Disusun Oleh :
DENPASAR
2013
1
SERAT SASTRAMIRUDA
Ugering Padhalangan ingkang sampun mupakat kangge abdidalem Dhalang ing Kraton
Surakarta Hadiningrat. Serat Sastramiruda adalah sebuah karya sastra Jawa dalam bentuk
wawancara antara guru ahli Pedalangan Wayang Purwa dan muridnya. Sang guru ialah kanjeng
Pangeran Arya Kusumadilaga, dan muridnya, Mas Sastramiruda. Nama murid ini diambil
menjadi judul bukunya. Metode penulisan dengan penjabaran melalui diskusi Tanya-Jawab
antara seorang Guru dan seorang murid yang serba ingin tahu dan mencari pencerahan dalam
menapaki ilmu yang ia pelajari seperti ini hampir sama seperti yang terdapat dalam tradisi
penulisan Purana di India. Banyak Serat maupun buku lainya yang menjabarkan esensi suatu
pengetahuan dengan dialog antara Murid dan Guru ini seperti Serat Dharmogandul, Upadesa, dll.
Kitab Sastra Miruda yang menjadi objek penulisan ini adalah buku terjemahan yang dialih
bahasakan oleh Kamajaya, dan dialih aksarakan oleh Sudibjo Z. Hadisutjipto. Buku ini
diterbitkan oleh Departemen dan Kebudayaan dalam Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia
2
Tidak ada angka tahun penulisan kitab ini, namun terdapat uraian bahwa kitab ini mulai
ditulis pada hari Ahad/ Jumat malam tanggal 1 bulan Besar, wuku Langkir, mangasa Ke-enam,
tahun Be, 1808. Dapat diketahui, bahwa K.P.A. Kusumadilaga hidup dijaman Sri Susuhunan
Paku Buwana IX yang bertahta dari tahun 1863 hingga 1893 M. Diantara tahun-tahun itulah
kiraannya kitab ini ditulis. Siapakah pengarang atau penyusunnya tidak diperoleh kepastian,
apakah K.P.A. Kusumadilaga, apakah Mas Sastramiruda. Hanya dibagian muka dari Serat
“Semua cara-cara menjalankan tugas mendalang dijelaskan dengan lengkap. Cerita itu
kemudian disampaikan kepada Raden Mas Panji Kusumawardaya, kerabat keraton di Negeri
Surakarta”.
Indikasi lain mengatakan bahwa yang menyusun Serat Sastra Miruda ini adalah R.M.P.
Kusumawardaya.
Dalam Serat Sastramiruda diuraikan bahwa yang memulai cerita ini adalah Kanjeng
Pangeran Arya Kusuma Dilaga, yang diturunkan kepada muridnya yang bernama Mas
Sastramiruda. Sebenarnya isi kitab itu lebih dari “pedoman pedalangan” yang didalamnya
sendiri telah disuratkan bahwa Pedoman Pedalangan ini telah disahkan/dibenarkan untuk para
Dalang Abdi Dalem di Kadipaten anom (Tempat Putra Mahkota), bahkan memuat pula Sejarah
Wayang Purwa dan lain sebagainya. Kitab ini menceritakan asal mula adanya gambar Wayang
Purwa dan permuula\nnya menjadi wayang Beber, Gedog, Krucil, Golek, Kllithik, Wayang
Orang, dan Topeng., dengan urutan para penciptanya di jaman kuna sampai keadaan Wayang
kulit di Kraton Surakarta. Dan dijelaskan ketika para Jawata (Dewa) menciptakan bunyi-bunyian
yang dinamakan Lokanata yang selanjutnya digubah menjadi gambelan Salendro. Lalu adanya
3
bunnyi-bunyi (mengiringi) perang disebut Mardangga. Dan adanya gamelan Monggang, Kodok
Ngorek, Galaganjur, Cara-balern, pelog, Sakaten, dan sarunen. Juga adanya tari Badaya,
Sarimpi, Wireng Lawung, Dadap dan sebagainya. Dan didalamnya juga terdapat mengenai alat-
alat yang digunakan utntuk dalang mewayang (mendalang), dan jenis-jenis gending, dengan
suluk Gereget-Saut (Gaya-siaganya). Diuraikan pula tentang cara memilih niyaga (pemukul
gamelan) yang memang perlu menjadi teman bertugas Ki Dalang, hingga caranya mendaalang.
Dalam kitab ini pun memuat pedoman mendalang dalam bentuk pakem, yaitu lakon “Palasara
Dalam Serat Sastra Miruda dijelaskan mengenai asal-usul adanya wayang kulit di tanah
Jawa. Namun dalam penjelasan tersebut asal-usul permulaan adanya wayang kemungkinan
diambil dari cerita-cerita legenda yang berkembang di masyarakat Jawa pada waktu itu.
Penjelasan perkembangan wayang setelah kerajaan Demak lebih terperinci dan bisa dikaitkan
dengan keadaan sejarah yang sebenarnya. Dalam dialog, Sastra Miruda menanyakan kepada
Kanjeng Pangeran Arya Kusumadilaga untuk berkenan menjelaskan mengenai asal-usul Wayang
Purwa dan apakah pedomannya bahwa Wayang baik laki-laki maupun perempuan, diberi lubang
pada kedua daun telinganya. K.P.A. Kusumadilaga menjawab bahwa menurut pendengarannya
1. Prabu Jayabaya bertahta di Mamenang, beliau membuat rencana gambar para leluhurnya
yang dilukis di atas lontar. Yang dilukis terlebbih dulu olehnya adalah gambar Bhatara Guru.
Kata Wayang dipakai karena yang digambarkaan pernah disebut dalam jaman Purwa
4
Adapun sebabnya Wayang dibreri lobang pada daun telinganya, itu Karena yang diambil oleh
Prabu Jayabaya sebagai pola adalah Arca, jadi mirip dengan adat dan pakaian/perhiasan bangsa
Hindu. Melukis itu selesai pada tahun Gambare Wayang Wolu/ 869 Saka.
Purwacarita, menciptakan pedoman pakem Wayang Purwa pada tahun Ratu Guna Maletik
Tunggal/1031.
3. Raden Panji Ksatrian bernama Prabu Suryamisesa yang bertahta di Kraton Jenggala
berkenan menciptakan bentuk gambar Wayang Purwa di atas Rontal. Sekaliligus diciptakan
Pakem cerita Wayang Purwa. Itulah saat permulaan wayang mendapat iringan bunyi-bunyian
gamelan salendro dan dengan iringan lagu (suluk) dalam bahasa Kawi. Didalam perayaan,
Prabbu Suryamisesa tampil sebagai dalang, para kerabbatnya memukul gamelan iringannya
coretan Jenggala, diperbesar ukuran-nya yang dilukis diatas kertas (daluwang) Jawa pada tahun
menciptakan Wayang Purwa diatas kertas (dluwang=Jawa) lebar yang digulung menjadi satu
dan dinamakan Wayang Beber. Pertunjukan wayang Beber digunakan untuk Ruwatan
Murwakala dengan perantara Wayang Beber dengan dilengkapi sesajen dan kemenyan
Gandawida (berbau harum). Ini menjadi kebiasaan hingga jaman sekarang . Orang
5
6. Prabu Brawijaya yang bertahta di Majapahit mempunyai putra yang mahir menggambar
pakaian Wayang Beber dengan cat yang beraneka ragam pada tahun Tanpa Sirna Gunaning
Atmaja/1300.
7. Setelah hancurnya kraton dan Negeri Majapahit pada tahun Geni Murub Siniraming
Wong/ 1433, maka diangkatlah Wayang Beber dengan gamelannya ke negeri Demak. Sri
Sultan Syah Alam Akbar (Raja Demak Pertama/Raden Patah) sangat suka sekali dengan
Beber, padahal Wayang dan gamelan itu didalam Kitab Pekih (Fiqh= Hukum Islam) disebut
sebagai Haram. Para Wali turut membuat wayang agar hilang perwujudan gambar. Yang
dibuatnya ialah kulit Kerbau yang sudah ditipiskan. Dasarnya putih, berasal daris erbbuk
tulaang dan bahan perekat (lem). Perlengkapannya dilukis dengan Tinta, wajahnya dibbuat
miring, sekaligus dengan tangannya; kemudian dijepit satu demi-satu wayang tersebut dan
ditancapkan diatas kayu yang sudah dibuatkan lobang untuk menancapkan wayang. Sejak saat
itulah wayang disebut wayang Purwa. Hal ini terjadi pada tahun Sirna Suci Caturing Dewa/
1440.
Setelah sultan Syah Alam Akbar bertahta kira-kira 3 tahun, Susuhunan di Giri (Sunan Giri)
menambah jenis Wayang Purwa berupa wayang kera sseerta serta menyusun ceritanya.
seperti pada kelir, blencong, dll. Yang seringkali mendalang ialah Sunan Kudus. Ialah yang
memotori penggunaan sulukan, greget saut, tahun Geni Dadi Sucining Jagad/1443.
6
8. Raden Trenggana menjadi raja dengan nama Sri Sultan Syah Alam Akbar yang ke-3.
Beliau membangun bentuk wayang Purwa, dikurangi ukuran besarnya, menetapkan pedoman
untuk wayang perempuan dengan rambut terurai, wayang kera dan raksasa bermata dua buah,
wayang dewa bercawat seperti terlihat pada arca, serta mengarang lakon wayang. Saat itulah
permulaan wayang diwarnai kuning dengan perada disebut wayang “Kidang Kencana”.
Peristiwa itu ditandai dengan sangkala memet, berupa lukisan Dewa Sang Hyang Girinata naik
sapi Andini, artinya : Salira dwija dadi raja (perawakan guru menjadi raja) artinya tahun 1478.
9. Sri Ratu di Tunggul Giri (Sunan Giri) membuat wayang Gedong. Ceritanya tentang lakon
Negara Jenggala, Kediri, Singasari, Ngurawan, Pihak Sabrangan (tanah seberang, musuhnya)
Prabu Klana di Negara Bali. Bala tentaranya, Bugis. Yang mendalang abdi Sri Sunan di Kudus,
bernama Widiyaka. Peristiwa itu ditandai dengan sangkala memet Dewa Sang Hyang Bethara
Guru memegang cis (tobak kecil) dengan tangkai yang dilingkari ular, artinya : Gagamaning
naga kinarya Dewa (Senjata ular digunakan Dewa), artinya tahun 1485.
10. Sunan Bonang mengubah Kitab Damarwulan yang menceritakan sejarah negeri
Majapahit tahun 1315. Pada tahun yang sama Wayang Beber masih dipertunjukkan, iringan
iringan gamelan “kethiprak”. Peristiwa itu ditandai dengan sangkala Wayang Wolu kinarya
11. Raden Jaka di Tingkir duduk di atas kerajaan Pajang dengan gelar Sri Sultan Adiwijaya
tahun 1403. Membangun bentuk wayang Purwa. Pola induknya ialah wayang berasal dari
Demak. Sri Sultan juga berkenan mengarang Pakem (pedoman lakon) untuk Wayang Gedong
7
dan Purwa. Peristiwa ini diperingati dengan Sangkalan Pancaboma Marga Tunggal tahun
1505.
12. Sri Sunan di Kalijaga berkenan mencipta topeng yang dibuat dari kayu dengan satu
muka saja. Serupa dengan wajah manusia. Cara mempergelarkan lakon seperti yang dilakukan
dalam wayang Gedog. Peristiwa ini diperingati dengan sangkalan : Angesthi sirna rakseng
bawana, 1508.
13. Kanjeng Penembahan Senapati ing Ngalaga memperbaharui bentuk Wayang Purwa.
Mulai saat itu rambut wayang ditatah gempuran (tatahan lengkap, mendetail). Beliau
memperbaharui juga bentuk Wayang Gedong dengan menyandang keris dipinggangnya atau
menambah jumlah macam ricikan wayang, sangkalan : rupa papat gatining janma : tahun
1541.
14. Sri Sunan Prabu Suda Anyakrawati, memperbaharui bentuk wayang Purwa. Induk
polanya wayang “Kidang Kencana” diperbesar dengan separo “palemahan”. Pada waktu itu
ada seorang berasal dari Kedu (Magelang) pandai mendalang, lalu diangkat menjadi hamba
kraton. Mulai saat itu di negeri Mataram orang meruat (ngruat Jw.) tidak lagi menggunakan
Wayang Beber, melainkan dengan Wayang Purwa kulit. Ini diperingati dengan sangkalan
memet: Buta Cakil, yakni raksasa bermata sebuah, bertangan dua menyandang ketis, bertaring
satu keluar sampai di bibirnya. Sangkalan memet yang artinya Anembah gegamaning buta
tunggal : 1552.
15. Sri Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma sewaktu memegang tampuk kerajaan pernah
memperbaharui bentuk Wayang Purwa, perlengkapan untuk wayang laki-laki dan perempuan
8
yang memang bermata seperti keledai dirobah dijadikan bermata seperti buah kedondong.
Itulah permulaan wayang mempunyai jenis wajah atau roman muka (wanda Jw.) rangkap.
Wayang Arjunanya diberi nama Kyai Mangu (ragu-ragu = bimbing). Jalu buta tinata ratu :
tahun 1553.
16. Sri Sunan Mangkurat Mataram, waktu bertahta berkenan membuat Wayang Purwa.
Setelah selesai sebanyak satu peti, wayang arjunanya diberi nama Kyai Kanyut (hanyut). Itulah
mulainya wajah Arjuna – tua, mempunyai tiga jenis : Jimat, Mangu, Kanyut. Di waktu itu
diperindahkan oleh raja, bahwa para dalang keraton tidak diperkenankan “meruat”, kecuali
Kyai Anjangmas. Sekalipun di desa kalau dalang hendang “murwakala” (meruat), harus lapor
dan mohon izin kepada Kyai Anjangmas. Dan mulai saat itu orang yang menyelenggarakan
pertunjukan Wayan Taledek (tandak) atau topeng, dikenakan bea yang disebut “pajak
17. Sri Susuhunan Mangkurat memperbaiki bentuk Wayang Gedog. Di dalam tahun yang
sama Pangeran Ratu Pekik di Surabaya juga telah menyelesaikan naskah lakon wayang
Damarwulan yang disusun dan dijadikan lakon Wayang Kulit. Iringan bunyi-bunyian terdiri
dari : kethuk, saron, kenong, rebab, kecer, kempul yang selanjutnya disebut Wayang Krucil.
Atas kehendak raja peristiwa pembuatan Wayang Gedog tersebut diperingati dengan
sangkalan memet yang berupa : Bathari Durga berdiri di atas batu gilang yang ditumbuhi
9
Anjangmas, menyusul melalui Kedu. Istri Ki Dalang Anjangmas beserta wayang dan
perlengkapan gamelan dilarikan oleh musuh. Di tempat yang baru ini istri ki dalang tersebut
(Nyai Anjangmas) lalu mengamen dengan mendalang Wayang Purwa dan mendidik calon
Tentang lakon jejer serta perbedaannya dengan lakon carangan adalah sebagai berikut :
Cerita jejer (pokok) yang termasuk dalam pakem (pedoman) kesemuanya tersusun menurut
urutan, dibuat lakon demi satu lakon dipentaskan semalam suntuk. Malam berikutnya
melangsungkan sambungan ceritanya, mirip cerita jawarna di dalam buku babad. Tentang
lakon carang kadhapur adalah lakon jejer satu lakon yang disambung dengan lakon carangan,
tetapi artinya masih urut, Itulah disebut carang kadhaput, artinya masih termasuk rangkaian
(dhapur) cerita yang pokok. Adapun lakon carangan itu terpisah dari lakon jejer (pokok) dan
18. Waktu Kanjeng Sinuhun Amangkurat bertahta, beliau memperbaharui bentuk Wayang
Purwa berdasarkan pedoman wayang ciptaan Mataram. Wayang Arjuna wajahnya (wanda Jw.)
Wayang liyean (mata sipit) tidak dijahit. Lalu mencipta wayang Janaka dengan wajah yang
disebut Kinanthi (digandeng, disertai) Wayang Dewa, selain Bathara Guru, Bidadari, dan
Bathari Durga. Kesemuanya diperlengkapi baju dan sepatu serta memakai selendang,
19. K.P.A. Puger di Kartasura (kemudian bertahta menjadi Sinuhun Paku Buwana I)
mencipta wayang Purwa dengan pola wayang ciptaan Mataram. Wayang Janakanya dengan
wayang Kanyut. Dengan itulah dimulai pembaharuan wayang seberangan (kerajaan Seberang)
10
dengan mata liyepan (mata sipit dan mata thelengan (melotot) dan wayang raksasa prepatan.
Kesemuanya dilengkapi baju “sekapan besar” (baju kebesaran) dengan keris, sangkalan : Buta
20. Sri Susuhunan Paku Buwana ke-2, pada tahun 1650 membuat Wayang Purwa lengkap
dengan tiga macam wajah Janaka, yaitu : 1. Jimat, 2. Mangu, 3. Kanyut. Yang menatah
wayang itu bernama Cermapangrawati bersama Kyai Ganda. Itulah permulaan wayang liyepan
dan wayang lanyapan (muka menengadah) dijahit. Malahan Sri Baginda sendiri berkenan
memahat Arjuna muda. Sangkala : Buta lima angoyag jagat, tahun 1655.
21. Waktu Sri Susuhunan (PB II) membangun bentuk Wayang Gedong, wajah wayangnya
Panji mirip dengan wayang Arjuna. Wajah Gunungsari mirip dengan wayang Samba. Wayang
perempuannya dengan sanggul seperti wayang Purwa, serta dengan pakaian dodot. Setelah
selesai diberi sebutan : Kyai Banjet (balejet = sama, presis). Sangkalan Wayang misik rasane
Diceritakan bahwa setelah Sri Susuhunan Paku Buwana ke-2 bertahta di Kartasura, banyak
hiburan negeri yang diperbaharui atau pertunjukan asli dari negeri asing dipertontonkan di
Kartasura, misalnya Wayang Golek Purwa, dan Wayang Terbang (rebana) dengan cerita
Menak (Wong Agung Menak = Amir Ambyah) serta Mursada. Malahan diwartakan bahwa di
Kudus ada Wayang Golek yang mementaskan cerita Menak. Maka Sri Susuhunan lalu
membuat Wayang Krucil yang dibuat dari kayu mirip dengan wayang ciptaan Pangeran Ratu
Pekik, Lakon Wayang Krucil ini mengkisahkan Damarwulan. Setelah selesai, diberi sebutan
Wayang Krucil Kayu yang biasanya oleh kebanyakan orang disebut Wayang Klithik. Peristiwa
itu diperingati dengan sangkalah memet berupa : Kayonan (gunungan) yang ditengah-
11
tengahnya terdapat pintu yang dijaga oleh raksasa memegang gada yang berarti Gapura lima
Pada tahun 1670, Sri Susuhunan Paku Buwana ke-2 berpindah kraton dari Kartasura ke
keraton Surakarta Adiningrat pada tahun 1677 dengan sangkalan : Giri sapta rasa tunggal .
Pada waktu itu terjadilah pembagian negeri yang disebut Peristiwa Giyanti (menjadi dua :
Surakarta dan Yogyakarta) pada tahun 1680 dan bersangkalan Nir Brahma Ngoyag Bumi.
K.P.A.A. Mangkunegara ke-1 menyatakan tunduk kepada negeri Surakarta pada tahun
1682. Beliau berkehendak membuat wayang orang menurut cerita gancaran (jarwa) dari cerita
22. K.P. Adipati Anom ke-2 di Surakarta, membuat wayang sebanyak dua perangkat, setiap
perangkat lengkap dengan wajah (wanda) masing-masing wayang, induk, pola pembuatannya
adalah wayang Kyai Pramukanya. Yang menatah wayang itu ke Cremapangrawit dan Kyai
Ganda. Yang seperangkat diberi nama Kyai Mangu dan yang seperangkat lainnya bernama
Kyai Kayut. Tinggi wayang dikurangi satu sangkuk (songkok). Mulai saat itu tidak lagi diberi
sangkalan memet, sebab sudah banyak orang yang dapat mengukir hurup pada “palemahan”
wayang (antara 2 kaki wayang). Ditandai sangkalan Resi trus kawayang tunggal, maknanya
tahun 1677.
23. K.G.P.A. Anom membuat wayang lagi menurut pola Kyai Pramukanya, diperpanjang
dengan separu “palemahan” (kulit antara 2 kaki wayang). Raksasa dan kera masing-masing
bermata satu, wajahnya dibuat selengkap mungkin. Yang menatah wayang itu Ki
Cremapangrawit dan Kyai Ganda. Setelah selesai wayang tadi diserahkan ke istana, yang
12
selanjutnya terkenal disebut Kyai Pramukanya Kadipaten dan diperingati dengan sangkalan :
24. Sri Susuhunan Paku Buwana ke-4 di Surakarta, berkenan membuat Wayang Purwa
dengan pola Kyai Mangu, yang dibangun ialah pakaian wayang perempuan dan wayangnya
diperpanjang dengan satu “palemahan” (kulit antara 2 kaki wayang). Roman mukanya (wanda
Jw.) dibuat berangkap-rangkap. Yang menatah Cremapangrawit dan kyai Ganda dengan
selesai satu peti diberi nama Kyai Jimat dan diperingati dengan sangkalan : Yaksa sikara
25. Sri Sunan (P.B. IV) membuat Wayang Kulit lagi dengan menggunakan pola wayang
Kyai Kanyut, diperpanjang satu “palemahan” (kulit antara 2 kaki wayang). Perlengkapan
wayangnya sama seperti wayang Kyai Jimat. Yang menatah Cremapangrawit dengan teman-
temannya. Setelah selesai diberi nama Kyai Kadung. Pada waktu itu wayang Kyai Kadung
mentakjubkan, karena wayang yang telah diperpanjang kelihatan seperti wayang yang belum
diperpanjang. Selain para dalang, juga heran dan tertarik sekali pada bentuk-bentuknya,
terutama para putera dan kerabat raja dan pada hamba bupati. Banyak yang lalu membuat
wayang yang diperpanjang serupa Kyai Kadung, tetapi hingga sekarang dari ucapan para luhur,
sebuah pun tidak ada yang dapat berhasil baik, seperti Kiyai Kadung yang asli. Peristiwa ini
Sri Sunan (P.B. IV) membuat pula Wayang Gedog dengan pola wayang buatan Kartasura
yang bernama Kyai Banjet, dibangun wayang dengan pakaiannya. Yang dimaksudkan agar
supaya mirip dengan pahatan Cremapangrawit dengan kawan-kawannya. Ada seorang pemahat
13
lain yang bernama Sadangsa di desa Palat, sengaja dipanggil untuk memahat wayang Guru
Kresna. Mulai saat itulah di Surakarta semua wayang diperbesar. Wayang Dewa Guru
berwajah Kresna. Setelah selesai satu lakon diberi nama Kyai Dewa Katong (katong = raja),
26. Ada seorang nyonya bangsa Eropa, karena sangat tertarik kepada kebudayaan bangsa
Jawa membuat wayang orang dengan melakukan cerita Purwa. Karena tidak kekurangan biaya,
maka terlaksanalah maksud itu. Iringan gamelannya salendro, memakai topeng dengan bentuk
Pada waktu itu tukang membuat topeng yang dianggap baik buatannya ialah : 1. Mothi, 2.
Rombyong, 3. Sawijaya, dan 4. Kyai Obrus. Peristiwa ini bersangkalan : Nyah telu matur ing
Sri Sunan bermaksud menambah jumlah cerita Wayang Gedog. Dimintanya naskah-naskah
kepada hamba dalang Kyai Lebdajiwa yang tua, Cerita-cerita ini selanjutnya dikumpulkan
menjadi satu pakem, disusun urut berpedoman pada cerita yang sudah ada di keraton. Beliau
menyusun suluk dengan semangat (greget Jw.) yang sesuai untuk Wayang Kulit dan Gedog,
Suluk-suluk ini dikutip dari Kitab Bratayuda, Rama, Witaraga, Candrasangkala dalam bahasa
Kawi, Peristiwa ini diberi sangkalan : Katon guna swareng rat, maknanya tahun 1732.
27. K.P.G.A. Anom ke-3 di Surakarta membuat Wayang Rama. Jalan ceritanya dimulai dari
Lokapala. Wayang raksasa bermata satu dan bertangan dua, Wayang bermata satu lengkap
dengan ceritanya menurut kitab Lokapala, Rama dan Arjuna sasra. Sangkalan untuk peristiwa
14
Kemudian Sastra Miruda menanyakan, Bagaimanakah orang dapat mengetahui
Ganda seperti yang dikatakan “anyangkaruk padang” (jelas bersih keindahannya) Dua-duanya
mempunyai keluwesan yang sama. Orang amat menginginkannya, karena wayang lama itu
belum diperpanjang/perbesar dan enak untuk diwayangkan, Wayang demikian banyak yang
buatan para orang luhur (yang serba ada dan kuasa, lagi mampu). Jadi tidak kurang sempurna
Dalam permainan wayang, layar dibagi tiga. Diukur dari tengah-tengah dimana terdapat
blencong (lampu untuk menerangi pertunjukan wayang); kesamping kiri sepanjang satu hasta
(lengan) lebih sejengkal dan kesamping kanan sehasta saja. Itulah tempat “paseban”. Di kanan
kiri “pasebab” itulah yang disebut panggungan. Jadi, yang disebut panggunngan itu ialah
wayang yang terpasang (ditancapkan) dipanggungan. Mengatur wayang yang demikian itu
disebut nyumping. Karena caranya memasang wayang pada sumping kiri dan kanan tidak
boleh berselisih, harus teratur berurutan, seperti sumping yang letaknya tepat pada tempat
tertentu.
Wayang katongan ialah wayang para raja (katong = raja). Yang disebut Wayang
pranakan ialah segala macam wayang yang termasuk putera raja atau anak satriya yang
Yang disebut wayang dugangan, ialah segala macam wayang termasuk wadya
punggawa, kera dan raksasa yang tidak dipancangkan. Dikatakan Dugangan (dugang =
15
menendang) karena dalam perangnya tidak menggunakan senjata. Yang disebut wayang
ricikan, ialah kayon (gunungan), prampogan, kuda, gajah, kereta dan alat senjata. Arti kata
ricikan itu barangkali mengambil dari perkataan meracik, artinya melengkapi alat-alat
pelaksanaan lakon. Walaupun wayang ricik itu tidak termasuk pokok cerita, namun tentulah
diperlukan untuk melaksanakan lakon. Andaikata ada kekurangannya salah suatu, misalnya :
kayon, prampogan, kuda, alat senjata dan sebagainya, tidaklah akan terlaksana wayangan satu
Yang disebut wayang dagelan berwujud raksasa kecil tanpa perlengkapan, yang juga
oleh kebanyakan orang disebut wayang setanan, bala tentara Bathari Durga. Dan dipakai
manakala ki dalang melaksanakan lakon “Murwakala”. Kata “dagelan” itu diambil dari arti
“raksasa tanggung” setengah matang. Yang disebut wayang liyepan, wayang lanyapan, wayang
Wayang kantep, ialah semua bentuk wayang yang berkaki panjang tidak seimbang
dengan bentuk badannya. Adapun yang disebut wayang murgan, ialah wayang yang dibuat
tidak dengan menggunakan pola dasar, misalnya membuat Arjuna yang tua,berwajah tidak
menurut Jimat-Mangu-Kanyut, itulah yang disebut murgan, yang artinya khusus (istimewa),
atau tersendiri, keluar dari kebiasaan yang sudah umum disebut angrujag, artinya dengan
paksaan.
Dalam pergelaran Wayang Purwa, biarpun dengan banyolan (lelucon) yang dibawakan
oleh lucunya ki dalang yang mewayang, tetapi dalam mementaskan “lakon jejer” (baku), tentu
ada banyolan yang tetap, ialah banyolan atau lelucon yang sudah ditentukan seperti pedoman
lakon, bahwa harus ada adegan banyolan tari. Karena itu jika anda dapat mendalang,
16
seyogyanya melaksanakan “lakon jejer” yang ucapan-ucapan banyolan dan gaya irama
Adapun perbedaan antara ucap-ucapan dalang dan pocapan itu, ialah : pocapan itu
untuk percakapan (dialog) wayang dan ucapan-ucapan ialah cerita dalang tentang adegan lakon
wayang.
pertunjuykan Wayang harus di pilih atau dapat menyertai Dalang. K.P.A. menjelaskan bahwa
pemain gamelan untuk pementasan wayang harus dipilih. Syukurlah jika mereka itu sudah
biasa mengiringi pertunjukan wayang, biarpun ia mahir dalam gending, namun bilamana belum
pandai menyesuaikan diri untuk pertunjukan wayang, niscaya tak akan dapat serta bermain
mengiringi pertunjukan wayang, sebab kendor atau kencangnya irama gamelan untuk iringan
wayang, tidak menentu. Gamelan iringannya harus menurut wayang yang diperagakan.
Andaikata para pemain gamelan tidak semuanya biasa mengiringi pertunjukan wayang, maka
pertunjukan akan berjalan baik, asalkan beberapa pemain sudah biasa mengiringi pewayangan,
yaitu : 1. Pemain gender, 2 Pemain rebab, 3. Pemain kendang dan 4. Pemain gong.
Pemain rebab kecuali mengawali gending, ia harus mampu menangkap isyarat dari
dalang yang mengajak bergantian pathetan, dan mampu menangkap kias (wangsalan Jw.) Ki
berperang pemain kendang harus mampu memberi kendangan yang bersemangat, itu menjadi
urat kekuatan mendalang. Demikian pula, cepat lambatnya irama, pemain kendanglah yang
17
merintis memimpinnya. Pemukul gong perlu memberi tanggapan tepat kepada gaya pemain
gender dan pemain saron, terutama di dalam adegan perang. Ia harus pula mendengarkan
Dalam adegan perang bila kempulnya cepat, pemain ricikan (pelengkap) tidak dapat
menlengkapi gaya iramanya dan jika kempulnya lambat, maka pemain ricikan menjadi
canggung, Yang demikian itu niscaya akan mengganggu, bahkan merusak kecepatan ki dalang
menjalankan tugasnya mewayang. Maka dari itu bilamana pemain-pemain gender, kendang,
rebab atau gong tidak biasa mengiringi pementasan wayang, tentu pementasannya tidak akan
baik.
sesuai, tetapi cara penggender laki-laki itu kecuali yang canggung, yang pasti tangannya berat.
Pokoknya pemain gender dalam wayangan haruslah seorang wanita. Demikianlah karena
tangan wanita itu ringan. Karena itu sepeninggal pengender (wanita) si Jamprang, di Surakarta
sampai sekarang belum ada pegender lain yang dapat menjadi teman baik untuk menyertai ki
dalang.
mendalang agar enak dan mudah bagi dalang dalam menjalankan tugasnya mendalang. K.P.A.
Kusumadilaga menjawab bahwa syarat yang harus dipenuhi dalam pedalangan atau agar sesuai
1. Amardawagung, artinya : Dalang harus paham akan gending atau tembang kawi yang
18
2. Amardibasa, artinya : Dalang harus dapat mengetahui bahasa dalam pewayangan,
misalnya: bahasa keraton dan ucapan-ucapan Dewa, manusia, raksasa, wadya, pendeta dan
beda-bedanya sesuatu wayang, jangan sampai ada suara yang sama. Itu namanya
3. Awicarita, artinya : Dalang harus mempunyai banyak cerita atau paham sekali tentang
4. Pramakawi, artinya : Dalang harus mengetahui bahasa Kawi yang dipakai, dalam cerita
dan harus diberikan artinya dalam kata-kata lain (dasa nama Jw. sinonim)
6. Dalang kalau mewayang, jangan sampai merobah rangka lakon wayang, atau jangan
sampai kekurangan waktu menyelesaikan sesuatu lakon dalam satu malam (kebogelan Jw.)
dan jangan sampai pula belum selesai pada waktu matahari terbit (karainan Jw. rina =
siang).
7. Dalang jika mewayang sangat sampai bercerita hal-hal di luar kelir (lakonnya) dan
janganlah melucu (membanyol, mendagel) yang rusuh (porno) dan jangan pula sampai
membosankan penonton
(antiklimaks) dan jangan sampai amat menyukai atau membenci sesuatu wayang
9. Sabet, artinya : Dalang jika memegang wayang, jangan canggung (kaku) dan dalam
mementaskan perang, haruslah tampak jelas; tangannya jangan memegang kulit wayang
19
Adapun cara dan mengatur (menancapkan) wayang serta namanya alat-alat seperti di
bawah ini :
Sesudah kerangka kelir (gawangan Jw.) dipasang dan batang pohon pisang disangga oleh
kayu penyangga (pathok Jw.) yang disebut “tapak dara”, maka sebatang pohon pisang
ditempatkan lebih tinggi dari yang lainnya. Yang rendah itu untuk “paseban” (tempat patih,
punggawa dan sebagainya menghadap raja). Ukuran tingginya batang pohon pisang yang di
atas, disesuaikan dengan tingginya ketiak dari yang akan mendalang (mengangkat wayang).
Tepi layar kiri dan kanan diberi kain pinggiran berwarna merah atau hitam menurut
kesukaannya, di tepi batas berukuran selebar tangan sebagai langit-langitnya dan di bagian
bawah selebar tangan kain hitam atau merah sebagai landasan wayang berpijak pada gligen
tancapan berjajar-jajar, Ini disebut “palemahan” (tanah, bumi). Kelir yang sebelah kiri dan
kanan dibuat lobang seperti kantong untuk memasukkan kayu yang disebut “gligen”.
Kayu itu yang bawah ditancapkan pada batang pohon pisang, yang atas dipasang pada kayu
kerangka (gawangan) membentangkan kelirnya harus condong ke muka (suku metu). Perlunya,
apabila digunakan mementaskan perang, muka wayangnya tidak menyentuh layar. Tali yang
terbentangnya kelir. Ukuran tingginya landasan blencong tepat di atas kepala dalang. Perlunya,
bilamana dalang mengucapkan uraian tentang wayang yang dpanggungkan, dapat melihat
wajah wayangnya hingga ia dapat mengira-irakan suara yang harus dikeluarkan sesuai dengan
wajah wayangnya.
Ukuran jauh dekatnya api belencong dari kelir, kira-kira satu jengkal (sekilan Jw.) lebih
selebar tangan, agar supaya bila dalang menggerakkan wayang tidak akan menyentuh api
20
balencong. Jaraknya dari belencong ke kanan satu hasta (sepanjang lengan bawah dari siku
sampai ke ujung jari tengah), sedang di sebelah kiri dengan jarak satu hasta di tambah satu
jengkal tangan.
Penggunaan Kayonan
Bahwa wayang kayon ciptaan para Wali, diambil dari perkataan bahasa Arab: Khayan=
hidup, salah satu dari duapuluh sifat tuhan. Dan “kayun” dalam bahasa Kawi yang artinya
kemauan. Itu berarti pula, bahwa “paseban” itu perumpamaan; dunia yang terbentang. Oleh
karena itu jika ada cerita dalang tidak dengan mengeluarkan wayangnya, disebut cerita
saja, tetapi wayangnya tidak maksud ki dalang akan mempergelarkan wayang harus
“gara-gara”.
lakon Wayang Purwa dalam adegan jejer dan yang dilakukan oleh hamba keraton Dalang
Kasepuhan. K.P.A. Kusumadilaga menguraikan tentang Lakon “Palasara” yang dikutip dari
21