lengkap

dengan ceritanya menurut kitab Lokapala, Rama dan Arjuna sasra. Sangkalan untuk peristiwa

itu : Swareng pawaka kagiri raja. Maknanya tahun 1737

14
Kemudian Sastra Miruda menanyakan, Bagaimanakah orang dapat mengetahui

perbedaan wayang pahatan Cremapangrawit dengan pahatan Kyai Ganda. K.P.A.

Kusumadilaga menjawab, Pahatan Cremapangrawit lebih halus, sedangkan pahatan Kyai

Ganda seperti yang dikatakan “anyangkaruk padang” (jelas bersih keindahannya) Dua-duanya

mempunyai keluwesan yang sama. Orang amat menginginkannya, karena wayang lama itu

belum diperpanjang/perbesar dan enak untuk diwayangkan, Wayang demikian banyak yang

buatan para orang luhur (yang serba ada dan kuasa, lagi mampu). Jadi tidak kurang sempurna

cara penggarapan kulitnya.

Teknis Pertunjukan Wayang dalam Serat Sastramiruda

Dalam permainan wayang, layar dibagi tiga. Diukur dari tengah-tengah dimana terdapat

blencong (lampu untuk menerangi pertunjukan wayang); kesamping kiri sepanjang satu hasta

(lengan) lebih sejengkal dan kesamping kanan sehasta saja. Itulah tempat “paseban”. Di kanan

kiri “pasebab” itulah yang disebut panggungan. Jadi, yang disebut panggunngan itu ialah

wayang yang terpasang (ditancapkan) dipanggungan. Mengatur wayang yang demikian itu

disebut nyumping. Karena caranya memasang wayang pada sumping kiri dan kanan tidak

boleh berselisih, harus teratur berurutan, seperti sumping yang letaknya tepat pada tempat

tertentu.

Wayang katongan ialah wayang para raja (katong = raja). Yang disebut Wayang

pranakan ialah segala macam wayang yang termasuk putera raja atau anak satriya yang

terpancang pada sumpingan sebelah kanan dan kiri.

Yang disebut wayang dugangan, ialah segala macam wayang termasuk wadya

punggawa, kera dan raksasa yang tidak dipancangkan. Dikatakan Dugangan (dugang =

15
menendang) karena dalam perangnya tidak menggunakan senjata. Yang disebut wayang

ricikan, ialah kayon (gunungan), prampogan, kuda, gajah, kereta dan alat senjata. Arti kata

ricikan itu barangkali mengambil dari perkataan meracik, artinya melengkapi alat-alat

pelaksanaan lakon. Walaupun wayang ricik itu tidak termasuk pokok cerita, namun tentulah

diperlukan untuk melaksanakan lakon. Andaikata ada kekurangannya salah suatu, misalnya :

kayon, prampogan, kuda, alat senjata dan sebagainya, tidaklah akan terlaksana wayangan satu

lakon dengan semestinya.

Yang disebut wayang dagelan berwujud raksasa kecil tanpa perlengkapan, yang juga

oleh kebanyakan orang disebut wayang setanan, bala tentara Bathari Durga. Dan dipakai

manakala ki dalang melaksanakan lakon “Murwakala”. Kata “dagelan” itu diambil dari arti

“raksasa tanggung” setengah matang. Yang disebut wayang liyepan, wayang lanyapan, wayang

penthelengan itu menurut perwujudan matanya.

Wayang kantep, ialah semua bentuk wayang yang berkaki panjang tidak seimbang

dengan bentuk badannya. Adapun yang disebut wayang murgan, ialah wayang yang dibuat

tidak dengan menggunakan pola dasar, misalnya membuat Arjuna yang tua,berwajah tidak

menurut Jimat-Mangu-Kanyut, itulah yang disebut murgan, yang artinya khusus (istimewa),

atau tersendiri, keluar dari kebiasaan yang sudah umum disebut angrujag, artinya dengan

paksaan.

Dalam pergelaran Wayang Purwa, biarpun dengan banyolan (lelucon) yang dibawakan

oleh lucunya ki dalang yang mewayang, tetapi dalam mementaskan “lakon jejer” (baku), tentu

ada banyolan yang tetap, ialah banyolan atau lelucon yang sudah ditentukan seperti pedoman

lakon, bahwa harus ada adegan banyolan tari. Karena itu jika anda dapat mendalang,

16
seyogyanya melaksanakan “lakon jejer” yang ucapan-ucapan banyolan dan gaya irama

percakapannya sudah dimuat di dalam buku pedoman.

Adapun perbedaan antara ucap-ucapan dalang dan pocapan itu, ialah : pocapan itu

untuk percakapan (dialog) wayang dan ucapan-ucapan ialah cerita dalang tentang adegan lakon

wayang.

Teknis Gamelan Pengiring Dalam Pertunjukan Wayang

Mas Sastramiruda menanyakan kepada K.P.A. Kusumadilaga apakah pemain untuk

pertunjuykan Wayang harus di pilih atau dapat menyertai Dalang. K.P.A. menjelaskan bahwa

pemain gamelan untuk pementasan wayang harus dipilih. Syukurlah jika mereka itu sudah

biasa mengiringi pertunjukan wayang, biarpun ia mahir dalam gending, namun bilamana belum

pandai menyesuaikan diri untuk pertunjukan wayang, niscaya tak akan dapat serta bermain

mengiringi pertunjukan wayang, sebab kendor atau kencangnya irama gamelan untuk iringan

wayang, tidak menentu. Gamelan iringannya harus menurut wayang yang diperagakan.

Andaikata para pemain gamelan tidak semuanya biasa mengiringi pertunjukan wayang, maka

pertunjukan akan berjalan baik, asalkan beberapa pemain sudah biasa mengiringi pewayangan,

yaitu : 1. Pemain gender, 2 Pemain rebab, 3. Pemain kendang dan 4. Pemain gong.

Pemain rebab kecuali mengawali gending, ia harus mampu menangkap isyarat dari

dalang yang mengajak bergantian pathetan, dan mampu menangkap kias (wangsalan Jw.) Ki

Dalang minta gending tertentu.

Pemain kendang harus memperhatikan gerak-gerik wayang. Pada adegan wayang

berperang pemain kendang harus mampu memberi kendangan yang bersemangat, itu menjadi

urat kekuatan mendalang. Demikian pula, cepat lambatnya irama, pemain kendanglah yang

17
merintis memimpinnya. Pemukul gong perlu memberi tanggapan tepat kepada gaya pemain

gender dan pemain saron, terutama di dalam adegan perang. Ia harus pula mendengarkan

isyarat dari kendang yang mengatur depat atau lambatnya irama.

Dalam adegan perang bila kempulnya cepat, pemain ricikan (pelengkap) tidak dapat

menlengkapi gaya iramanya dan jika kempulnya lambat, maka pemain ricikan menjadi

canggung, Yang demikian itu niscaya akan mengganggu, bahkan merusak kecepatan ki dalang

menjalankan tugasnya mewayang. Maka dari itu bilamana pemain-pemain gender, kendang,

rebab atau gong tidak biasa mengiringi pementasan wayang, tentu pementasannya tidak akan

baik.

Pemain gender laki-laki biarpun ia memahami gending, permainannya istimewa serta

sesuai, tetapi cara penggender laki-laki itu kecuali yang canggung, yang pasti tangannya berat.

Pokoknya pemain gender dalam wayangan haruslah seorang wanita. Demikianlah karena

tangan wanita itu ringan. Karena itu sepeninggal pengender (wanita) si Jamprang, di Surakarta

sampai sekarang belum ada pegender lain yang dapat menjadi teman baik untuk menyertai ki

dalang.

Pedoman Pedalangan Dalam Serat Sastra Miruda

Sastramiruda mohon keterangan, mengenai pedoman pedalangan dan bagaimanakah cara

mendalang agar enak dan mudah bagi dalang dalam menjalankan tugasnya mendalang. K.P.A.

Kusumadilaga menjawab bahwa syarat yang harus dipenuhi dalam pedalangan atau agar sesuai

dan mudah dalam melakukan tugasnya mewayang, ialah :

1. Amardawagung, artinya : Dalang harus paham akan gending atau tembang kawi yang

dipakai untuk Suluk Wayang.

18
2. Amardibasa, artinya : Dalang harus dapat mengetahui bahasa dalam pewayangan,

misalnya: bahasa keraton dan ucapan-ucapan Dewa, manusia, raksasa, wadya, pendeta dan

beda-bedanya sesuatu wayang, jangan sampai ada suara yang sama. Itu namanya

“antawacana” (pengaturan bercakap-cakap= dialog)

3. Awicarita, artinya : Dalang harus mempunyai banyak cerita atau paham sekali tentang

cerita (lakon-lakon ) wayang.

4. Pramakawi, artinya : Dalang harus mengetahui bahasa Kawi yang dipakai, dalam cerita

dan harus diberikan artinya dalam kata-kata lain (dasa nama Jw. sinonim)

5. Pramasastra, artinya : Dalang harus memahami pengetahuan tentang buku-buku atau

paham aksara agar mengetahui urutan-urutan lakon.

6. Dalang kalau mewayang, jangan sampai merobah rangka lakon wayang, atau jangan

sampai kekurangan waktu menyelesaikan sesuatu lakon dalam satu malam (kebogelan Jw.)

dan jangan sampai pula belum selesai pada waktu matahari terbit (karainan Jw. rina =

siang).

7. Dalang jika mewayang sangat sampai bercerita hal-hal di luar kelir (lakonnya) dan

janganlah melucu (membanyol, mendagel) yang rusuh (porno) dan jangan pula sampai

membosankan penonton

8. Ranggep artinya : jangan sampai turun semangat dalam melaksanakan pementasan

(antiklimaks) dan jangan sampai amat menyukai atau membenci sesuatu wayang

9. Sabet, artinya : Dalang jika memegang wayang, jangan canggung (kaku) dan dalam

mementaskan perang, haruslah tampak jelas; tangannya jangan memegang kulit wayang

(uang dipegang tangkai wayang = cempurit).

19
Adapun cara dan mengatur (menancapkan) wayang serta namanya alat-alat seperti di

bawah ini :

Sesudah kerangka kelir (gawangan Jw.) dipasang dan batang pohon pisang disangga oleh

kayu penyangga (pathok Jw.) yang disebut “tapak dara”, maka sebatang pohon pisang

ditempatkan lebih tinggi dari yang lainnya. Yang rendah itu untuk “paseban” (tempat patih,

punggawa dan sebagainya menghadap raja). Ukuran tingginya batang pohon pisang yang di

atas, disesuaikan dengan tingginya ketiak dari yang akan mendalang (mengangkat wayang).

Tepi layar kiri dan kanan diberi kain pinggiran berwarna merah atau hitam menurut

kesukaannya, di tepi batas berukuran selebar tangan sebagai langit-langitnya dan di bagian

bawah selebar tangan kain hitam atau merah sebagai landasan wayang berpijak pada gligen

tancapan berjajar-jajar, Ini disebut “palemahan” (tanah, bumi). Kelir yang sebelah kiri dan

kanan dibuat lobang seperti kantong untuk memasukkan kayu yang disebut “gligen”.

Kayu itu yang bawah ditancapkan pada batang pohon pisang, yang atas dipasang pada kayu

kerangka (gawangan) membentangkan kelirnya harus condong ke muka (suku metu). Perlunya,

apabila digunakan mementaskan perang, muka wayangnya tidak menyentuh layar. Tali yang

dipakai membentangkan layar di atas namanya “palantur”, tempatnya tepat di tengah-tengah

terbentangnya kelir. Ukuran tingginya landasan blencong tepat di atas kepala dalang. Perlunya,

bilamana dalang mengucapkan uraian tentang wayang yang dpanggungkan, dapat melihat

wajah wayangnya hingga ia dapat mengira-irakan suara yang harus dikeluarkan sesuai dengan

wajah wayangnya.

Ukuran jauh dekatnya api belencong dari kelir, kira-kira satu jengkal (sekilan Jw.) lebih

selebar tangan, agar supaya bila dalang menggerakkan wayang tidak akan menyentuh api

20
balencong. Jaraknya dari belencong ke kanan satu hasta (sepanjang lengan bawah dari siku

sampai ke ujung jari tengah), sedang di sebelah kiri dengan jarak satu hasta di tambah satu

jengkal tangan.

Penggunaan Kayonan

Bahwa wayang kayon ciptaan para Wali, diambil dari perkataan bahasa Arab: Khayan=

hidup, salah satu dari duapuluh sifat tuhan. Dan “kayun” dalam bahasa Kawi yang artinya

kemauan. Itu berarti pula, bahwa “paseban” itu perumpamaan; dunia yang terbentang. Oleh

karena itu jika ada cerita dalang tidak dengan mengeluarkan wayangnya, disebut cerita

“pagedongan” (= di belakang layar), artinya: yang dibawakan ki dalang hanyalah ceritanya

saja, tetapi wayangnya tidak maksud ki dalang akan mempergelarkan wayang harus

menancapkan kayon di tengah-tengah layar paseban, yaitu sebagai isyarat kepada

niyaga.dipertunjukkan sebab peristiwanya sudah lampau. Bilamana hendak menceritakan

“gara-gara”.

Dibagian akhir Serat Sastramiruda, K.P.A. Kusumadilaga memaparkan seuah contoh

lakon Wayang Purwa dalam adegan jejer dan yang dilakukan oleh hamba keraton Dalang

Kasepuhan. K.P.A. Kusumadilaga menguraikan tentang Lakon “Palasara” yang dikutip dari

“Pedoman Pedalangan Kraton”.

21

Anda mungkin juga menyukai